Anda di halaman 1dari 6

Dari Jamak hingga Tunggal

Oleh Dr. Dimitri Mahayana


Fajar terbitnya Mentari Ketunggalan telah dijeritkan oleh kekasih
orang-orang beriman, ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.); Wa sya`sya`a dhiyaa`a asy-
syamsi bi nuuri ta`ajjujih, Yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi Wahai
yang menunjukkan ZatNya dengan ZatNya. Demikianlah, hakikat hidup
manusia adalah Dari Allah dan kembali kepada Ketunggalan-Nya, hakikat
KeDiaanNya Yang Azali.
Mentari Ketunggalan tak mungkin dilewati kecuali melewati sifat
Al-ahadiyyah yang bersesuaian dengan NamaNya Al-Ahad. Qur’an Suci
mengatakan; Qul huwa Alloohu Ahad. Katakan Dia-lah Allah Yang Tunggal.
Dalam membedakan antara al-ahad dengan al-waahid, Syaikh ‘Abd Al-
Karim Al-Jilli dalam kitabnya, Al-Insan Al-Kamil, menjelaskan bahwa al-
ahad menyatakan Sifat Uluhiyah yang Teragung yakni Allah maujud dan
tiada apa pun bersamaNya. Dia-lah Realitas Tunggal dan tiada realitas apa
pun besertanya (subhanallohi ‘amma yashifuun). Sedangkan al-waahid
menyatakan batas antara Realitas "yang nampaknya jamak" dengan
Hakikatnya Yang Tunggal, yakni Allah kini adalah Allah yang kemarin
adalah Allah yang esok.
Biarkan sinar mentari menari di pipi maupun di air mata
agar Si Jelita Manis menari di hati maupun hatimulah Si Jelita
Biarkan sinar rembulan menari di pipi maupun di air mata
agar pula rembulan adalah mentari, dirimu yakni Dia semata
Pada saat orang tak bisa membedakan rembulan-rembulan
manifestasiNya dan Mentari ZatNya, maka ia telah memasuki sifat al-
waahidiyyah, namun pada saat ia terdiam seribu bahasa teriakkan Huwa (dia)
! atau Ahad !, mungkin, sekali lagi mungkin sifat al-ahadiyyah sedang
mencerap keberadaan kopulatifnya, hingga melenyap. Allah Yang Maujud
dan tiada apa pun di samping Nya. Laisa kamitslihi syai`un wa huwa as-
samii’u al-bashiiru. Tak ada apa pun yang serupa denganNya, dalam segala
seginya, yakni karena hanya Dia saja Yang Ada, dan Dia-lah Yang Maha
Melihat dan Maha Mendengar, yakni Dia-lah Yang Melihat Segala-Nya
(yang tak lain adalah Zat-Nya) dengan Segala-Nya (yang tak lain adalah Zat-
Nya).
Demikian Agung keadaan hambaNya yang tercerap dalam Al-
Ahadiyyah ini, dan apakah keadaan ini yang diuraikan dalam sebuah Sabda
Nabi (s.a.w.a.); Ana Ahmadun bi laa miim. Saya Ahmad tanpa mim. Ahmad
tanpa mim adalah Ahad. Ataukah inikah keadaan yang disebutkan sebagai
qaaba qaswayni au adna. Yakni, Nabi (s.a.w.a.) sewaktu Mikraj berjarak dua
jengkal saja dari Tuhan, atau lebih dekat lagi?
Maka Rasulullah (s.a.w.a) bersabda; man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa
robbahu. Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal TuhanNya.
Yakni barang siapa mengenal Ketunggalan Realitas, dan mengenal bahwa
dirinya adalah kejamakan, maka dia akan mengenal bahwa dirinya tidaklah

1
real, dan dia akan mengenal Tuhannya, yakni Realitas yang tunggal itu
sendiri. Maka tak akan mengenal Tuhan, bila tak mengenal bahwa yang
jamak memiliki beberapa sifat berikut; ketergantungan, ketaksempurnaan,
dapat dibandingkan satu dengan yang lain, sedang Yang Tunggal memiliki
sifat; Ketaktergantungan (al-ghoniyyu), Kesempurnaan (al-kaamilu), tak
dapat dibandingakan dengan apa pun. Maka tak akan mengenal Tuhan, bila
tak mengenal bahwa Dia, Allah, tak dapat disifati dengan apa pun kecuali
dengan Zat-Nya Sendiri, dan tak dapat dibuktikan dengan apa pun kecuali
dengan Zat-Nya Sendiri, dan tak dapat dikenali dengan apa pun kecuali
dengan Zat-Nya Sendiri. Yaa Allah, tanpa Mata KetunggalanMu, tak
mungkin kutatapi WajahMu, tanpa Telinga KetunggalanMu, tak mungkin
kudengarkan FirmanMu, tanpa Asmara KetunggalanMu tak mungkin
kukenali NabiMu, tanpa Tongkat Penuntun KetunggalanMu tak mungkin
kuberjalan Di JalanMu, dan Yaa Allah sungguh aku bersaksi bahwa ZatMu
adalah Pengampun, melenyapkan segala dosa kejamakan dan menggantinya
dengan Rahmat Tiada Terkira, Yakni KetunggalanMu. Karuniakanlah pada-
ku KetunggalanMu Yang Melenyapkan dan Memutuskan SelainMu, Demi
Jiwa dari Segala Jiwa dari Segala Jiwa Yang Mulia Muhammad dan
keluarganya yang suci (s.a.w.a.).
Sang Muhyiddin, Penghidup Agama, ‘Ibn Arabi mengatakan;
berta’awudz (mohon perlindungan) kepada Sifat Allah, yakni sifat Al-Hadiy,
terlebih dahulu, dan kemudian berta’awudz (mohon perlindungan) kepada
Wajah (Zat) Allah. Demikian pandangan beliau tentang urutan surat Qul
a’uudzubi robbi al-falaq dan surat Qul a’uudzubi robbi an-naasi.
Tentang makna al-falaq, beliau (q.s.) menjelaskan; karena al-falaq adalah
cahaya subuh yang mendahului merekahnya matahari, yakni, (aku
berlindung pada) tuhan cahaya subuh Tajali Sifat, yang mendahului
merekahnya Cahaya Zat, dan Tuhan dari Cahaya Sifat adalah NamaNya
(yang tak lain adalah ZatNya Sendiri) Al-Haadiy.
Tentang makna bi robbin-naasi, beliau (q.s.) menjelaskan; robbu an-naasi,
adalah Zat beserta seluruh Sifat. Karena manusia adalah kaun al-jaami’
(terjemahan bebas; alam seluruhnya) yang mengandung seluruh martabat
wujud. Maka Tuhan-nya (yakni Tuhan manusia) adalah Yang
Mengadakannya, dan melimpahkan kepadanya kesempurnaannya, ….
Maka berlindunglah terlebih dahulu dengan Sifat Allah Al-Hadiy, dan setelah
itu berlindunglah kepada ZatNya beserta Keseluruhan SifatNya, yang taklain
adalah ZatNya sendiri.
Ia adalah Penunjuk, kerna Ia lah Jalan Yang Lurus
Ia adalah Penunjuk, kerna Ia lah Mentari Wujud
Ia adalah Penunjuk, kerna Ia lah Cahaya Langit dan Bumi
Ia adalah Penunjuk, Sungguh ZatNya adalah Petunjuk atas ZatNya sendiri
Tentang ayat berikut Surat Al-Falaq, min syarri maa kholaq , Beliau
(Muhyiddin ‘Ibn Arabi) YM berkata, dari penghijaban oleh makhluq dan
dengan efek-efek/akibat-akibat makhluq. Maka tiada mungkin mengenal

2
Yang Tunggal selama terhijab oleh ciptaanNya yang jamak, dan tiada
mungkin mengenalNya selama masih terikat oleh kausa-efek (sebab-akibat)
di alam jamak relatif ini, dan tiada mungkin mengenalNya selama belum
terputus dari kausa-efek selainNya, maka dalam sebuah doa dirintihkan robbi
hablii kamaala al-inqithoo`I ilaika…. ( Tuhanku, karuniakan padaku
kesempurnaan keterputusan kepada selainMu….).
Sedangkan tentang, wa min syarri ghoosiqin idzaa waqob (dan dari
kejahatan malam apabila gelap), Beliau (q.s.) mengatakan; dari penghijaban
badan yang gelap. Sungguh, intimasi dengan badan jasmani material ini,
dengan segenap pujian kepadanya, perhatian kepadanya, penamaan
kepadanya, kemasyhuran kepadanya, keterikatan kepadanya, keterlibatan
seluruh waktu kepadanya, kesenangan terhadap popularitasnya, kesenangan
terhadap keunggulan terhadap badan-badan lain, merupakan hijab yang
teramat tebal, hingga dikiaskan dengan malam apabila gelap. Yakni,
bagaikan malam yang tiada setitikpun cahaya petunjuk Nya padanya.
Na’uudzubika Yaa Allah dari kegelapan penghijaban badan yang gelap ini.
Yaa robbir-ham dho`fa badanii. Tuhan kasihanilah kelemahan tubuhku.
Keadaan tanpa identitas, pada saat Hati mengarungi Hadhirat Nama-
Nama Tuhan , membuat batasan-batasan lenyap, tiada lagi subyek yang
melihat dan tiada lagi obyek yang dilihat. Qur’an Suci mengatakan; laa
tudrikuhu al-abshooru, tak menyentuhNya penglihatan-penglihatan, wa
huwa yudriku al-abshooro, dan Ia menyentuh penglihatan-penglihatan.
Yakni, Tiada Penglihatan apa-pun melainkan Ia-lah Pelihat, Yang Dilihat dan
Penglihatan itu sendiri. Apakah yang Ia sentuh(lihat)? Fa innama tuwalluu
fatsamma wajhulloohi, kemana saja engkau menghadap di situlah wajah
Allah. Sungguh, wa huwa ma’akum ainamaa kuntum, dan Ia besertamu di
mana saja engkau berada. Dan sungguh, alaa innahu bi kulli syai`in muhiith,
sesungguhnya Ia atas segala sesuatu Maha Meliputi.
Pada saat Hati Pecinta merenungkanNya dengan Manifestasi DiriNya Sendiri
padanya, ia tak mampu memahami apa pun selainNya, apa pun ! (Fushush
al-Hikam, ‘Ibn ‘Arabi, Hikmah Nabi Syu’aib (‘a.s.) . Abu Yazid al-Bistamiy
(q.s.) mengatakan; Sekiranya ‘Arsy dan semua yang dikandungnya
ditempatkan seratus juta kali dalam sudut hati Sufi, ia tak akan
menyadarinya. Junaid (q.s.) mengatakan; Ketika yang tergantung terhubung
dengan Yang Abadi, tak ada apa pun yang tertinggal. Imam ‘Ali bin Abi
Thalib (‘a.s.) mengatakan; Yaa man tawahhada bil-‘izzi wal-baqaa`, wa
qoharo ‘ibaadahu bil-mauti wal-fanaa`.
Sang Penghidup Agama , Muhyiddin ‘Ibn ‘Arabi (q.s.), juga mengatakan
dalam Fushush al-Hikaam (Hikmah Nabi Syu’aib), (Qur’an Suci
mengatakan); Inna fii dzaalika ladzikroo liman kaana lahu qolbun ….. (QS
Qaf; 37), Sesungguhnya di dalamnya (benar-benar) terdapat peringatan
terhadap orang-orang yang memiliki hati…… , karena Manifestasi DiriNya
terus menerus ( di dalam hati) melalui seluruh bentuk dan sifat, dan Allah
tidak mengatakan, (Sesungguhnya di dalamnya (benar-benar) terdapat

3
peringatan) "terhadap orang-orang yang memiliki pemikiran". Ini adalah
karena fikiran membatasi dan berusaha mendefinisikan kebenaran dalam
suatu kualifikasi khusus, sedangkan dalam kenyataan Realitas tidak
menerima pembatasan seperti ini.
Siapakah orang-orang yang memiliki Hati? Yakni, orang-orang yang
mengetahui perubahan-perubahan bentuk Realitas dengan menyesuaikan
(bentuk) dirinya, sedemikian hingga dari (atau dengan) dirinya ia mengenal
Diri. Dirinya bukanlah selain Identitas Ilahi Itu Sendiri, dan sebagaimana
bukanlah merupakan maujud, dirinya adalah sesuatu selain Identitas Ilahi;
Dialah Identitas Itu Sendiri. (Fushush AL-hikam)
Siapakah orang-orang yang memiliki Hati? Yakni, orang-orang yang selalu
merintihkan padaNya; robbii zidnii ‘ilman, Tuhanku tambahkan padaku
ilmuku. Ilmuku atas KeindahanMu, ilmuku atas Bentuk-Bentuk
ManifestasiMu, karena sesungguhnya Engkau Selalu Berada Dalam
Penciptaan Yang Baru, bal hum fii labsin min kholqin jadiidin. Tuhan,
sesekali janganlah kemantapan Hatiku atas keimanan padaMu, membutakan
diriku bahwa hanya inilah keimanan padaMu, karena Sungguh keimanan
padaMu berjuta rupa dan warna, bak ribuan wangi bunga atau kejapan Layla
dan Soraya. Tuhan, janganlah jadikan keyakinanku AtasMu hijab yang
menghalangi tajalli Celak-CelakMu yang lain. Tuhan, janganlah jadikan
keyakinanku AtasMu sedemikian kokoh sehingga tak memungkinkan
tumbuhnya juta-juta keyakinanku AtasMu yang lain. Janganlah kau jadika,
Duhai Layla, Indah GaunMu sebagai tabir atas Cantik MataMu, dan
sekeritingan RambutMu sebagai tabir atas Tahi LalatMu. Tuhan, janganlah
jadikan ketetapanku atas "agamaMu" sebagai satu perhelatan dan perhentian
dari ManifestasiMu Nan Senantiasa Berganti Bertrilyun Wajah, Duhai Tuhan
Pujaan hatiku, Duhai Tuhan Langit dan Bumi, Duhai Tuhan ‘Ali (‘a.s.) dan
Muhammad (s.’a.w.a). Sungguh KekasihMu, ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.)
mengatakan; Tauhid adalah engkau tak membayangkannya. Maha Kudus
Engkau Yaa Allah, atas semua yang kuserukan dan kubayangkan atasmu.
Yaa Allah, Yaa Huwa, Yaa Robbal-‘aalamiin.
Di manakah Dia? Di manakah Dia, Sang Maha Tunggal? Di
manakah Dia Ketunggalan tak terperi? Al-Ahad yang jauh dari penyifatan
orang-orang yang menyifatinya? Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) bersabda
tentang Dia; … (Ia) Dekat dalam KeJauhanNya, Jauh dalam KeDekatanNya,
Di Atas segala sesuatu dan tidaklah dikatakan; sesuatu di atasNya, Di Depan
segala sesuatu dan tidaklah dikatakan; sesuatu di depanNya (lahu amaamun),
masuk dalam segala tak seperti sesuatu yang masuk di dalam sesuatu yang
lain, keluar dari segala tak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu,....
Betapa mungkin mengatakan; "Di manakah Ia", sedang sang pengata
memerlukanNya, yang di katakan adalah Dia, dan perkataan itu sendiri
memerlukanNya? Betapa naif membayangkan mencarinya seperti seseorang
yang mencari sesuatu di luar dirinya, katakanlah harta karun Aladin, karena
siapa yang mengatakan bahwa Dia ada di luar diri kita, sedangkan Di a Maha

4
Meliputi Segala Sesuatu, dan Dia lebih dekat dari urat leher? Dan alangkah
naif pula mencarinya di dalam diri kita sebagaimana dokter mencari sesuatu
yang lembut di dalam usus, karena mustahil bagiNya keterbatasan apa pun,
apa lagi keterbatasan material bentuk-bentuk "diri jasadiah" yang teramat
gelap ini.
Dengan apa kah ku mengenal-Nya? Kekasih Rasulullah (S.A.W.A.), Amirul
Mu`minin (‘a.s.) bersabda; I’rofuu allooha billahii…, ( Kenalilah Allah
dengan Allah) . MencariNya dengan pandangan mata lahir atau pun batin,
mata rasional ataupun mata kelembutan khothoroot , akan patah, karena
bukankah Penglihatan adalah DiriNya, laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa
yudriku al-abshooro, tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia
menyentuh (segala) penglihatan. Mencarinya dengan sesuatu selain diriNya
akan berakhir pada kenihilan, Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) ditanya;
Akhbirnii ‘aroftallooha bi muhammadin am ‘arofta Muhammadin billaahi
‘azza wa jalla? (Khabarkanlah padaku apakah engkau mengenal Allah
dengan Muhammad ataukah engkau mengenal Muhammad dengan Allah
‘Azza wa Jalla). Beliau (‘a.s.) menjawab; maa ‘aroftullooha bimuhammadin
(sholalloohu ‘alaihi wa aalihi wassalam) , wa lakin ‘aroftu muhammadin
billahi ‘azza wa jalla …, (Tidak kukenali Allah dengan Muhammad
(S.A.W.A.), tetapi kukenali Muhammad (S.A.W.A.) dengan Allah ‘Azza wa
Jalla…).
Betapa mungkin mereka mencari-Nya? Sedang tak ada apa pun yang lebih
terang dari-Nya? Betapa mungkin mereka berkhayal, " Bagaimana untuk
mencari-Nya?" , sedangkan tak ada sesuatu apa pun yang lebih jelas dari-
Nya? Seperti yang dirintikan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam doa
Kumayl bin Ziyad; Wa bi nuuri wajhika alladzii adhoo`a lahu kullu syai`in.
Dan dengan Cahaya WajahMu yang menyinari segala sesuatu.
Duhai Dia Yang memegang ubun-ubun dan malakut segala sesuatu,
kenapa jika Kau demikian Benderang, namun tampak remang di hadapan
hamba, kenapa jika Kau demikian Jelas, namun tampak kegelapan, kenapa
jika Kau demikian Tunggal, namun tampak tenggelam dalam badai
kejamakan, kenapa jika Tak Ada SelainMu, tampak beribu juta trilyun
selainMu dalam "pandangan" dan "fikiran", Oh, tunjukkanlah padaku Surga
KetunggalanMu nan Tiada Terperi oleh pemeri manapun dan Tiada
Terhitung NikmatNya karena memang takkan pernah Yang Tunggal
terhitung.
Dan apakah yang "menghalangi" manusia dari pandangan kepada-Nya? Ibn
‘Arabi Sang Penghidup Agama, Muhyiddin Ibn ‘Arabi menafsirkan Surat Al-
Falaq sebagai berikut;
Qul a’uudzubi robbil-falaaqi; yakni, Katakan aku berlindung kepada
Tuhannya Al-Falaq. Al-Falaq adalah cahaya yang mendahului merekahnya
fajar, di sini menggambarkan awal Tajalli Zat Yang Maha Tunggal dari
kejamakan Sifat-SifatNya.
Min syarri maa kholaq; dari penghijaban maklhuq (yang jamak).

5
Wa min syarri ghoosiqin idzaa waqob; dari keburukan penghijaban jasmani
yang teramat gelap.
Wa min syarrin-naffaatsaati fil-‘uqod; dari tiupan-tiupan (penghijaban)
imajinasi, takhayyul, amarah dan syahwat
Wa min syarri haasidin idzaa hasad.
Manakala manusia yang diciptakan dalam keadaan yang paling sempurna
(ahsanit-taqwiim) terlibat dengan intimasi aktifitas yang teramat sibuk
dengan makluq-makhluq, apalagi terlibat dengan kegiatan-kegiatan
jasmaniah dan pemuasan nafsu, terlebih lagi ia selalu mengikuti imajinasi,
tahayyul amarah dan syahwatnya, apa lagi ia menuruti iri hatinya (hasad)
kepada manusia-manusia lain, maka sungguh ia akan kehilangan pandangan
kepada CahayaNya yang lebih terang dari Mentari, dan akan kembali ke
derajat yang paling rendah (asfalas-saafiliin) .
Dalam bukunya 40 Hadits, Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini
(q.s.) menuliskan;
Rasulullah (S.A.W.A.) bersabda; " Sebelum diangkat menjadi rasul, aku
biasa menggembalakan domba dan unta (dan belum pernah ada nabi yang
tidak mengurusi domba). Ketika aku memperhatikan mereka, aku melihat
bahwa tiba-tiba mereka gelisah dan lari cepat-cepat tanpa ada apa pun yang
dapat mengagitasi mereka. Aku selalu berpikir mengapa begitu, sampai Jibril
datang kepadaku. Setelah kutanya tentang hal itu, Jibril berkata: "Orang kafir
(setelah mati) mendapat pukulan sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu
yang telah diciptakan oleh Allah kecuali manusia dan jin, menjadi ngeri
begitu mendengarnya." " Kaum ‘arif mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang paling terjauh dari malakut selama dia sibuk dengan mulk ,
dan karena kesibukannya ini lebih kuat dibandingkan dengan segala makhluk
lainnya, maka keterpisahan dan ketidaktahuannya dan juga tercabutnya
darinya kesempatan untuk mencapai malakut itu lebih besar dibanding
makhluk lainnya.
Moga CahayaMu menerangi-ku walau silau gemilang, dan Moga CahayaMu
menjadi biji mata-ku, bak ratna mutu manikam

Wa allohu a’lam bi ash-showwab

Anda mungkin juga menyukai