Anda di halaman 1dari 4

The Gospel According to Doraemon

Introduction:

Ketika saya masih anak-anak, hari Minggu adalah hari favorit kedua saya setelah hari Sabat.
Setiap Sabtu malam, saya selalu memastikan bahwa saya pergi tidur lebih awal dan bangun
paling lambat jam 7 pagi. Setelah kebaktian pagi, saya bergegas ke TV dan dengan penuh
semangat membenamkan diri dalam empat jam menonton film kartun dari jam 8 pagi - 12 siang.
Waktu sakral itu adalah momen di mana saya menonton kartun seperti “Kobo-Chan, Shin Chan,
Makibao, Transformers, Hacchi, Detective Conan, dan Power Rangers. Tapi dari semua kartun
yang tersedia di TV, ada satu yang meninggalkan kesan abadi bahkan sampai sekarang, kartun
itu tidak lebih dari “Doraemon.” Setiap kali saya mendengar lagu tema yang legendaris itu, saya
tidak dapat menahan diri untuk bernyanyi bersama dengan musik yang menarik dan lirik yang
realistis.

Why Doraemon impressed me so much? Is it because the story? Is it because of all the realistic
characters that resemble our childhood? The answer is this: because it resembles us. It resembles
me. When I watched that cartoon, I can see myself in “Nobita.” Every time we see his limit and
his wackiness, we saw ourselves. Not only that, if Nobita represents the imperfect me, Doraemon
represents a God-figure which provided the right tools and the right answers for all the
difficulties we have in life. Deep inside, how I wish that I have a God like that. A God who could
come down and provided me with all I need. A God who made my life comfortable, easy and
perfect; deep inside, I wish that God could be more like Doraemon. Kenapa Doraemon
membuatku sangat terkesan? Apakah karena ceritanya? Apakah karena karakter-karakter yang
lucu dan menggemaskan? Jawabannya adalah ini: karena kita melihat kehidupan kita sendiri di
kartun Doraemon. Setiap alur cerita menyerupai masa kanak-kanak saya. Ketika saya menonton
kartun itu, saya dapat melihat diri saya di "Nobita." Coba ingatlah masa kanak-kanak anda, pasti
anda selalu punya sahabat yang kaya seperti suneo, gendut seperti Giant, cantik seperti Shizuka,
dan tak berguna seperti Nobita. Tidak hanya itu, jika Nobita mewakili saya yang tidak sempurna,
Doraemon mewakili sosok Tuhan yang menyediakan alat yang tepat dan jawaban yang tepat
untuk semua kesulitan yang kita miliki dalam hidup. Jauh di lubuk hati, betapa aku berharap
memiliki Tuhan seperti itu. Dewa yang bisa turun dan memberi saya semua yang saya butuhkan.
Tuhan yang membuat hidupku nyaman, mudah dan sempurna; jauh di lubuk hati, saya berharap
Tuhan bisa lebih seperti Doraemon.

Bahkan lagu tema Doraemon menunjukkan hal ini:

Aku ingin begini


Aku ingin begitu
Ingin ini itu banyak sekali
Semua semua semua
Dapat dikabulkan
Dapat dikabulkan
Dengan kantong ajaib
Aku ingin terbang bebas
Di angkasa
Hei… baling baling bamboo
La… la… la….
Aku sayang sekali…
Doraemon…
La… la… la….
Aku sayang sekali…
Seperti yang dikatakan lagu itu, alasan utama mengapa Nobita mencintai Doraemon adalah
hanya karena ia menyediakan apa yang diinginkan Nobita. Dan hal yang sama sering terjadi
dalam kehidupan kekristenan juga. Sering kali kita tergoda untuk menjadikan Tuhan sebagai
sosok “Doraemon” dan melihat Dia sebagai seseorang yang memberi kita semua hal yang kita
inginkan, bukan? Perhatikan baik-baik pola doa Anda sendiri. Bagian doa mana yang selalu
paling panjang? Tidak peduli siapa anda atau latar belakang anda, bagian doa yang paling
panjang pasti selalu "permohonan." Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk bertanya
kepada Tuhan tentang apa yang kita inginkan daripada apa yang kita butuhkan, fokus kerohanian
kita terdapat apa yang kita inginkan daripada apa yang Dia inginkan. Sebagian besar dari kita
melihat gereja bukan sebagai tempat beribadah, tetapi sebagai supermarket yang memasok
semua kebutuhan kita. Gereja harus menyediakan musik terbaik, khotbah terbaik, pelayanan
terbaik, dan program terbaik. Dan ketika konflik muncul dan gereja gagal memenuhi kebutuhan
kita, kita pindah ke gereja lain. Injil menurut Doraemon adalah Injil yang berpusat pada
keserakahan, keinginan, dan hasrat manusia. Itu berpusat pada manusia daripada berpusat pada
Tuhan. Berorientasi pada kenyamanan daripada kerohanian.
Bagaimana ini terjadi di gereja? Jawabannya sederhana; itu adalah pengaruh pandangan dunia
konsumeris.
Isi Khotbah:
Yang menjadi masalah terburuk adalah kita begitu terbiasa dengan semua budaya konsumeris ini
sehingga kita juga sudah begitu larut dengan kehidupan konsumeris. Tentu Anda mungkin
membenci orang-orang seperti Syahrini dan Hotman Paris yang mengumpulkan banyak harta
duniawi ini, tetapi jauh di lubuk hati, kita semua tahu bahwa kita ingin menjadi seperti mereka.
Kita ingin berpakaian, dan mengendarai mobil mahal. Kita ingin tinggal di rumah mewah, dan
memiliki ponsel terbaru yang dapat kita pamerkan kepada semua orang. Kita ingin menggunakan
sepatu dan tas yang bermerek. Sejak kecil, kita telah dibombardir dengan iklan yang mengatakan
“apa yang Anda miliki tidak cukup, Anda perlu memiliki lebih banyak, dan Anda membutuhkan
ponsel yang lebih baik, pakaian yang lebih baik, sepatu yang lebih baik, dan seks yang lebih
baik. Seluruh perusahaan periklanan dibangun di atas satu premis, "You Need More."
The worst part is that, few of us realize the danger of wanting more. We always assume that
since our money is what we have earned, then we could spend it in whatever we wanted. We
have the right to buy what we want. “WANT” is a prison that we could never escape from. It is
an enslaving master whom oppressed us with our willing consent.
Bagian terburuknya adalah, hanya sedikit dari kita yang menyadari bahaya dari konsumerisme.
Kita selalu berasumsi bahwa karena uang ini adalah hasil dari yang kita peroleh, maka kita dapat
membelanjakannya untuk apa pun yang kita inginkan. Kita berhak membeli apa yang kita
inginkan. “INGIN” adalah sebuah penjara yang tidak dapat kita hindari. Itu adalah “Tuhan” yang
memperbudak yang menindas kita dengan persetujuan kita sendiri.
Why and how did it happen? It all began with the assumption that what we have defined who we
are. We did not buy stuffs simply because we want to have it, but also because it added values
into our lives. It brings meaning and prestige. And it impresses people around us. In fact,
Hotman Paris himself said that the display of expensive stuffs leave a lasting impression on his
clients. Moreover, we often used “spiritual” means to explain it. We said that all these material
things represent God’s blessing. And we often use prayers as a mean to get what we wanted. If
you look at the present world, we all worship rags to riches stories where people overcome
poverty and become rich due to their own hard work. Yet we neglected the story of those who
willingly become poor.
Mengapa dan bagaimana itu terjadi? Itu semua dimulai dengan asumsi bahwa apa yang kita
miliki mendefinisikan siapa kita. Kami tidak membeli barang hanya karena kita ingin
memilikinya, tetapi juga karena barang itu menambahkan nilai tertentu dalam kehidupan kita.
Kita tidak membeli barang mahal karena barang itu berguna, kita membeli barang mahal supaya
“harga diri” kita naik. Supaya orang-orang tahu bahwa kita bukan orang biasa. Semuanya ini
terjadi karena kita percaya kalau hal-hal “materi” memberikan makna dan nilai dalam kehidupan
kita.. Bahkan, Hotman Paris sendiri mengatakan bahwa tampilan barang-barang mahal yang ia
gunakan meninggalkan kesan abadi pada kliennya. Selain itu, kita juga sering menggunakan cara
"spiritual" untuk menjelaskannya. Kita mengatakan bahwa semua hal materi ini mewakili berkah
Tuhan. Dan kita sering menggunakan doa sebagai sarana untuk mendapatkan apa yang kita
inginkan. Jika Anda melihat dunia saat ini, kita semua memuja cerita-cerita di mana orang
mengatasi kemiskinan dan menjadi kaya karena kerja keras mereka sendiri. Namun kita
mengabaikan kisah mereka yang dengan sukarela menjadi miskin.
Alasan kedua adalah asumsi bahwa hal-hal materi akan membuat hidup kita lebih nyaman.
Seperti yang saya katakan terus menerus, kita hidup di masa di mana kenyamanan menjadi
prioritas di atas segalanya. Dan sisi buruknya, kita pada akhirnya akan menghabiskan lebih
banyak uang untuk menghibur diri sendiri daripada menggunakannya sebagai sarana untuk
kerajaan Allah. Bahkan, beberapa orang sering kompromi sistem kepercayaan dan nilai-nilai
mereka hanya demi mendapatkan kenyamanan.
Richard E. Byrd berkata: “Saya mempelajari…bahwa manusia dapat hidup bahagia tanpa
kemewahan materi.”
Apa yang dikatakan Alkitab mengenai ini?
TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. (Psa 23:1 ITB)
. Apa yang dikatakan Daud bukanlah sesuatu yang dia tidak pernah alami. Ini adalah nasihat
yang diberikan oleh seseorang yang begitu terjebak dalam kehidupan konsumerisme, dan sebagai
hasilnya, hidupnya hancur berantakan.
The reason why we can’t escape from the prison of “want” is because we have chosen the wrong
shepherds. If the Lord is really our shepherd, then we will learn to be content. The problem is,
we are living with a divided mind. We come to Jesus and said, Alasan mengapa kita tidak dapat
melarikan diri dari penjara “konsumerisme” adalah karena kita telah memilih gembala yang
salah. Jika Tuhan benar-benar gembala kita, maka kita akan belajar untuk merasa puas.
Masalahnya adalah, kita hidup dengan pikiran yang terbelah. Kita datang kepada Yesus dan
berkata,
“Tuhan adalah gembalaku, aku ingin menjadi lebih kaya”
“Tuhan adalah gembalaku, aku ingin naik gaji”
“Tuhan adalah gembalaku, aku ingin HP yang lebih bagus lagi.”
“Tuhan adalah gembalaku, aku ingin memuaskan hawa nafsuku”
Kita gagal untuk mengakui, bahwa jika kita telah berjalan bersama sang Gembala, kita pasti
belajar untuk puas dengan apa yang kita miliki. Mengapa? Karena gembala lebih mengetahui apa
yang kita perlukan dan kapan kita memerlukan itu. Kita harus mengingat, makna kehidupan
seekor domba tidak ditentukan dari apa yang ia makan maupun apa yang ia minum, tetapi
dengan siapa ia berjalan. Selama kita memiliki Yesus sebagai gembala, itu sudah cukup.
The root problem here is first because we failed to recognize the differences between happiness
and satisfaction. Buying new clothes, bags, cellphone, tablets, might bring happiness into your
life. Eating at new restaurants and satisfying your cravings might also make you happy. But it
won’t make you feel satisfy. Masalah kedua adalah, kita gagal untuk mengerti perbedaan antara
“senang” dan “puas.” Membeli baju, tas, HP, dan mobil baru, mungkin bisa membuat anda
senang. Makan makanan yang mahal mungkin juga bisa membuat anda senang. Tetapi semuanya
itu tidak akan memberikan kepuasan kepada anda. Tidak ada hal-hal materi yang bisa
memuaskan jiwa manusia, karena kepuasan hati hanya didapat ketika hati ini berlabuh di
hatiNya.
Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (1Ti 6:6 ITB)
Memang agama memberikan keuntungan yang besar, kalau orang puas dengan apa yang
dipunyainya.
(1Ti 6:6 BIS)

Paulus lebih jauh berkata:


Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.
Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-
kali tidak akan meninggalkan engkau." (Heb 13:5 ITB) Di satu sabat tiga belas, ketika anak-anak
disuruh untuk maju ke depan dan menyebutkan ayat hafalan mereka, seorang anak tiba-tiba lupa
ayatnya. Ia seharusnya menghafal Mazmur 23, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa mengingat
mazmur tersebut. Kakinya mulai gemetar, dan wajahnya menjadi pucat. Ketika gilirannya tiba, ia
tidak tahu harus berkata apa. Satu-satunya frase yang ia ingat hanyalah, “Tuhan adalah
gembalaku, takkan kekurangan aku.” Dengan bibir yang kaku dan suara yang pecah, ia perlahan
mengatakan..”Tuhan adalah gembalaku, Ia mengulang kembali frase itu, tetapi ingatannya tidak
kunjung datang. Untuk ketiga kalinya, ia mengulang frase tersebut, dan ia sadar bahwa ia tidak
akan bisa mengingat seluruh pasal di Mazmur 23. Akhirnya ide cemerlang muncul di pikirannya.
Dengan suara lantang, ia berkata…..”TUHAN ADALAH GEMBALAKU, DAN ITU SAJA
SUDAH CUKUPPPP.”

Anak itu benar..Jika Tuhan sudah menjadi gembala kita, ITU SAJA SUDAH CUKUP.

Anda mungkin juga menyukai