Anda di halaman 1dari 2

Dahsyatnya Sedekah

“Assalamualaikum!” seorang pria paruh baya melangkah masuk ke kelas “Selamat pagi semua!”
lanjutnya menyapa seisi kelas, kami pun menjawab dengan lantang.
“Berhubung hari ini adalah hari pertama puasa, ada baiknya kita isi dengan siraman rohani yang
menyejukkan hati. Gimana anak-anak?”
Aku memilih diam, ku rasa pelajara pak Tedy selalu diisi dengan siraman rohani, meskipun tidak
bulan Ramadhan dan pelajaran yang diajarkannya adalah informatika.
“Pernah dengar apa itu sedekah?”
“Pernah dong, pak!” sahut Salman, teman sekelasku. “tapi saya sendiri jarang melakukannya”
lanjutnya sambal cekikikan. Aku memutar mata malas, gayanya selalu tengil.
“betul sekali Salman, kebanyakan dari kita mengetahui cara berbuat baik namun tidak
malakukannya” jawab pak Tedy
“Mungkin karena kita hanya tau namanya namun tidak mengerti esensinya. Seperti sedekah, kita
hanya tau sedekah adalah memberi. Saya pikir saya sendiri juga sering begitu” lanjutnya
tersenyum bijak
“Tapi sedekah itu memang memberi kan, Pak?” Tanyaku. “Saya anggap semakin banyak kita
memberi sama artinya dengan banyak kita bersedekah”
“Betul Adit, sedekah memang memberi. Semakin banyak kita memberi itu juga sama dengan
bersedekah. Namun Adit, pertanyannya adalah bagaimana kamu memberi? dan apa tujuanmu?
Seperti bagaimana pikiranmu menuntunmu untuk bersedakah, untuk menyenangkan diri sendiri
karena terlihat baik? Atau mungkin hanya bersedekah dengan tujuan memenuhi syarat berbuat
baik?”
Kepalaku rasanya mulai pusing. Apakah sebenarnya pak Tedy bukan guru informatika
melainkan guru filsafat? Ia sanggup membuat satu kata sederhana menjadi penuh arti misteri.
“Mari kita diskusi bersama. Jika kebanyakan pembahasan mengenai dahsyatnya sedekah
dibahas dengan melihat manfaat untuk orang yang kita beri, namun kali ini bapak mau
memabahas dengan melihat manfaatnya untuk diri kita, yang memberi”

“Menurut bapak sendiri, sedekah tidak selalu soal berapa banyak, seperti kata Adit, namun
terkadang sedekah tidak perlu syarat akan materi, namun syarat akan niat kita sendiri”

“Rasanya percuma jika bapak memberi ribuan nasi bungkus kepada orang tunawisma dengan
alasan bersedekah, namun niat bapak adalah agar terlihat mulia di hadapan manusia”

“Mungkin bapak hanya memiliki uang sepuluh ribu rupiah, dan memberinya kepada orang
kelaparan di emperan toko dengan niat membantu, membantunya mengurangi rasa lapar,
membantu sesama ciptaan Allah dan mengharapkan peniaian dari-Nya. Bukan dari manusia,
bukan dari orang yang bapak beri”

“bukankah itu arti sedekah yang sebenarnya?”

“Dengan mengetahui tujuan bersedekah, bukannya hati kita akan melunak dan lebih rajin untuk
bersedekah karena mengejar kebaikan? Kita akan terus merasa kurang dan kurang, namun hati
kita damai. Tidak sibuk memikirkan penilaian manusia, dan tidak sibuk memikirkan berapa
banyak kita harus memberi”

“Dengan begitu kebaikan mengiringi kita, kebaikan pahala dari-Nya, itu manfaat yang
sebenarnya kan?” jawab pak Tedi “Selain pahala, kita juga dapat menyenangkan hati orang yang
kita beri tanpa pamrih”

“Saya mengerti, pak! Jadi dengan memahami sedekah itu sendiri kita jadi lebih tergerak untuk
terus bersedakah dengan tujuan kebaikan tanpa mengukurnya hanya dari kuantitas itu sendiri,
ya?” jawab Rais, teman sekelasku.

“Betul, Rais!” jawab pak Tedy, “Jadi gimana anak-anak? Mulai mengerti?”

Sebagian teman kelasku menggaguk mengerti, sebagian lagi terlihat acuh tak acuh. Aku sendiri
cukup megerti, sekarang aku mulai mengerti mengapa sedekah dikatakan sebagai suatu cara
bebuat baik.

Anda mungkin juga menyukai