Anda di halaman 1dari 3

Dialektika peradaban bagi tatanan dunia baru : Manusia Berperadaban Sempurna

sebagai Tujuan Pendidikan


Oleh Rum Rosyid
Menurut sebuah tesis terkemuka clash of civilization oleh Samuel P. Huntington, di dunia
ini terdapat tiga peradaban raksasa, yakni Barat, Cina dan Islam. Menurutnya pula
kontradiksi-kontradiksi antar peradaban ini kemudian akan menciptakan konflik yang
berakar dari benturan peradaban besar dalam hal ini adalah hegemoni barat, intoleransi
Islam dan arogansi China. Pada suatu saat, dialektika-dialektika yang terjadi diantara
peradaban akan menciptakan suatu tatanan dunia yang benar-benar baru.

Walaupun banyak kalangan mengatakan bahwa tesis clash of civilization merupakan


manifestasi rasisme dari Huntington, namun apabila dikaji secara kontekstual, kondisi
yang dicuatkan oleh Huntington sesuai dengan konteks di Indonesia. Tidak mustahil
bahwa teori ini dapat menjadi nubuat kehancuran bagi bangsa kita. Tentunya apabila kita
tidak mampu melestarikan kerukunan antar agama, etnis, suku di tengah keberagaman
bangsa kita.

Walaupun wacana benturan antar peradaban belum memunculkan tindak tanduknya yang
signifikan di Indonesia, objek yang dimungkinkan untuk berbenturan itu telah memenuhi
faktor yang rawan untuk memunculkan ancaman-ancaman disintegrasi bangsa.

Dominannya kuantitas umat Muslim di Indonesia menempatkan negara kita sebagai


negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Budaya yang bercorak Islamiyah juga
sangat kental dalam aspek kehidupan di Indonesia. Selain itu Islam di Indonesia memiliki
korelasi loyalitas dan militansi yang tinggi dengan segenap umat Muslim di dunia.

Korelasi ini jugalah yang mengikat keutuhan umat Islam yang tersebar di berbagai negara
ke dalam suatu peradaban, kepada suatu “Tauhiditas Islam”. Atas nama persaudaraan,
orang Indonesia akan mengangkat senjata ke Palestina, Arab, atau Pakistan. Ikatan
afinitas agama ini menghilangkan batas geografis, etnik, dan budaya. Meminjam istilah
dari Hegel, Ruh segenap umat Islam bersatu dengan Ruh yang lebih besar, dan lebih
global sehingga menghilangkan Ruh individu dan Ruh negara mereka. Hal inilah yang
disebut oleh Huntington sebagai Intoleransi Islam.

Namun Intoleransi sering dimanifestasikan ke dalam suatu sikap yang kurang relevan dan
terkadang berkesan anti-nasionalisme. Sementara di negeri sendiri masih banyak
kesulitan yang menimpa saudara sebangsa dan setanah air, akan tetapi bagi para Muslim
yang cenderung fundamentalis seringkali perhatian kemanusiaannya lebih tersedot
kepada saudara seiman yang mengalami kesulitan baik itu di dalam maupun di luar
negeri. Hal ini menjadi problematika sosial yang cukup kronis mengingat pluralitas
beragama di Indonesia.

Sedangkan peradaban Cina diungkap Huntington menjadi dominasi dalam kekuatan


ekonomi dunia. Dalam konteksnya di Indonesia hal ini terbukti dengan gelar mereka
sebagai Market Dominant Minorities yang diberikan oleh Amy Chua dalam bukunya
kontroversial-World on Fire, How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic
Hatred and Global Instability. Penelitian Michael Backman (1995) tentang kapitalisasi
pasar dari 300 konglomerat Indonesia, Backman menemukan 73 persen total kapitalisasi
pasar Swasta di negeri ini dimiliki oleh etnis Tionghoa. Secara kotor dapat digambarkan
etnis tionghoa yang hanya berjumlah 2 persen dari keseluruhan penduduk di Indonesia
menguasai 70 pesen kekayaan negara. Sehingga sampai dengan saat ini stigma “binatang
ekonomi” masih melekat pada mereka.

Bagi etnis Cina di Indonesia perilaku etnosentris tampak masih cukup kental. Hal ini
terbukti melalui keberhasilan bisnis orang Cina lebih karena ikatan personal berbasis
kultural-kekeluargaan daripada ikatan formal-legal. Masyarakat Cina terikat oleh jalinan
kekeluargaan yang dinamakan bamboo network. Di mana pun masyarakat Cina berada,
mereka cenderung bersikap etnosentris. Kebudayaan mereka tidak mengalami asimilasi,
melainkan tetap lestari seperti penggunaan bahasa, budaya Cina di berbagai belahan
dunia.

Dominasi Sosio-Kultural Islam dan Cina di Indonesia


Pada bulan Februari 2009, kedua peradaban besar tersebut merayakan peringatan hari
besar agamanya secara beriringan. Pada tanggal 9 Februari umat Konghucu beserta
seluruh etnis Cina merayakan tahun baru Imlek dan kemudian beriringan dengan hari
raya umat Muslim, tahun baru Hijriah yang jatuh pada tanggal 10 Februari. Tahun baru
Imlek adalah hari kelahiran Konfusius sang pencetus Konfusiansisme atau agama
Konghucu. Adalah kewajiban moral bagi seluruh etnis Cina tanpa terbatas oleh agama
untuk menghormat perayaan dalam makna kulturalnya.

Sedangkan tahun baru Hijriah menandai kemunculan peradaban Islam di Madinnah.


Perayaannya tentu mengingatkan kepada umat Muslim bahwa Islam pernah berdiri
sebagai suatu peradaban teokrasi yang sempurna dimana dipimpin langsung oleh Nabi
Muhammad dengan bimbingan wahyu Allah.

Peristiwa historikal yang menjadi subjek bagi kedua perayaan tahun baru ini merupakan
pemicu yang signifikan bagi sejarah kedua peradaban tersebut dalam konteks religi
maupun sosial. Apabila diwarnai dengan semangat fanatisme buta, tidaklah mustahil
apabila kedua perayaan ini menjadi titik tolak untuk memunculkan rasa superioritas
masing-masing peradaban, hal ini akan selangkah mendekati penggenapan dari tesis
Huntington. Yang menurut ramalannya tersebut, fragmentasi dari dua peradaban besar ini
akan memunculkan eksistensinya secara anarkis di bumi pertiwi dan menenggelamkan
peradaban Indonesia yang telah dibangun atas dasar pluralitas.

Oleh karena itu, selain menekankan peringatan ini kepada aspek spiritualnya, sekiranya
perlu dikembangkan aspek sosialnya yang inklusif, agar tidak terjebak ke dalam suatu
sikap etnosentris. Diperlukan suatu radikalitas (melihat ke akarnya) untuk kembali
kepada konsep ideal dari beragama sehingga makna dari peringatan ini dapat
diadaptasikan atau dihijrahkan secara kultural untuk masa ini.

Dialog peradaban untuk menemukan hakikat agama


Pada masa lalu, peradaban Islam di Madinnah dibangun di atas fondasi piagam madinnah
yang menjadi ikatan kerukunan bagi etnik, agama dan suku yang mewarnai kemegahan
peradaban Islam tersebut. Sedangkan Konfusianisme pernah menjadi ajaran agama resmi
bagi bangsa Cina di masa lalu. Dengan ajarannya tersebut Konfusius merestorasi etika
sistem pemerintahan di Cina yang saat itu sangat senjang dalam wacana kekuasaan,
dengan ajarannya yang berorientasi kepada cinta kasih, kebaikan, kemanusiaan, dan
welas asih.

Apabila berefleksi dari sejarah, perjalanan dari peradaban masa lalu selalu disatukan oleh
semangat inklusifitas yang ditebar oleh agama. Mengambil makna holistik dari ajaran
agama yakni menuntun ke jalan yang benar, dalam konteks sekarang adalah memulihkan
kembali jalinan kemanusiaan kita yang sudah mulai retak dengan perbaikan sikap, jiwa
dan hati.

Kedua peringatan besar ini diharapkan mampu menjadi momen untuk melangsungkan
dialog antar peradaban agar dapat menemukan hakikat sejati dari agama yang senantiasa
memberikan angin segar bagi kesejukan hati, jiwa dan rasa yang dapat mendorong jalinan
kerukunan antar iman yang sejati diantara para pemeluknya. Apabila kita melongok
sedikit konsep radikal Hassan Hanafi sang pemikir Islam. Menurutnya, hakikat tauhiditas
dari Islam berarti kesatuan antar manusia tersebut, kesatuan antar sesama manusia yang
tidak mengenal batas suku, agama dan etnik. Tauhiditas merupakan interpretasi salah satu
agama mengenai suatu jalinan persaudaraan yang universal, yang mutlak diperlukan demi
meramu simfoni keberagaman kita menjadi selaras, indah dan serasi. Bhinneka Tunggal
Ika, berbeda-beda namun tetap satu, satu Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai