Anda di halaman 1dari 5

KISAH UWAIS AL QORNI (PEMUDA YANG BERBAKTI KEPADA IBUNYA)

 Tuesday, October 6, 2009 at 3:33pm


Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais
adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya
sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta.
Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.

Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba
orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan,
terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya.
Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.

Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni
seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya
hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi
Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang
menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah
juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini
dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu
dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya
selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia
rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.

Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega
meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan
rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.

Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia
datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi
menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar
permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku!
Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.”

Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia
tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat
menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju
Madinah.

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah
nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam,
keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin
dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran.
Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia
datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.

Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi
kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu,
agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.

Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu
dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti
Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais
Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.

Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada
Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya,
adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan
Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah
tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan
keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa
dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu
dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”

Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin
Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau
segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah
yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak
punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan
sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?

Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais
Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang
baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-
Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia
sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi
menjumpai Uwais Al-Qarni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang
shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil
mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah
Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak
tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan
Uwais Al-Qarni.

Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit.
Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka
tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais
kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru
dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais
membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus
meminta doa pada kalian.”

Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena
desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu
Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya.
Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-
hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-
tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk
dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi
hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika
usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat
mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya,
padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika
jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih
dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-
Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari
hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman
dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian
banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan
pemakamanmu.”

Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-
mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang
yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah
Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang
telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit

“Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua” ketegori Muslim.

Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua

Kategori Birrul Walidain

Rabu, 5 Mei 2004 07:19:56 WIB

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Bentuk-bentuk beruntuk baik kpd kedua orang tua ialah :

Pertama.
Bergaul dgn kedua dgn cara yg baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan
kegembiraan kpd seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kpd kedua
orang tua kita.

Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa beruntuk baik kpd istri, maka kpd kedua orang tua hrs lebih
dari kpd istri. Karena dia yg melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lain kpd kita.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah
kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dgn meninggalkan orang tua dalam keadaan menangis, maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan untuklah kedua tertawa seperti engkau telah memuntuk
kedua menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kpd kedua
orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Kedua
Yaitu berkata kpd kedua dgn perkataan yg lemah lembut. Hendak dibedakan berbicara dgn kedua orang tua dan
berbicara dgn anak, teman atau dgn yg lain. Berbicara dgn perkataan yg mulia kpd kedua orang tua, tdk boleh
mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat kedua krn ini mrpk dosa besar dan bentuk
kedurhakaan kpd orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.

Kita tdk boleh berkata kasar kpd orang tua kita, meskipun kedua beruntuk jahat kpd kita. Atau ada hak kita yg ditahan
oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau kedua belum memenuhi apa yg kita minta (misal biaya sekolah)
walaupun mereka memiliki, kita tetap tdk boleh durhaka kpd keduanya.

Ketiga
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, krn
sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yg menolong dgn
memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.

Seandai kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yg kita anggap ringan dan merendahkan kita yg mungkin tdk
sesuai dgn kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yg haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kpd keduanya.
Lakukan dgn senang hati krn hal tersebut tdk akan menurunkan derajat kita, krn yg menyuruh ialah orang tua kita
sendiri. Hal itu mrpk kesempatan bagi kita untuk beruntuk baik selagi kedua masih hidup.

Keempat
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kpd kedua orang tua. Semua harta kita ialah milik orang tua. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
“Arti : Mereka berta kpdmu tentang apa yg mereka infakkan. Jawablah, “Harta yg kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kpd ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yg sedang dalam
perjalanan. Dan apa saja kebajikan yg kamu peruntuk sesungguh Allah maha mengetahui”

Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkan yg pertama ialah kpd kedua orang
tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-
Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yg dalam perjalanan. Beruntuk baik yg pertama
ialah kpd ibu kemudian bapak dan yg lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

“Arti : Hendaklah kamu beruntuk baik kpd ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian
orang yg terdekat dan yg terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan
Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu’awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, “Hadits
Hasan”]

Sebagian orang yg telah menikah tdk menafkahkan harta lagi kpd orang tua krn takut kpd istrinya, hal ini tdk
dibenarkan. Yang mengatur harta ialah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki ialah pemimpin bagi kaum
wanita. Harus dijelaskan kpd istri bahwa kewajiban yg utama bagi anak laki-laki ialah berbakti kpd ibu (kedua orang
tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yg utama bagi wanita yg telah bersuami setelah kpd Allah
dan Rasul-Nya ialah kpd suaminya. Ketaatan kpd suami akan membawa ke surga. Namun demikian suami hendak tetap
memberi kesempatan atau ijin agar istri dpt berinfaq dan beruntuk baik lain kpd kedua orang tuanya.

Kelima
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku
kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandai orang tua belum
mengikuti dakwah yg haq dan masih beruntuk syirik serta bid’ah, kita hrs tetap berlaku lemah lembut kpd keduanya.
Dakwahkan kpd kedua dgn perkataan yg lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari
Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkan do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yg haq oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala.

Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :

Yang pertama : Kita lakukan ialah meminta ampun kpd Allah Ta’ala dgn taubat yg nasuh (benar) bila kita pernah
beruntuk durhaka kpd kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.

Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.

Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yg diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah berta kpd
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Apakah ada suatu kebaikan yg hrs aku peruntuk kpd kedua orang tuaku sesudah wafat kedua ?” Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kpd keduanya, kamu memenuhi janji
keduanya, kamu silaturahmi kpd orang yg pernah dia pernah silaturahmi kpd dan memuliakan teman-temannya”
[Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits krn di dalam sanad ada seorang rawi yg lemah dan Syaikh
Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitab Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush
Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]

Sedangkan menurut hadits-hadits yg shahih tentang amal-amal yg diperuntuk untuk kedua orang tua yg sudah wafat,
ialah :

[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yg sesuai dgn syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kpd orang yg kedua juga pernah menyambungnya

[Diringkas dari beberapa hadits yg shahih]


Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

“Arti : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguh termasuk kebaikan seseorang
ialah menyambung tali silaturrahmi kpd teman-teman bapak sesudah bapak meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No.
12, 13, 2552]

Dalam riwayat yg lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju
Mekah, mereka orang-orang yg sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kpd orang tersebut dan
menaikkan ke atas keledai, kemudian sorban diberikan kpd orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata,
“Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguh
bapak orang ini ialah sahabat karib dgn Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:

“Arti : Sesungguh termasuk kebaikan seseorang ialah menyambung tali silaturrahmi kpd teman-teman ayahnya”
[Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]

Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-
428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216,
cet. Darul Ma’arif 1424H]

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al Isra: 23-24)
Dalam ayat pembuka diatas, Allah SWT telah menegaskan bagaimana kita harus bersikap terhadap orang tua kita.
Sungguh, pengorbanan orangtua kita adalah hutang. Begitu mulia Islam mengajarkan penghormatan kepada orangtua.
Beruntunglah bagi siapapun yang orangtuanya masih ada, karena bila orangtua sudah tiada, kita tidak bisa lagi
membahagiakan mereka di sisa usianya. Kita harus memiliki tekad yang kuat untuk berbakti pada orang tua. Minimal,
kita berhenti dari menyakiti hati orang tua hingga tidak ada lagi luka yang ditoreh di hatinya.
Syukur bila kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi manfaat besar bagi dunia dan akhiratnya. Menghormati
orangtua bukan hanya dengan memberinya harta, yang lebih penting adalah akhlak kita, sebagai anaknya.
Apalah artinya anak kaya, bergelar, berpangkat, tetapi tak berakhlak baik kepada ibu bapaknya? Dan akhlak inilah
sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya diijabah oleh Allah, sehingga bisa
menyelamatkan dan memuliakan ibu bapaknya..
Kita tidak bisa mengharapkan sosok ibu atau bapak seideal seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dan istri beliau.
Tapi, kita justru harus mencari kelebihan-kelebihan mereka untuk kita syukuri.
Bagaimanapun keadaan orangtua kita, darah dagingnya melekat pada diri kita. Jika mereka belum shalih dan shalihah,
kita yang harus meminta pada Allah agar orangtua kita mendapat hidayahNya.
Selain itu, kita juga harus melihat unsur-unsur di dalam berbakti kepada orang tua kita, diantaranya: Pertama, seorang
anak hendaknya menjaga dan memelihara ucapannya di hadapan orang tua, terlebih bagi mereka yang sudah berusia
lanjut, jangan sampai perkataan atau perbuatannya menyinggung perasaan keduanya.
Kedua, sikap bahasa tubuh seorang anak tidak boleh membusungkan dada terhadap orang tua melainkan merendahkan
diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang.
Ketiga, kita harus patuh pada orang tua kita selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Dan Keempat, kita tetap
berkewajiban berbakti kepada orang tuasetelah mereka meninggal, antara lain dengan cara selalu mendo’akan dan
menyambung tali silaturrahim dengan kerabat dan teman-teman orang tua selagi masih hidup.

Anda mungkin juga menyukai