Visi Pendidikan Multikultur
Visi Pendidikan Multikultur
Kalau titik awalnya (TA, Point of Depature : POD) sudah jelas, yaitu kita menyadari
(mindshift) bahwa kita belum terlepas dari krisis multi dimensional, maka ke mana anak
kita akan kita bawa; ke mana titik tibanya atau Point of Arrival (POA).
Perspektif masa depan kita dilukiskan sebagai masyarakat madani yang beragama,
ditandai oleh kebersamaan dalam kebhinekaan yang dilandasi oleh keadilan dan
kesejahteraan yang berkesinambungan serta dalam keserasian dengan kecendrungan
global. Dengan memahami visi tentang perjalanan yang harus di tempuh akan mencapai
POA bangsa ini, maka kemudian perlu difahami bagaimana caranya mencapai cita-cita
tersebut.
Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang menjadi landasan filsafat
pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap anak
Indonesia berhak untuk belajar. Dengan demikian, maka berdasarkan landasan bahwa
setiap anak itu adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat
dan watak, pengalaman belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna
dan beragam. Konsekunsinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem
desentralisasi dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan multikultur.
Paradigma pendidikan multi kultur mengisyaratkan bahwa individu siswa individual
belajar bersama dengan individulain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi
dan saling memahami.
Cara pandang dan interpretasi orang dalam satu budaya etnis tertentu terhadap makna
lambang budaya tertentu, demikianpun perilakunya pada umumnya kurang lebih sama
dan merupakan microculture tertentu dalam keseluruhan culture yang dominan, atau yang
di sebut macroculture (mainstream). Namun, sebagaimana cara orang belajar juga
memiliki perbedaan, demikian juga kelompok individu tertentu berbeda perkembangan,
cara pandang dan orientasinya sesuai microculture tertentu dan sedikit banyak terbentuk
oleh culture tersebut karena society lives through them, harus beradaptasi terhadap
mainstream culture yang ada.
Mereka adalah peserta didik yang apabila kurang mampu beradaptasi, disebut field
dependent atau field sensitive, yaitu mereka mengalami kesulitan menyesuaikan diri
dalam lingkungan belajar mereka. Apabila anak tidak dapat menyesuaikan dirinya, maka
ada kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Apabila kebutuhannya tidak terpenuhi, ia
akan mengalami stres atau frustasi, dan apabila seseorang mengalami stres atau frustasi,
maka berbagai prilaku yang menyimpang (seperti mudah menipu dan sikap bermusuhan
(hostile attitude) akan mungkin bisa menjadi akibatnya. Semua kecenderungan itu
merupakan potensi untuk korupsi, tawuran, dsb.
Di era yang sangat plural sekarang ini, seragam bukanlah hal yang pokok dalam dunia
pendidikan. Pendapat yang menyatakan bahwa seragam untuk menetralisir gap, mendidik
disiplin dan loyalitas justru mengakibatkan euphoria korps yang tidak pada tempatnya.
Gap dan kasta dalam masyarakat ada karena proses sosial yang tidak seimbang, tentu
tidak akan hilang atau ditutupi (cover up) oleh selembar seragam. Bahkan kehadiran
seragam justru semakin memisahkan siswa yang memakainya dari realita, karena mereka
menjumpai warna seragam yang sama tapi harganya bisa sangat jauh berbeda. Faktanya
fungsi seragam dari hari ke hari semakin tidak memiliki makna selain untuk media
coretan di akhir masa sekolah.
Seragam bahkan justru menimbulkan berbagai persoalan sejak dari awal dia harus
dikenakan. Siswa secara rasional tidak bisa memahami dan menerima alasan ‘mengapa
mereka harus memakai seragam’ sehingga yang tersisa hanyalah perasaan terpaksa dan
frustasi yang tidak terungkapkan dan lambat laun menjadi dendam. Sehingga tidaklah
heran bila kemudian muncul berbagai ‘kreatifitas’ yang mereka lakukan terhadap
seragamnya. Termasuk pelampiasan ‘coretan kelulusan’. Karena hanya dengan cara
demikian mereka dapat ‘membalas dendam’ terhadap seragam yang telah memasung jati
diri dan kreatifitas mereka selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata yang namanya
seragam tidak hanya satu macam saja. Contohnya seragam Pramuka, untuk apa mereka
membeli dan dipaksa memakai sedangkan mereka sama sekali tidak berminat dengan
kegiatan kepanduan ?
Pendapat yang militer sentris warisan kolonial dan masa penjajahan Jepang itu dengan
sendirinya tidak relevan dengan masyarakat sipil modern yang plural dan demokratis ini.
Masyarakat memahami bahwa disiplin dan kebanggaan memang penting, bahkan
mungkin kita akan bicara nasionalisme di sini, namun semua itu tidak akan lahir hanya
karena seragam atau upacara setiap Senin pagi yang hanya mengakibatkan sinisme,
sehingga bahkan untuk menertibkannya para guru terpaksa harus rela kejar-kejaran
dengan siswanya. Bagi siswa upacara Senin pagi yang monoton itu lebih dipandang
sebagai rutinisme penyiksaan fisik dan pemasungan ekspresi ketimbang refleksi
nasionalisme. Disiplin muncul karena proses pendidikan yang elegan, keteladanan dan
adanya rasa tanggung jawab. Sedangkan kebanggaan serta loyalitas itu akan tumbuh
dengan sendirinya sejalan dengan tumbuh kembangnya prestasi.
Dijaman sekarang siswa tidak akan bisa memahami makna nasionalisme, cinta tanah air
dan penghormatan terhadap para pahlawan serta pendahulu jika dilakukan dengan ritual
‘penjemuran dibawah terik matahari’ sambil menyanyikan Indonesia Raya, lagu nasional
ditambah lagi dengan pelototan angker dan petatah petitih yang menjemukan dari Bapak
Ibu guru. Mengapa ? Karena mereka memang adalah generasi terkemudian yang sama
sekali tidak bersentuhan dengan hiruk pikuk perang kemerdekaan, revolusi bahkan
reformasi. Setiap peserta didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial,
bangsa,etnis,agama, gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau
menjadi anggota dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari
tingkat identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh
terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar
ia terlayani dengan baik di kelasnya.
Mereka, siswa, hanya mungkin ‘merasakan sentuhan nasionalisme’ itu melalui cara yang
lain. Melalui pengajaran sejarah yang mengajarkan dan menanamkan makna perjuangan,
mengapa itu harus dan dapat terjadi, bukan pelajaran sejarah yang memaksaan hafalan
nama, tempat dan tanggal peristiwa. Mereka perlu ditunjukkan bagaimana wujud
penindasan secara konkrit, bagaimana rasa persaudaraan kebangsaan dibentuk dan
seterusnya. Ini semua ada dalam kehidupan keseharian, misalnya bagaimana kita bisa
menanamkan rasa kebangsaan bila setiap hari mereka melihat diskriminasi etnik terjadi di
sekolah ?
Maka cara yang paling tepat untuk ‘belajar’ adalah membiarkan mereka aktif dan terjun
serta merasakan langsung sensasi dan pengalaman di tengah masyarakat. Kekayaan
budaya itu yang akan tertanam dan memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, persatuan,
persaudaraan dan seterusnya. Semua ini tidak mungkin di dapat dari pengajaran
akademik dengan hanya duduk manis di bangku sekolah, melalui kegiatan ekstra
kurikuler, wadah organisasi ekspresi seperti pramuka, kepecintaalaman, palang merah,
bela diri nasional dan sebagainya.
Dua hal yang terkait dengan rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan ialah
proses pendidikan yang berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Artinya,
bahwa keberadaan manusia ialah keberadaan interaktif, sebagai makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Sebagai ‘abdullah sekaligus khalifatullah. Antara tujuan dan
fungsi manusia ini sendiri yang kemudian menuntut eksistensi manusia untuk terus dicari
pemahaman aplikatifnya seperti apa. Dalam hal ini, benar bahwa prosesi pemaknaan atas
eksistensi manusia itu sendiri harus senantiasa berjalan sepanjang waktu. Sepanjang
tujuan dan fungsi manusia yakni sebagai ‘abdi dan khalifah belum mampu dipahami,
terkonsepsikan, dan teraplikasikan dengan baik maka sejatinya arahan hakikat pendidikan
secara menyeluruh belum mampu terwujudkan. Karena salah satu dari keberwujudan
eksistensi manusialah yang sampai pada konsekuensi progresifitas pendidikan, yang tak
hanya sekedar berdimensi lokalitas tetapi juga global. Tak hanya berdimensi sosial
manusia tetapi juga berdimensi Illahiyah.
Selanjutnya, merupakan eksistensi manusia yang memasyarakat. Apakah sama hal ini
dengan tuntutan peran dari adanya proses pendikan itu sendiri? Bisa dikatakan hampir
sama, namun yang lebih signifikan dalam hal ini bahwa eksistensi manusia yang
memasyarakat ialah ketika pemahaman unsure pendidikan terdapat lembaga pendidikan
dan non lembaga pendidikan, maka sejatinya bukan mencoba mendikotomikan antara
lembaga dan non lembaga tersebut. Kenapa demikian? Menjadi kurang tepat jika
mengasumsikan bahwa prosesi pendidikan bukan berada di masyarakat karena berada di
lembaga pendidikan. Karena sejatinya, antara lembaga dan non lembaga atau masyarakat
merupakan peran yang sama, bukan dua hal yang berbeda dalam ruang yang berbeda.
Sehingga menjadi kurang tepat lagi, jika kemudian keinginan dari eksistensi manusia—
dalam hal ini peran pendidikan mencoba menyiapkan konsepsi sebagai inisiasi
memasyarakat tadi, karena pendidikan itu sendiri ada dalam masyarakat. Benar bahwa,
tujuan pendidikan bukan diluar proses pendidikan yang mengasumsikan masyarakat, tapi
berada dalam pendidikan sendiri.
Kebijakan peningkatan mutu selama ini senantiasa cepat direspons sepenuhnya oleh
sekolah yang masuk pada kualifikasi “menuju kualitas unggul”. Sekolah pada klasifikasi
“memantapkan posisi” juga cepat merespons tetapi banyak mengalami kesulitan. Oleh
karena itu, kebijakan peningkatan mutu yang ada akan meningkatkan sekolah-sekolah
yang ada pada kualifikasi “menuju kualitas unggul” lebih cepat dibandingkan dengan
kualifikasi “memantapkan posisi”, apalagi kualifikasi “hidup tidak mati segan” dan “pas-
pasan”. Dengan peningkatan mutu secara konvensional sebagaimana yang ada selama ini
kesenjangan mutu diantara sekolah akan semakin tajam.
Kepala sekolah harus memiliki cara pandang baru berkaitan dengan sekolah. Yakni,
Sekolah bukan pabrik melainkan masyarakat kecil dan a learning community, siswa
bukan bahan mentah melainkan individu yang masing-masing memiliki karakteristik
berbeda; Guru bukan satu-satunya sumber ilmu, melainkan memberikan arah dan
mengantarkan peserta didik untuk menguasai ilmu, dan sekaligus a learning person.
Dengan demikian kepala sekolah harus memperlakukan guru sebagai pekerja
professional yang mandiri yang tidak perlu senantiasa diperintah atau didikte dan tidak
mencari kambing hitam “kualitas masukan” sebagai penyebab rendahnya mutu sekolah.
Guru harus memiliki cara pandang baru, bahwa, PBM tidak sederhana, melainkan proses
yang penuh ketidak pastian karena melibatkan pikiran, emosi, imaginasi, sikap siswa dan
sumber lain yang diperolehnya bukan dari guru; guru bukan pengecer ilmu melainkan
Guru adalah a cave (Consistent added value everywhere) worker.