Anda di halaman 1dari 3

Menanggapi Berita di voa-islam.

com tentang AIDS di Prajurit Kodam Cenderawasih


Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Gawat!! Ratusan Tentara TNI Mengidap AIDS Akibat Nakal Seks.” Ini adalah judul
berita di voa-islam.com (11/08/2010). Judul ini menunjukkan pemahaman yang tidak
akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Disebutkan: “Sebagian besar tentara Kodam XVII Cenderawasih itu positif terjangkit
HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Pernyataan ini
mengandung hal-hal yang tidak faktual.

‘Seks bebas’ adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena merupakan terjemahan bebas
dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris. Kalau ‘seks
bebas’ diartikan sebagai zina maka tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan
penularan HIV. Seseorang tertular HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau
di luar nikah karena pasangannya sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi
laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama.

Kalau ‘seks bebas’ (baca: zina) menjadi penyebab seseorang tertular HIV maka sudah tak
terhitung penduduk Indonesia yang sudah tertular HIV. Soalnya, kalau penularan HIV
terjadi karena ‘seks bebas’ maka analoginya adalah setiap orang yang pernah berzina
maka dia sudah tertular HIV.

Begitu pula berganti-ganti pasangan. Tidak ada kaitan langsung antara ganti-ganti
pasangan dengan penularan HIV. Penularan HIV bukan karena ganti-ganti pasangan.
Berganti-ganti pasangan seks di dalam dan di luar nikah merupakan perilaku yang
berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasnagan itu HIV-
positif.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV hanya terdapat dalam cairan darah (laki-laki
dan perempuan), air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina, dan air susu ibu
(ASI). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk
ke dalam tubuh melalui transfusi, jarum suntik, alat-alat keseahtan yang bisa menyimpan
darah, dan transplantasi organ tubuh. Penularan melalui air mani dan cairan vagina bisa
terjadi jika air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh pada hubungan seks di
dalam atau di luar nikah jika penis dan vagina bersentuhan langsung. Sedangkan
penularan melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh
melalui proses menyusui.

Di bagian lain disebutkan: ”Angka tersebut langsung mengukuhkan Kodam XVII


Cenderawasih sebagai daerah militer yang memiliki prosentase terbesar di seluruh
Indonesia, yang Anggota TNInya mengidap HIV/AIDS.” Ini menunjukkan pemahaman
yang tidak akurat terhadap angka-angka terkait HIV/AIDS.

1
Ada pertanyaan yang sangat mendasar terkait dengan 144 kasus AIDS di prajurit Kodam
Cenderawasih. Apakah cara yang dilakukan oleh Kodam Cenderawasih dalam
mendeteksi prajurit yang tertular HIV juga dilakukan di kodam-kodam lain? Kalau
jawabannya TIDAK, maka angka di Kodam Papua itu belum tentu lebih tinggi dari angka
kasus di kodam-kodam lain. Tapi, kalau jawabannya YA, maka angka itu menenpati
peringkat pertama di lingkungan kodam.

Ada pula pernyataan: “ .... terinfeksi penyakit mematikan HIV/AIDS.” HIV dan AIDS
tidak mematikan. HIV adalah virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia
sehingga tiba pada masa AIDS. Ini terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Pada
masa AIDS itulah muncul bermacam-macam penyakit, disebut infeksi oportunistik,
seperti diare, sariasan, TB, dll. yang sangat sulit disembuhkan. Penyakit-penyakit inilah
kemudian yang menyebabkan kematian pada Odha (orang dengan HIV/AIDS).

Ada lagi pernyataan: “Hotma mengatakan, prajurit yang terinfeksi penyakit mematikan
itu punya kebiasaan hidup nakal. Mereka acap melakukan hubungan seks secara
sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan.” Ini pernyataan moralitas yang justru
mengaburkan fakta HIV/AIDS. Tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena nakal
yaitu ’melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti pasangan’,
tapi karena pasangannya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom ketika
sanggama. ’Melakukan hubungan seks secara sembarangan dan suka berganti-ganti
pasangan’ adalah perilaku berisko tertular HIV. Risiko bisa ditekan jika laki-laki
memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Disebutkan bahwa prajurit yang terdeteksi HIV-positif akan menerima ”bimbingan


rohani dan penyuluhan agar para penderita HIV/AIDS ini tidak menularkan penyakit
tersebut ke orang lain.” Jika prosedur tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit Kodam
Cenderawasih sesuai dengan asas tes HIV yang baku maka tidak perlu ada bimbingan
untuk meminta mereka agara tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Standar prosedur operasi tes HIV yang baku secara internasional adalah ada konseling
(bimbingan) sebelum dan sesudah tes. Dalam konseling sebelum tes diberikan informasi
yang komprehensif tentang HIV/AIDS termasuk yang harus dilakukannya jika hasil tes
negatif atau positif. Pertanyaannya adalah: Apakah Kodam Cenderawasih menerapkan
asas yang baku ketika mendeteksi HIV di kalangan prajurit? Setiap orang yang akan
menjalani tes HIV secara sukarela harus memberikan pesetujuan (informed consent). Ini
juga berlaku untuk semua jenis tes terkait penyakit di laboratorium. Persetujuan untuk tes
bisa lama karena tergantung kesiapan seseorang untuk menerima hasil tes.

Di sebutkan pula: “ ..... para anggota pengidap HIV/AIDS dirangkul dan diberi dukungan
semangat oleh teman-temannya untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu.” Ini
sikap yang terpuji sebagai makhluk Tuhan karena melakukan stigma dan diskriminasi
dilarang agama (baca: Tuhan). Tapi, celakanya justru umat dan sarana kesehatan yang
sering melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha.

2
Pernyatan yang menyebutkan: ” .... untuk dapat sembuh dari penyakit mematikan itu”
tidak akurat karena HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan. HIV sebagai virus tidak bisa
dibasmi di dalam tubuh. Bukan hanya HIV tapi virus tidak bisa dibunuh di dalam tubuh
manusia. Yang sudah ada adalah obat antiretroviral (ARV) yang dapat menekan laju
perkmbangan HIV di dalam darah sehingga bisa memperlambat masa AIDS dan menjaga
stamina Odha. Cuma, pemberian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV.
Ada aturan baku untuk pemberian ARV.

Sedangkan AIDS jelas tidak bisa diobat atau disembuhkan karena AIDS bukan penyakit.
AIDS adalah istilah yang disepakati secara internasional yang merujuk ke kondisi
seseorang yang sudah tertular HIV yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi
opoetunistik. Bukan hanya AIDS yang tidak ada obatnya. Ada penyakit yang juga tidak
ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa
disembuhkan, yaitu darah tinggi dan diabetes.

Pihak Kodam memberikan sosialisasi. “Sosialisasi dilakukan agar penyebaran penyakit


mematikan ini tidak terus bertambah di lingkungan TNI yang bertugas di Papua.”
Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS yang disosialisasikan faktual? Soalnya,
selama ini materi penyuluhan HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma,
moral dan agama sehingga fakta medis hilang. Akibatnya, yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah). Inilah yang membuat banyak orang yang lalai sehingga tertular
HIV karena mereka tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang
akurat.

Ketika HIV/AIDS sudah ada di pelupuk mata kita masih saja ’debat kusir’ tentang cara-
cara pencegahan yang akurat. Pada saat kita ’debat kusir’ penyebaran HIV terus terjadi
tanpa kita sadari. Kita tinggal menunggu waktu ledakan AIDS karena kasus-kasus yang
tidak terdeteksi di masyarakat merupakan ’bom waktu’. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Anda mungkin juga menyukai