Anda di halaman 1dari 6

Kembali kepada Fitrah Allah Bersama Ibu Quran

Zainal Abidin

Pendahuluan
Hamba-hamba Allah SWT menggemakan takbir dalam sholat dan hidupnya. Allahu Akbar. Allah dan Akbar.
Allah satu-satunya nama yang orisinal, satu-satunya yang benar-benar nama. Dan, Akbar, bukan Kabir. Kabir itu
maha besar, maha agung, maha unggul. Akbar adalah maha yang lebih besar, maha lebih, maha lebih unggul.
'Lebih', karena hamba-hambalah yang mengucapkan kata itu: di dalam kesadaran para hamba, di dalam
penghayatan dan cinta para hamba -senantiasa terasa lebih besar, lebih agung dan lebih unggul. Memuai.
Akbar.
Para hamba meninggikan tangan dalam ketakjuban total. Para hamba tersujud-sujud di hamparan shiroth
mustaqim, jalan yang ditegakkan. Jalan an'amta'alaihim. Jalan dimana Sang Maha Engkau menyiapkan setinggitinggi nikmat dan melalui pergulatan filosofis ilaihi roji'un. Menempuh perjalanan kembali. Kembali ke hadiratNya. Kembali fitri. Kembali sejati. Betapakah wajah para hamba yang Engkau beri nikmat, ya Akbar? Menjadi
siapakah mereka?
An-nabiyyin. Para Nabi yang Engkau nobatkan serta para pewaris tongkat mereka. Para pembawa kabar
gembira. Para wartawan segala peradaban. Penabur kebenaran, basyir wa nadzir, yang membangun,
mengontrol dan memperbaiki. Oleh karena itu merekalah as-shiddiqin, orang-orang yang kepada mereka kita
bisa sandarkan kepercayaan. Orang-orang yang jujur. Yang utuh dan memelihara kejujurannya dengan terusmenerus bertahan menjadi syuhada , pejuang. Syuhada itu berarti jamak dari syahid. Saksi. Orang-orang yang
menyaksikan, bersaksi dan memperjuangkan kesaksiannya atas kebenaran Allah, haqqullah dengan pena dan
kata-kata, dengan badan dan keringat, dan akhirnya dengan kematian - karena kebenaran sebisa mungkin
harus tersertakan di sisi mautnya, agar kematiannya pun menyaksikan dan bersaksi atas kebenaran itu. Tak
heranlah kalau Allah menyebut mereka as-shalihin orang-orang salih. Pelaku-pelaku ishlah, yang setiap kali siap
dan bersedia memperbaiki zaman, merombak dan membenahi sejarah, merevisi, mereformasi,
merestrukturisasi, meresistemasi, mengubah dan melahirkannya kembali.
Dalam Al Quran diinformasikan tentang siapakah mereka itu:

Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
(QS. An Nisa: 69)

Totalitas Kefitrian
Fitri itu fitrah. Suci. Asli. Orisinal. Kembali fitri itu retrospeksi total. Sebab siapa lagikah, selain Allah SWT, yang
asli sejati dalam arti yang sebenar-benarnya? Kesejatian adalah ekspresi alam dan budaya, di mana dimensi
keindahan, kebajikan dan kebenaran masih menyatu, total dan masih bisa 'dijamin'. Ia adalah haqq (kebenaran)
Allah, sekaligus hubb (cinta)-Nya yang baik dan indah. Keaslian dan kesejatian itu total, utuh, karena antara
Khalik dengan makhluk yang belum dijaraki oleh kebudayaan atau rekayasa manusia (iradatunnas). Padanya
masih bersatu tiga unsur: asal-usul alam (amrullah), sebab alam (irodatulllah) dan disiplin untuk kembali
kepada-Nya (ilaihi roji'un) - yang pada orang dewasa, pada realitas sosial, kebudayaan dan peradaban: unsur
ketiga itu ditempuh melalui sejumlah jarak, yakni hisab atau perhitungan dosa dan pahala, rugi dan untung,
perohanian, neraka dan sorga. Perhatikanlah firman Allah SWT:

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka
terjadilah ia. (QS. Yasin:82)

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al Baqarah: 45-46)

Manajemen Empat Sifat Allah


Untuk menemukan rujukan orisinal tentang kefitrian, kita lantas ingat juga 'Ibu Qur'an' (ummul Qur'an), yaitu
Al-Fatihah, sebagaimana kita temukan hikmah as-shiroth al-mustaqim dan an'amta.'alaihim di atas. Kemudian
kalau di gua garba ibu Qur'an itu kita bertapa rohani dan bertafakur intelektual, tampaklah anasir-anasir kasih
sayang, kepengasuhan dan pengelolaan. Yakni Rahman (pecinta, pengasih), Rahim (penyayang), Rabb
(pengasuh) dan Malik (maharaja).
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Yang menguasai di Hari Pembalasan.

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.

Maka bagi setiap dan semua manusia, kembali kepada fitrah bermakna memposisikan dirinya kembali pada titik
paling sehat di tengah mizan (perimbangan) manajemen empat sifat Allah yang terkandung dalam nukleus dari
ragam dan kesempurnaan asma-Nya. Ini berlaku baik dalam kedudukan manusia sebagai bagian dari hamparan
al 'alamin (alam semesta, universalitas) maupun sebagai titik-titik relatif di tengah realitas sosial (komunitas,
negara, kebudayaan, peradaban).
Manusia tidak bisa mengambil hanya salah satu dari al-asma al-'adham -nama yang teragung- itu. Seseorang,
sebagai produk inisiatif ciptaan Allah (irodatullah), tidak relevan untuk hanya mentransfer -umpamanya- sifat
maharaja-Nya belaka, tanpa persenyawaan dengan sifat cinta, kasih sayang dan kepenyantunan dan
kepengasuhan-Nya. Segala macam praktek otoritarianisme, ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia,
tak lain adalah akibat dari pengambilan secara parsial atas sifat Allah yang terjelmakan dalam diri manusia.
Gejala yang sama juga terjadi tatkala kelengkapan acuan dalam Quran diambil hanya berdasarkan dan untuk
melegitimasikan subyektivitas kepentingan, 'kelas', pamrih kelompok atau egosentris. Itulah sumber kenapa
Agama sering disalahpahamkan, dimanifestasikan secara pincang atau manipulatif.
Ibarat buah mangga. 'Daging' isinya adalah rahman, cinta individual. Rasa manisnya adalah rahim, kasih sayang
universal. Kulitnya adalah rab, pengasuh yang menyantuni atau melindungi. Kerekatan antara isi dengan kulit
mangga adalah malik, otoritas yang dipelihara. Adapun apa biji yang terletak di pusat buah manggaitu? Ia lebih
tersembunyi, pahit rasanya, namun dialah yang menyangga mandat regenerasi, pertumbuhan, kelestarian,
pengabdian. Ketika Allah SWT memaparkan skema pokok asma-Nya di belahan surah Quran, nama Rahman
dan Rahim selalu didahului 'alimul ghoibi (Khaliq) yang mengetahui segala yang tidak terketahui (oleh segala
makhluk).
.
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Hasyr: 59)

Bertumbuh dan memuaikah pengetahuan kita tentang kandungan sifat itu? Tentulah substansi 'alimul ghoibi itu
pengetahuan, sebagaimana kesengajaan Allah sendiri untuk menuturkan 'lqra' -bacalah!- sebagai kata firman
yang pertama, yaitu:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(QS. Al Alaq: 1-5)

Karena Ia Maha MengetahuiIah, maka la mencintai kita, menyayangi kita, dan mengasuh kita. Ilmu pengetahuan
adalah sumber atau sebab alami dan sekaligus perangkat pokok dari cinta dan kesantunan. Maka padanya
pulalah mata air atau muara (makrifah) perimbangan pengelolaan cinta, kasih sayang, kepengasuhan dan
otoritas. Bayangkanlah orang mencintai dan menyayangi tanpa ilmu: dekat dengan kemungkinan
keterjerumusan.
3

Bayangkanlah orang mengasuh tanpa ilmu: destruksi sangat mungkin terjadi. Bayangkan orang menyantuni
tanpa ilmu: kemanjaan hasilnya. Dan bayangkanlah orang berkuasa tanpa ilmu, apalagi tanpa cinta, kasih
sayang dan kesadaran kepengasuhan dan kesantunan: fir'aunisme yang dibangunnya.
Allah juga menyebut dirinya tidak sekedar 'alim, tapi 'alimul ghoib. Bukan sekedar maha mengetahui, tapi maha
mengetahui segala yang ghaib. Ghaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas dan
keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran keilmuan kata ghaib ialah keterbatasan
terhadap ketakterhinggaan. Efek moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang
diasah terus menerus dengan tradisi sujud.
Bayangkanlah perilaku manusia yang tanpa kerendahhatian. Bayangkanlah ideologi, teknokrasi kehidupan
masyarakat dan negara, institusi ilmu, partai politik, kritik sosial, atau langkah-langkah adab budaya masyarakat
manusia yang tidak berhikmah dari kerendahhatian. Produknya mungkin keterjebakan ber abad- abad,
bumerang peradaban yang terlalu mahal ongkosnya, artifisialisasi kebudayaan, perang, stres, mabuk, dan
bunuh diri.
Oleh karena itu puasa adalah media otokritik bagi manusia, komunitas, kebudayaan dan peradaban. Adalah
peluang untuk proses pengambilan jarak dari diri manusia baik 'diri personal' maupun 'diri sosial' dalam arti
'masing-masing' mapun 'bersama', diri pada segala konteks dan skala. Kemudian mengevaluasinya dan
melahirkan pembaruan yang memungkinkan kondisi Idul ritri bisa diperoleh.

Muthahhar, Tercerahkan
Term dalam Al Quran, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublim, yaitu menyatunya
empat sifat Allah SWT (Rabb, Rahman, Rahim dan Malik) adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan.
Terjernihkan. Tercerahkan. Di kulit luar kitab Quran Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu:
la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: "tidak menyentuh kitab ini kecuali dalam keadaan suci".
Makna kontekstualnya dapat kiranya dipahami bahwa seseorang tidak akan tuning-in iklim Qur'ani, kecuali ia
tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental dan moral.
Dalam surah Al-Waqiah ayat 79, Allah SWT berfirman:
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Q.s 56:79)

Dengan demikian gambaran situasi sublim, kehidupan seseorang mempersyaratkan dipenuhinya kebersihan
spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas
pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dengan
ruhani Quran dan ilmu Quran, serta dalam mentalitas dan moralitas Qurani -yang pada akhirnya tercermin
dalam perilaku sosialnya.
Bukankah lbu-Qur'an memperbandingkan antara an'amta'alqihim dengan manusia maghdlub dan manusia
dhollin? Maghdub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang "tahu tapi tak mau." Orang-orang yang
menyerap ilmu, namun tidak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk
pemahaman, namun tak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali pada kekuatan
yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, namun memanjakan kehidupan dan
menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang. Orang-orang yang dalam shalat
formalnya mengucapkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in -hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya
4

kepada-Mu aku memohon pertolongan- ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupannya
tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang
selalu mengemis ihdinash-shirothol-mustaqim -tunjukilah kami jalan lurus, jalan yang ditegakkan- dan Allah
telah sejak dulu kala memberikannya namun mereka tidak benar-benar bersedia dan menggunakannya. Orangorang yang meminta, diberi, tak menerimanya namun meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta
lagi. Mungkin karena itu Rasulullah mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid
Astaghfirullah, Astaghfirullah - "Ampun ya Allah! Ampun ya Allah!" Dan siallah kalau ternyata kata-kata ini pun
bercanda belaka.
Masih mending adh-dhollin, orang-orang yang "mau tapi tak tahu." Orang yang kurang maksimal ber-iqra',
namun tulus hati pengabdiannya. Orang yang tidak pintar, namun berani bekerja keras, penuh tekad dan
mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an'amta 'alqihim karena akal budi dan
kecerdasan -indikator utama kemakhlukan manusia- kurang mereka asah dan olah, namun mereka berada di
'antrean' kedua dalam menghadapi ghodobullah, murka Allah.
Kita yang maghdlub, dianjurkan oleh Ibu Qur'an untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan
otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dhollin, disarankan untuk mempedomani lajur rabb-rahman:
bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni
cinta yang 'tidak buta', cinta yang 'kawin' dengan kebenaran - melalui ilmu. Dan, itulah jalan pencerahan.
Penutup
Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surah Al Rum: 30:

Maka hadapkanlah dirimu kepada agama secara hanif. Adalah fitratallah yang membentuk diri manusia, tiada
ganti ciptaan Allah, demikian itulah agama yang bernilai tapi sebagian besar umat manusia tidak menyadari.
(QS. Ar Rum: 30)

Jika dalam perjalanan hidup manusia menjauh dari kehanifaannya maka simaklah firman Allah SWT:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
(QS. An Ankabuut: 69)

Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan
itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki
keadaan mereka. (QS. Muhammad: 2)

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya[313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (QS. An Nisaa: 64)

Karena sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun kepada orang yang bertaubat, beramal saleh dan tetap di
jalan yang benar:
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di
jalan yang benar. (QS. Thaahaa: 82)

(Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy;


Ya muhawwilal hawli wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal)

Acuan:
Effendy, Ahmad Fuad. Antara Tafsir dan Tadabbur.
http://www.bangbangwetan.org/antaratafsirdantadabbur/.diakses:23 Mei 2016.
-----------------------------. Satu Al Quran Seribu Tafsirnya.
http://www.bangbangwetan.org/satualquranseributafsirnya/.diakses: 23 Mei 2016.
-----------------------------. Membaca Al-Quran Tak Paham Artinya.
http://www.bangbangwetan.org/membacaalqurantakpahamartinya/.diakses: 13 Mei 2016.
Emha Ainun Nadjib.1996. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiyai. Bandung: Risalah Gusti.
Haidar Bagir. 2007. Buat Apa Shalat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Pencerahan Hidup.
Bandung dan Depok: Penerbit Mizania dan Pustaka IIMaN.
Muhammad Syafiie El-Bantanie. 2009. Mukjizat Al-Fatihah. Jakarta: QultumMedia.
Muhammad Zafrullah Khan. 1985. Wisdom of The Holy Propet. Islamabad: Islam International Publications Ltd.
Quraish Shihab. 1994.Tafsir Al Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini.
---------------------. 1996. Membumikan Al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan.
--------------------- 2007.Tafsir Al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati.
Sahl b. Abd Allh al-Tustar. 2011. Tafsr al-Tustar. Amman, Jordan: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kebagusan - Gedong Tataan - Pesawaran - Lampung, 17 Ramadhan 1437 / 22 Juni 2016.


Zainal Abidin, lahir di Sendangagung, 30 April 1969. Lulus D3 Pendidikan Fisika (1990) dan S1 Penyetaraan
Pendidikan Fisika (1997) keduanya dari FKIP Universitas Lampung, Bandar Lampung. Sejak 1992 menjadi guru
fisika di SMAN 3 Bandar Lampung. Antara 1990-1992 menjadi guru fisika SMP Islam Sendangasri, MTs Al Muallimin
Sendangrejo, MA Maarif Sendangagung Kab. Lampung Tengah dan SMAN 1 Sukoharjo Kab. Pringsewu. 1998-2000
mengajar juga di SMAN 1 Kedondong Kab. Pesawaran. Bersama Iyan Ibrani dan Yohanes Dwi Nugroho menjadi
pemenang kedua Lomba Pembuatan Modul Pendidikan Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi Lampung berjudul Air
untuk Kehidupan (2000). Juara kedua Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat SMA bagi Guru Tingkat Provinsi Lampung,
LPMP Lampung (2007). Guru Teladan Tingkat Nasional versi Pesta Sains Nasional IPB Bogor (2010). Juara kedua
Lomba Inovasi Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM) FMIPA IPB Bogor (2013). Pengurus
Asosiasi Guru Fisika Indonesia Jakarta (2007-2011). Finalis SEA ITSF (Jakarta 2015). Kader Konservasi Sumberdaya
Alam BKSDA Lampung (2006-sekarang). Beberapa tulisannya di http://www.scribd.com, antara lain: 1. Fisika Sedikit
Angka; 2. Memahami Fisika Tanpa Rumus; 3. Ayo Belajar Fisika 4. Internet untuk Pembelajaran Fisika yang Menyenangkan; 5. TinjauanTerhadap
Profesionalisme Guru Fisika; 6. Fisika Physik Interaktiv; 7. 101 Fakta Fisika; 8. Riset untuk Remaja; 9. Butir-butir Penting Penelitian Tindakan Kelas;
10. Dimanakah Engkau Guru Profesional? dan 11. Rumus-rumus Fisika SMA. Beberapa tulisan di http://slideshre.com, antara lain: 1. Pengantar Teori Kinetik
Gas, 2. Pengelolaan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), 3. Pemanfaatan Faceebook untuk Pembelajaran Sains, 4. Menulis Itu Berkarya dan lain-lain.
Sekitar seratus tulisan lainnya ada di http://kompasiana.com/ZainalAbidinMustofa. Mengelola grup Majelis Ilmu dan Silaturahmi Masjid Al-Wustho
Sendangagung di facebook. Email: zay.abidin@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai