Dialektika Peradaban Bagi Tatanan Dunia Baru
Dialektika Peradaban Bagi Tatanan Dunia Baru
Walaupun wacana benturan antar peradaban belum memunculkan tindak tanduknya yang
signifikan di Indonesia, objek yang dimungkinkan untuk berbenturan itu telah memenuhi
faktor yang rawan untuk memunculkan ancaman-ancaman disintegrasi bangsa.
Korelasi ini jugalah yang mengikat keutuhan umat Islam yang tersebar di berbagai negara
ke dalam suatu peradaban, kepada suatu “Tauhiditas Islam”. Atas nama persaudaraan,
orang Indonesia akan mengangkat senjata ke Palestina, Arab, atau Pakistan. Ikatan
afinitas agama ini menghilangkan batas geografis, etnik, dan budaya. Meminjam istilah
dari Hegel, Ruh segenap umat Islam bersatu dengan Ruh yang lebih besar, dan lebih
global sehingga menghilangkan Ruh individu dan Ruh negara mereka. Hal inilah yang
disebut oleh Huntington sebagai Intoleransi Islam.
Namun Intoleransi sering dimanifestasikan ke dalam suatu sikap yang kurang relevan dan
terkadang berkesan anti-nasionalisme. Sementara di negeri sendiri masih banyak
kesulitan yang menimpa saudara sebangsa dan setanah air, akan tetapi bagi para Muslim
yang cenderung fundamentalis seringkali perhatian kemanusiaannya lebih tersedot
kepada saudara seiman yang mengalami kesulitan baik itu di dalam maupun di luar
negeri. Hal ini menjadi problematika sosial yang cukup kronis mengingat pluralitas
beragama di Indonesia.
Bagi etnis Cina di Indonesia perilaku etnosentris tampak masih cukup kental. Hal ini
terbukti melalui keberhasilan bisnis orang Cina lebih karena ikatan personal berbasis
kultural-kekeluargaan daripada ikatan formal-legal. Masyarakat Cina terikat oleh jalinan
kekeluargaan yang dinamakan bamboo network. Di mana pun masyarakat Cina berada,
mereka cenderung bersikap etnosentris. Kebudayaan mereka tidak mengalami asimilasi,
melainkan tetap lestari seperti penggunaan bahasa, budaya Cina di berbagai belahan
dunia.
Peristiwa historikal yang menjadi subjek bagi kedua perayaan tahun baru ini merupakan
pemicu yang signifikan bagi sejarah kedua peradaban tersebut dalam konteks religi
maupun sosial. Apabila diwarnai dengan semangat fanatisme buta, tidaklah mustahil
apabila kedua perayaan ini menjadi titik tolak untuk memunculkan rasa superioritas
masing-masing peradaban, hal ini akan selangkah mendekati penggenapan dari tesis
Huntington. Yang menurut ramalannya tersebut, fragmentasi dari dua peradaban besar ini
akan memunculkan eksistensinya secara anarkis di bumi pertiwi dan menenggelamkan
peradaban Indonesia yang telah dibangun atas dasar pluralitas.
Oleh karena itu, selain menekankan peringatan ini kepada aspek spiritualnya, sekiranya
perlu dikembangkan aspek sosialnya yang inklusif, agar tidak terjebak ke dalam suatu
sikap etnosentris. Diperlukan suatu radikalitas (melihat ke akarnya) untuk kembali
kepada konsep ideal dari beragama sehingga makna dari peringatan ini dapat
diadaptasikan atau dihijrahkan secara kultural untuk masa ini.
Apabila berefleksi dari sejarah, perjalanan dari peradaban masa lalu selalu disatukan oleh
semangat inklusifitas yang ditebar oleh agama. Mengambil makna holistik dari ajaran
agama yakni menuntun ke jalan yang benar, dalam konteks sekarang adalah memulihkan
kembali jalinan kemanusiaan kita yang sudah mulai retak dengan perbaikan sikap, jiwa
dan hati.
Kedua peringatan besar ini diharapkan mampu menjadi momen untuk melangsungkan
dialog antar peradaban agar dapat menemukan hakikat sejati dari agama yang senantiasa
memberikan angin segar bagi kesejukan hati, jiwa dan rasa yang dapat mendorong jalinan
kerukunan antar iman yang sejati diantara para pemeluknya. Apabila kita melongok
sedikit konsep radikal Hassan Hanafi sang pemikir Islam. Menurutnya, hakikat tauhiditas
dari Islam berarti kesatuan antar manusia tersebut, kesatuan antar sesama manusia yang
tidak mengenal batas suku, agama dan etnik. Tauhiditas merupakan interpretasi salah satu
agama mengenai suatu jalinan persaudaraan yang universal, yang mutlak diperlukan demi
meramu simfoni keberagaman kita menjadi selaras, indah dan serasi. Bhinneka Tunggal
Ika, berbeda-beda namun tetap satu, satu Indonesia.