Anda di halaman 1dari 15

Realitas Pragmatisme Pendidikan di Indonesia

Oleh Rum Rosyid


“Apa yang sering dikerjakan oleh dunia pendidikan kita. Dibendungnya aliran sungai
yang bebas berkelok-kelok”, tulis Henry David Thoreau (1850). Ungkapan salah satu
tokoh aliran anarkisme pendidikan yang hidup pada 1817-1862 ini mungkin perlu kita
renungi kembali jika kita bicara soal pendidikan saat ini. Terlebih, pembicaraan kita
dibingkai dalam perspektif kritis, seperti misalnya keringnya dimensi sosial pada dunia
pendidikan kita. Dunia pendidikan dalam perspektif kritis, tak ubahnya seperti penjajahan
bagi manusia.

Ketika manusia dikenalkan dengan lingkungan barunya melalui institusi pendidikan, saat
itu pula ia potensial dijajah secara kognitif. Persinggungan kita dengan dunia di ruang-
ruang kelas tiap hari hanyalah persinggungan dengan teks-teks yang tak selalu aktual,
seperangkat alat uji yang tak mencerdaskan, dan hegemoni wibawa guru yan terkesan
dipaksakan. Bahkan, salah satu kesalahan terbesar pendidikan adalah, ditariknya kita
dalam ‘dunia asing’ yang terpisah dari problematika dan dinamika masyarakat
sesungguhnya. Mari kita bayangkan, seberapa banyakkah waktu yang disediakan oleh
guru bagi kita untuk berfikir tentang kekerasan politik, kenakalan remaja, kenakalan diri
kita sendiri, bumi hangus di Ambon, teriakkan merdeka kawan-kawan kita di Aceh,
buruknya kualitas anggota parlemen di daerah, dan sederet fenomena sosial lainnya?
Nothing. Kalaupun ada, ia hanya menjadi ‘bumbu’ dari ocehan panjang guru-guru kita,
tanpa ekspresi empatik sama sekali.

Potret-potret sosial itu --sungguhpun teramat mengesankan, tak sempat kita amati dan
kita diskusikan di dalam kelas. Padahal, kita mungkin adalah siswa-siswa yang pintar
menghafal teori-teori sosial lengkap dengan siapa tokoh pengusungnya. Maka lengkaplah
kita, dalam istilah WS Rendra, menjadi generasi ‘gagu’ di tengah masyarakat: ada, tetapi
tak kuasa mengeja gejala-gejala sosial yang sedang terjadi di tengah-tengah kita.
Peningkatan mutu sekolah secara massal merupakan suatu upaya untuk menciptakan dan
menjamin proses perubahan berlangsung secara terus menerus dan bisa dilaksanakan oleh
semua sekolah. Sekolah memiliki latar belakang dan potensi masing-masing, yang
menyebabkan tidak mungkin dilaksanakan “one size fits for all” policy.

Sebenarnya, lembaga pendidikan adalah sarana sosialisasi kedua sesudah keluarga. Oleh
karena fungsinya sebagai sarana sosialisasi itulah sekolah seharusnya banyak mengadopsi
metodologi sosial yang menjamin fungsi sosialisasi itu terpenuhi secara optimal. Yaitu
bagaimana individu-individu warga belajar tak sekedar saling kenal dan bergaul antar
mereka, tetapi juga harus melibatkan lingkungan sekitar. Secara mikro, sekolah harus
menjadi lembaga yang bisa menjalin interaksi dan interelasi yang harmonis dengan
lingkungan atau masyarakat sekitarnya. Secara makro, ia harus menjamin adanya
keterkaitan psikologis dan intelektual dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa. Ini berarti bahwa dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang
tengah terjadi menjadi referensi yang penting dalam daur belajar kita. Kalau tidak,
benarlah sekolah itu akan menjadi ‘menara gading’ yang menjadikan warga belajarnya
cenderung asosial dan pragmatik; tidak memiliki orientasi sosial yang jelas dan dedikatif.
Kebijakan dan upaya peningkatan mutu sekolah harus memiliki fleksibilitas yang tinggi.
Meskipun, tetap saja harus ada dimensi kebijakan dan upaya yang bersifat imperatif
untuk semua sekolah.(Zamroni, 2009) Rencana Strategis Depdiknas antara lain memuat
visi, dan misi Pendidikan Nasional. Visi Pendidikan Nasional Indonesia adalah
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah.

Pada tahun 2005, HDI Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia.
Bahkan peringkat tersebut semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. HDI
Indonesia tahun 1997 adalah 99, lalu tahun 2002 menjadi 102, kemudian tahun 2004
merosot kembali menjadi 111 (Human Development Report 2005, UNDP). Menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992) dan studi IEA (International Association for the
Evaluation of Educational Achievement), di Asia Timur menunjukkan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1
(Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Kondisi anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30 persen dari materi bacaan dan
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.
Hal ini disebabkan karena mereka sangat terbiasa dalam menghapal serta mengerjakan
soal pilihan ganda. Sementara itu, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan
ke-12 dari 12 negara di Asia (berdasarkan survei Political and Economic Risk
Consultant). Dalam hal daya saing, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu
hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara di dunia (The World Economic Forum
Swedia, 2000). Ini artinya: Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai
leader.

Misi Pendidikan Nasional adalah: (1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan


kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2)
membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia
dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3) meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan
kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga
pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman,
sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan RI. Manusia Indonesia yang dimaksud dalam visi pendidikan
nasional Indonesia adalah manusia berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan
spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu
menghadapi perkembangan dan persaingan global.

Untuk membangun dunia pendidikan tidak akan terlepas dari dorongan dan semangat
spiritualisme. Bangsa-bangsa di Timur Tengah mengalami masa kejahiliyahan pada saat
sebelum Islam datang, begitu juga di Eropa dan Amerika mengalami masa kegelapan
pada saat agama tidak memberikan ruh pencerahan terhadap para pemeluknya.
Masa Kejayaan bangsa-bangsa di Timur Tengah diawali dengan kedatangan Islam di
Saudi Arabia. Dengan system pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW,
mampu mengubah paradigma jahiliyah/kebodohan menjadi peradaban yang maju. Ajaran
Islam yang pertama kali diturunkan kepada utusan Allah ini adalah iqro yang artinya
membaca. Sehingga dalam perjalanan sejarah tercatat bahwa negara-negara atau
kerajaan-kerajaan yang dikuasai oleh Islam berubah menjadi bangsa yang berilmu
pengetahuan dan maju seperti munculnya kerajaan di Andalusia dan Cordoba sebagai
pusat ilmu pengetahuan dunia pada masa abad pertengahan itu.

Demikian juga yang terjadi di Eropa dan Amerika, pada saat Eropa mengalami masa
kegelapan muncul tokoh pembaharu dari kalangan agamawan Kristen yaitu Calvin.
Dalam bukunya, Weber menganalisis bahwa kemajuan ekonomi yang pesat di Eropa dan
Amerika disebabkan adanya Etika Protestan. Etika protestan lahir di Eropa melalui
agama protestan yang dikembangkan oleh Calvin(Ahmad Subagyo, 2003). Disini muncul
ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk
ke surga atau neraka. Tetapi orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya.
Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidakjelasan nasibnya
ini. Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka
adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang berhasil dalam
kerjanya didunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan untuk naik surga. Kalau
kerjanya selalu gagal di dunia ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan masuk ke
neraka. Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang penganut Protestan Calvin bekerja
keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih; artinya mereka bekerja bukan
untuk mencari kekayaan material, melainkan untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang
disebut sebagai Etika Protestan.

Narasi besar tentang pendidikan tidak terlepas dari sistem dunia yang berlaku. Pendidikan
merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, dimana dia berfungsi untuk menciptakan
pelaku-pelaku (agen) yang akhirnya ikut melanggengkan sistem kekuasaan yang ada.
Rasionalitas instrumental yang bertujuan praktis ekonomis telah sangat berpengaruh pada
pembentukan karakter pendidikan modern. Efektivitas pendidikan dan spesialisasi ilmu
menjadi sebuah tuntutan yang memunculkan suatu spesifikasi status dan peran. Ini pada
akhirnya juga akan berpengaruh pada perkembangan maupun posisi dari ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan kemampuan
manusia untuk mengolah alam. Ilmu pengetahuan yang berguna ialah yang bisa
mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah alam untuk keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan itu sendiri telah menjadi
bagian dari lingkaran kepentingan kelas (golongan) penguasa untuk menjaga
kesinambungan sistem yang berlaku.

Idealisme pendidikan menjadi luntur ketika terkait dengan globalisasi, yang memiliki
dua sifat utamanya, de-teritorialisasi dan trans-nasionalisme. De-teritorialisasi dimengerti
sebagai hilangnya batas-batas wilayah geografis dari negara-negara nasional. Sedangkan
trans-nasionalisme berusaha “menghilangkan” makna nasional dan lokal. Yang nasional
atau lokal tetap ada namun menjadi tidak berharga. Dengan demikian, pendidikan
nasional menjadi tidak berharga(Andreo FR, 2010). Tidak ada lagi pengakuan akan ruang
pendidikan nasional di dunia global. Tidak mengherankan, perguruan-perguruan tinggi
lebih memilih dan memakai label “Untuk dapat bersaing di era globalisasi” dibandingkan
dengan “turut mewujudkan cita-cita bangsa.” Hal yang mendasar di dalam pendidikan
nasional, adalah identitas dari pendidikan itu sendiri. Suatu identitas yang terbentuk dari
pengenalan akan hubungan struktur (tanda) dengan dirinya sendiri (pendidikan).

Struktur yang menjadi lokus adalah negara. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
harus terkait dengan negara, dan di dalam keterkaitan itu pendidikan turut di dalam
developmentalism. Fenomena Globalisasi, sebenarnya jauh-jauh hari pada awal abad 20
sudah dilihat V.I Lenin yang mengistilahkanya dengan Imperialisme atau perkembangan
tertinggi dari Imperialisme. Yakni sebuah ciri dari perkembangan ekonomi Internasional
yang ditandai dengan penyatuan capital Industri dan capital Bank dalam kapital finans,
pembagian wilayah pasar dunia antar kapitalis, monopoli dan penguasaan atas pasar.

Senada dengan yang dianalisis Lenin dalam memandang Globalisasi, menurut Stiglitz
(2003), merupakan hubungan yang tidak setara antarnegara, lembaga, dan aktornya.
Karena itu, hubungan antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara
yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Disadari maupun tidak, sistem
ekonomi kapitalisme sudah berkembang dan merayap pada semua aspek kehidupan
kemasyarakatan di Indonesia, telah menjadi factor dasar material pembentuk hampir
seluruh orientasi kebijakan Negara di bidang sosial, ekonomi, politik, tanpa terkecuali
bidang pendidikan.

Lebih jauh dalam dunia pendidikan nasional yang berkembang pada era perdagangan
bebas saat ini semakin perlu untuk dipahami. Karena, semua negara anggota WTO yang
sudah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur
liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa antara lain: layanan kesehatan, teknologi
informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan, serta jasa-jasa lainnya akan terus
“Ditekan” agar secepatnya melaksanakan kesepakatan yang diambil dalam berbagai
macam konferensi dan perundingan tingkat tinggi yang mengatur masalah perdagangan
bebas barang dan jasa tersebut.

Konsekuensi dari komitmen Indonesia dalam WTO, yang juga diikuti dengan
kesertaannya dalam menandatangani GATS (kesepakatan WTO berkaitan dengan
perdagangan barang dan jasa), AFAS (ASEAN Framework on Services) serta Deklarasi
Bogor 1994/APEC dan agenda Aksi Osaka. Semua perundingan internasional itu sebagai
produk pendukung liberalisasi pasar yang dikembangkan WTO. Itu artinya Indonesia
juga harus mengikat diri untuk ikut pada putaran-putaran lanjutan yang mendorong
Negara peserta untuk membuka pasar domestiknya secara lebih lebar dan lebih cepat
supaya mudah diakses pelaku industri dari negara lain, dan pada akhirnya menghapus
semua hambatan perdagangan barang dan jasa. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO,
secara otomatis semua hasil perjanjian yang berhubungan dengan perdagangan
multilateral, diratifikasi menjadi UU No 7/1994 sebagai prasyaratanya agar lalu lintas
perdagangan barang dan jasa dari Indonesia bisa bersaing dan diterima di pasar bebas.
Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related
intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait
dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO
adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Dari kondisi diatas,
kita bisa melihat bersama begitu besarnya kepentingan para pemodal asing terhadap
dunia pendidikan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dunia
pendidikan merupakan ladang bisnis sangat yang sangat menjanjikan di kemudian hari.

Menolak Diskusi Metafisis dan Ideologis


Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat
dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey.
Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun
diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih
dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John
Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan,
dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini
merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya,
yang lahir sebagai ‫ آ‬sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada awal abad ini.‫ آ‬Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce
(1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952).

Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide
sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas
baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James
mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi
sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai
kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626),
yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-
1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai
bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.

Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders
Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our
Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas
makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan
mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang
berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu
antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to
Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”. John Dewey juga ikut mengambil
bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya – karyanya antara lain adalah
“Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan
“Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut
filsafatnya sebagai Instrumentalisme.

Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914)
sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun
1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola
pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat
berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 -
1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce
dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika
epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.

Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan
selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian
dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa
pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh
mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika.

Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William
James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu
ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Suatu
tindakan dapat dilaksanakan entah sadar atau tidak termotivasi oleh adanya tujuan.
Dengan demikian pragmatik artinya tindakan bertujuan. Menurut Willian James bahwa
manusia hidup harus bertindak sebagai aktualisasi dari kewajiban untuk mencapai tujuan
tertentu yang merupakan haknya untuk dinikmati (Pragmatisme menurut William James,
hlm 35-40).

Sekalipun William James menulis Varieties of Religious Experiences, tidak berarti


bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna
bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah
relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah
"kebenaran" itu berguna atau tidak. Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan,
kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria
bagi kebenaran(Kuntowidjoyo, 2004).

Dalam suasana hidup yang serba pragmatis ini, tidak ada lagi tempat untuk wacana
metafisis yang menyangkut kesadaran terdalam dari makna dan tujuan hidup di atas
kebenaran hakiki. Hal-hal yang bersifat nilai, norma dan moral sebagaimana ditawarkan
agama dipandang suatu kemewahan yang melangit dan cerita tahayul. Tak ada lagi etika
sebagai sandaran sebagaimana yang di ajarkan oleh agama, kecuali moralitas situasional
yang mengabdi pada situasi dan kondisi yang berlaku sesuai kemajuan zaman. Dan pada
akhirnya, agama akan kehilangan nilai dan elan vitalnya sekaligus tersingkir dengan
sendirinya jika para pemeluknya hanyut pada mentalitas pragmatis.
James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah
yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful.
Karena kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang
mendukung bisnis dan politik Amerika. Dengan adanya pragmatisme tidak ada
sosialisme di Amerika. (Ada memang Partai Komunis Amerika dan toko-toko buku
Marxisme. Tetapi, baik sosialisme maupun komunisme tidak pernah diperhitungkan
dalam dunia politik). Kaum buruh Amerika juga menjadi pendukung kapitalisme karena
mereka ikut berkepentingan. Hampir-hampir tidak ada ada kritik terhadap kapitalisme,
kecuali dari gerakan The New Left pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Pandangan Pragmatisme Mengenai Hubungan Alam dan Manusia


Faham pragmatisme merupakan cerminan dari life style masyarakat Amerika pada
umumnya. Pragmatisme merupakan sebuah aliran yang berusaha menengahi antara
tradisi empirisme dan tradisi idealisme. Menurut tokoh pragmatisme John Dewey filsafat
merupakan pengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik, untuk di dunia,
dan sekarang. Dalam pandangan pragmatisme manusia dan alam dipandang sebagai
sesuatu yang selalu saling bersandar. Manusia bukan dua bagian yang berbeda antara
jiwa dan badan, ia bersatu dengan alam dan alam di interpretasikan sehingga mencakup
manusia. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah berfikir dan menjadi cerdas.
Alam dikatakan tidak rasional dan tidak irrasonal. Alam dapat difikirkan sekaligus
difahami. Alam dipandang sebagai sesuatu yang harus dirubah dan dikontrol melalui
eksperimen-eksperimen.

Pandangan Dewey tersebut membuat kemajuan yang linear pada masyarakat Barat.
Manusia Barat terobsesi untuk melakukan berbagai eksperimen mengenai alam dan
ternyata hal ini mewujudkan penemuan-penemuan mutakhir di zamannya.
Nietzsche mendambakan manusia yang terbaik adalah mereka yang mampu mengatasi
segala keterbatasannya. Jika ia telah mampu mengatasi hal tersebut ialah yangdinamai
oleh Nietzsche sebagai Ubber mench (superman). Manusia diyakini sebagai makhluk
yang multidimensional maka dari itu sangat sulit untuk menafsirkan secara menyeluruh
dan tepat apa yang menjadi keinginan dan tujuan dari hidupnya.

Pragmatisme yang telah mendominasi masyarakat Barat merupakan sebuah pencapaian


filsafat yang sangat bagus, filsafat yang semula hanya berhenti pada masalah-masalah
yang bersifat esensial dan utopis oleh faham pragmatisme telah dilahirkan ke dalam
dunia. Pragmatisme menekankan pada pendirian dan metode lebih daripada doktrin
filsafat yang sistematis. Teori kebenaran yang diungkapkan oleh seorang tokoh
pragmatisme, William James mengatakan bahwa suatu ide itu benar jika ia berhasil dan
memberi akibat-akibat yang memuaskan. Oleh sebab itu kebenaran bersifat relatif dan
terus berkembang. Kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil dalam cara kita
berfikir.

Asas kegunaan atas hasil dari sebuah tindakan oleh masyarakat pragmatis telah biasa
disalahartikan sebagai sebuah dalil pembenaran atas terjadinya eksploitasi alam.
Pembangunan pabrik dengan dampak polusi yang tinggi diperbolehkan dengan dalih
untuk membuka lapangan kerja yang luas sekaligus guna mengurangi tingkat
pengangguran di sebuah wilayah. Demikian dalil asas manfaat tersebut terus bergulir
hingga sekarang. Dominasi masyarakat industri maju terhadap negara berkembang
menggunakan alasan-alasan pragmatis pun akhirnya tidak dapat dihindari lagi.

Sekularisme sebagai realitas


Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk
memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul
yang sederhana namun serba mencakup. Secara sederhana, metafisikawan berusaha
menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists),
dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini
secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran
kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi
kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme.

Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the
substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat
realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat
material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang
mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang
menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka
mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara
konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis
maupun jumlahnya.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat
Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah
Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan
memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut
Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan
dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik
Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).

Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337)
mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada
tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama
negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476
Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau
Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan.
Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus
pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak
tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan
pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).

Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh
kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan
merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan
adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517),
dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin
(w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad
XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang
dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut
kebebasan.

Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk


memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu
(w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap
Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan
Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir
sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban
Barat. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal
dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam
filsafat Barat dirasakan amat teoritis.

Menurut Ahmad Al-Qashash(Yayat Hidayat, 13/1/2009) dalam kitabnya Usus Al-


Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara.
Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi
Barat. Para komentator seperti Zeyno Baran, direktur the International Security and
Energy Programs Nixon Center yang masih mengidap mentalitas penjajah saat
mendiskusikan kebijakannya di dunia Islam. Pengamat sekuler tidak dengan tulus hati
berdialog dengan dunia Islam. Mereka hanya melihat dari satu sisi saja, yakni
kepentingan penjajahan Barat. Hal ini tampak dari pernyatan Baran yang menyatakan
bahwa Barat bisa membantu (negeri-negeri muslim) untuk mengembangkan kurikulum
sekolah yang menekankan pada cara berpikir kritis, patriotisme, etika, dan nilai-nilai
Islam yang sejalan dengan demokrasi dan sekulerisme. "can assist them (Muslim
countries) in developing school curricula that emphasise critical thinking, patriotism,
ethics and those Islamic values that are compatible with democracy and secularism."
Tentu saja kaum muslim berhak bertanya tentang nilai-nilai Islam yang tidak sesuai
dengan sekulerisme , mengapa tidak diajarkan di sekolah mereka.

Kenyataannya banyak umat Islam yang menolak sistem sekuler yang ditawarkan oleh
Barat dan menginginkan tegaknya Khilafah saat ini. Baran sebenarnya mengakui hal ini
dari pernyataannya tentang umat Islam yang semakin menyadari nilai-nilai dasar Barat
dan menolaknya. "Akan semakin banyak umat Islam dan bukan hanya teroris yang
percaya mereka akan diremehkan dalam tatanan dunia yang dipimpin oleh AS", tegasnya.
Ditambahkan oleh Baran: "Mereka yakin agenda demokrasi dan kebebasan George W.
Bush hanyalah tipuan untuk menenangkan mereka, yang dengan itu AS bisa
mempertahankan hegomoni globalnya". Sementara itu masyarakat sekuler Barat telah
kehilangan perekat yang kuat ditengah masyarakat akibat penyakit kronis individualisme,
kejahatanpun merajelala, hubungan sosial yang retak dan paham materialisme yang
fanatis. Mengimpor model sekuler yang gagal dan hancur dari Barat ke dunia Islam ,
seperti membiarkan menyebarnya virus flu burung.
Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun
agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an
al-hayah). Dengan hanya melihat pendapat kelompok moderat pinggiran, Baran terlalu
menekankan perbedaan internal dalam peradaban Islam, sementara mengabaikan
pertentangan yang menyeluruh antara dua peradaban yang bersaing secara ide yang
dalam wacana intelektual dunia Barat dikenal dengan perdebatan antara Imperium vs
Kosmopolis. Penganjur ide imperium menyakini bahwa Barat telah menciptakan tatanan
dunia neo-liberal yang tidak adil lewat pemikiran imperalisme. Mereka menggunakan
hutang luar negeri, perdagangan yang tidak adil, dukungan terhadap penguasa yang tirani
dan pendudukan ilegal di luar negeri untuk kepentingan imperialisme-mereka . Disisi
lain, kebebasan sipil dihambat dengan cara menghembuskan rasa ketakutan (antara lain
lewat isu terorisme). Sebaliknya, penganjur pandangan kosmopolis menyakini tatanan
kapitalis dan sekuler saat ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan harus dijaga
meskipun dibutuhkan serangan intervensi militer sebagai bentuk pre-empative (serangan
sebelum diserang).

Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus
pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir
dengan what for dalam filsafat praktis. Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau
berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan
langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula.
Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak
terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata
berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.

Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan
untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang
tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku,
yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu
teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak, melainkan
didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta
kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta
atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.

Sekularisme di Indonesia
Masa kejayaan Indonesia pra-kemerdekaan, terjadi ketika kerajaan-kerajaan di Indonesia
berjaya di tanah air. Awal munculnya kerajaan di tanah air diinspirasi dari pertumbuhan
agama Hindu dan Budha. Semangat spiritualisme masyarakat mendorong kegairahan
untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan padepokan yang mengajarkan sendi-sendi
kehidupan dan membangun sebuah komunitas masyarakat yang adil, berbudaya dan
beradab. Dari padepokan-padepokan melahirkan ksatria-ksatria calon pemimpin bangsa
raja. Pemimpin-pemimpin yang lahir dari kalangan ksatria yang mentas dari godokan
kawah candradimuka pendidikan lebih berperilaku adil, cerdas, arif dan bijaksana,
sehingga mampu melahirkan sebuah bangsa yang besar.
Dari rentetan sejarah bangsa Indonesia pasca-kemerdekaan, hanya sekali bangsa ini
dipimpin oleh orang yang berpendidikan tinggi, yaitu Soekarno. Sehingga wajar kalau
masa di luar kepemimpinannya keadilan dan kebijaksanaan dimaknai sebagai keadilanku
dan kebijaksanaanku bukan justice for all. Begitu juga masa kejayaan kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara, yang diwarnai oleh pertumbuhan Islam di Indonesia. Pondok-pondok
pesantren menjadi pusat kawah candradimukanya tempat untuk mendidik/membina para
calon-calon pemimpin pada masa itu.

Sekularisme sebagai akar liberalisme, masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan,


khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub
dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa
pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau
mencampuri urusan agama. (Suminto, 1996:27). Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari
rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam
Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di
Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.

Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya
memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2)
dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan
masyarakat agar rakyat mendekati Belanda bahkan membantu rakyat yang akan
menempuh jalan tersebut; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus
mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan-Islam.
Politik pemisahan inilah yang oleh Kernkamp disebut Splitsingstheorie, sebab pada
hakekatnya agama Islam tidak begitu jauh memisahkan ketiga bidang ini(Suminto,
1996:12). Secara resmi pemisahan antara gereja dan Negara baru terjadi pada tahun 1935;
dan sejak itu administrasi gereja dilepaskan dari pengawasan Gubernur Jenderal, dan para
pengelola gereja tidak lagi diangkat oleh pejabat pemerintah(Suminto, 1996: 37).

Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan
liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya
mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat
kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje,
menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah
mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan
agama. (Noer, 1991:183).

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk


menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang
ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan
Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi
penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak
ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan
kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka
secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.
Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal
sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang
politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud
dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi
yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar
(market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit).
(Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam
sistem demokrasi-liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik
tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47).
Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan),
yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban
Barat. (Said, 1995:101).

Pendidikan Islam merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan
pendidikan Islam merupakan aset nasional. Karenanya, posisi pendidikan Islam sebagai
subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai
komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat
menentukan perjalanan pendidikan nasional sejak pra-kemerdekaan hingga saat ini.
Dari waktu ke waktu, masalah pendidikan Islam di negeri ini ternyata juga tidak luput
dari dinamika politik kekuasaan. Pertanyaannya, apa dan bagaimana kebijakan politik
pendidikan Islam di negeri ini? Secara yuridis, hal ini telah terakomodasi dalam Undang-
Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Dari payung hukum yang mengatur pendidikan Islam tersebut bukan berarti kini tidak
menyisakan masalah baik secara institusional maupun politis. Banyak kalangan
mempersoalkan dan mengkritisi, bahwa dengan terintegrasikannya sistem pendidikan
nasional Islam sebagai komponen substansial ke dalam sistem pendidikan nasional, maka
konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya
pendidikan keagamaan seharusnya dihapuskan. Ironisnya hingga kini masih ada
dikotomisasi.

Padahal, implikasi politis dari payung hukum tersebut seharusnya kebijakan lama yang
sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam (keagamaan)
yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan umum yang dibina dan
dikelola oleh Departemen pendidikan Nasional harus ditinjau kembali.
Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam
memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite Muslim
dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya
serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat
dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu: pengelolaan pendidikan
Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada
Departemen pendidikan Nasional(Choirul Mahfud, 2009).

Tentu hal ini bukan perkara mudah baik bagi Depdiknas maupun Depag dalam mengatur
kembali masalah pendidikan Islam yang sudah sekian tahun terpisah. Keterpisahan dua
institusi besar tidak luput dari sejarah dan situasi kondisi sosio-kultural-politik pada masa
itu. Waktu itu, kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara
ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam
pergumulan politik ideologis sedemikian keras. Puncaknya, para tokoh nasionalis Islam
di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam
pengelolaan Departemen Agama. Sehingga, Departemen Agama dianggap sebagai
representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik agama (Islam) dan sebagai satu-
satunya penyangga pilar pendidikan Islam.

Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti
dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad
Soebarjo, dan M. Yamin memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam
dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan
Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.
Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya
(Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh
Islam Liberal. Husaini & Hidayat (2002:34) membenarkan Komaruddin Hidayat tidak
sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena
keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa
Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki
sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis
khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno
dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak
Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003). Hatta juga
seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian
sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,"Memang di sini terlihat ada
dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya
Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh
Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara
dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam." (Anshari, 1997:27).

Politik Orde Baru hingga akhir 1980-an tidak hanya anti-komunisme, tetapi juga anti-
Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Sejak kelahirannya,
Orde Baru berdiri di atas slogan politik ‘melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen’, sesuai dengan penafsiran tunggal mereka. Slogan ini cukup
menggambarkan sikap deideologinya khususnya terhadap Islam. Represi kekuasaan, baik
secara terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelijen, selalu
membayangi setiap partai dan gerakan politik Islam. Berkiblat pada siasat Snouck
Hurgronye dalam menaklukkan Aceh, Orde Baru juga berupaya membiarkan kalangan
Islam melaksanakan ibadah secara ritual individu namun memberangus setiap orang atau
kelompok yang mempunyai gagasan tentang politik Islam. Kebijakan-kebijakan
pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga
masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja
menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara
Islam”.

Oleh karena itu, politik Orde Baru pada hakikatnya adalah usaha mewujudkan sebuah
negara sekular melalui perlindungan angkatan bersenjata dan intelijen dengan legitimasi
pembangunan ekonomi. Pada tataran ideologis, platform politik saat itu sangat
dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Butir-butir P4 merupakan wujud tafsir ideologi
kapitalisme terhadap Pancasila. Aspek ini bisa menjadi alasan utama kenapa Soeharto
tampak bersikap sangat keras terhadap kelompok-kelompok Islam yang ingin
memperjuangkan syariah Islam atau negara Islam. Karena kekuatan Islam dianggap tidak
hanya sebagai ancaman terhadap politiknya secara pribadi, namun juga kekhawatirannya
pada kelompok Islam yang akan mengubah asas sekular dari negara.

Tindakan seperti Orde Baru yang berusaha mengeliminasi politik Islam tersebut
sebenarnya masih berlangsung hingga hari ini. Paling tidak upaya tersebut terlihat pada
saat Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu menyerukan
untuk kembali pada asas tunggal. Tentu mudah ditebak bahwa wacana tersebut
merupakan bagian strategi mereka untuk menjegal perkembangan politik Islam agar
politik sekuler bisa tetap menguasai negeri ini. Oleh karena itu, upaya penjegalan
terhadap Islam politik yang memperjuangkan tegaknya syari’ah tidak dilakukan oleh
Soeharto semata-mata karena bagian strategi ambisi dirinya, namun merupakan imbas
dari perang ideologi saat itu antara kapitalisme, komunisme, dan Islam.

Orde Baru menjadi bagian rantai kapitalisme untuk menghancurkan komunisme dan
Islam. Sementara saat ini kapitalisme dunia dibawah pimpinan AS sedang menghadapi
Islam sebagai satu-satunya rival semenjak komunisme tumbang. Tentu harus ada
kesadaran pada diri umat Islam, bahwa sistem politik yang sedang berjalan saat ini di
berbagai negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia pada dasarnya merupakan bagian dari
kapitalisme global itu. Negara-negara dunia ketiga yang notabene negeri-negeri Muslim
realitasnya saat ini berada dalam hegemoni negara-negara yang berideologi kapitalisme
dibawah pimpinan AS. Jadi meskipun Soeharto telah tiada, benturan ideologi kapitalisme
dan Islam di negeri ini tetap akan berlangsung bahkan mungkin bisa lebih tajam sejalan
dengan makin kuatnya Islam ideologis memperjuangkan perbaikan sistem saat ini menuju
sistem Islam, yakni Syari’ah dan Khilafah.

Pada aspek ekonomi, kebijakan Orde Baru banyak ‘dibantu’ AS dengan cara membentuk
mafia ekonomi yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Mafia inilah yang kemudian
merancang kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan
kepentingan AS. Mereka ditempatkan dalam posisi strategis dalam pemerintahan untuk
mengendalikan perekonomian negara. Sebagian besar pejabat ekonomi dalam kabinet
Orde Baru adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley tersebut. Misalnya,
Widjojo Nitisastro sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Emil
Salim sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan, menteri
keuangan Ali Wardhana, serta ketua Penanaman Modal Asing Moh Sadli.
Sesuai dengan politik ekonomi AS, mafia ini menjalankan kebijakan ekonomi yang
kapitalistik. Yaitu kebijakan yang pro pasar, mengundang investasi asing, meminjam
hutang luar negeri. Dampaknya sangat luar biasa. Kebijakan investasi asing ditandai
dengan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada perusahaan asing sebagai kompensasi
dari bantuan hutang luar negeri Indonesia. Freeport mendapat emas di Papua Barat,
sebuah perusahaan konsorsium Eropa mendapat Nikel di Papua Barat, perusahaan lain
mendapat hutan tropis. Sementara hutang luar negeri kemudian menjadi alat tekanan
negara donor yang semakin menjerat Indonesia. Akibat jebakan hutang ini Indonesiapun
harus patuh terhadap instruksi IMF dan Bank Dunia, yang alih-alih menyelesaikan krisis
ekonomi, tapi malah membuat krisis ekonomi makin parah.

Anda mungkin juga menyukai