Pertanyaan itulah yang selalu muncul terhadap perda AIDS karena fakta menunjukkan
perda-perda AIDS yang sudah ada tidak menyentuh akar persoalan dalam epidemi HIV.
Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah penyebaran yang terjadi secara horizontal
melalui hubungan seks tidak bisa dikendalikan. Hal ini terjadi al. karena: (a) orang-orang
yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas
AIDS pada fisiknya, dan (b) penggunaan kondom yang tidak konsisten pada hubungan
seks yang berisiko (hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks dan pelaku kawin-cerai).
Risiko Tinggi
Ide pembuatan perda penanggulangan AIDS di Indonesia bermula dari kabar tentang
keberhasilan Thailand menurunkan insiden penularan HIV di kalangan laki-laki dewasa
melalui hubungan seks. Thailand menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’
terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah
bordir.
’Angin sorga’ itu pun bertiup kencang ke Indonesia. Adalah Pemkab Nabire, Papua, yang
pertama kali menerbitkan perda penanggulangan AIDS pada tahun 2003. Memang, dalam
beberapa perda program Thailand itu dimasukkan sebagai bagian dari penanggulangan
AIDS.
Tapi, program itu tidak bisa jalan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan
rumah bordir yang ’resmi’ sehingga pemantauan program itu tidak akan bisa dilakukan.
Pemerintah Thailand memantau program itu melalui pekerja seks yang bekerja di
lokalisasi dan rumah bordir melalui tes IMS secara rutin. IMS dalah infeksi menular
seksual, sepreti GO, sifilis, hepatitis B, klamidia, dll. Jika ada pekerja seks yang
terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan pekerja seks tadi meladeni laki-laki
tanpa memakai kondom ketika sanggama. Germo diberi sanksi mulai dari teguran sampai
penutupan usahanya.
1
Karena di Indonesia lokalisasi pelacuran dan rumah bordir atau industri hiburan malam
yang menyediakan pekerja seks tidak mempunyai izin maka tidak mungkin memberikan
sanksi penutupan usaha.
Nah, karena di Indonesia tidak ada izin usaha resmi untuk pengelolaan lokalisasi
pelacuran dan rumah bordir maka biar pun ada program di perda tapi tidak akan efektif
kerena mekanisme untuk memantaunya tidak ada. Yang diancam justru pekerja seks.
Tapi, dalam perda-perda AIDS di Indonesia tidak ada mekanisme pemantauan yang
akurat sehingga ’wajib kondom’ pun hanya ’macan kertas’.
Pada pasal 1 ayat 26 disebutkan: ”Surveilans HIV atau sero-surveilans HIV adalah
kegiatan pengumpulan data tentang infeksi HIV yang dilakukan secara berkala.”
Survailans tes HIV adalah langkah yang ditempuh untuk mengetahui prevalensi
(perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada
kurun waktu yang tertentu pula. Dalam perda tidak jelas siapa sasaran survailans
sehingga tidak jelas langkah yang ditempuh dalam menjalankan survailans. Survailans
dilakukan melalui skrining rutin, survailans sentinel dan survailans khusus. Malaysia,
misalnya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular
seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), penyalahguna narkoba (narkotik
dan bahan-bahan berbahaya), perempuan hamil, polisi, narapidana, darah donor, dan
pasien TB. Maka, tidak mengherankan kelau kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di
Malaysia mendekati angka ril. Dengan penduduk 20-an juta sudah dilaporkan 40.000-an
kasus. Bandingkan dengan Indonesia dengan penduduk 240 juta baru dilaporkan 20.564
kasus.
Yang terjadi di Indonesia sasaran tembak survailans adalah pekerja seks, waria dan
karyawan panti pijat. Celakanya, angka yang diperoleh tidak dibawa ke realitas sosial.
Artinya, kasus yang terdeteksi tentu terkait langsung dengan penduduk lokal. Ada dua
kemungkinan. Pertama, pekerja seks, waria dan karyawan panti pijat yang terdeteksi
HIV-positif bisa saja tertular dari penduduk lokal. Kedua, bisa juga mereka sudah
mengidap HIV ketika datang ke daerah tsb. Dua kemungkinan ini tetap mengundang
risiko karena ada interaksi (seksual) dengan penduduk.
2
Tes Wajib
Pasal 8 menyebutkan: “Kelompok resiko tinggi wajib melakukan test HIV dan AIDS
secara periodik.” Dalam standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak dikenal tes
wajib (mandatory test) karena hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Semua tes untuk mendeteksi
penyakit harus ada persetujuan dari ybs. Terkait dengan tes HIV juga harus ada konseling
sebelum dan sesudah tes. Persetujuan (informed consent) diberikan setelah ybs.
memahami HIV/AIDS serta risiko yang akan dihadapi jika melalukan tes HIV setelah
menerima konseling sebelum tes.
Lagi pula, bagaimana caranya ’memaksa’ mereka untuk tes HIV? Mereka itu tidak di satu
tempat, seperti lokalisasi pelacuran atau rumah bordir, tapi berada di banyak tempat. Di
hotel melati dan hotel berbintang, rumah, kontrakan, kos-kosan, dll. yang tidak bisa
dijangkau secara hukum. Berbeda dengan di Thailand. Pekerja seks menjadi bagian dari
prostitusi secara ’resmi’ (catatan: tidak ada satu negara pun yang melegalkan prostitusi
secara de jure) karena usaha itu mempunyai izin usaha. Germo dan pengelola bisa
’dipegang’ pemerintah karena mereka mengantongi izin usaha dengan berbagai
persyaratan.
Ini menunjukkan moral dikedepankan untuk menerapkan fakta medis. Tentu saja ini tidak
akan jalan karena tidak ada kaitan langsung antara norma, moral dan agama dengan
3
penularan HIV karena penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Pasal ini
pun mendorong masyarakat untuk memberikan stigma dan diskriminasi terhadap orang-
orang yang tertular HIV karena dianggap tidak bermoral dan tidak hidup sehat.
Pasal 10 ayat 1 berbunyi: ”Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan dengan
prinsip: a. Tidak melakukan hubungan seks; b. Bersikap saling setia dengan pasangan; c.
Cegah penularan dengan memakai Kondom; d. Jangan menggunakan narkoba suntik.”
Butir a jelas tidak akurat karena tidak semua hubungan seks berisiko menularkan HIV.
Yang dihindari adalah hubungan seks yang berisiko. Butir b pun tidak realistis karena
pelaku kawin-cerai selalu setia dengan pasangannya ketika terikat pernikahan. Setelah
cerai mereka setia lagi dengan pasangan lain. Ini merupakan perilaku berganti-ganti
pasangan. Sedangkan butir c tidak jelas kapan hubungan seks harus memakai kondom.
Kondom dianjurkan dipakai jika hubungan seks berisiko. Seorang suami, misalnya, boleh
saja tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang
berganti-ganti, tapi ketika sanggama dengan istrinya wajib memakai kondom. Atau
sebaliknya suami wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks yang beriiko
agar tidak perlu memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya terkait dengan risiko
penularan penyakit.
Ancaman Pidana
Pasal 11 ayat 1 berbunyi: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi IMS dan
HIV wajib melindungi orang yang hidup atau terdampak langsung dengan keberadaannya
dan wajib mengikuti program pendampingan dan pembinaan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait.” Justru dalam epidemi HIV yang menjadi
persoalan besar adalah banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena
tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS
(setelah tertular antara 5 – 15 tahun). Pada rentang waktu itulah terjadi penyebaran HIV
di masyarakat, terutama melalui hubungan seks.
Untuk itulah diperlukan penyuluhan yang berkesinambungan dengan materi KIE yang
akurat dengan harapan agar orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau
menjalani tes HIV secara sukarela.
Begitu juga dengan pasal 12 ayat 1: ”Setiap perempuan yang mengetahui dirinya
terinfeksi HIV bila ingin hamil, wajib mengikuti program untuk pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak, agar bayinya terhindar dari HIV.” Mereka tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV. Langkah yang dilakukan Malaysia melalui skrining rutin terhadap
perempuan hamil sangat bermanfaat karena bias mendeteksi kasus HIV sehingga anak
yang dikandungnya bisa diselamatkan agar tidak tertular HIV secara vertikal dari ibunya.
4
Di ayat 2 disebuktan: “Setiap pemeriksaan ibu hamil, calon pengantin .... petugas
mengupayakan konseling dan test darah.” Karena tes HIV pada masa jendela yaitu
tertular HIV di bawah tiga bulan bisa menghasilan positif atau negatif palsu maka tes
HIV untuk calon pengantin tidak ada manfaatnya. Bisa saja ketika mereka tes berada
pada masa jendela. Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Setelah menikan bisa saja ada di
antara pasangan itu yang perilakunya berisiko sehingga tertular HIV. Hasil tes sebelum
menikah akan menjadi bumerang karena masing-masing bertahan dengan hasil tes HIV
yang mereka pegang.
Ancaman pidana yang ada dalam perda ini ada di pasal 40 ayat 1, yaitu: ”Setiap orang
yang melanggar ketentuan Pasal 6 ayat 4 huruf f, yaitu menyebarluaskan komunikasi,
informasi dan edukasi yang bersiat diskriminasi kepada pengidap HIV dan AIDS.
Ancaman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).” Berbeda dengan perda lain yang sanksi
pidana diberikan kepada yang sengaja menularkan HIV. Tentu saja ini sangat naif kerena
fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.
Jika ingin menanggulangi epidemi HIV, khususnya melalui hubugnan seks, maka yang
perlu diwajibkan kepada semua penduduk adalah harus memakai kondom jika melakukan
hubungan seks yang berisiko. Kemudian, bagi yang pernah atau sering melakukan
hubungan seks yang berisiko wajib menjalani tes HIV secara sukarela.
Langkah ini akan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Kasus-kasus yang
terdeteksi akan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Cara ini akan
menekan kasus infeksi baru di kalagan laki-laki dewasa. Apakah kita punya nyali
menyampaikan fakta yang dianggap bertentangan dengan norma, moral dan agama ini?
***
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”
Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).