Anda di halaman 1dari 2

Seikhlasnya = Semampu kita? Sering kita mendengar kalimat ini saat dimintai sumbangan, Ya, seikhlasnya aja.

Dan kalimat berikut ini,Ya, semampunya aja.. Sering pula dua kalimat itu disatukan menjadi,Ya, seikhlasnya aja, semampunya aja.. Menarik sekali hubungan antara kemampuan, dan keikhlasan ini. Mari kita renungi sejenak. Saat kita dimintai Semampu kamu ajalah., kita kemudian mengambil dompet kita. Melihat lembaran-lembaran uang yang ada. Ambil yang nominalnya paling kecil, syukur-syukur ada yang lebih lusuh. Kita yang sebenarnya mampu menyumbang dua ribu rupiah misalnya, hanya menyumbang seribu rupiah. Itupun sekali lagi dengan kelusuhan batin yang ditandai kelusuhan lembaran uang plus kelusuhan ekspresi saat kita memberi. Dengan memberi di bawah kemampuan, tanpa sadar kita telah menghinakan kemampuan diri sendiri. Ingatlah asal kemampuan. Ia hanya pemberian. Bukan buatan kita. Kalau kita sepakat dengan anggapan bahwa menghina pemberian, sama saja menghina yang memberi, maka kita tanpa sadar telah menghina Sang Maha Pemberi Kemampuan. Wow! Ternyata, hanya karena kita tidak berusaha mengoptimalkan kemampuan, kita telah bersikap tak sopan pada Pencipta kita. Jelaslah alur logika sederhananya. Kita tidak mau berusaha mengoptimalkan kemampuan maka kita menghina kemampuan. Kita menghina kemampuan maka menghina Pemberi kemampuan. Kesimpulannya, tidak mau berusaha (sekali lagi hanya berusaha) mengoptimalkan kemampuan, sama saja menghina Pemberi Kemampuan. Itu baru penghinaan kemampuan kita di saat memberi sumbangan. Lalu, bagaimana dengan penghinaan kemampuan kita di bidang akademis, organisasi, atau yang lebih sederhana penghinaan kemampuan kita tuk menggembira orang lain dengan senyum simpul kita? Padahal, kemampuan kita ini sebenarnya jauh lebih hebat dari yang kita duga. Bila ia, telah dilebur dengan ikhlas. Kemampuan kita tuk memberi memang lebih dari yang kita duga. Paradoksnya, saat kita ingin meraih kemampuan lebih itu, kita justru harus merasa tidak mampu. Kok bisa? Sebelumnya, mari kita telusuri kata seikhlasnya. Kata seikhlasnya ini terkorupsi menjadi semampunya atau semampu kita. Lagi-lagi, saat kita diminta memberi dengan seikhlasnya, kita terjebak lagi dengan menghina kemampuan kita. Mungkin, ini yang membuat gusar teman saya. Saat satu kelas mengadakan iuran ia berkata,Ya JANGAN seikhlasnya, ada batas minimal donk nanti mau iuran berapa. Kalau CUMA seikhlasnya pasti dapetnya sedikit. Kata seikhlasnya, sekali lagi, terkorupsi menjadi semampu kita. Dan kita kemudian memberi dengan ala kadarnya. Itu semua karena kita salah paham memahami ikhlas. Kita tak paham, maka meremehkan. Kita terlanjur secara berjamaah tak paham kekuatan di balik ikhlas, maka kawan saya ini meremehkannya dengan menggunakan kata Cuma sebelum kata

seIKHLASnya. Untuk itu kawanku, mari kita hapus kesalahpahaman kita dengan ikhlas ini. Saat kita bicara dimensi ikhlas, maka harusnya kita berpindah dari kemampuan diri, menuju kemampuan Allah yang menciptakan diri. Saat kita bicara ikhlas, kita harusnya justru merasa nol. Tak mampu apa-apa. Seperti bayi. Maka, bila kita mendengar kata Seikhlas kamu, jangan diterjemahkan dengan Semampu kamu. Tapi tanamkan dalam batin paham Semampu Penciptamu!. Nah, karena yang diakses ialah kemampuan Pencipta, jangan merasa mampu. Karena yang diakses ialah kemampuan Pencipta, wahai pembaca, adakah yang mampu membatasi kemampuan Sang Maha Mampu?

Anda mungkin juga menyukai