Anda di halaman 1dari 4

Ketika kita mendengar suara adzan, Nabi memerintahkan kita untuk menjawabnya sesuai

panggilan. Ketika dikumandangkan Allahu Akbar, Asyhadu an-Lailaha


illallah dan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (masing-masing 2 kali); cukup
dijawab dengan kalimat yang sama.
Berbeda dengan “Hayya ‘alash Shalah” (juga Hayya ‘alal Falah), kita dianjurkan
menjawabnya dengan kalimat: La haula wala quwwata illa billah (“Tidak ada daya
upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”). Mengapa?
Atas kalimat ini, ada yang mencari-cari alasan. Saya menjadi malas melaksanakan sholat
karena semua panggilan dijawab optimis dengan bahasa yang sama. Namun tak kala pada
pada ajakan shalat, jawabannya diserahkan semuanya kepada Allah: Itu pertanda bahwa
saya tidak mampu ya ya Allah”. Akhirnya saya tidak melaksanakan shalat.

Benarkah kalimat laa haula walaa quwata illa billah sebagai ekspresi dari kemalasan?
Tentu saja tidak. Ada nilai-nilai sufistik yang mendalam pada jawaban yang sangat
“rapuh” ini. La haula wala quwwata illa billah hanya bisa diselami oleh kaum sufi.
Sebab, hakikat shalat ada dalam perbendaharaan ‘arif rabbani.

Hadirin Shalat Jum’at Yang Berbahagia

Nabi SAW bersabda: “Ash-shalatu mikrajul mukminin”. Shalat adalah mikrajnya orang
beriman untuk bertemu dengan Allah. Faktanya, tak ada seorang pun diantara kita yang
pernah bertemu dengan Allah pada saat shalat. Nampaknya seolah-olah sedang shalat.
Padahal lebih tepat disebut sedang latihan shalat. Hanya segelintir orang yang benar-
benar mendirikan shalat. Sebab, kalau shalatnya asli, pasti berjumpa (liqa’) Allah.

Sejatinya, shalat merupakan media komunikasi (“bercakap-cakap”) dengan Allah.


Sayangnya, kita tidak bertemu dengan Allah. Komunikasi kita tidak tersambung, tidak
terkoneksi “secara interaktif” dengan Allah. Padahal, selain para nabi (QS. Albaqarah:
253, An-Nisa: 164), Allah juga menjanjikan bagi manusia secara umum (basyar) untuk
dapat berkomunikasi “secara langsung” dengan-Nya dengan berbagai cara:

‫َو َم ا َك اَن ِلَب َش ٍر َأْن ُيَك ِّلَم ُه ُهَّللا ِإاَّل َو ْح ًيا َأْو ِمْن َو َر اِء ِحَج اٍب‬
‫َأْو ُيْر ِس َل َر ُسواًل َف ُيوِحَي ِبِإْذ ِنِه َم ا َي َش اُء ۚ ِإَّن ُه َع ِلٌّي َح ِكيٌم‬

“Tidak adalah bagi manusia, bahwa Allah bercakap-cakap dengan dia, kecuali dengan
wahyu atau dari belakang tabir, atau Dia utus seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu
mewahyukan dengan izin-Nya apa-apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha
tinggi lagi Maha bijaksana” (QS. Asy-Syura: 51)

Kita perlu mempertanyakan kenapa kita tidak pernah bertemu dengan Allah pada saat
sholat.

Itu akibat membawa diri sendiri. Mana mungkin rukuk, sujud dan bacaan kita sampai
kepada Allah. Mana mungkin dimensi fisikal dan unsur-unsur material sampai kepada
Allah. Allah maha gaib, melampaui dimensi bentuk dan gerak. Dia menolak unsur-unsur
duniawi.

Kembali ke “la haula wala quwwata illa billah“. Dari bentuk jawaban ini kita bisa tau
bahwa sesungguhnya shalat itu ibadah hakikat (billah). Shalat adalah ibadah yang tidak
bisa dilakukan tanpa adanya bantuan kekuatan atau daya yang berasal dari Dia sendiri.
Daya ini merupakan “arus” yang terbit dan tidak pernah terpisah dari diri-Nya.
Ketika arus ini masuk dalam jiwa seorang hamba, itulah yang disebut “tajalli”, atau
hadirnya bukti-bukti dhahir (nyata/fisik) dari eksistensi Allah yang maha batiniah.
Terjadinya penyatuan “arus” dengan kabel ini juga dibahasakan dengan “wahdatul
wujud” (waddhahiru wal batinu). Tetapi jangan terlalu dungu memahami filosofi
kesatuan wujud:
“Arus adalah arus. Kabel adalah kabel. Keduanya tidak pernah sama. Allah tidak
pernah menjadi manusia, begitu juga sebaliknya. Tetapi ketika Allah (cahaya Allah)
termanifestasi dalam diri manusia, itulah penyebab terjadinya karamah” (Abuya Sayyidi
Syeikh Ahmad Sufimuda).
Maka jangan sombong dengan ibadah shalat kita. Kita tidak berdaya untuk menyembah-
Nya. Dalam tasawuf dikatakan: “Shalat itu ibadah Allah menyembah
Allah”. Sesungguhnya, “Yang menyembah dengan yang disembah adalah sama”.
Sebab, “Hanya Dia yang dapat menyembah diri-Nya sendiri”. Hanya cahaya-Nya yang
dapat kembali kepada-Nya. Kita ini tidak sampai kepada-Nya.
Dari penjelasan ini kita dapat memahami kalimat: “Innalillahi wainna ilaihi
rajiun”. Sesungguhnya yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Apa yang
berasal dari Allah? Apakah lempung pasir, mani, tulang, darah, daging dan tanah? Tentu
bukan. Yang berasal dari Allah adalah cahaya Allah itu sendiri.
Hanya itu yang bisa kembali kepada Allah. Hanya jiwa yang telah tersucikan (menyatu
dengan cahaya Allah) yang dapat kembali kepada Allah. Selebihnya, jiwa-jiwa yang
kotor akan gentayangan, tidak sampai ke langit dan juga tidak diterima bumi. “Sekali-
kali tidak akan dibukakan kepada mereka pintu-pintu langit” (QS. Al-‘Araf: 40). “Maka
adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh (QS. Al-Hajj: 31).
Oleh sebab itu, para ahli makrifat menasehati. Jangan shalat dengan membawa diri
sendiri. Pasti tidak sampai. Allah tidak mengenal lempung pasir dan tanah seperti kita.
Bawalah diri-Nya sendiri. Bawalah Allah. Bawalah cahaya-Nya. Hanya itu
yang sekufu (sepadan) dengan-Nya.
Kalau sekedar shalat semacam gerakan mematuk-matuk seperti burung gagak, siapapun
bisa. Atau kalau sekedar membaca ayat dengan indah seperti merdunya nyanyian burung
di waktu fajar, banyak yang ahli. Namun yang bisa tembus ke alam rabbani, itu butuh
kesadaran yang tinggi untuk meng-upgrade kembali cara beragama kita.

Kata Nabi SAW, ada perbedaan mendasar antara ritus ibadah yang hanya berdimensi
lahiriah dengan yang menyertakan aspek batiniah. “Dua orang dari umatku mengerjakan
shalat. Rukuk dan sujud mereka sama. Tetapi diantara shalat mereka berdua ada
perbedaan sejarak langit dan bumi”. Inilah dimensi mistisisme (dzikir) yang membentuk
shalat. Namun diakui Nabi SAW, sedikit yang mengamalkannya:
‫َال َيْذ ُك ُر َهَّللا ِفيَها ِإَّال َقِليًال‬

“Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit” (HR. Bukhari dan Muslim)

Anda mungkin juga menyukai