Allahu Akbar, ialah sebuah lafal yang sebenarnya memiliki daya luar biasa tapi
biasa dilafalkan dengan pemahaman yang biasa saja. Sehingga, hati kita pun
makin keras. Lebih keras dari batu yang terkeras.
Daya pertama pada Allahu Akbar, ialah daya pemutus kesombongan diri. Ia
“melenyapkan” kemampuan diri. Ia menuntun kita tuk menjadi abdi Allah
(abdullah). Allahu Akbar, menyadarkan kita bahwa Allah lah yang Maha Besar.
Sedang kita, kecil. Dalam sholat, kita mengenal “Takbirotul ihrom”. Saat
takbiratul ikhram, kita mengucapkan lafal Allahu Akbar yang dipertegas lagi
dengan mengangkat kedua tangan tanda menyerah total pada Allah Subhanahu
Wata’ala. Kita mengagungkan Allah (takbir) sambil mengharamkan
kesombongan (ihram)
Lalu, daya kedua. Daya kedua takbir ini berfungsi sebaliknya. Ia justru
memunculkan kemampuan diri. Tepatnya, kemampuan yang dititipkan pada diri.
Ia menyadarkan peran kita sebagai khalifatullah. Duta besar Allah. Ia
menyemangati diri. Ia mengisi diri yang tak mampu apa-apa ini dengan
kemampuan Ilahiah yang tak terbatas. Tapi, sekali lagi, Allah hanya mengisi
daya pada orang-orang yang telah luntur egonya. Yang telah merasakan daya
takbir yang pertama tadi.
Saat mukminin bertakbir, ia benar-benar mengosongkan diri. Lalu, Allah lah yang
mengisi. Allah menurunkan malaikat tuk memenggal kafirin, karena para
mukminin itu, telah berhasil memenggal ego mereka. Daya Allahu Akbar itu pula
yang memampukan penghamba Allah (abdullah) mengelola bumi ini
(khalifatullah) sesuai kapasitas masing-masing yang sudah ditentukan Allah.
Wajarlah bila para mujahid yang masih bocah mampu mengalahkan tank hanya
dengan batu dan teriakan takbir. Maka, jangan heran pula bila seratus mukminin
mampu mengalahkan seribu kafirin. Karena ia sadar sesadar-sadarnya. Bahwa
bukanlah ia yang melempar, tapi Allah yang melempar.
Maka, bila kita sudah diingatkan Allah lewat sempitnya hati ini, sudah
sewajarnya kita merendah kembali. Bertakbir kembali. Karena Allah sebaik-baik
tempat merendah dan kembali. Saat itu pulalah Allah menyemangati. Dan siapa
motivator terhebat selain Allah?
Jadi, mari kita evaluasi takbir kita, solat kita. Sudahkah ia melunturkan ego diri.
Sudahkah ia menyemangati? Bila belum, pada hakikatnya kita belum bertakbir.
Bila kita sudah diberi peringatan dan kesempatan ternyata masih enggan
melepaskan ego, minta tolonglah orang lain tuk bertakbir empat kali. Takbir
empat kali untuk hati kita. Takbir empat kali atas kematian hati. Innalillahi wa
inna illaihi roji’uun. Semoga Allah menghidupkannya kembali.
Allahu Akbar.
***
Bahkan, kalau kita melihat asal mula kata “sufi” ialah dari “Ahlus Suffah”. Orang
yang sering berselimutkan kulit domba. Mereka, pada masa nabi, tinggal di
masjid. Pada masa damai, mereka banyak memanfaatkan waktu di masjid. Pun,
bila panggilan perang datang, mereka turun langsung sebagai tentara reguler.
Jadi, sufi bukan hanya di masjid, melangit. Ia ada di medan perang, pasar,
pemerintahan, kolong jembatan, dan tempat-tempat yang tampak duniawi.
Membumi. Berjuang. Jadi, bagi Saudara yang baik hatinya, yang mengafirmasi
diri sebagai sufi, jangan me-rahib. Membumilah. Berjuanglah.