Anda di halaman 1dari 3

Pragmatisme sebagai manifestasi mentalitas Masyarakat

Oleh Rum Rosyid


Di Indonesia gejala mentalitas pragmatis ini sebenarnya bukan hal yang baru. Bentuk
perwujudannya semakin bervariasi sesuai dengan situasi sosial yang semakin kompleks.
Menurut Koentjaraningrat (1987), gejala sosial yang satu ini telah berkembang setelah
bangsa Indonesia memasuki era baru pasca kemerdekaan tahun 1945 sebagai akibat
negatif dari revolusi yaitu suatu mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuan dengan
secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan langkah demi langkah.
Mentalitas ini lanjutnya, akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan
mutu dalam hidup dan ini merupakan suatu penyakit.

Sebagai contoh, lahirnya pengusaha-pengusaha baru yang sukses dan hidup dengan
menempuh jalan bisnis yang tidak lazim. Para pegawai negeri yang ingin meraih jenjang
karir secepat-cepatnya dengan cara jalan pintas. Hingar-bingarnya aksi unjuk rasa
(demonstrasi) yang tidak mengindahkan etika dan cenderung anarkis, kendatipun
mengatasnamakan demokrasi dan pembelaan terhadap rakyat. Kecenderungan demikian
dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di jalan raya, di pasar, di
tempat-tempat antrian pelayanan publik, bahkan di tempat ibadah sekalipun di mana
setiap orang ingin menjadi yang tercepat dengan jalan pintas.

Mentalitas ini, bukanlah perilaku kebetulan dalam kasus kekeliruan atau keseleo, tetapi
merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang
memandang hal-hal secara jalan pintas (pragmatis) itu sebagai sesuatu yang baik dan
benar, serta dianggap kelaziman umum. Orang menjadi gampang untuk menempuh jalan
pintas demi tujuan yang ingin dicapai secara cepat dan untung besar.

Dalam bahasa lain, gejala jalan pintas ini sering disebut sikap hidup dan perilaku
pragmatis. Orang ingin mencari sesuatu yang lebih bersifat kegunaan dan kepraktisan
tanpa mempersoalkan baik atau buruk serta benar atau salah. Bahkan gejala pragmatis ini
makin dilengkapi dengan sebutan pragmatisme utilitarian, suatu alam pikiran dan
perilaku didasarkan pada falsafah hidup, bahwa yang benar dan baik itu adalah berguna
secara praktis dan merupakan representasi dari hal benar dan baik itu adalah berguna dari
ukuran materi dan ekonomi serta mudah diukur secara kuantitatif.

Problem dunia pendidikan di atas memang tidak terlepas dari dua masalah utama, yaitu
kerancuan filosofi pendidikan kita dan arus modernisasi-globalisasi (baca: westernisasi).
Dalam kerancuan filosofi pendidikan, kita melihat bahwa KBK berlandaskan filsafat
Pragmatisme dan psikologi Konstruktivisme(Yayat Hidayat, 2006). Sebagaimana
diketahui bahwa Pragmatisme merupakan filsafat asli Amerika yang digagas John Dewey
ruh Barat yang kapitalis-materialis-liberalis akhirnya terbawa dalam implementasi di
dunia pendidikan kita.

Meniru Liberalisasi Pendidikan di Negara-negara Maju


Paham tentang pragmatisme membawa sebuah egoisme manusia. Perkembangan di Barat
ternyata membawa dampak bagi masyarakat di Timur. Ekspansi masyarakat Barat guna
mencari bahan baku bagi industri di negaranya berubah menjadi penjajahan terhadap
negara yang memiliki bahan baku . Dengan alasan ekonomisnya masyarakat Barat,
negara berkembang hanya dijadikan sebagai sebuah obyek penderita dari pasar bebas,
dimana kekurangan teknologi informasi dan pendidikan menjadikan negara berkembang
hanya menjadi konsumen.

Meskipun negara berkembang telah menghasilkan berbagai bahan baku guna kelanjutan
produksi industri di negara maju akan tetapi pengelolaan dan pangsa pasar atas bahan
baku tersebut tetap di kendalikan oleh masyarakat yang mempunyai andil besar terhadap
kemajuan teknologi. Sebagai contoh kongkrit atas hal tersebut ialah, bagaimana produk
seperti kopi yang bahan bakunya berasal dari Indonesia setelah diolah oleh produsen
asing ditambah berbagai pengembangan rasa dan packaging yang bagus, produk tersebut
seakan telah berubah menjadi produk luar yang hilang sama sekali asalnya (bahan
bakunya).

Selain memenuhi berbagai kebutuhan bagi industri, masyarakat Barat juga berusaha
menyebarkan ajaran-ajaran yang ada di negaranya. Dari sini terjadilah sebuah pembauran
budaya asli dengan budaya luar. Tuntutan zaman serta mudahnya akses informasi
semakin memudahkan masuknya budaya-budaya luar. Budaya Barat yang telah
dikonsumsi secara sembarangan menimbulkan beralihnya pola pikir masyarakat Timur
dari identitas aslinya beralih ke Barat. Ini dapat diperhatikan dalam gaya hidup remaja.
Menurut mereka yang populis adalah apa yang menjadi tren di dunia Barat.

Arus globalisasi menawarkan sebuah standarisasi disegala hal, mudai dari bahasa, life
style, cara berpakaian dan lain-lain. Hal ini juga menimbulkan tuntutan tehadap sebuah
ideologi yang mendukung globalisasi. Akibatnya negara-negara berkembang hanya
menjadi objek zaman, ia tidak dapat menentukan arah dari perkembangan zaman.
Peradaban Timur memang dirasa lamban sekali menuju kemajuan, tidak seperti di Barat
yang disimbolkan kemajuan sebagai garis linear, di Timur perkembangan zaman
digambarkan sebagai sebuah spiral yang meskipun lamban akan tetapi mempunyai
landasan yang kokoh.

Masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik. Sebab, kebijakan
politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Sebaliknya
pula pendidikan memengaruhi maju mundurnya bangsa. Kualitas pendidikan suatu
bangsa menentukan kemajuan bangsa dan indeks pembangunan manusia. Fakta ini bisa
dibaca dalam banyak buku sejarah kemajuan peradaban suatu bangsa. David N. Plank
dan William Lowe Boyd (1994) dalam”Antipolitics, Education, and Institutional Choise:
The Flight From Democracy”, menyebutkan bahwa antara pemerintah yang demokratis,
politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya
tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik.

Dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan


tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya
terkadang berbicara lain. Justru, acapkali terjadi politisasi pendidikan dan konflik
kepentingan. Karena, kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para
politisi, pengendali pemerintahan, maupun pihak yang berkepentingan lainnya.
Peran negara dalam bidang pendidikan di negara demokrasi bersifat akomodatif terhadap
kepentingan warga negaranya di bidang pendidikan. Namun peran negara dalam bidang
pendidikan bisa saja dilaksanakan dalam rangka melegitimasi dan mempertahankan
status-quo. Upaya ini biasanya dilakukan merasuk sistem pendidikan dalam hidden
curriculum. Atau menurut Michael W. Aple politik kebudayaan suatu negara disalurkan
melalui lembaga – lembaga pendidikan ( Tilaar, 2003 : 145).

Sejak tahun 1980-an di negara-negara maju, sector perdagangan jasa tumbuh pesat dan
telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar
dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan
keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan
Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002). Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan
Amerika mencapai USD14 miliar atau 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari
ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4% dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports
mengungkapkan bahwa pada 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70% pada PDB
Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri
Kanguru tersebut.

Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang
paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan.
Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar
Australia pada 1993. Oleh karena itu, asumsi yang kemudian dikembangkan sebagai
bahan perbandingan oleh para perancang kebijakan pendidikan (Pemerintah) dengan
melihat pengalaman AS, Inggris dan Autralia yang mengubah Orientasi pendidikanya
menjadi sector Industri jasa yang berhasil menyumbang dana ke kas Negara. Itulah yang
ditiru dengan tanpa memperhatikan peri kehidupan ekonomi rakyat yang makin hari
semakin berat.

Indonesia yang memiliki 222.781.000 Jiwa (BPS, 2005), dengan angkatan sekolah di
seluruh Indonesia sekitar 38,5 juta anak usia SD 6-12 tahun, 25,6 juta usia SMP 13-15
tahun, 12,8 juta usia SMA(Kompas, 26/2/05), dan rata-rata tingkat partisipasi di
pendidikan tinggi sekitar 14% dari jumlah penduduk usia 19–24 tahun. Dari data
kuantitatif yang sifatnya sekunder itu kita bisa melihat betapa rendahnya tingkat
pendidikan rakyat Indonesia, jika ditotal dari semua penduduk yang menghuni di negeri
ini. Sementara itu dilain pihak, hubungan antara Industri pendidikan dengan dunia usaha
lain kian mesra.

Anda mungkin juga menyukai