Anda di halaman 1dari 28

At Thawasin Al Azal

Oleh Hussain bin Manshur Al-Hallaj

1. Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad S.A.W)


2. Thasin Al Fahm (Pemahaman)
3. Thasin Al Shafa (Kebeningan)
4. Thasin Al Dairah (Lingkaran)
5. Thasin Al Nuqthah (Titik)
6. Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita
Eterniti / Keabadian dan Kekeliruan Pemahaman)
7. Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)
8. Thasin Al Tauhid (Keesaan)
9. Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid)
10. Thasin Al Tanzih (Kesucian, Keterbebasan)
11. Thasin Bustan Al Ma’rifah (Taman Pengetahuan/Ma’rifat)

Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi Muhammad SAW)


1. Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya Keghaiban,ia terpancar dan (tampak)
kembali, dan melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang menampakkan
kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di
Langit ‘Azaly. Allah menyebutnya ‘ummi (awam) atas dasar keterpusatan
aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan kelimpahan syafa’atnya, dan makki (pusat) karena
kedekatannya di Hadirat-Nya.

2. Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan kekuatannya, dan mengangkatnya


dari beban “yang memberati punggungnya” (Q. 94: 2-3) serta Dia tetapkan kewenangannya.
Sebagaimana Allah membuat ‘Badr’-nya terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan
Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan pelitanya bersinar gemerlap dari
sumur Karamah (Zamzam).

3. Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut pandangan (bashirah) batinnya, dan
tidak mewajibkan diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut kebenaran Sunnah-nya. Ia
berada di Hadirat Allah, dan ia mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah ‘melihat’
(Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk,
maka ia menggariskan batas (halal-haram) perilaku.

4. Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-
Amin) ini. Karena ia menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya, maka tiada lagi tersisa
perbedaan di antara kaumnya.

5. Tiada seorang arif (‘irfan) pun yang merasa ‘kenal’ padanya, yang tidak keliru mengenali
kebenaran kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang Allah bimbing
untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami berikan kepadanya Kitab, mereka
mengenalinya seperti mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka menyembunyikan
kebenarannya, padahal mereka mengetahui.” [Q. 2: 146]

6. Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang
Gaib.Di antara cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata atau lebih mutlak
dari cahayanya sang Junjungan Semesta Rahmat ini.

7. Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain, adanya mendahului ‘Tiada’ (‘Adam),
namanya mendahului ‘Pena’ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum apa pun.

8. Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak juga di balik semesta, sesuatu yang
lebih indah, lebih agung, lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa, yang lebih
dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad,
dan harkatnya adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian, hikmahnya penuh kebaikan,
sifatnya penuh kemuliaan, dan aspirasinya penuh keunikan.
9. Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak, lebih agung, lebih masyhur, lebih
kemilau, lebih perkasa ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah dikenal sebelum
penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta. Ia senantiasa diingat sebelum adanya ‘sebelum’ dan
setelah adanya ‘setelah’, juga sebelum ada substansi dan kualitas.
Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya
bahasanya adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada Barat” [Q. 24: 35],
silsilahnya adalah garis kebapakan, misinya adalah damai, dan sebutannya adalah ‘ummi (awam).

10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia dan segenap jiwa terasa dengan
kehadirannya yang ada. Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan rangkaian Firman-
Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia
adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan dahaga hati pedamba yang
kehausan, yang tidak tersentuh apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang
‘menyatu’ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia
yang mengabarkan adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya akhir.

11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-Haram). Ia adalah ‘pembeda’,
bahkan ia adalah panglima perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan berhala-
berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia untuk membasmi pemujaan.

12. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di bawahnya kilat menyambar gemuruh,
berkilatan, mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap pengetahuan hanyalah setetes dari
samuderanya, segenap kearifan hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap waktu hanyalah
sesaat dari masanya.

13. Allah (‘ada’) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat. Ia yang pertama dalam kesatuan
(penciptaan) dan terakhir yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin, dan
ma’rifatnya bersifat lahir.

14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya, bahkan para filsuf niscaya tersadar
atas kearifannya.

15. Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-Nya, sebab ia adalah ‘ia’, dan ia
adanya bersama Dia, sedangkan Dia adalah ‘Dia’.

16. Tidak ada apa pun yang keluar dari ‘Mim’ (‫) م‬-nya Muhammad (‫) محمد‬, dan tidak ada yang
masuk ke ‘Ha’ ( ‫)ح‬-nya. Adapun ‘Ha’ (‫)ح‬-nya sebagaimana ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang
kedua, sedangkan ’Dal’ (‫)د‬-nya seperti ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang pertama. ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang pertama
adalah peringkat (maqam)-nya, serta ‘Ha’ (‫)ح‬-nya adalah keadaan (hal) spritualnya,
sebagaimana ‘Mim’ (‫) م‬-nya yang kedua.
17. Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan membuat bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia
menurunkan wahyu Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya fasih, dan Dia
membuat hatinya terang. Dia membuat ummat sezamannya tidak mampu [memalsu Al-
Qur’an].Dia pun mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.

18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari’at-nya, adakah jalan (lain) yang dapat kau
tempuh, tanpa adanya pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap fatwa para filsuf
berantakan, seperti gundukan pasir, dibandingkan hikmahnya.

__________________________________________________

Thasin Al Fahm (Pemahaman)

1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait
dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk
tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya
betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah
itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya,
dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia
berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai
Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah


Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam
nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia
menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan
kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun
tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan,
keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada
pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya,
atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah
sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan
keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya,
namun 'aku' bukanlah Dia.

7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah
kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan
"Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah
(Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari
manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa
kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia
mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q.
53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan
mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah),
ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman
kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-
Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata:
"Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan
menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11)
di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke
kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan
(Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan
Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)

__________________________________________________
Thasin Al Shafa (Kebeningan)

1. Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit menguraikannya. Jalan untuk
menempuhnya sempit, dan tentang jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus mengarungi
'kobaran api' di tengah gurun yang dalam. Seorang asing (gharib) telah mengikuti jalan ini, dan
menyampaikan bahwa apa yang dialaminya ada empat puluh Maqam, yaitu:
1. Kesopansantunan ['adab],
2. Kegentarhatian [rahab],
3. Kejerihpayahan [nashab],
4. Penuntutan-diri [thalab],
5. Ketakjuban ['ajab],
6. Peniadaan ['athab],
7. Pemujaan [tharab],
8. Pendambaan [syarah],
9. Penjernihan [nazah],
10. Kelurusan [shidq],
11. Persahabatan [rifq],
12. Persamaan [litq],
13. Keberangkatan [taswih],
14. Penghiburan [tarwih],
15. Ketajaman [tamyiz],
16. Penyaksian [syuhud],
17. Keberadaan [wujud],
18. Penghitungan ['add],
19. Pengupayaan [kadda],
20. Pemulihan [radda],
21. Perluasan [imtidad],
22. Pengolahan [i'dad],
23. Penyendirian [infirad],
24. Pengendalian [inqiyad],
25. Kemauan [murad],
26. Kehadiran [hudur],
27. Pelatihan [riyadhah],
28. Kehati-hatian [hiyathah],
29. Penyesalan [iftiqad],
30. Kedayatahanan [istilad],
31. Pengawasan [tadabbur],
32. Keterkejutan [tahayyur],
33. Perenungan [tafaqqur],
34. Kesabaran [tashabbur],
35. Penafsiran [ta'abbur],
36. Penolakan [rafdh],
37. Pengoreksian [naqd],
38. Pengamatan [ri'ayah],
39. Pembimbingan [hidayah],
40. Permulaan-jalan [bidayah].
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang Hatinya tenang dan suci (shufi).

2. Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri sebagai pahalanya, yang sebagiannya
mungkin diperoleh dan sebagian lainnya tidak.

3. Adapun sang Gharib yang telah mengharungi gurun (hakikat) dan menyeberanginya, telah
mencakupnya serta memahaminya secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh sesuatu yang lazim
ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di darat.

4. "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan ummatnya karena hakikat akan
merengkuhnya sebagai 'milik'-Nya. Tapi, masih juga ia berpuas dengan penerangan semu tanpa
pandangan (bashirah) batin langsung, sehingga ada perbedaan antara ia dan sang Insan Kamil
[Muhammad saw]. Karena itu ia (Musa as) berkata: "Siapa tahu aku dapat membawa sedikit
penerangan untukmu." [Q. 20: 10]

5. Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan semu, bagaimana dapat seseorang
yang menempuh jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak semu.

6. Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang kedengarannya difirmankan Semak
bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.

7. Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.

8. Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'. Makanya buanglah sifat
kemakhlukanmu, supaya kau sesuai dengan-Nya, beserta Dia -- kau pun dalam liputan hakikat.

9. 'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek dalam hakikatnya.
Soalnya adalah bagaimana itu terurai?

10. Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu) pada Bukti (al-Hujjah)," tapi
bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun bagi-Ku, Aku adalah 'Bukti' dari setiap bukti.
11. Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan kesepakatan, perjanjian, dan
persekutuan. Rahasiaku adalah penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan) pribadi
makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.

12. Allah memfirmankan pengetahuanku melalui 'aku' dari hatiku. Dia menarikku dekat pada-Nya
setelah jauh dari-Nya. Dia membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya, Dia memilih aku…
_________________________________________________

Thasin Al Dairah
(Lingkaran)

1. Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬pertama melambangkan seseorang yang menjangkau lingkaran


Kebenaran.
Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬kedua melambangkan orang yang menjangkaunya, yang setelah
memasukinya, sampailah ia ke pintu yang tertutup. Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬ketiga
melambangkan seseorang yang tersesat di gurun Sifatnya-Kebenaran.

2. Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab jalannya terjegal dan sang
penempuh (salik) disuruh kembali. Adapun noktah di atas melambangkan hasratnya.
Noktah yang lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-tolaknya, dan noktah di
tengah adalah kebingungannya.

3. Lingkaran dalam tidak memiliki pintu ‘ba’ (‫)ب‬, dan ‘titik’ yang ada di dalamnya adalah
pusat Kebenaran.

4. Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir maupun batin, tidak ada
yang luput. Dan, ia pun tidak direkayasa.

5. Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan ini.“ambillah empat
ekor ‘burung’, cincanglah buatmu,” (QS. 2: 260) sebab Al-Haqq (Allah) ‘tak-terbang’.

6. Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah Dia menyembunyikannya.


Adalah keterpesonaan yang menjaga keterpisahan kita. Adalah kebingungan yang
mencabut kita dari-Nya.

7. Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran Asal, ataupun rancangan
Bidang. Dan, yang lebih licin lagi adalah memfungsikan kearifan secara batin, karena
ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.

8. Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari wilayah luar, bukannya dari
wilayah dalam.

9. Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran, sang pengkaji tidak


memahaminya, karena ia tidak mampu. Pengetahuan menunjukkan tempat, sedang
lingkaran itu ‘tempat’ yang terlarang [haram].

10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy, sebab hanya ia seorang yang
keluar dari Lingkarang Haram itu.
11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan jubah Kebenaran. Ia
keluar dan menyerukan “Ah!!!” (‫ )اح‬kepada segenap makhluk.

_________________________________________________

Thasin Al Nuqtah (Titik)

1. Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan tentang Titik ‘AzaliyAda yang lebih halus dari
itu, yakni penyebutan tentang Titik ‘Azaliy yang berupa Asal, dan yang (keberadaannya) tidak
bertambah ataupun berkurang, tidak juga habis sirna dirinya.

2. Orang yang mengangkal keadaan (hal) batinku telah menyangkalnya, karena tidak mengetahui
aku, malah menyebutku bid’ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis, serta dianggapnya
kekeramatanku sebagai praktik perdukunan, juga demikian terhadap lingkaran suci yang berada
di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.

3. Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan aku menjadi sang Pemangku Ilham.

4. Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku berada di bawah pengaruh nafsu.

5. Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih
dariku.

6. “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada hari itu hanya Tuhan penolongmu
untuk kembali. Juga pada hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan yang
didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-13)

7. Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan semu, melarikan diri pada sang pelindung,
mengkhawatiri pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan akibatnya tersesat.

8. Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqa’). Dan, orang yang menjangkau
lingkaran Kebenaran itu sibuk di pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya sendiri,
luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.

9. Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang terbang dengan dua sayap Tashawuf.
Ia menyangkal kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam penerbangannya.
10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan
gunting penyirnaan-diri (fana’). Kalau tidak, kau tidak dapat mengikuti aku.”

11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju Kekasihku.” Aku katakan
kepadanya: “Hati-hati buat kau! Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia jatuh ke samudera kearifan dan hilang
tenggelam.

12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai berikut:

Aku ‘melihat’ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa: “Siapakah Engkau?” Dia
menjawab: “Kau!” Namun, bagi-Mu, ‘di mana’ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada ‘di
mana’ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun tidak punya bayangan tentang
keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui ‘di mana’ adanya
Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi setiap ‘di mana’, mengatasi ‘titik’ yang tak di
mana-mana. Jadi, ‘di mana’ Engkau adanya?

13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik), menandakan beragamnya anggapan
tentang kearifan. Adalah sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa Kebenaran, sedangkan
sisanya merupakan kekeliruan.

14. Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi’raj) – “ia tampak kembali” saat kemuncakannya
(transenden). Karena pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak kembali. Ia
menanggalkan hatinya ‘di sana’, dan begitu dekat kepada-Nya. Ia
sirna (fana’) ketika ‘melihat’ Allah, kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana’ ul-
fana’). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir? Bagaimana mungkin pula ia tampak
dan sekaligus tak-tampak?

15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari pencerahan ke ketakjuban. Dengan
kesaksian Allah, ia ‘menyaksikan’ Allah. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia mencapai Pujaan-
Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53:
11)

16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu dekat. Dia mengangkatnya dan
menyucikannya. Dia membuatnya dahaga dan menyegarkannya. Dia menyucikannya dan
memilihnya. Dia menyerunya dan memerintahkannya. Dia menimpainya Cobaan dan
menjenguknya untuk membantunya. Dia mempersenjatainya dan mendudukkannya di atas pelana.

17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia kembali, ia pun mencapai
sasarannya. Ketika diseru, ia menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya. Karena minum,
ia merasa puas. Karena mendekat, ia dicekam keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya
dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari bisikan nurani, dari pandangan, juga dari
lamunan makhluk.

18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau bertambah sedih. Matanya tidak
goyah atau lelah oleh suatu ‘Saat’ dari sejatinya masa.

19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai Kami. Ia tidak menyeberang dalam
kunjungannya kepada Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak
membandingkan Kami dengan yang lain kalau membicarakan Kami. Ia tidak menyimpang di
taman zikir dalam tafakurnya mengenai Kami, tidak juga tersesat dalam pengembaraan di
alam fikir.

20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru’llah) dalam tarikan nafasnya, dan kerdipan matanya.
Bertawakkal kepada-Nya dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.

21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53: 4) dari Cahaya ke ‘Cahaya’.

22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan, angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari
manusia serta makhluk lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan sekadarnya! Jadilah
berghairah, dan tenggelamlah dalam keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang
melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan lembah perlindungan, agar ‘melihat’ Dia
yang kau puja-puja. Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah Suci (Ka’bah).

23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti seorang ’asyiq yang memasuki Ma’syuq.
Selanjutnya ia memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah rintangan yang lebih dari
cukup untuk melemahlunglaikan. Ia melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan,
dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu dekat sebagai pencari, dan ia kembali
secara berlari. Ia begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai ‘Abdi. Ia begitu dekatnya
sebagai penyeru, dan kembali dengan bai’at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya sebagai
seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.

24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia membidik tanda ‘di
mana’ [‘ayna] dengan panah ‘di antara’ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan busur
untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena
serasa lebih akrab pada Zatnya-Zat.

25. Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-‘Addah) Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj,
berkata:

26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat dipahami, kecuali untuk orang yang
sampai pada rentangan busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang Terjaga [Lawh ul-
Mahfudz].
27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab ataupun Persia.

28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf ‘mim’ ( ‫) ﻢ‬, yang merupakan huruf pertanda “apa yang ia
pancarkan.”

29. ‘Mim’ ( ‫ ) ﻢ‬yang menandakan “Yang Terakhir”.

30. ‘Mim’ ( ‫ ) ﻢ‬yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”. Rentangan busur pertamanya
adalah ‘Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya adalah ‘Alam Kerajaan (Malakut).
Sedangkan Sifat-Nya adalah untaian dua ‘Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus
Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak, panahnya dua rentangan.

31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api Iluminasi (tajalliy).

32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah yang pengertiannya merupakan
gambaran kedekatan. Adapun sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran Allah, bukan
metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang
amat sangat tepat.

33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini terdapat dalam halusnya perbedaan, lewat
pengalaman sebelumnya, dengan memakai penangkal yang dibuat oleh sang pecinta, untuk
membalas keterputusannya dengan segenap kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai secara
berbarengan, karena bahaya terus mengancam, serta tajamnya perbedaan, yang diatasinya
dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih dalam memperhatikan Diri pribadi. Dan,
kedekatannya terlihat sebagai areal luas, agar sang arif (‘irfan) yang taat mengikuti jalannya
tradisi nubuwah ini dapat dipahami adanya.

34. Sang Junjungan Yatsrib (Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan keagungan
yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-tergugat, yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS.
56: 78), sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam) Terbuka, dalam “Kitab Tertulis”
yang menerangkan makna bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya ‘ke sana’.

35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa Tuhan tidak berbicara kecuali
dengan Diri-Nya, atau dengan Sahabat-Nya (waly).

36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru ataupun Murid. Jadilah tanpa pilihan,
tanpa perbedaan, tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui sesuatu itu “miliknya”
atau “darinya”. Tapi, apa yang ada padanya cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa
merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air di suatu “gurun tanpa air”, juga
sebagaimana pertanda di suatu “pertanda”.
37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun mengalihartikan maksudnya, sedangkan
maksudnya terlihat dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya unik.
Pengetahuannya adalah ketidaktahuan, ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal,
keawamannya adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya, karakter-lahirnya adalah
kehangatannya, dan perlambang-batinnya adalah kegairahannya.

38. Hukum syari’at [syar’iy] adalah ciri-khasnya, kebenaran [haqa’iq] adalah gelanggangnya dan
keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah pengajarnya, dan setiap musafir yang
ada dijadikannya sebagai kerabatnya. Keinsanan adalah nuraninya, kerendahhatian adalah
kemuliaannya, kefanaan adalah subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-fana
adalah singgasananya.

39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah peringatanku, syafa’atnya adalah


permohonanku, karunianya adalah persinggahanku, dan duka-citanya adalah kesedihanku.

40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar
pengelap debu-(ku). Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya, sedangkan keadaan
batinnya adalah kefanaan. Kendati demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat menjadi
obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini, semoga rahmat Allah besertamu.

Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita


Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan pemahaman)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publik
tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]

1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak ada misi
yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad, shalawat dan salam atasnya. Hanya,
Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad: "Tengoklah!"
(QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak
berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)
3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan awalnya.

4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke kemampuannya.

5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan kepada Engkau
semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta:
"Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji."

6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang seperti Iblis.

7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari
mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan
khusyuknya.

8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika menuntut kesendirian
(Allah) mutlak.

9. Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab: "Tidak, kepada yang
selain Engkau." Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?"
Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku (ingkar) niscaya
melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis,
hingga dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada
yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah
takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup
membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-
baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama
mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini,
yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada
kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada
yang selain Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku.
Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti
keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."
12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan kedekatan itu 'satu'!"
"Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku.
Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau,
dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada
bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis, apa yang
mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan ikrarku
mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena
kau hanya perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku,
aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud,
karena aku bersiteguh dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah ujian,
bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis
menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari penampilan-lahir, sementara
keadaan (hal) spiritualku tidak bergantung atasnya, bahkan tidak berubah. Ma'rifat tetaplah
benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang
murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia) dan Dia mengingat
(aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-Nya.
Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu sama lain?"
"Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung, sebab aku
mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi
kepada-Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau menahanku, baik demi
kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-kepayang,
melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia
menjauhkanku dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia
mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia
membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan
kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-
Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia
membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia
menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.
Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku disebabkan
Dia mencegah hasratku."
17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-Nya, bukannya
aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku.
Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan bersujud
kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad
(Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku
memang seorang yang khusyuk dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal)
spiritualnya 'Azazyl (‫[ )عععع عع‬sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang mengatakan
bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi. Di surga ia
berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang perbuatan yang
jahat."

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang sebaliknya.
Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun
dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat mempertunjukkan
amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun,
ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."

21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun tentang
kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar
kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu, aku niscaya
terjatuh dari harkat kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku,
aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."

23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak melihat sesuatu
pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as)
mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat
membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka kenalilah pertanda-
Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)!
Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan tidak mencabut
pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya ataupun
mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada
Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat
bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi
mulutmu dengan 'pasir'?"

26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku mencabut
pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl (‫)عععع عع‬.
'Ain'-nya (‫ )ع‬menunjukkan keluasan ikhtiarnya,
'zay'-nya (‫ )ع‬adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya),
'alif'-nya (‫ )ع‬sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,
'zay'-nya (‫ )ع‬yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,
'ya'-nya (‫ ) ع‬langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan
'lam'-nya (‫ )ع‬ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah
lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku
telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi
padaku. Jadi, bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau
menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat
diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur,
pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."

29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-Ku, bukannya
milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu. Karena
Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau mencegahku dari bersujud
kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu.
Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang Maha Mendengar.
Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui
seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai Penguasaku, demi
aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip, tentunya prinsip
ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui
bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid!

31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia dibebastugaskan ('uzyla), dibebastugaskan
dari kesucian purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia tidak keluar dari
akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.

32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-dirinya. Ia mendapatkan dirinya
antara api tempat peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat yang (airnya)
berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya. Kekhawatirannya
tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di
kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam
kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin tidak memiliki
kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada mereka kepada
Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih
dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan Iblis menolak
(bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan pikirannya kesasar, sehingga ia berkata:
"Aku lebih baik daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak
menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung kutukan di atas pundaknya hingga
Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti...

Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)


1. Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o ) pertama adalah
Kehendak [masyi’ah] Allah, dan ( o ) kedua adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah
Kuasa-Nya, sedangkan ( o ) keempat adalah Ilmu-Nya yang ‘Azaliy.

2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh ujian dari
(lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari
(lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian
dari (lingkaran) yang keempat.”

3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila aku istirah di
‘tidak’ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang kedua, dan
dibuang sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti
bagiku?

4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan aku, aku niscaya
bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-
lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan
kepada diriku: Kalaupun aku selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar
dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat?

5. Adapun ‘Alif’ ( ‫ ) ا‬dari ‘La’ ( ‫ ) ال‬yang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.” (QS. 2:
255)

_________________________________________________

Thasin Al Tauhid (Keesaan)

1. Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).

2. Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai yang Satu.
3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah ‘di Dia’ dan
‘dari Dia’.

4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya, dan itu dapat
dilambangkan demikian ini:

[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini dilambangkan oleh ‘Alif’ (‫ ) ع‬panjang,
dengan sejumlah ‘dal’ (‫ ) ع‬di dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya (‫ ) ع‬merupakan Zat, dan ‘dal’-
nya (‫ ) ع‬sebagai Sifat.]

5. Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang mandiri, dan perlambangnya
demikian ini:

[Inilah ‘Alif’ (‫ ) ع‬purba-Nya Zat (’Alif’ panjang) dengan ‘alif-alif’ (‫ ) عع‬lainnya, yang
merupakan wujud-wujud makhluk, dan yang hidup di atas ‘Alif’ (‫ ) ع‬utama.]

6. Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan ketauhidannya, dan bukan sifat sang
Obyek yang tersaksikan Satu.

7. Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku membuat-Nya juga mengatakan
“Aku”? Tauhidku datang dariku, dan bukan dari-Nya. Dia suci [munazzah] dariku dan
Tauhidku.

8. Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali ke ‘ia’ yang mengatakannya,” maka aku membuatnya
(Tauhid) sebagai suatu makhluk.

9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang tersaksikan,” maka
adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya tentang
Penyatuan itu?

10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang mengaitkan sang Obyek ke
subyeknya,” maka aku telah mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!

____________________________________________
Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam Tauhid)

1. Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid : Kesadaran-Diri dalam Tauhid” adalah


demikian ini:

[‘Alif’ ( ‫ ) ا‬panjang – Penyatuan; Tauhid. ‘Hamzah’ ( ‫ – )ﺀ‬kesadaran-diri, beberapa di satu sisi


dan beberapa lagi di sisi lainnya. ‘Ain’ ( ‫ )ﻉ‬di awal dan akhir – Zat.]

Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan beredar di dalam-Nya. Kendati
demikian, secara nalar semuanya tidak penting (bagi-Nya).

2. Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman subyek, sebab Dia tidak tercakup
dalam subyek atau dalam obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran kata-bendanya juga
tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan ‘ha’-nya ( ‫ )ﺡ‬adalah milik ‘Ah’-nya ( ‫)ﺡا‬, dan
bukan ‘Ha’ ( ‫ )ﻫ‬lain, yang tidak membuat kita bertauhid.

3. Bila kukatakan tentang ‘Ha’ ( ‫ )ﻫ‬ini ‘Wa-Ha’ (‫)ﻮﻫ‬, yang lainnya akan berseru padaku,
“Malangnya!”

4. Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang menembus (Tauhid) ini, sehingga kita
dapat ‘melihat’ Allah melalui keadaan (hal) senyatanya.

5. Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun rapi”. Inilah ketentuannya, dan
Penyatuan Allah (Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian, setiap ketentuan
adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid
tidak mengakui pembatasan tersebut.

6. Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah, bukannya Zat Allah.

7. Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran kebahasaan dari suatu istilah
dan pengertiannya yang pas, tidak berpadu satu sama lain, ketika menyangkut sebuah imbuhan.
Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika menyangkut Allah?

8. Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku menggandakan Zat Ilahi, dan
membuat pancaran dari Dirinya sendiri, ada bersama dengan-Nya, ‘ada’ ataupun ‘tiada’ Zatnya
secara bersamaan.
9. Andai kukatakan bahwa ‘ada’-nya tersembunyi ‘di dalam’ Allah, dan Dia mengejawantahkannya.
Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak ada ‘bagaimana’ atau ‘apa’
ataupun ‘ini-itu’, dan di sana juga tidak ada tempat [‘dimana’] yang memuat Dia.

10. Sebab, ‘di dalam ini-itu’ adalah ciptaan Allah, sebagaimana adanya ‘di mana’.

11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi. Dan, yang tidak
terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari ruh
bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan sebuah perpaduan (spiritual).

12. Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita] dan memisahkannya dari
kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan, peleburan dan penyifatan.

13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Allah, yang kedua terdiri
atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk) ciptaan.

14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid, tetapi bukan (sebenarnya) Tauhid.
Kalau tidak, bagaimana mungkin itu terpisahkan dari lingkaran?

____________________________________________

Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)


1. Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok perlambangnya:
2. Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita mengenai fatwa dan hukum (Tauhid),
juga buat para pakar, ahli ‘ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam.
3. Lingkaran pertama adalah ‘perasaan’ harfiah, yang kedua adalah ‘rasa’ batin, dan yang ketiga
adalah kias ‘ruh’ (yang tidak terkiaskan).

4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai, ditapis, disaring,
disangkal, yang dibuai ataupun dibius.

5. Ia beredar dalam kata-ganti ‘kami’ subyek-subyek pribadi. Seperti sebatang panah, ia menembusi
sekujur mereka, melengkapinya, mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia juga menakjubkan
mereka, meneranginya, dan ia mempesonakannya saat ‘menemui’ mereka.
6. Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun Allah tidak berhubungan dengan
perumpamaan ini.

7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid.

8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan menjawabku – “Tidak sangsi lagi!’

9. Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah maknanya Tauhid itu tamsil?”
Padahal, tidak ada perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak ada
hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya mengungkapkan bahwa sejumlah
waktu itu mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah menambahkan pengertian
pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung. Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat
Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak
mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.

10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” ‘Firman’ adalah sifatnya Zat, bukan Zat
itu sendiri.

11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai yang Satu,’ ‘Kehendak’ Ilahi adalah
sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.

12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya sendiri,” maka
aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan kita.

13. Jika kukatakan: “Tidak, ’ia’ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan bahwa
Tauhid adalah makhluk?

14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah pengertian (nama)
yang dikandung Tauhid?

15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku mengatakan bahwa Allah adalah
zatnya-Zat, dan ‘ia’ (Tauhid) adalah Dia?

16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan atas alasan-alasan sekunder, dan
inilah lingkaran-lingkarannya, dengan ‘La’ ( ‫ )ال‬yang tertulis di sini sebagai sosoknya:
17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua Keterangjelasannya, yang ketiga
Dimensinya, dan yang keempat Berpengetahuannya.

18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.

19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang
kedua membuka Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka Gerbang
Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak
bertemu. Tidak seorang pun ‘ketemu’ Allah dalam Zat-nya atau dalam Kehendak-Nya, tidak
dalam pembicaraan, apalagi dalam Dia-nya ‘Dia’ Sejati.

20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia terjangkau oleh
segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.

21. Inilah “Tha-Sin” tentang Nafi’-Itsbat (Penyangkalan dan Penegasan) dan inilah penjabarannya:

22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan (‘amm), yang kedua pemikiran orang
terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang menggambarkan ‘Ilmu Allah ada di antara keduanya.
Adapun ‘La’ (‫ )ﻻ‬yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap dimensi. Dua ‘ha’-nya
(‫ )ح‬adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas. Di luar itu
berawal ketergantungan (makhluk).

23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang terpilih (tercebur) ke
samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang mereka tandai akan
terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya
akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.

24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap ‘Ada’, mengatasi sekalian makhluk yang
bergantung. Segenap puji bagi Allah, yang tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-nya sangat
kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan Sang Kemegahan dan Keagungan serta
Kemuliaan. Maha Satu yang ‘Tiada-Terbilang’ dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan,
hitungan, awalan atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya ‘Tiada-Terbayang’ karena
Dia bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa Keluasan dan
Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.

____________________________________________
"THASIN": Pencapaian Sang Laron

Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.


Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan.
Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat,


panasnya adalah Kenyataan hakikat,
dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat.

Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya,


sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.
Sementara itu rekan-rekannya menantikan kedatangannya,
supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya,
karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja.
Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam kepingan-kepingan,
yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal!
Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke rekan-rekannya?
Dan keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang?
Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin,
niscaya sanggup terlepas dari perkabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin,
tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya...

(: Dari Fragmen "THAWASIN" Al-Hallaj...)

"THASIN TITIK 'AZALI"


(Sebuah Fragmen dalam "THAWASIN" Al-Hallaj)

... aku 'melihat' Tuhanku dengan mata hatiku,


aku menyapa: "Siapakah Engkau?"
Dia menjawab: "Kau!"
namun, bagiku, 'di mana' tak memiliki tempat,
dan tak ada 'di mana' ketika perhatian menyangkut-Mu,
akal pun tak punya bayangan
tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu,
yang mengizinkan akal mengetahui 'di mana' Engkau adanya...
Engkau adalah 'Sesuatu' yang meliputi setiap 'di mana',
mengatasi 'Titik' yang 'tak-di mana-mana'.
jadi, 'di mana'-kah Engkau adanya...?

Anda mungkin juga menyukai