Anda di halaman 1dari 5

Jangan Meremehkan Pekerjaan

Dua orang pemuda yang tak berpengalaman mendapatkan pekerjaan di sebuah


kontraktor bangunan, namun keduanya mendapatkan pekerjaan yang berbeda. Pemuda pertama
bernama Hendro, ia mendapatkan tugas untuk mengerjakan kusen kayu dan daun pintu.
Sedangkan pemuda yang kedua bernama Dede, mendapatkan tugas untuk mengaduk semen
dan pasir serta memasang bata.

Dalam pikiran Hendro, pekerjaannya sebagai tukang kayu lebih ringan dan mudah
dibandingkan dengan Dede. Namun kejutan muncul saat dia tahu ternyata rumah yang akan
dibangun adalah rumah dengan desain antik dan banyak ukiran kayunya, hal itu diluar dugaan
Hendro. Setelah berkali-kali diajari oleh tukang senior di perusahaan itu dan tidak bisa juga,
Hendro akhirnya putus asa. Ia pun mendatangi Dede yang giat bekerja tanpa lelah, untuk
berdiskusi, kemungkinan tukar pekerjaan dan ternyata Dede setuju.

Dede pun akhirnya mengerjakan pekerjaan bagian Hendro, tentunya dengan dilatih
terlebih dahulu. Setelah beberapa waktu, sang mandor memeriksa pekerjaan kedua anak baru
tersebut. Mandor itu terpana dengan hasil kusen dan pintu yang dikerjakan dengan begitu baik.
Ia pun bertanya “Siapa yang mengerjakan ini?” Pegawai yang ada di sana langsung menunjuk
Dede.

Sang Mandor penasaran, bagaimana Dede bisa bekerja dengan begitu baik dan tidak
seperti temannya Hendro yang menyerah berhenti di tengah jalan.“Bagi saya sederhana saja
Pak,” ujarnya dengan rendah hati. ”Lakukan semuanya dengan tulus dan jangan meremehkan
apapun. Dengan begitu, saya lebih mengerti saat diajarkan dan bersungguh-sungguh
mengerjakannya.”

Itulah rahasia keberhasilan Dede, dia tidak cepat berasumsi dan meremehkan pekerjaan
yang ditawarkan kepadanya. Sikapnya pada akhirnya membantu dia mencapai keberhasilan.
Hal sama berlaku juga dengan hidup kita, dalam kehidupan kita akan dihadapkan dengan
berbagai tantangan dan seringkali menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk melangkah maju
mencapai keberhasilan.

Kuncinya adalah bagaimana kita menyikapi tantangan itu, jangan pernah meremehkan
atau sebaliknya merasa tidak mampu dan menolaknya. Coba belajarlah dengan sungguh-
sungguh, lalu bekerjalah dengan sepenuh hati, niscaya kerja keras kita tidak akan sia-sia.
Garam dan Telaga
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak
muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet.
Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang
bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan
meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu
diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi
telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan
akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.Pak Tua itu, lalu kembali
menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya
gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil
air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi,
“Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya.

“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.

“Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah.
Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan
rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan
tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup,
hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya.
Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu
adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan
hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka
sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam
garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat
kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana
telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan
kebahagiaan.
Belajar Memahami Rasa Pahitnya Kopi
Ayah : Nak, tolong buatkan kopi dua gelas untuk kita berdua, tapi gulanya jangan engkau tuang
dulu, bawa saja ke mari beserta wadahnya.

Anak : Baik, ayah.

Tidak berapa lama, anaknya sudah membawa dua gelas kopi yang masih hangat dan
gula di dalam wadahnya beserta sendok kecil.

Ayah : Cobalah kamu rasakan kopimu nak. Bagaimana rasanya?

Anak : Rasanya sangat pahit sekali ayah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Rasa pahitnya sudah mulai berkurang, ayah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Rasa pahitnya sudah berkurang banyak, ayah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Rasa manis mulai terasa tapi rasa pahit juga masih sedikit terasa, ayah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Rasa pahit kopi sudah tidak terasa, yang ada rasa manis, yah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : sangat manis sekali, ayah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Terlalu manis. Malah tidak enak, yah.

Ayah : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?

Anak : Rasa kopinya jadi tidak enak, lebih enak saat ada rasa pahit kopi dan manis gulanya
sama-sama terasa, ayah.

Ayah : Ketahuilah nak.. pelajaran yang dapat kita ambil dari contoh ini adalah.. jika rasa pahit
kopi ibarat kemiskinan hidup kita, dan rasa manis gula ibarat kekayaan harta, lalu menurutmu
kenikmatan hidup itu sebaiknya seperti apa nak?

Sejenak sang anak termenung, lalu menjawab.


Anak : Ya ayah, sekarang saya mulai mengerti, bahwa kenikmatan hidup dapat kita rasakan,
jika kita dapat merasakan hidup secukupnya, tidak melampaui batas. Terimakasih atas
pelajaran ini, ayah.

Ayah : Ayo anakku, kopi yg sudah kamu beri gula tadi, campurkan dengan kopi yang belum
kamu beri gula, aduklah, lalu tuangkan dalam kedua gelas ini, lalu kita nikmati segelas kopi
ini.

Sang anak lalu mengerjakan perintah ayahnya.

Ayah : Bagaimana rasanya?

Anak : Rasanya nikmat sekali, ayah.

Begitu pula jika engkau memiliki kelebihan harta, akan terasa nikmat bila engkau mau
membaginya dengan orang-orang yang kekurangan.
Kisah Seorang Pengusaha Muda Yang Sukses Dan Kaya Raya
Suatu ketika, ada seorang pengusaha muda yang sukses dan kaya raya terpaksa harus
menghadapi ajalnya karena kanker kulitnya yang parah akibat sensitivitas tidak normal
terhadap sinar matahari. Sebelum meninggal, kepada dua anaknya yang masih belia ia
berpesan, “Ayah akan mewariskan seluruh kekayaan dan usaha ini pada kalian berdua. Ayah
hanya memberi dua pesan utama agar kalian sukses dan kaya raya seperti Ayah tapi bisa
menikmatinya lebih lama.”

Suasana hening.“Pertama, jangan biarkan sinar matahari menyinari kulitmu secara


langsung terlalu lama, karena mungkin gen kanker kulit ini menurun pada kalian.”
Suasana makin hening.

“Kedua, dalam bisnis, jangan pernah menagih utang pada pelanggan.”

Setelah memberi pesan tersebut sang ayang meninggal, tanpa sempat memberi
penjelasan yang lebih banyak. Kedua anak tersebut berjanji akan memenuhi permintaan ayah
mereka. Kemudian kedua anak tersebut dibesarkan oleh ibunya. Setelah cukup umur, sang ibu
memberi keduanya usaha yang diwariskan ayah mereka.

Sepuluh tahun kemudian, salah satu anak menjadi anak yang sangat kaya raya,
sedangkan satu lagi bangkrut menjadi sangat miskin. Sang ibu akhirnya bertanya, kenapa salah
satu menjadi miskin sedangkan yang satu menjadi kaya. Padahal keduanya memegang teguh
nasihat ayah mereka.

Jawab anak sulung: “Inilah karena saya mengikuti pesan Ayah. Ayah berpesan bahwa
saya tidak boleh menagih utang kepada orang yang berutang kepadaku, dan sebagai akibatnya
modalku susut karena orang yang berutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak
boleh menagih. Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko
dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau
andong. Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan Ayah demikian maka
akibatnya pengeluaranku bertambah banyak.”

Kepada anak bungsu yang bertambah kaya, ibu pun bertanya hal yang sama. Jawab
anak bungsu: “Ini semua adalah karena saya menaati pesan Ayah. Karena Ayah berpesan
supaya saya tidak menagih kepada orang yang berutang kepada saya. Maka saya tidak
memberikan hutang. Prinsip saya ada uang, ada barang. Supaya tetap kompetitif, saya
memberikan harga paling murah dan layanan yang jauh lebih baik kepada pelanggan
dibandingkan toko2 yang lain. Juga Ayah berpesan agar jika saya berangkat ke toko atau
pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum
matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko
lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang
menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama.”

RUMUS yang SAMA penerapannya beda, hasilnya juga sangat berbeda.

Anda mungkin juga menyukai