MA’RIFATULLAH
Narasumber: Ust. Syarif Muhtarom, SPd.
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”
Dari ayat tersebut jelas bahwa kita diperintahkan untuk berlindung diri kepada
Allah. Kata Rabb dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai zat yang
menciptakan, yang memberi rizki dan yang memiliki segala sesuatu.
Bila kita meyakini bahwa Allah sebagai Rabb yang menciptakan, berarti
kita menyadari dan menyesuaikan dengan kehendak penciptaan Allah. Wujud
pengakuan Allah sebagai Rabb yang menciptakan kita adalah :
Meyakini bahwa Allah adalah Rabb yang memberi rizki kepada kita berarti
tidak ada kekhawatiran terhadap rizki yang akan kita terima, karena Allah telah
mengatur semuanya. Rizki ini tentunya didapat dengan do’a dan ikhtiyar yang
sungguh-sungguh. Pernah suatu ketika di siang hari shahabat Umar ra melihat
seorang shahabat sedang berdo’a lama di masjid. Oleh Umar ra, shahabat tadi
ditendang dan beliau berkata bahwa di masjid bukanlah tempat mencari rizki.
Dari hal ini kita dapat mengambil hikmah bahwa antara do’a dan usaha harus
dilakukan secara seimbang tanpa mengabaikan salah satunya. Dan apapun yang
kita terima sebagai hasil doa dan ikhtiyar tadi, harus kita syukuri sebagai nikmat
dari Allah SWT, dan diharapkan dapat mengambil hikmah atas segala nikmat
yang kita terima.
Dapatlah kita mengambil hikmah dari kisah tersebut. Mungkin saja bila kita
diberi rizki sebagai seorang yang kaya, yang tadinya selalu rajin sholat lima
waktu, bahkan sering kelupaan.
Meyakini bahwa Allah adalah sebagai Rabb, Zat yang memiliki segala
sesuatu, berarti bahwa kepemilikan dan penguasaan kita terhadap materi/benda
hanya sebatas pada manfaat materi tersebut, jika melebihi asas manfaat ini,
berarti tergolong ke dalam orang-orang yang berlebihan. Dikisahkan, pada
zaman Rasulullah dan para shahabat, ada saat di mana perang Tabuk memang
tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk itu diperlukan biaya yang besar, dan saat
itu kondisi baitul maal kosong. Pada saat itulah shahabat Abubakar ra
menyumbangkan hartanya untuk semua keperluan perang. Dari kisah ini, dapat
diambil hikmah bahwa, walaupun memiliki dan menyimpan harta yang besar,
harta tersebut janganlah sampai menguasai hati dan pikiran kita, dan tidak
mengurangi kecintaan kepada Allah.
Kecintaan terhadap suatu materi secara yang berlebihan membuat kita tidak
akan siap bila suatu saat Allah mengambil kembali materi tersebut dari kita, dan
dapat menimbulkan stress berkepanjangan.
Dengan meyakini bahwa semua yang ada di dunia seisinya adalah milik Allah,
hal-hal yang dapat diambil pelajaran adalah :
2. Mengikuti aturan yang ditentukan oleh Allah dari apa yang kita miliki,
misalnya dalam bentuk infak. Ini sebagai wujud pengakuan kita bahwa
apa yang kita miliki adalah milik Allah, sehingga diperintahkan untuk
menggunakannya kepada jalan atau amal-amal kebaikan, seperti
dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 134:
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.
“Raja manusia.”
Pengertian raja di sini berarti Yang Maha Menguasai makhluknya (dalam ayat ini
adalah manusia). Karena Allah sebagai Maha Penguasa, pada diri manusia
mempunyai dua konsekuensi:
a. Kafir (tertutup)
Pada ayat 50 Allah bertanya, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang
lalai. [QS. Al-A’raaf (7): 179]
Berdasarkan ayat di atas Jin & Manusia kebanyakan dimurkai Allah sehingga
masuk neraka Jahannam karena tidak menggunakan hati, mata & telinga untuk
bertadabbur kepada Allah.
Ilah bisa berwujud keluarga, jabatan, harta, atau apa saja, sehingga syaitan
seperti yang diterangkan pada An-Naas dengan mudah memasuki hati manusia.
Oleh karena itu, kunci dari manajemen qalbu adalah hati kita terikat secara
kokoh kepada Allah sehingga tidak ada Ilah lain selain Allah.
Nabi Ibrahim as diuji kecintaannya oleh Allah, yaitu ketika disuruh menyembelih
anaknya (waktu itu hanya semata wayang) yang amat dicintainya. Nabi tetap
melaksanakan perintah Allah karena kecintaan dan keyakinannya kepada Allah.
Dalam hal ini, cukuplah kita mengingat kembali makna doa iftitah.