Anda di halaman 1dari 42

PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 1

STUDI KASUS DAN LITERATUR

DPR: Mewakili atau Mengkhianati


Oleh Ramadhoni1

Pendahuluan

K
ontestasi dan benturan ideologi sebagai landasan pijakan sebuah
pembangunan di suatu negara telah sampai di sebuah puncaknya. Demokrasi
lahir dari sebuah benturan baik bumi belahan barat maupun timur. Demokrasi
diprediksikan sebagai alternatif ideologi yang dapat menghadirkan sebuah kesejahteraan
bagi masyarakat dunia, yang sangat fleksibel dengan kultur yang ada di masing-masing
negara. Demokrasi digadang-gadang sebagai sebuah formula luar biasa, yang dapat
menjamin hak asasi manusia dapat terpenuhi. Ideologi tersebut pun menjamin adanya rasa
kemerdekaan, keadilan, keterbukaan, persamaan, persaudaraan, kemanusiaan, dan
kesejahteraan.

Demokrasi itu sendiri lahir dari sebuah kontrak sosial yang disepakati bersama di
masyarakat melalui sebuah tatanan sistem yang baku. Fenomena kontrak sosial inilah yang
menjadi landasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Karena sejatinya kedaulatan tertinggi di
dalam kehidupan berdemokrasi adalah rakyat itu sendiri. Rakyat menjadi sebuah raja yang
harus dipenuhi hak-hak dasarnya (HAM), demi keberlangsungan dan keberlanjutan
hidupnya. Dalam sejarahnya demokrasi lahir dengan format langsung. Dimana rakyat secara
langsung menyuarakan sebuah aspirasinya di dalam forum besar. Namun ide strategis dari
demokrasi tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan dan kebutuhan di setiap negara.
Secara geopolitik saja itu sudah sangat merepotkan, dan dipastikan asas keterwakilan tidak
akan tercapai. Maka dari itulah muncul fenomena kontrak sosial.

Fenomena kontrak sosial itu nanti akan dipegang oleh seorang wakil yang berasal dari
komunitasnya, dan ia akan berjuang di parlemen untuk mewujudkan apa-apa saja yang
diaspirasikan oleh komunitas masyarakatnya. Sang ‘wakil rakyat’ harus bersikap dan
bertindak secara aspiratif, demokratif, akuntabilatif atas kebutuhan dari rakyat yang
diwakilinya tersebut. Ia harus memosisikan dirinya sebagai pelayan dari ‘sang tuan’, yakni
rakyat itu sendiri.

1
Koordinator Pusgerak Green Force
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 2
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Kemudian seorang wakil rakyat berkewajiban memberikan laporan kinerjanya terhadap


rakyat yang diwakili terkait pencapaian-pencapaian di dalam ranah hak sipil, politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Setelah ia melakukan kewajibannya, baru ia boleh meminta hak atas
kinerjanya terhadap rakyat itu sendiri.

Pilar-pilar Demokrasi

Untuk menegakan demokrasi, maka dibutuhkan pilar-pilar yang menopang demi


tereralisasinya nilai-nilai luhur dari demokrasi tersebut. Karena demokratisasi tidak akan
tercapai substansinya apabila tidak ditopang oleh pilar yang kuat. Dan apabila kekhawatiran
tersebut terjadi, maka jangan harap demokrasi akan menghadirkan sebuah kesejahteraan,
yang ada hanya menghadirkan sebuah ‘democracytainment’ atau demokrasi lipstik. Padahal
kalau ditelusuri lebih jauh, demokrasi bukan ideologi matang, melainkan ideologi yang
terbuka terhadap perkembangan zaman. Sehingga apabila tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai
positif, maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Pilar dari demokrasi itu sendiri dibagi menjadi 3 bagian sesuai konsepsi dari Montesquieu.
Yakni adanya legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Rasionalisasi yang digunakan olehnya adalah
pembatasan kekuasaan tersebut demi tercapainya sistem yang seimbang, dan biasa disebut
Check and Balance. Karena sesuai dari teori Lord Acton, “Manusia yang memiliki kekuasaan
akan selalu cenderung berusaha menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi manusia yang
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.” (Power tends to
corrupt, but absolutely power corrupt absolutely).2

Untuk saat ini fokus utama penulis ada di bagian legislatif. Untuk di Indonesia sendiri
legislatif terdiri menjadi 4 bagian, yakni MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dan penulis akan batasi
pembahasan kita di ranah Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.

Filosofi DPR atau Legislatif

2
P Sharma, Sistem Demokrasi yang Hakiki, (Jakarta: Yayasan Menera Ilmu, 2004), hlm 228.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 3
STUDI KASUS DAN LITERATUR

DPR atau legislatif (legislature) mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate
atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah assembly yang
mengutamakan unsur “berkumpul” untuk membicarakan masalah-masalah publik.3

“Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini
mempunyai suatu “kehendak” (yang oleh Rousseau disebut Volonte Generale atau General
Will). Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentic
dari generall will. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun
undang-undang mengikat seluruh masyarakat.” 4

Dari teori di atas dapat kita simpulkan bahwa DPR adalah pemegang kontrak sosial dan
pemegang legitimasi dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Lembaga tersebut merupakan
lembaga negara yang di dalamnya berisi para wakil-wakil dari seantero Indonesia, yang
hadir di dalam sebuah parlemen demi memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili baik
skala lokal maupun skala nasional. Maka dari itu tuntutan akan amanah untuk
menghadirkan kesejahteraan bagi pemegang kedaulatan itu sendiri sangat luar biasa.
Karena kedaulatan demokrasi di indonesia dipegang oleh rakyat itu sendiri. Termaktub
dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dan disambung oleh pasal 68 UU no 27
Tahun 2009 tentang MD3 yang berbunyi “DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.”

Kemudian untuk menjalankan amanahnya sebagai wakil rakyat, DPR memiliki 3 fungsi yaitu
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.5 Dan ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat.6

Fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat undang-undang. Fungsi ini merupakan Locus
utama dari perannya sebagai wakil rakyat. Karena aspirasi-aspirasi dari rakyat yang mereka
wakili akan diejawantahkan melalui kebijakan dalam Legal Draft. Dan UU inilah yang akan
dijalankan oleh pihak Eksekutif selaku pengelola negara. Kemudian ada juga fungsi
anggaran. Dalam fungsi anggaran, DPR bersama Presiden membahas dan
memberikan/menolak persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Kenapa

3
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2008), hlm 315.
4
Ibid.
5
Pasal 69 UU no 27 tahun 2009 tentang MD3 (MPR/DPR/DPD/DPRD) ayat 1.
6
Pasal 69 UU no 27 tahun 2009 tentang MD3 (MPR/DPR/DPD/DPRD) ayat 2.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 4
STUDI KASUS DAN LITERATUR

fungsi ini dikatakan penting karena APBN itu disahkan semata-mata untuk kemakmuran
rakyat.7 Apabila sikap dari DPR tidak serius untuk pembahasan anggaran maka ini akan
mengganggu proses pencapaian kemakmuran untuk rakyat. Dan terakhir fungsi dari DPR
adalah fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan adalah fungsi pengawasan atas proses
berjalannya undang-undang dan APBN. Disini terlihat betul tingkat urgensinya. Ketika DPR
lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan, maka kinerja eksekutif yang tidak optimal tidak
dapat diminimalisir dan diperbaiki. Berarti apabila pemerintahan gagal dalam
menyejahterakan rakyatnya, maka DPR memiliki andil bagi kegagalan penyelenggaraan atas
kinerja pemerintah.

Maka dari itu ketika DPR dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan optimal, maka
kesejahteraan akan diraih dengan mudah.

Realita si Pemegang Kedaulatan (Eksekutif Gagal = Legislatif Gagal)

Dari tadi kita sudah membahas panjang mengenai wakil rakyat (DPR), alangkah lebih etisnya
kita membahas ‘si pemegang kedaulatan’ tersebut.

Berbicara idealita, pasti akan dibenturkan dengan realita. Pembahasan idealita mengenai
DPR sangat menggugah selera demokrasi siapa saja. Siapa yang berani menyangkal
bahwasanya demokrasi akan menghadirkan sebuah perubahan. Sederhananya adalah
kesejahteraan. Ketika DPR berhasil mengoptimalkan fungsinya, berarti rakyatnya sudah
dapat menggenggam kesejahteraan tersebut. Dan sebaliknya ketika rakyatnya sengsara,
maka ada ketidakberesan di dalam tubuh institusi DPR tersebut.

Dan realita yang hari ini muncul di kancah peradaban Indonesia, adalah masih miskinnya
rakyat kita. Total rakyat miskin (2010) yang ada saat ini berkisar 31,2 Juta atau 13,3 persen
dengan indikator miskin (pendapatan) di desa sebesar 190.000/bulan dan di kota
230.000/bulan. Padahal indikator dari PBB (UNDP), manusia dapat dikategorikan sangat
miskin apabila perhari hanya menghasilkan 1 dolar. Dan apabila kita asumsikan 1 dolar
adalah 9000 dan kita kalikan sebanyak 30 hari, maka praktis akan menghasilkan angka
sebesar 270.000. Begitu pula dengan indikator miskin dari PBB (UNDP), yang menerangkan
pendapatan manusia sebesar 2 dolar perhari. Dan apabila dikalikan sebanyak 30 hari maka
7
UUD 1945 pasal 23 ayat 1.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 5
STUDI KASUS DAN LITERATUR

akan menghasilkan angka 540.000. Terlihat sangat jelas indikator yang digunakan oleh BPS
terlalu rendah. Dan itu dapat dikatakan sebagai indikator ‘super miskin’. Dan apabila
indikator itu kita naikan, dipastikan akan meningkat jumlah keseluruhan dari rakyat yang
dapat dikategorikan miskin melebihi 50% dari jumlah penduduk Indonesia.

Belum lagi masalah pengangguran. Isu ini sangat sensitif dan membuka peluang kemiskinan
yang semakin luas. Jumlah pengangguran terbuka untuk tahun 2010 sekitar 9.258.964.
kemudian 12% dari angka tersebut adalah lulusan perguruan tinggi. Dan tidak hanya itu, dari
113.744.408 jumlah angkatan kerja tahun 2010, yang tergolong bekerja sekitar 104.485.444
dan yang masuk sektor informal sebanyak 62,06%.

Permasalahan tidak berhenti disitu, karena di Indonesia ada 187 daerah tertinggal8 dan 98%
rakyat Sumba NTT mengalami krisis pangan akibat gagal panen atau kekeringan. Sekitar
18.555 Hektare tanaman kekeringan di Waingapu, Sumba Timur. Bahkan yang paling tragis
adalah 130 anak balita dari 121 desa mengalami gizi buruk. Dan rata-rata bagi rakyat Sumba
yang tidak memiliki stok makanan, lebih memilih untuk memakan pisang dan pakan ternak.

Kemudian peliknya permasalahan bangsa ini ditambah dengan makin terpuruknya kondisi
petani Indonesia yang semakin hari lahan garapannya semakin sedikit, bahkan sekarang
didominasi oleh kaum buruh tani (tak punya lahan), harga pupuk meningkat, tengkulak
bermain. Padahal 40% sektor pertanian memengaruhi ekonomi indonesia. 40 % sisanya
adalah jasa, dan 20% adalah industri. Belum lagi banyak korban bencana yang belum
tertangani dengan baik, seperti bencana Lumpur Lapindo, dan Sinabung.

Seakan seperti anak panah yang membabi buta menusuk para pasukan perang, realita anak
Indonesia pun sama tragisnya. Sekitar 17,4 juta anak masuk dalam kategori terlantar,
dengan rincian 5,4 juta anak terlantar, dan 12 juta anak hampir terlantar. Dan yang paling
miris adalah 299.127 dari 17,4 juta anak terlantar adalah balita.9 Belum lagi kasus-kasus
pelanggaran HAM yang dialami oleh anak kecil sebanyak 1998 kasus (2009), meningkat dari
1726 kasus (2008). Data tersebut diuraikan oleh KPAI.

8
Sumber Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal tahun 2010
9
Sumber Kemensos tahun 2010
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 6
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Kemudian ditambah lagi oleh kondisi anak Indonesia yang putus sekolah berjumlah 11,7 juta
dan 8,3 juta orang buta aksara.

Dari realita kondisi rakyat Indonesia yang dipaparkan di atas tadi wajar apabila Indonesia
menduduki peringkat 111 (2010) dalam Human Index Development dari 182 negara. Bahkan
kita kalah satu peringkat dengan negara Palestina yang kondisi negaranya sedang
bergejolak, dan yang paling menampar kita adalah peringkat negara Malaysia berada di
posisi ke 66.10

Kemudian dalam Corruption Perception Index pada tahun 2009 Indonesia menduduki
peringkat 111 dari 180 negara.11 Dilanjutkan pula Indonesia hanya dapat menduduki
peringkat ke 54 dalam daya saing. Kalah dengan malaysia (21), Thailand (36). Dan Singapura
(3).

Dari berbagai macam kebobrokan yang muncul, dapat disimpulkan bahwa kinerja dari
eksekutif mengalami kegagalan. Dan apabila eksekutif gagal dalam penyelenggaraan
negaranya, maka DPR sebagai wakil rakyat yang berfungsi mengontrol kinerja pemerintah
juga dapat dikatakan GAGAL.

10 Dosa DPR (Menghisap Darah Rakyat)

“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara,
12
hanya tahu nyanyian lagu setuju.”

Sebuah lirik penuh magis yang benar-benar menyindir kondisi para wakil rakyat di Senayan
sana. Demokrasi mereka jadikan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan
akhir (Kesejahteraan). Rata-rata anggota DPR bersikap seperti apa yang diungkap
Machiavelli, yakni menjadikan politik sebagai ajang untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan semata. Mereka hanya pintar sesuai dengan embel-embel kualifikasi pendidikan,
tapi mereka tidak cerdas secara kepribadian. Seharusnya menjadi anggota DPR itu sudah
menyiapkan mental dan integritas untuk melawan sebuah sistem yang sudah bobrok.
Sistem feodalisme yang sangat kental, membuat banyak anggota dewan yang berubah

10
UNDP
11
Transparency International Indonesia
12
Sepotong Lirik lagu Iwan Fals dalam “Surat Untuk Wakil Rakyat”
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 7
STUDI KASUS DAN LITERATUR

haluan. Karena seseorang bisa saja baik dan bersih sebelum masuk ke dalam sistem, namun
begitu ia sudah ada di dalam sistem niscaya membuatnya berubah, cepat atau lambat.
Belum lagi dahsyatnya pengaruh dari rekan-rekan sejawatnya (Ritzer, 2003)13.

Ditambahkan oleh Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Publics Office (2002), ada 3
etika yang harus dimiliki oleh seorang anggota dewan, yaitu Pertama etika minimalis. Etika
ini mengharamkan perbuatan yang buruk, seperti korupsi, yang harus dibarikade dengan
aturan internal yang objektif bagi legislator. Kedua etika fungsionalis. Etika ini menuntut
anggota dewan agar sadar akan fungsi dan posisinya sebagai wakil rakyat, bukan sebagai
wakil yang membohongi rakyat. Ketiga etika rasionalis. Fondasi rasionalis menempatkan
anggota dewan harus bertugas untuk prinsip hakiki politik seperti keadilan, kebebasan, atau
kebaikan bersama (bonnum commune).14

Ketika 3 etika dasar tersebut sudah mengakar menjadi karakter maka yang harus dilakukan
seorang anggota dewan adalah memosisikan dirinya sebagai negarawan. Karena negarawan
adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Sedangkan
politisi adalah negarawan yang menempatkan bangsa dalam pelayanan kepada dirinya
(Georges Pimpidou).15

Namun realitanya anggota dewan kita sekarang lebih cenderung bersikap layaknya seorang
politisi. Dengan angkuhnya ingin selalu dilayani oleh rakyatnya. Padahal ini sudah
bertentangan dengan prinsip-prinsip dari demokrasi itu tersebut. Dimana seorang anggota
dewan bertanggung jawab terhadap kondisi kesejahteraan rakyat yang diwakilinya melalui
kontrak sosial. Fenomena ini diungkap pula oleh Robert D Behn dalam Rethinking
Democratic Account Ability (2001), yang menyatakan “bahwa tanggung jawab politik perlu
kita pikirkan dan cemaskan bersama karena kecendrungan ‘abuse of power’ seringkali
diidap pejabat publik. Mereka memperkaya diri dan orang di sekitarnya, tapi tidak
memikirkan nasib seluruh rakyat.”

Dari statement di atas nampak jelas sekali penyakit apa yang sedang diidap oleh para
anggota dewan kita. Semuanya berteriak membicarakan hak mereka, tapi berpura-pura
tidur atau acuh ketika diminta bertanggung jawab atas amanah yang mereka emban.

13
Media Indonesia hal 22, Opini, Edisi Rabu 28 April 2010, Oleh Dr. Victor Silaen dalam “Demokrasi Politik
Uang”
14
(Sindo hal 6, Opini, Edisi Rabu 9 Juni 2010, Hifdzil Alim dalam Dana Zonder Aspirasi)
15
Media Indonesia hal 44, kolom pakar, Edisi Senin 16 Agustus 1945, Yudi Latif dalam “Kemerdekaan tanpa
Kepemimpinan”
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 8
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Makanya wajar kalau anggota DPR kita sekarang lebih bagus untuk disebut sebagai kalangan
Pemboros, Pemalas, dan Provokator. Atau nama elegannya adalah (DP3R).

Berikut ini adalah rincian 10 dosa besar dari DPR:

1. Biaya Pelantikan DPR sebesar 46,049 M


2. Anggaran Plesiran 163 M
3. 8,4 M untuk 1 RUU Inisiatif DPR
4. 538 M untuk Renovasi Rumah Jabatan Anggota
5. Pembangunan Gedung Baru Beserta Fasilitas Mewah 1,6 T
6. Pemakaman Century Gate
7. Mengesahkan APBN-P 2010 dan Bagi cek Kosong 1,1 T
8. Usul Dana Aspirasi 8,4 T
9. Malas Melaporkan Kekayaan dan Malas Bersidang
10. Pengadaan Rumah Aspirasi
(Diolah dari beberapa sumber, Database Pusgerak Green Force)

Episode 1: Gagal Merencanakan Sama dengan Merencanakan Kegagalan (Fungsi Legislasi)

Luar biasanya hegemoni untuk menghambur-hamburkan anggaran dalam APBN ternyata


tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka hasilkan dari segi UU yang disahkan.
Padahal alasan yang mereka keluarkan adalah “anggaran yang luar biasa digelontorkan oleh
anggota DPR sesungguhnya demi kinerja DPR untuk menghasilkan UU yang berkualitas”.
Nampaknya statement tersebut menunjukan kemunafikan dari sosok anggota dewan kita.
Dalam periode 2009-2014 mereka mencantumkan 247 RUU dalam Prolegnas dan 70 RUU
Prolegnas akan dibahas dan segera disahkan menjadi UU. Namun realita berbicara lain.
Sampai saat ini saja baru 6 UU yang disahkan, dan hanya 2 yang tergolong Prolegnas.
Padahal waktu hanya tinggal 3 bulan saja. Mereka lebih interest kepada fungsi pengawasan
(Century) yang menghabiskan fokus anggota dewan kita selama 8 bulan lamanya. Jelas nafsu
kompromi dan lobi politik bermain disana yang pada akhirnya akan memberikan sebuah
keuntungan.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 9
STUDI KASUS DAN LITERATUR

No. Produk UU yang Dihasilkan Keterangan


1 UU No. 1 thn 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN tahun
anggaran 2008
2 UU No. 2 thn 2010 Perubahan atas UU No. 47 tahun 2009 tentang APBN
tahun anggaran 2010
3 UU No. 3 thn 2010 Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.
4 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 30
Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4 UU No. 4 thn 2010 Pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan
Republik Singapura tentang penetapan Garis Batas
Laut Wilayah Kedua Negara di bagian barat Selat
Singapura 2009
5 UU No. 5 thn 2010 Perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi
6 UU No. 6 thn 2010 Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara
Pemerintahan Republik Indonesia dan Kerajaan
Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda
Sultan dan Yang Dipertuan Negara Brunei Darussalam
tentang kerja sama di bidang pertahanan.
Sumber SEKNAS FITRA

Pada awalnya semua pihak setuju dengan penurunan Prolegnas yang pada periode
sebelumnya mencapai 284 mencapai 247. Dikarenakan sejarah mengatakan targetan
prolegnas tak pernah tercapai secara utuh.

90
81
76 78 76
80

70
61
60 55

50
39 40 39 Target Prolegnas
40 Pencapaian Prolegnas
30

20 14

10

0
2005 2006 2007 2008 2009

Sumber Formappi
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 10
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Namun menurunnya jumlah prolegnas tak membuat DPR memperbaiki citranya. Tahun
2004-2005 merupakan fase yang paling buruk karena hanya menghasilkan 14 UU. Namun
pada tahun 2009-2010 ternyata jauh lebih buruk, yang sampai saat ini baru mengesahkan 6
UU. Kekhawatiran akan pencapaian pun semakin ditanggapi dengan skeptis oleh beberapa
kalangan. Secara pencapaian kuantitatif saja tidak sampai, apalagi secara kualitatif.
Statement ini wajar di Blow Up kembali karena belajar dari pengalaman pada periode 2009-
2014 dengan total 193 UU yang disahkan, ada 114 UU siluman di luar Prolegnas. Dan 65 nya
adalah UU pemekaran daerah. Praktis pada periode sebelumnya hanya menyelesaikan
prolegnas sebesar 20,7% atau 59 dari 287.

Episode 2: Mari Bersama-sama mengubur Rakyat (Fungsi Anggaran)

Kelemahan dari perubahan sistem pemilu dalam mekanisme pelolosan anggota DPR dengan
menggunakan sistem suara terbanyak adalah banyaknya caleg yang menghabiskan
anggarannya untuk meraih perhatian konstituen. Semua berebut menjadi caleg yang
populer, supaya dapat lolos menjadi anggota DPR. Padahal itikad baik perubahan sistem dari
nomor urut ke suara terbanyak adalah menggeser peran parpol di dalam penentuan
kadernya di dalam parlemen ke konstituen. Tujuan tersebut agar menciptakan rasa
keterikatan diantara konstituen dengan para calegnya, sehingga memudahkan mereka
untuk menyuarakan aspirasinya. Namun Mekanisme yang baru ini kembali masuk ke dalam
lingkaran setan, dimana uang masih menjadi solusi praktis. Bukan kapasitas, visi-misi,
integritas, dan lain-lain yang menjadi modal. Semua dirasa praktis dengan uang. Alhasil
mekanisme yang ada hanya prosedural saja. Semua berlomba-lomba mengeluarkan
anggaran sebanyak mungkin. Bahkan ada yang meminta investasi ke perusahaan-
perusahaan dengan jumlah yang luar biasa pula.

Kemudian pula unsur pragmatis ini kembali tertular ke parpol, yakni dengan momentum
mekanisme yang baru maka secara praktis mereka lebih memilih kader-kader yang memiliki
kantong tebal dan populer supaya mendongkrak perolehan kursi. Luar biasa kecacatan
sistem yang ditafsirkan secara praktis, bukan secara strategis. Alhasil baik Supersystem
maupun Subsystem sama bobroknya. Dan kentara sekali nafsu untuk korupsi ketika masuk
dalam jajaran parlemen. Wakil rakyat hanya mewakili dan menaungi aspirasi si ‘penanam
modal’. Dan begitu seterusnya. Lingkaran setan yang sulit terputus, kecuali dengan revolusi
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 11
STUDI KASUS DAN LITERATUR

sistem. Makanya tak heran ketika diawal masuk parlemen, semua kebijakan yang diusung
parpol bernuansa ‘praktis’ dan berhasrat untuk ‘Recovery Cost’ atau balik modal. Sangat
jelas sikap tamaknya tersebut dari pola tingkah laku anggota dewan kita. Mereka lebih sibuk
bermain dalam fungsi anggaran dan pengawasan, dibandingkan fungsi utamanya yakni
legislasi.

1. Biaya Pelantikan DPR sebesar 46,049 M

Sejak awal saja sudah terlihat jiwa pemboros dari anggota dewan. Padahal anggaran sebesar
itu setara dengan 166 kali lipat alokasi Bantuan Operasional Sekolah atau BOS untuk per
siswa SD atau 1,105 lipat biaya jaminan kesehatan masyarakat miskin. Mengeluarkan
banyak anggaran yang tidak sesuai dan cenderung untuk berfoya-foya. Padahal apabila
mengaca dengan realita rakyat kita, banyak sekali yang sedang merintih kelaparan,
terancam kematian karena hutang, dan sebagainya. Efek bola salju tak akan pernah
berbohong. Efek itu akan semakin besar apabila semakin tajam menukik ke bawah. Ini sama
halnya dengan fenomena yang sedang kita bahas saat ini. Di awal sudah boros, ke depan
pasti mereka akan semakin terbiasa untuk memboroskan anggaran.

Berikut ini adalah rincian dari biaya pelantikan anggota DPR:

*Anggaran KPU: Rp 11 Miliar


Biaya menginap di Hotel Sultan selama 4 hari: @Rp 4,2 juta x 692 orang = Rp 2,9 miliar
-Sewa kendaraan: @ Rp 63 juta x 4 hari = Rp 252 juta
-Biaya beli tas: @ Rp 167.000 x 692 = Rp 115 ,5 juta
-Uang saku: @ Rp 2 juta x 692 = Rp 1,38 miliar
-Biaya pakaian penjemputan (jas, jaket, batik, hem) = Rp 149 ,9 juta
-Biaya lain-lain: Rp 6,22 miliar (konsumsi petugas lapangan, transportasi anggota DPR-
DPD)
*Anggaran DPR/Setjen: Rp 28, 504 Miliar
-Perjalanan pindah ke Jakarta: @ Rp 50,35 juta x 560 orang = Rp 28,2 miliar
-Bantuan logistik untuk petugas Polri selama tiga hari: Rp 138 juta
-Biaya protokoler pelantikan: Rp 112 ,5 juta
-Honor rohaniawan: Rp 56,2 juta
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 12
STUDI KASUS DAN LITERATUR

*Anggaran DPD/Setjen: Rp 6, 545 Miliar


-Biaya pembuatan PIN: @ Rp 9 juta x 132 = Rp 1,2 miliar
-Biaya orientasi sebelum dilantik: @ Rp 22,7 juta x 132 orang = Rp 3 miliar
-Biaya purnatugas (transpor & akomodasi): @ Rp 10,4 juta x 100 anggota =Rp 1,04 miliar
-Biaya pengambilan sumpah/janji: @ Rp 9,8 juta x 132 anggota = Rp 1,3 miliar
Sumber Indonesia Budget Centre

Praktis dengan total anggaran Rp 46,049 miliar, maka setiap anggota DPR dan DPD rata-
rata menghabiskan Rp 66,54 juta. Luar Biasa Boros!!!

2. Anggaran Plesiran 163 M


Adalah hal yang paling tidak masuk akal ketika statement plesiran digunakan untuk
memperbaiki kinerja anggota DPR di dalam menjalankan fungsi Legislasi. Data yang
terlansir baru 6 UU yang baru disahkan oleh DPR, dan hanya 2 yang tergolong dalam
Prolegnas. Padahal ketika mereka ke luar negeri maka akan mengorbankan banyak
waktu, yang seharusnya digunakan untuk rapat pembahasan dalam komisi ataupun
paripurna demi mengesahkan suatu RUU menjadi UU. Banyak sekali agenda plesiran
yang diindikasikan lebih untuk jalan-jalan ke luar negeri. Terlihat dari sudah penuhnya
DIM (Daftar Inventaris Masalah). Namun mereka lebih memilih untuk plesiran kembali
dengan alasan hasil plesiran anggota DPR periode sebelumnya belum mencukupi dan
tidak memuaskan. Kemudian juga alangkah lebih baiknya yang diberangkatkan adalah
para staf ahli yang notabene lebih berkompeten dibandingkan dengan si anggota
dewan tersebut, atau dengan alternatif lain yaitu dengan mengundang senator negara
lain berkunjung ke Indonesia untuk berdiskusi. Terlihat indikasi ketamakan dari
anggota DPR kita yang tidak rela kalau anggaran itu dihemat atau jatuh ke tangan staf
ahli.

Untuk tahun 2010 anggota DPR telah mengagendakan plesiran sebanyak 58 kunjungan
dengan 20 tujuan negara yang sudah pasti, dan 23 kunjungan yang belum ditentukan.
Anggaran sebesar 163 M yang dikeluarkan oleh anggota DPR saat ini meningkat tajam
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 13
STUDI KASUS DAN LITERATUR

7x lipat dibandingkan anggaran plesiran tahun 2005 yang hanya mengeluarkan 23,6 M.
Dan meningkat tajam 76x lipat dari 968.450.000 menjadi 73,4 M.
Rincian Anggaran Plesiran DPR untuk 4 Tupoksi: Fungsi Legislasi (73,4 M), Fungsi
Pengawasan (45,9 M), Fungsi Anggaran (2,026 M), dan Fungsi Kerja Sama Internasional
dan Lainnya (41,4 M).

Berikut Ini adalah daftar Plesiran Anggota DPR


-Afrika Selatan : 2x -Vietnam : 3x -Korsel : 2x
-Meksiko : 2x -Filipina : 2x -Uganda : 2x
-Korut : 2x -Iran : 2x -Mali : 2x
-China : 2x -Turki : 2x -Thailand : 2x
-Suriah : 7x -Kuwait : 2x -Venezuela : 8x
-Qatar : 3x -Belgia : 2x -Amerika Serikat : 8x
-Australia : 3x -Singapura : 2x
Sumber Fitra
Ada beberapa kontroversi yang terjadi selama agenda plesiran tersebut baik dari agenda
plesiran BURT, komisi, dan Pimpinan DPR. Kontroversi studi banding BURT ke Jerman dan
Prancis yang cenderung mengada-mengada. Pertama BURT studi banding ketika
memasuki masa reses pada awal juli. Kedua BURT sudah menetapkan renstra DPR 2010-
2014 pada rapat pleno BURT, dan tinggal dibahas di pimpinan DPR dan BAMUS. Tapi
mereka berdalih bahwa kunjungan BURT ke Jerman dan Prancis untuk dijadikan bahan
penyusunan renstra. Padahal Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang dibentuk guna
merumuskan arah dan rekomendasi perbaikan kinerja DPR yang tugasnya sama dengan
BURT juga telah melakukan beberapa kali studi banding. Studi banding itu dilakukan di
Amerika Serikat (16 – 22 November 2007) dan Kanada (19 – 26 November 2007) dengan
materi legislative budget.

Dan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR juga melakukan studi banding ke Inggris, Ceko
(November 2008), dan Australia (28 November – 1 Desember 2008). Dengan demikian,
hasil keempat temuan dan kajian, sebetulnya sudah lebih dari cukup sebagai masukan
anggota BURT dalam mempersiapkan program dan kegiatan memperbaiki kinerja DPR.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 14
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Kemudian Anggota DPR juga menghamburkan uang 3,7 Miliar untuk kunjungan ke luar
negeri selama 3 minggu dari September sampai ke Oktober 2010. Rencananya, Komisi IV
DPR akan mengunjungi 2 negara, yaitu Belanda dan Norwegia untuk studi banding bidang
pertanian, terkait RUU Holtikultura. Dan Komisi X DPR juga akan melakukan kunjungan ke
Afrika Selatan, Korea Selatan dan Jepang terkait dengan RUU Pramuka. "Padahal,
menurut staf ahli DPR, daftar inventaris masalah sudah selesai, tinggal dibahas anggota
DPR saja," kata Uchok Kadafi. Kenyataan ini diperparah dengan ketidakmampuan ke-13
anggota dari komisi IV dan 13 anggota dari komisi X dalam berbahasa Inggris. "Kunjungan
itu hanya untuk menunjukkan kebodohan anggota Dewan," ungkap aktivis Fitra tersebut.

Di sisi lain, anggaran sebesar Rp 3,7 miliar tersebut, tidak sepadan dengan anggaran
beras untuk orang miskin sebesar Rp 15 kg per orang, atau Rp 94.275, atau Rp 147.707
per tahun. " Kami meminta agar rencana kunjungan itu dibatalkan, dan dananya
disumbangkan ke orang miskin saja," tegas Uchok.

Dan yang paling parah adalah anggaran untuk plesiran Pimpinan DPR. Anggaran tersebut
sebesar 15,5 Miliar untuk keberangkatan pimpinan DPR bersama istri. Ketua DPR
bersama istri sebesar 2,5 Miliar, sedangkan 4 wakil ketua masing-masing 2 miliar.

3. 8,4 M untuk Satu RUU Inisiatif DPR

Tahun ini DPR menargetkan akan menghasilkan 10 RUU Inisiatif DPR, yang biaya 1 RUU
menelan 8,4 Miliar dengan perincian Rp 5,8 miliar untuk penetapan 1 RUU inisiatif, Rp
2,59 miliar untuk pembahasan 1 RUU inisiatif, dan belum termasuk kunjungan kerja luar
negeri dalam rangka penetapan RUU inisiatif yang dialokasikan Rp 17,8 miliar untuk 10
RUU Inisiatif. Dan ditambahkan dari data dari Seknas Fitra, yang mengolah data Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran 2010 DPR, untuk penetapan sepuluh RUU inisiatif senilai Rp
58,33 miliar dan untuk pembahasan sepuluh RUU sebanyak Rp 25,97 miliar. Dengan
anggaran yang menggiurkan tersebut, jelas mengapa mereka berani menargetkan tinggi
capaian Prolegnas tahun 2010. Indikasi pertama adalah mental pragmatis. Yakni hanya
memikirkan mendapatkan uang dari anggaran 8,4 Miliar/Rancangan Undang-undang.
Kemudian yang kedua adalah adanya indikasi RUU titipan dari beberapa investor, baik
dalam maupun luar negeri. Hal tersebut politis dan cenderung bernuansa kapitalistik.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 15
STUDI KASUS DAN LITERATUR

4. 538 M untuk Renovasi Rumah Jabatan Anggota

Rumah jabatan anggota berfungsi sebagai tempat tinggal para anggota dewan selama
menjabat dalam 1 periode. Rumah jabatan ini memang diperuntukan bagi anggota
dewan untuk mempermudah akses di dalam menunaikan amanah mereka sebagai wakil
rakyat. Namun banyak sekali polemik yang terjadi dan membuat citra anggota DR
semakin tak terlihat integritasnya. Rumah jabatan anggota sebenarnya mengalami proses
renovasi pada tahun 2008 dan diprediksikan akan selesai di tahun 2009. Tepatnya ketika
pergantian periode ke 2009-2014. Namun realitanya tidak berbanding lurus. Sampai saat
ini proses renovasi tersebut belum juga rampung. Padahal dengan semakin mundurnya
jadwal, maka akan semakin membebani APBN. Anggaran yang dikeluarkan untuk
renovasi RJA sebesar 3,4 Miliar pada tahun 2008, realisasi tahun anggaran 2009 sebesar
155,4 Miliar, dan daftar isian tahun anggaran (DIPA) 2010 sebesar 290,1 Miliar, serta
tambahan alokasi anggaran renovasi RJA dalam APBN-P 2010 sebesar 89,96 Miliar.
Padahal Ditjen Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum mengestimasikan biaya renovasi
RJA DPR hanya 100 Miliar.

Faktor dominan dari membengkaknya anggaran yang dibebankan kepada APBN adalah
molornya waktu perampungan renovasi. Itu semua akibat perseteruan setneg dan setjen
yang terindikasi berebut proyek. Itu terlihat dari masing-masing pihak yang menyertakan
anggaran RJA di dalam DIPA 2008. Proses persaingan pun berlanjut ketika
memperebutkan puing-puing bangunan yang ditaksir harganya mencapai 5,3 M. Semakin
pelik pula ketika kontraktor salah memperkirakan biaya dan itu melanggar keppres no 80
tahun 2003 pasal 37 ayat 3. Dan juga kontraktor melakukan sub-kontraktor dengan 4
perusahaan lain. Hal tersebut jelas melanggar Pasal 32 ayat 3 dan 4 dalam keppres no 80
tahun 2003.

5. Gedung Baru senilai 1,6 T

Gedung baru adalah puncak polemik dari keseluruhan kinerja negatif yang dilakukan oleh
DPR. Terkesan sangat manipulatif. Baik dari statement gedung miring, over capacity, dan
fasilitas mewah.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 16
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Rincian perkiraan total biaya pembangunan gedung:

-Biaya Konstruksi Fisik : Rp 1.125.074.721.000


-Biaya Konsultan Perencana : Rp 19.126.270.257
-Biaya Konsultan MK : Rp 16.876.120.815
-Biaya Pengelolaan Kegiatan : Rp 1.125.074.721
-Sisanya untuk furniture, sistem keamanan, dan internet.16

Polemik ini diawali ketika gempa yang terjadi di Tasikmalaya yang getarannya sampai
terasa di Jakarta. Pimpinan DPR yang takut mati, langsung mengirim surat ke
Kementrian Pekerjaan Umum untuk melakukan pengecekan. Hal tersebut juga diiringi
oleh statement Harry Azhar yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Banggar
bahwasanya gedung Nusantara 1 mengalami kemiringan sebesar 7 derajat. Kemudian
hal tersebut dibantahkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum. Kementrian tersebut
menyatakan gedung nusantara 1 hanya mengalami retak sedikit, dan hanya butuh
disuntikan epoksi (menghabiskan anggaran 10 M). Dan apabila miring 7 derajat maka ia
akan mengalami simpangan sejauh 8 meter.

Seakan tak habis cara, Pimpinan DPR berstatement kembali bahwasanya gedung
tersebut sudah melampaui kapasitas yang seharusnya. Gedung tersebut hanya
menampung 800, namun realitanya membengkak hingga 2500. Skema yang saat ini
digunakan oleh mereka adalah skema pengadaan tenaga ahli yang berjumlah 5
orang/anggota dewan. Skema itu digunakan agar dapat didirikannya gedung baru yang
dapat menampung mereka semua. Baik anggota dewannya, sekretaris pribadinya, dan
staf ahlinya. Logika ini dapat diterima dengan baik, akan tetapi mekanisme penerimaan
dari staf ahli tersebut yang tidak jelas standarnya. Pemilihan staf ahli disesuaikan oleh
permintaan si anggota dewan. Kalau seperti itu sarat dengan kepentingan politis dan
feodalistik.

Kembali ke permasalahan Over Capacity, seharusnya anggota dewan lebih bisa


mencermati tata ruang yang tidak strategis di gedung Nusantara 1, dan mencermati

16
Sumber Media Indonesia hal 12, Selekta, Kamis 6 Mei 2010
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 17
STUDI KASUS DAN LITERATUR

masih banyaknya ruangan yang kosong di gedung Nusantara 2 dan 3. Alangkah lebih
baiknya apabila fasilitas yang ada dioptimalkan, dibandingkan harus mengeluarkan
anggaran yang luar biasa, sebanyak 1,6 T.

Anggaran 1,6 T setara dengan pembangunan 16 gedung (harga premium),


pembangunan jalan tol jakarta-cirebon, pembangunan 38 ribu ruang kelas baru dengan
asumsi 50 juta/ruang, dan anggaran jamkesmas untuk 22 juta warga miskin dalam satu
tahun. Dan perbedaan signifikan sangat terasa antara anggaran yang dikeluarkan ketika
pembangunan gedung Nusantara 1 dengan gedung yang baru ini. Gedung Nusantara 1
hanya mengeluarkan biaya sebesar 116 Miliar, sedangkan gedung berkisar 1,6 T. Dan
dalam paripurna telah disahkan untuk realisasi anggaran pertama sebesar 250 Miliar.
Berarti melonjak hingga 13x lipat. Dan pertanyaan skeptis selanjutnya muncul,
sesungguhnya yang paling menghabiskan anggaran pembangunan, apakah
pembangunan fisik gedungnya (normal) atau fasilitas mewahnya. Patut untuk dibahas
lebih mendalam.

Pengadaan fasilitas mewah benar-benar telah menyayat hati rakyat kita. Padahal kalau
anggota dewan kita berfikir untuk menganggarkan dengan berbasis kinerja, seharusnya
ia akan membangun gedung yang minimalis dan cukup untuk menampung anggota DPR
yang sisanya. Namun bak disambar petir di siang hari bolong. Gedung baru yang
berlantai 36 tingkat tersebut akan ditambahkan fasilitas mewah. Dengan rasionalisasi
perda DKI Jakarta no.7 tahun 1991 yang menyatakan bahwa gedung yang penghuninya
di atas 500 orang diharuskan ada fasilitas umum dan sosial. Namun apakah fasilitas
yang saat ini ingin dibangun dapat dikategorikan sosial dan umum, padahal status dari
gedung tersebut saja adalah Restricted.

Berikut ini standar ruang kerja anggota DPR terdiri dari:


-Ruang kerja anggota
-Ruang 5 staf ahli dan 1 asisten pribadi
-Ruang rapat kecil
-Kamar istirahat
-KM/WC
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 18
STUDI KASUS DAN LITERATUR

-Luas 120 m2 merupakan luas ruangan tiap-tiap anggota DPR dan dibagi menjadi 60
m2 untuk ruang kerja anggota, dan 60 m2 untuk satu orang sespri dan 5 orang staf ahli.
-Spa
-Fitnes
-Pusat Refleksi
-Kolam Renang
-Fasilitas Pendukung: Helipad, Kafetaria, Mini Market, Apotik, Restoran, Ruang khusus
wartawan, perpustakaan umum, ruang parkir di basement + gedung yang mampu
menampung 1000 mobil secara bersamaan, dan terakhir internet.17

Bahkan Charta Politika membeberkan hasil penelitian di 7 kota terkait gedung baru, dan
menghasilkan data sebesar 80,5%, responden menolak rencana dan realisasi
pembangunan gedung baru sebagai ajang untuk peningkatan kinerja anggota dewan.
Dan hanya 14,5% yang setuju pembangunan gedung baru itu dilaksanakan. Sisanya
abstrein.

Dari hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Charta Politika, bisa mewakilkan betapa
gusar dan gelisahnya hati rakyat kita. Betapa tidak DPR yang seharusnya meminimalisir
kesenjangan hidup, namun sebaliknya mereka yang semakin memperlebar kesenjangan
tersebut. Bayangkan untuk di Jakarta sendiri saja berapa banyak rakyat kita yang sangat
sulit untuk menempati hidup yang layak, ada yang terlalu sempit namun diisi dengan
kapasitas yang tak semestinya, ada yang gubuk, bahkan ada yang beralaskan bumi dan
beratapkan langit.

Entah apakah memang mereka tuli, buta, atau tak perasa. Semua media telah mengritik
dengan gamblang, namun seperti berlalunya angin, tak ada pengaruh. Bahkan
statement yang paling mengenaskan ketika salah satu pimpinan DPR, Marzuki Alie
berstatement “Suka atau tidak, setuju atau tidak setuju, pembangunan akan tetap
dilaksanakan”. Apakah ada sebuah rona kearifan sebagai pimpinan DPR berbicara di
depan media, dan pastinya akan ditonton oleh mata rakyat Indonesia.

17
Sumber Koran Tempo, hal A4, Rabu 1 September 2010
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 19
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Sesungguhnya rakyat kita ingin berontak, namun tak kuasa. Memikirkan perut saja
sudah sulit, apalagi harus memberontak yang notabebenenya akan menghabiskan uang,
waktu dan tenaga.

Kembali ke wacana gedung baru, BURT merilis rincian dari pembangunan gedung baru
tersebut, yakni luas 156 ribu meter, 10,9 juta permeter persegi, untuk rincian pekerjaan
fisik termasuk struktur, arsitektur, dan mechanical electrical sebesar 8,3 juta. Untuk
pekerjaan pelengkap, struktur, dan furniture mencapai 2,2 juta, untuk konsultan,
pengelola teknis mencapai Rp 400 ribu permeter persegi.

Melihat rincian yang dirilis oleh BURT, Her Pramtama (Ketua Ikatan Arsitek Indonesia)
berstatement bahwasanya bangunan perkantoran setinggi 25 lantai di kawasan
premium Jakarta saja tidak sampai memakan biaya hingga 500 Miliar. Itu sudah
termasuk finishing dan spesifikasi dan kualitas cukup tinggi. 18

Setali tiga uang dengan Her Pramtama, Agus Dinar, Country Manager BCI Asia
Indonesia, sebuah perusahaan Riset Konstruksi memperhitungkan dengan 1,6 T bisa
membangun 16 gedung. Perincian biaya konstruksi per meter persegi untuk bangunan
komersial saat ini berkisar 4-6 juta. Bila diambil nilai tengahnya yaitu 5 juta/m2 dan luas
setiap lantai bangunan diasumsikan 1000 m2. Biaya konstruksi per lantai 5 miliar.
Apabila bangunan yang ingin dibangun tingginya 20 lantai berarti satu gedung 100
Miliar, berarti 1,6 Triliun sama dengan 16 gedung.19

Berharap apa yang telah dianggarkan untuk pembangunan gedung baru dapat
meningkatkan kinerja para anggota, karena penolakan oleh beberapa pakar, media,
bahkan rakyat sudah tidak mempan. Dan semoga filosofi Bentuk Gedung “U” terbalik
yang menyerupai Bingkai (Bermakna anggota DPR berasal dari beragam latar belakang
daerah dan budaya), sedangkan filosofi Pintu Gerbang (merupakan metafora harapan
menjadi gerbang kemakmuran bangsa Indonesia) terwujud.

18
Sumber Media Indonesia hal 16, Selekta, Jumat 7 Mei 2010.
19
Sumber Media Indonesia hal 1, Rabu 5 Mei 2010
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 20
STUDI KASUS DAN LITERATUR

6. Pemakaman Century Gate

Gegap gempita pansus angket century sangat menyita perhatian publik. Setiap waktu
ditayangkan oleh beberapa media nasional, dan tergolong sebagai tontonan favorit dari
masyarakat, dikarenakan faktor serunya melihat anggota dewan mendebat, mencaci
maki, interupsi tanpa substansi, dan mungkin hanya sedikit yang memahami apa yang
sedang dibahas di dalam rapat pansus angket century. Karena jelas yang ditayangkan
adalah investigasi dengan orang-orang elit dan pakar-pakar di kompetensinya masing-
masing.

Proses panjang menguraikan dan mencari sebuah kebenaran telah sampailah kepada
sebuah puncak dari kinerja pansus angket Century, yakni paripurna pada tanggal 3
maret 2010. Dan menghasilkan beberapa rekomendasi yang sangat jelas.

Berikut ini rincian dari rekomendasi dari pansus Century:

a. Seluruh penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, umum, dan


perbankan serta pihak-pihak yang bertanggung-jawab diajukan ke penegak
hukum.
b. DPR bersama pemerintah bersama merevisi perundang-undangan di sektor
moneter dan fiskal.
c. Pulihkan aset yang diambil tidak sah oleh pengelola Bank Century.
d. DPR mengawasi rekomendasi dan penelusuran aliran dana.
e. Pemerintah menyelesaikan masalah nasabah Antaboga Delta Sekuritas
f. Presiden mengajukan calon gubernur BI

Rekomendasi tersebut merupakan turunan dari hasil voting yang terjadi pada
paripurna yang hasilnya dimenangkan oleh opsi C, yang isi tuntutannya adalah
pengucuran dana Bank Century melalui FPJP dan PMS adalah keuangan negara dan
patut diduga terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan, termasuk
penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 21
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Fraksi memilih Opsi C

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa


1
Fraksi Partai Hanura
17
Fraksi Partai Gerindra
25
Fraksi PKS
56
Fraksi PDI Perjuangan
90
Fraksi Partai Golkar
104
0 20 40 60 80 100 120

Fraksi memilih Opsi A

Fraksi PKB

Fraksi PAN

Fraksi Partai Demokrat

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Peta Sikap Fraksi DPR atas Hasil Pansus


Angket Bank Century

212
325 OPSI A
OPSI C
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 22
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Salah satu rekomendasi dari paripurna DPR adalah membentuk tim pengawas untuk
mengkawal jalannya proses rekomendasi tersebut.

Tim Pengawas Penanganan Skandal Century Berjumlah 30 Orang


Fraksi Fraksi Fraksi PDIP Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi
Demokrat Golkar (6) (5) PKS (3) PAN PPP (2 PKB (2) Gerindra Hanura
(8) (2 ) ) (1) (1)
Achsanul Azis Gayus Mahfudz Asman Epyardi Imam Soepriyanto Akbar
Qosasi Syamsuddin Lumbuun Siddiq Abnur Asda Nachrowi Faizal
Djafar Agun Sidharto Andi Tjatur Aditya Nur Yasin
Hafsah Gunanjar Danusubroto Rahmat Sapto Mukhti
Sudarsa Edy Arifin
Ignatius Ade Ganjar Fahri
Mulyono Komaruddin Pranowo Hamzah
Sutan Bambang Trimedya
Bhatoegana Soesatyo Panjaitan
Vera Idrus Hendrawan
Vebriyanti Marham Supratikno
Didi Melchias
Irawady Marcus
Mekeng
Gede P.
Suwardika
Sutjipto

Namun ketika fase pengusutan aliran dana Bank Century masuk ke ranah hukum, dan
pihak-pihak yang diduga bertangung-jawab mulai diungkap dan diproses secara hukum
(penyelidikan), hegemoni ini mencapai suatu titik yang paling anti-klimaks. DPR seakan
diam ketika proses hukum atas kasus Bank Century terlihat lamban perkembangannya,
terlebih 3 lembaga yang ditugaskan untuk mengusut kasus ini dilanda berbagai
masalah. Seperti kasus pimpinan KPK Bibit-Chandra Vs Anggodo, Polri dengan rekening
gendut dan mafia-mafianya, Kejaksaan Agung masih berkutat dengan polemik mafia
hukum.

Tragis memang melihat sebuah hegemoni yang luar biasa di awal, namun rontok dan
impoten di akhir. KPK sangat penakut dan lebih bersikap defense dengan beralasan
“kami masih menyelidiki kasus Bank Century ini, dan data yang diungkap oleh Pansus
Angket Century hanyalah bukti-bukti politik, dan belum tentu dapat dijadikan bukti
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 23
STUDI KASUS DAN LITERATUR

hukum”. Padahal KPK sudah memeriksa 111 saksi dan rekomendasi dari hasil angket
menunjukan ada 40 kesalahan kebijakan. Seharusnya KPK sudah bisa menaikan status
kasus ini menjadi penyidikan. Memang masuk akal ketika paripurna menetapkan
rekomendasi hasil angket dan riil itu adalah vonis politik. Namun sikap KPK yang yang
meremehkan kinerja pansus angket Bank Century tak dapat dibiarkan. Namun DPR
masih santai-santai saja tidak bergerak cepat (Via tim pengawas rekomendasi) untuk
mengendorse penyelesaian kasus BC ini.

Fenomena gugurnya hak menyatakan pendapat, dan berdirinya suatu Sekretariat


Bersama patut dicurigai. Nuansa kartel politik dirasa teramat kental dan indikasi untuk
kompromi dan barter kasus sangat kuat. Maka tak heran ketika ada beberapa anggota
DPR mengusung hak menyatakan pendapat, namun diganjal oleh para pimpinan fraksi
untuk tidak menggunakan hak menyatakan pendapat dan lebih mengikuti proses
hukum yang ada. Namun proses hukum yang bergulir tidak dicermati oleh mereka
dengan seksama dan keseriusan yang mendalam. Karena jelas nafsu mereka di
momentum pansus Century sudah selesai, dan akan memainkan skema Century ketika
nanti dibutuhkan. Hal tersebut ibarat perangkap tikus yang kapan saja dapat dijadikan
amunisi politis.

7. Mengesahkan APBN-P 2010 dan Bagi cek Kosong 1,1 T

Proses pengesahan APBN-P 2010 dan memunculkan angka 1,1 T yang belum terinci
programnya, termasuk dosa yang teramat tak terampuni. Karena jelas proses
pengambilan kebijakan ini sangat inkonstitusional. Telah melanggar beberapa UU yang
sudah jelas dan tak mungkin multitafsir.

Sebelum kita membahas lebih dalam Centre Point inkonstitusionalnya, kita akan
membedah 2 hal yang sangat penting. Pertama proses pengesahan APBN-P 2010
terindikasi nafsu kompromistis antara si eksekutif dan ‘tukang stempel’ atau legislatif.
Mereka meloloskan APBN-P 2010 dan disahkan menjadi undang-undang (UU No. 2
Tahun 2010), padahal sudah jelas melawan tata perundang-undangan yang ada.
Kemudian prinsip dari DPR dan Pemerintah yang sepakat untuk optimalisasi anggaran
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 24
STUDI KASUS DAN LITERATUR

berbasis kinerja telah gugur. Terlebih DPR yang sangat membabi-buta dalam
menganggarkan ‘proyek-proyek’ barunya.

Untuk pembahasan yang pertama kita akan membedah proses mengapa APBN 2010
dapat diubah menjadi APBN-P 2010. Pihak pemerintah berdalih dengan beberapa
alasan. Pertama mereka berstatement bahwa APBN 2010 adalah APBN transisi, yang
bertujuan untuk mengisi kekosongan dan menjaga kesinambungan roda pemerintahan.
Sehingga Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN, jika terjadi
perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan.
Alasan ini adalah landasan pijakan mereka yang paling kuat untuk mengubah APBN
menjadi APBN-P. Hal ini terang dijelaskan dalam pasal 161 UU No. 27 tahun 2009. Akan
tetapi di dalam pasal tersebut menyertakan beberapa syarat untuk mengubah APBN
menjadi APBN-P.

No. UU No. 27 tahun Keterangan


2009 tentang
MD3
1. Pasal 161 ayat 1 Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro
dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan,
Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang
perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan.
2. Pasal 161 ayat 2 Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu
persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10%
(sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
3. Pasal 161 ayat 3 Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10%
(sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga
minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah
ditetapkan;
c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum
tersedia pagu anggarannya; dan/atau
d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio
defisit APBN terhadap produk domestic bruto (PDB) yang
telah ditetapkan.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 25
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Realita yang terjadi di lapangan berbanding terbalik. Inilah perubahan yang tertera
dalam Nota keuangan APBN-P 2010.

Uraian APBN APBN-P Perubahan


Produk Domestik Bruto 5.981.37 3,1 6.253.7 89,5 4,5% (X)
(milliar Rp)

Pertumbuhan ekonomi (%) 5,5 5,8 0,3% (X)

Inflasi (%) y -o-y 5,0 5,3 0,3% (X)

Tingkat bunga SBI 3 bulan 6,5 6,5 0 % (X)


(%)

Nilai tukar (Rp/USD1 ) 10.000 9.200 8% (X)

Harga minyak (USD/barel) 65 80 12% ()

Lifting minyak (ribu 965 965 0% (X)


barel/hari)

Secara konstitusi jelas ini merupakan kebijakan yang sangat salah.

Kedua alasan penolakan APBN-P 2010 ini jelas melanggar pasal 15 UU No 17/2003
tentang Keuangan Negara dan pasal 159 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD, yang menyatakan “APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja”. Tanpa adanya rincian program
dan kegiatan APBNP menjadi tidak akuntabel dan batal demi hukum karena
bertentangan dengan pasal 23 ayat (1) UUD 1945 “ Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun
dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 26
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Ketiga APBN-P Berorientasi Menghabiskan Anggaran. APBN-P 2010 bertentangan


prinsip anggaran kinerja money follow function, karena hanya membagi-bagikan
tambahan anggaran tanpa jelas dulu program dan kegiatannya. Hal ini menunjukan
kentalnya politik anggaran defisit. Prinsipnya anggaran harus dibelanjakan, anggaran
didesain untuk defisit sebagai justifikasi memperoleh utang. Kemudian juga alasan
mereka sangat tidak rasional, dengan berdalih bahwa tidak cukup waktu untuk
membahas susunan atau postur APBN secara mendalam dikarenakan waktu paripurna
yang sangat sempit. Lantas apa saja yang mereka kerjakan? Kebijakan ini sangat jelas
indikasi politisnya. Pertama mata masyarakat sangat tertuju dengan ‘gegap gempitanya’
rapat pansus angket BC sehingga tidak mencermati adanya perubahan ini, ditambah lagi
sebagai instrumen transaksional oleh pemerintah agar mendapatkan pengesahan DPR
terkait APBN-P dengan mengakui Sri Mulyani terlibat dalam kasus BC.

Keempat adalah pragmatisme Badan Anggaran untuk segera mengesahkan APBN-P


2010. Sebagaimana pasal 107 UU No. 27/2009, Badan Anggaran memiliki tugas
membahas RUU APBN mengacu pada keputusan Rapat Kerja Komisi mengenai alokasi
anggaran untuk fungsi, program dan kegiatan Kementerian/Lembaga. Pun ditegaskan
hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Dengan
ditetapkannya APBN-P tanpa program dan kegiatan, ini artinya badan anggaran telah
melampaui kewenangan yang dimilikinya, karena secara sepihak membagi-bagikan Rp.
1,1 trilyun anggaran tanpa dibahas terlebih dahulu oleh komisi. Badan Anggaran-lah
yang pantas mendapat dosa terbesar dari lahirnya cek kosong anggaran perubahan dan
cacat prosedur ini.

Dari semua kecacatan yang telah dipaparkan di atas, terkait inkonstitusionalnya


pengesahan APBN-P 2010 dan bagi-bagi cek kosong sebesar 100 Miliar kepada masing-
masing komisi dan mitra kementrian/lembaga, Harry Azhar dengan entengnya berkilah
tak ada yang salah dengan dana gelondongan itu. Menurut Harry, soal rincian
programnya masih dibahas di masing-masing komisi dengan mitra kerjanya.
“Penanggung jawab peruntukan dana tersebut adalah masing-masing menteri,”kata
Harry. Ia pun melanjutkan statementnya yaitu, DPR memberikan kesempatan kepada
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 27
STUDI KASUS DAN LITERATUR

setiap komisi dan mitranya untuk menyelesaikannya sampai batas waktu 15 Juni.
Anggaran tidak digunakan, anggaran tersebut menjadi cadangan anggaran.

Setali tiga uang seperti statementnya Harry Azhar, Anggota Komisi Keuangan dan
Perbankan DPR, Eva Kusuma, mengatakan tak ada praktek korupsi dalam pengalokasian
dana tersebut. Menurut Eva, pembagian dana secara merata kepada 11 Komisi dinilai
lebih adil. “Kalau yang dulu itu ‘hengki pengki’ yang tergantung lobi anggaran di panitia
anggaran,” tuturnya. Ia justru meminta mekanisme itu dilembagakan saja.

Dari semua statement-statement yang muncul dari mulut para anggota dewan, sangat
terlihat ke-tidakintegritasannya terhadap rakyat yang mereka wakili. Seakan mereka
memiliki dinding pemisah yang tebal dan dunia lain yang tak mungkin akan dimasuki
oleh rakyatnya tersebut.

Logika yang paling sederhana atas munculnya anggaran kosong program yang bernilai
1,1 T adalah kekhawatiran masuknya program-program bodong yang tak memiliki
substansi yang jelas.

8. Usulan Dana Aspirasi 8,4 T

Isu usulan dana aspirasi yang akan mengeluarkan biaya sebesar 8,4 T seakan menjadi
ledakan di kalangan masyarakat. Ibarat ledakan tabung gas yang sedang marak
belakangan ini. Isu ini sangat sensitif karena sangat melanggar suatu tata aturan
perundang-undangan yang paling fundamental. Yakni UUD 1945 terkait fungsi dari DPR
itu sendiri. Fungsi DPR yang termaktub dalam pasal 20A ayat 1 UUD 1945, adalah fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dilanjutkan dalam pasal 70 ayat 2 UU No. 27
tahun 2009 yang menjelaskan bahwa Fungsi Anggaran adalah Fungsi DPR untuk
membahas atau memberi/menolak Rancangan Undang-undang tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara.

Dari landasan yang paling fundamental dana aspirasi sudah sangat inkonstitusional.
Karena fungsi anggaran menugaskan DPR untuk membahas atau memberi/menolak
RUU tentang APBN, bukan untuk menelola. Dan dana aspirasi adalah dana yang akan
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 28
STUDI KASUS DAN LITERATUR

dikelola oleh masing-masing anggota dewan sebesar 15 M untuk percepatan dan


pemerataan pembangunan. Ketika DPR sudah bertugas mengelola berarti institusi
tersebut telah mengambil ranah eksekutif, dan ini bertentangan dengan hukum.

Tidak hanya UUD 45 saja yang dilanggar, tapi ada 6 UU yang dilanggar.

*UU no. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara


*UU no. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara
*UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
*UU no. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban
keuangan negara
*UU no. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah
*UU no. 27 tahun 2009 tentang MPR/DPR/DPD/DPRD

Kemudian selain dari inkonstitusional, ada beberapa alasan mengapa dana aspirasi
harus ditolak, yaitu:

Pertama, akan semakin memperlebar kesenjangan antar daerah. Dan tidak tepat
sasaran. Alasannya adalah dapil terbanyak ada di pulau Jawa dan Madura, sehingga
anggaran akan menumpuk di daerah tersebut. Padahal anggaran dana aspirasi lebih
dibutuhkan di luar pulau Jawa dan Madura, dikarenakan mereka memang yang
membutuhkan dan kondisinya masyarakatnya lebih miskin dibandingkan dengan
masyarakat yang berada di pulau jawa dan madura.

No. Nama Partai Jumlah Kursi Total Anggaran


1 Partai Demokrat 150 Rp 2.250.000.000.000
2 Partai Golkar 107 Rp. 1.605.000.000.000
3 PDI Perjuangan 95 Rp. 1.425.000.000.000
4 PKS 57 Rp. 855.000.000.000
5 PAN 43 Rp. 645.000.000.000
6 PPP 37 Rp. 555.000.000.0000
7 PKB 27 Rp. 405.000.000.000
8 Gerindra 26 Rp. 390.000.000.000
9 Hanura 18 Rp. 270.000.000.000
(Sumber TI Indonesia)

Angka
Jumlah Total Dana
No. Provinsi Jumlah Dapil Kemiskinan
Kursi Aspirasi
2009 (%)
1 DKI Jakarta 3 21 315.000.000.000 3,62
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 29
STUDI KASUS DAN LITERATUR

2 Kalimantan Selatan 2 11 165.000.000.000 5,12


3 Bali 1 9 135.000.000.000 5,13
4 Kalimantan Tengah 1 6 90.000.000.000 7,02
5 Bangka Belitung 2 3 45.000.000.000 7,46
6 Banten 3 22 330.000.000.000 7,64
7 Kalimantan Timur 1 8 120.000.000.000 7,73
8 Kepulauan Riau 1 3 45.000.000.000 8,27
9 Jambi 1 7 105.000.000.000 8,77
10 Kalimantan Barat 1 10 150.000.000.000 9,30
11 Riau 2 11 165.000.000.000 9,48
12 Sumatera Barat 2 14 210.000.000.000 9,54
13 Sulawesi Utara 1 6 90.000.000.000 9,79
14 Maluku Utara 1 3 45.000.000.000 10,36
15 Sumatera Utara 3 30 450.000.000.000 11,51
16 Jawa Barat 11 91 1.365.000.000.000 11,96
17 Sulawesi Selatan 3 24 360.000.000.000 12,31
18 Sulawesi Barat 1 3 45.000.000.000 15,29
19 Sumatera Selatan 1 17 255.000.000.000 16,28
20 Jawa Timur 11 87 1.305.000.000.000 16,68
21 Yogyakarta 1 8 120.000.000.000 17,23
22 Jawa Tengah 10 77 1.155.000.000.000 17,72
23 Bengkulu 2 4 60.000.000.000 18,59
24 Sulawesi Tenggara 1 3 45.000.000.000 18,93
25 Sulawesi Tengah 1 6 90.000.000.000 18,98
26 Lampung 1 18 270.000.000.000 20,22
27 NAD 2 13 195.000.000.000 21,80
28 NTB 1 10 150.000.000.000 22,78
29 NTT 2 13 195.000.000.000 23,31
30 Gorontalo 1 5 75.000.000.000 25,01
31 Maluku 1 4 60.000.000.000 28,23
32 Papua Barat 1 3 45.000.000.000 35,71
33 Papua 1 10 150.000.000.000 37,53
Total 77 560 8.400.000.000.000 14,5
Sumber SEKNAS FITRA, Indonesia Budget Centre

Dalam tabel yang di blok merah maupun yang biru menandakan sebuah ketimpangan
yang luar biasa. Dan apabila dana aspirasi ini jadi direalisasikan maka alih-alih ingin
meminimalisir kesenjangan, namun yang terjadi adalah sebaliknya.

Kedua adalah Bisa jadi ajang percaloan anggota DPR dan Kepala Daerah. Polanya: DPR
akan memperjuangkan program yang disusun pemda untuk dana aspirasi. Mereka akan
meminta fee jika dananya disetujui oleh badan anggaran dan pemerintah. Dengan
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 30
STUDI KASUS DAN LITERATUR

permintaan fee dari DPR, pemda akan mencari kontraktor proyek, yang bisa memberi
fee untuk DPR dan kantong mereka sendiri. Akibatnya dana yang dialokasikan ke
kegiatan banyak berkurang. Pola seperti itu sudah terjadi pada DPR periode sebelumnya
baik dalam kasus pencairan dana anggaran bencana maupun penyaluran dana hibah
program penanganan sosial ekonomi masyarakat (P2SEM) oleh DPRD jatim.

Ketiga adalah dana aspirasi atau Pork Barrel membuka celah untuk anggota dewan
terpilih kembali dalam periode berikutnya akibat ‘money politic’ dan ditambahkan pula
apabila dana ini direalisasikan seperti apakah mekanismenya dan siapakah yang akan
mengawasi. Padahal anggota DPR berfungsi sebagai pengawas.

Keempat adalah dana aspirasi akan menyayat hati karena anggaran yang dikeluarkan
sebesar 8,4 T, mengalahkan anggaran Jamkesmas yang hanya sebesar 5,1 T.

Kelima adalah dana aspirasi tidak memiliku payung hukum.

Keenam adalah dana aspirasi hanya akan mengganggu postur perimbangan keuangan
antara daerah dengan pusat. Dana aspirasi juga dipastikan tidak akan terserap dengan
baik, karena DAU dan DAK yang sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat saja tidak
terserap dengan baik, apalagi ditambah dana aspirasi. Dipastikan anggaran tersebut
tidak tepat guna dan sasaran.

Kemudian juga polemik ini menarik bagi beberapa pakar untuk angkat bicaram seperti
Yunarto wijaya, Direktur eksekutif charta politika, yang menyatakan langkah golkar
merupakan langkah pembodohan. Pembodohan pertama adalah memaksakan anggota
DPR masuk ke dalam ranah eksekutif baik dalam level nasional dalam hal penetapan
APBN atau terhadap pemerintahan daerah dalam level operasional kebijakan.
Pembodohan kedua adalah terhadap partai kecil. Karena ketika dana aspirasi lolos
maka hanya akan menguntungkan partai besar yang memiliki wakil di parlemen lebih
banyak dan ini menguntungkan ketika pemilu. Dan terakhir golkar membodohi rakyat
dengan melegalkan praktik politik uang dengan menyalahartikan fungsi anggaran
menjadi hak anggaran. Padahal dalam konteks kenegaraan kewenangan yang dimiliki
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 31
STUDI KASUS DAN LITERATUR

parpol dalam parlemen sebatas fungsi menyetujui dan menolak apa yang dilakukan
pemerintah.

Pork Barrel di negara lain

Istilah The Pork Barrel digunakan sebagai term politik pasca perang sipil. Sejarahnya
Pork Barrel dipakai dalam praktik perkebunan saat penguasa membagikan jatah daging
babi dan garam ke para budak kayu, yang kemudian di adopsi sebagai proyek-proyek
khusus anggota kongres AS ke para pembayar pajak federal sebagai bentuk kemurahan
hati anggota kongres. Pork atau porcus dalam bahasa latin didefenisikan dengan kata
“babi”, sebagai daging yang sungguh lezat di kalangan bangsawan abad ke-17 dan 18.
Babi sebagai simbol kesejahteraan yang membedakan antara kaum budak dengan sang
tuan. Dengan demikian, Pork Barrel sebelumnya menjadi satu dari sekian tanda
kesenjangan antara elite politik dengan rakyat jelata pada zaman itu. Meski pada suatu
masam pork bermetamorfosa seperti bentuk kedermawanan elite politik, tetapi tetap
saja dia adalah alat elite untuk melindungi kekuasaan dengan warna-warni dana dan
proyek khusus.20

Kemudian Virginia A Fitt, dokter hukum dari Universitas Duke, North Carolina, AS, dalam
tulisannya berjudul Honor at The Trough: The Ethics of Pork Politics yang mengutip
Citizens Against Goverment Waste (CAGW) mengemukakan tujuh dimensi pork, yaitu
Pertama, hanya diusulkan oleh satu kamar dari kongres. Kedua tidak disahkan secara
khusus. Ketiga tidak didapatkan secara kompetitif. Keempat tidak diusulkan oleh
presiden. Kelima melebihi begitu besar usulan anggaran presiden pada tahun
sebelumnya. Keenam tidak menjadi pokok dalam dengar pendapat di kongres. Ketujuh
melayani hanya satu buah daerah atau suatu kepentingan belaka. Pada dimensi pork
tersebut, jelas digambarkan bahwa pork barrel mengambil ruang khusus anggaran yang
menyita uang negara dan hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Fitt menekankan
bahwa pork barrel pada dasarnya hanya menguatkan politik patron semata.21

20
Sindo hal 6, Opini, Rabu 9 Juni 2010, Hifdzil Alim dalam Dana Zonder Aspirasi.
21
Ibid.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 32
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Selanjutnya Kajian Miriam A Golden dari Universitas California, Los Angeles, AS dan
Lucio Picci dari Universitas Bologna, Italia yang berjudul Pork Barrel Politics in Postwar
Italy, 1953-1994, mengatakan bahwa politik Pork Barrel digunakan untuk memulihkan
daerah-daerah Italia yang porak-poranda dalam pasca perang. Artinya, Pork Barrel
digunakan untuk tujuan yang spesifik. Dalam perkembangannya, Pork Barrel ini
mendapatkan penolakan, karena setidaknya membentur pada 3 isu: Pertama, tidak
dapat dipakai sebagai cara untuk membangun daerah, Kedua, fungsi Pork Barrel yang
sering disalahgunakan, Ketiga, implikasi Pork Barrel tidak dapat meningkatkan
perekonomian suatu daerah.22

9. Malas Melaporkan Kekayaan dan Malas Bersidang

Kata malas adalah kata yang paling menyakitkan hati rakyat, karena mereka sudah digaji
oleh negara dengan sangat mahal, dan hak-haknya sudah dipenuhi, namun tidak serius
di dalam menjalankan fungsi dan amanahnya sebagai wakil rakyat. Ketika mereka
tertangkap bolos rapat paripurna biasanya mereka berdalih sakit namun lupa mengurus
surat dokter, atau lupa konfirmasi, kedua agenda persidangan berbenturan dengan
agenda menjadi pansus atau panja, dan masih banyak lagi ‘kata-kata mutiara’ untuk
mengamini mereka bahwasanya mereka itu tidak bolos. Padahal ketika mereka bolos,
mereka akan tetap mendapatkan gaji. Luar biasa kebiadaban-kebiadaban yang mereka
lakukan.

PENDAPATAN ANGGOTA DPR RI


No. JENIS PENGHASILAN KETENTUAN Rp.
TAHUN
ANGGARAN
2009
1. Gaji pokok 83,3% dari gaji 4,200,000
pokok Ketua DPR

2. Tunjangan suami/istri 10% dari gaji 420,000


pokok anggota

22
Ibid.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 33
STUDI KASUS DAN LITERATUR

3. Tunjangan anak 2% dari gaji pokok 168,000


x 2 orang anak

4. Tunjangan struktural 231% dari gaji 9,700,000


pokok anggota

5. Tunjangan beras 4 jiwa x 10 Kg x 166,320


harga beras (Rp
4,158)

6. Tunjangan PPh 59,6% dari gaji 3,005,583


pokok Ketua DPR

7. Uang kehormatan sebagai 73,8% dari gaji 3,720,000


komisi/badan/panitia pokok Ketua DPR

8. Uang penunjang kegiatan 49,6% dari gaji 2,500,000


fungsi pengawasan dan pokok Ketua DPR
anggaran sebagai komisi/
badan/panitia

9. Uang dukungan anggota 19,8% dari gaji 1,000,000


komisi yang merangkap pokok Ketua DPR
sebagai
anggota badan/panitia
anggaran

10. Uang paket harian 39,7% dari gaji 2,000,000


pokok Ketua DPR

11. Tunjangan komunikasi 280,6% dari gaji 14,140,000


intensif pokok Ketua DPR

12. Asuransi kesehatan 77,9% dari gaji 3,927,621


pokok Ketua DPR

13. Uang langganan listrik 49,6% dari gaji 2,500,000


pokok Ketua DPR

14. Uang langganan telepon 59,5% dari gaji 3,000,000


pokok Ketua DPR

15. Uang kontrak rumah 297,6% dari gaji 15,000,000


pokok Ketua DPR

PENERIMAAN 65,447,524
BRUTO/BULAN

PENERIMAAN BERSIH 62,441,941*


(DIPOTONG TUNJANGAN
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 34
STUDI KASUS DAN LITERATUR

PPh)

PENERIMAAN PER TAHUN 749,303,292

PENERIMAAN SELAMA 5 3,746,516,460


TAHUN

Sumber: Indonesia Budget Center.


Catatan: Belum termasuk gaji ke-13, uang legislasi, uang rapat,
uang transpor, uang perjalanan dinas di dalam dan luar negeri,
fasilitas kredit kendaraan, honor asisten dan tenaga ahli, serta
fasilitas penunjang lainnya (laptop, internet, hotel bintang lima,
kupon bensin, kupon bebas tol, dll.) yang seluruhnya dibiayai
negara.

Data dari Sekretariat Jenderal DPR Biro Persidangan menunjukkan, kebiasaan


membolos di kalangan anggota Dewan periode 2009-2014 memang cenderung
meningkat dalam tiga kali masa persidangan yang telah mereka gelar. Pada masa
persidangan pertama (1 Oktober 2009-4 Desember 2009), tingkat kehadiran semua
fraksi masih di atas 90 persen. Angka itu kemudian menurun pada masa persidangan
kedua (4 Januari 2010-5 Maret 2010), dan makin merosot pada masa persidangan
ketiga (5 April 2010-18 Juni 2010), yakni tinggal 70-an persen.

Biro Persidangan Sekretaris Jenderal (Setjen) DPR mengeluarkan daftar sejumlah


anggota DPR yang membolos dalam dua kali masa sidang paripurna tahun 2010 ini.
-Sidang II (4 Januari 2010 – 5 Maret Fraksi PKS: Andi Rahmat (2 kali),
2010) Akbar Zulfikar (2 kali)
Fraksi Partai Demokrat (FPD): Gondo Fraksi PAN: M Ichlas el-Qudsi (2 kali),
Radityo Gambiro (3 kali), Nurcahyo Hans Ali Syahputra Syah Pahan (2 kali)
Anggoro Jati (3) Fraksi PPP: Ahmad Dese Sere (3 kali),
Fraksi Partai Golkar (FPG): Jeffrie Fraksi PKB: Agus Sulistiyono (4 kali)
Geovanie (6 kali) Fraksi Gerindra: Martin Hutabarat (2
Fraksi PDI Perjuangan: Nusyirwan kali), Widjono Hardjanto (2 kali),
Soejono (3 kali) Dhohir Farisi (2 kali)
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 35
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Fraksi Hanura: Ferdinand Sampurna Fraksi PKS: Andi Rahmat (1 kali), Ekky
Jaya (3 kali), Akbar Faizal (3 kali), Awal Muharram (1 kali), Bukhori
Yusuf (1 kali), Roihan Iskandar (1 kali)
-Sidang III (5 April 2010- 18 Juni Fraksi PAN: Ratu Munawaroh (10 kali)
2010) Fraksi PPP: Irgan Choirul Mahfiz (3
Fraksi Partai Demokrat (FPD): Nur kali), Amin Suparmin (3 kali),
Cahyo Anggorojati (5 kali) Fraksi PKB: Abdul Kadir Karding (4
Fraksi Partai Golkar: Agus Gumiwang kali), Abdul Malik Haramain (4 kali)
Kartasasmita (4 kali), Ibnu Munzir Fraksi Gerindra: Desmond Djunaedi
Tanpa Keterangan (4 kali), Mahesa (3 kali), Sumariyati Arjoso (3
Fraksi PDI Perjuangan: Arif Wibowo (4 kali),
kali), Alexander Litay (4 kali), Fraksi Hanura: Akbar Faizal (3 kali).

Dan Anggota DPR yang menghadiri penutupan masa sidang IV (2009-2010) hanya 302
dari 560, separuh lebih sedikit.
Berikut rincian jumlah anggota DPR yang hadir:

FPD 79 dari 148 FPPP 22 dari 38


FPG 56 dari 106 FPKB 10 dari 28
FPDIP 45 dari 94 Gerindra 17 dari 26
FPKS 35 dari 57 Hanura 13 dari 17
FPAN 25 dari 46

Hingga pukul 10.45 WIB, sudah ada 327 anggota DPR yang hadir.
Dari kebobrokan tersebut anggota DPR sedang melakukan usaha untuk meminimalisir
anggota DPR yang melakukan pembolosan. Ada yang mengusulkan Fingerprint, ada
yang mengusulkan absen di awal dan di akhir sidang, dan ada juga yang mengusulkan
pemotongan gaji. Kita bisa menghargai itikad baik tersebut, namun semua hal-hal
teknis di atas tidak akan berhasil apabila mental si anggota dewan masih banyak yang
suka membolos, dan tidak memiliki integritas yang kuat. Dan terakhir adalah mengubah
Pasal 213 ayat 2 butir d dalam uu no 27 tahun 2009 mengenai MPR/DPR/DPD/DPRD
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 36
STUDI KASUS DAN LITERATUR

yang menyebutkan anggota dpr akan diberhentikan apabila “tidak menghadiri rapat
paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. Pasal tersebut sangat
mudah untuk digagalkan. Misalkan ada anggota DPR yang membolos 5x berturut-turut,
namun besoknya ia masuk maka substansi dari pasal tersebut menjadi gugur, dan sang
anggota dewan dapat kembali mengulang perbuatan bolosnya.
Malas Melaporkan kekayaan dan Tukang Tidur
Fenomena yang luar biasa ketika proses persidangan sedang berlangsung adalah
banyaknya anggota dewan yang tertidur, bahkan ada pula yang kerjanya hanya
mengobrol, memainkan i-pad, bermain internet, berkomunikasi via telepon, dan masih
banyak lagi. Terlihat sekali antara tuntuan terhadap pemenuhan hak mereka yang
tinggi, namun tidak dibarengi oleh prestasi yang tinggi pula.

Salah satu tindakan yang paling cacat dari anggota DPR adalah malas melaporkan
kekayaan. Padahal jelas aturannya tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun akibat
ketidakjelasan dari sanksi administrasi dan himbauan dari pimpinan DPR, anggota
dewan masih malas melaporkan kekayaannya. Mungkin takut ketahuan korupsi, karena
BPK melakukan audit melalui mekanisme pengecekan terhadap kekayaan, dan sama
halnya dengan mekanisme investigasi yang dilakukan oleh KPK.

Pada hari Selasa, tanggal 19 Agustus sebanyak 19 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
belum menyerahkan laporan harta kekayaannya. Tidak adanya sanksi tegas membuat
anggota Dewan itu cenderung enggan menyerahkan laporan harta kekayaan
penyelenggara negara. Berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara
(LHKPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 96,61 persen atau 541 orang dari 560
anggota DPR sudah menyerahkan laporan kekayaannya.

Bahkan sebelumnya dari data yang ada di KPK sampai 14 juli lalu, masih ada 127 orang
dari 560 anggota Dewan periode 2009-2014 yang belum melaporkan kekayaannya, atau
baru 77,32 persen yang patuh. Padahal mereka dilantik jadi anggota Dewan hampir
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 37
STUDI KASUS DAN LITERATUR

setahun yang lalu. Seharusnya paling lambat 2 bulan mereka harus melaporkan
kekayaannya sejak pelantikan.

Dalam catatan KPK, anggota Fraksi Partai Demokrat yang belum melapor sebanyak 42
orang. Berikutnya, Fraksi Partai Golkar 27 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional 26
orang, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 8 orang. Adapun anggota Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang belum melapor 8 orang, Fraksi Partai Gerindra 5
orang, Fraksi Partai Hanura 4 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 4 orang, dan Fraksi
Partai Kebangkitan Bangsa 3 orang. Kemudian dari tingkat kepatuhannya, Partai
Amanat Nasional dan Demokrat tercatat paling rendah, yakni 43,48 persen dan 71,6
persen. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera dan PDI Perjuangan terhitung paling
patuh, dengan tingkat 92,98 persen dan 91,49 persen.

10. Rumah Aspirasi

Ini adalah dosa ke-10 DPR, yakni rumah aspirasi. Rencana pembangunan rumah aspirasi
dilandasi oleh Tata tertib DPR, Pasal 203 ayat (4) berbunyi, “...selain kunjungan kerja,
anggota dalam satu daerah pemilihan dapat membentuk rumah aspirasi.” Dan juga Pasal
203 ayat (5) berbunyi, “Rumah aspirasi berfungsi untuk menerima dan menghimpun
aspirasi masyarakat.”

Rencana tersebut akan menghabiskan anggaran sebesar 78,9 M untuk 77 dapil, namun
tata tertib tersebut dilanggar oleh BURT dan lebih memilih menganggarkan rumah
aspirasi per anggota dewan yang menelan anggaran sebesar 209 M per tahun atau 374
Juta per tahun.

Itikad baik dari rumah aspirasi itu dapat kita pahami, namun mengapa harus
menggunakan APBN yang notabenenya akan semakin memberatkan dan memperlebar
defisit anggaran. Lantas apa fungsi dari mesin politik yang ada di daerah sampai tataran
ranting. Biasanya setiap daerah pasti memiliki kantor partai atau rumah partai. Kenapa
tidak itu saja yang dijadikan rumah aspirasi, dan jelas fungsi parpol adalah menyerap
aspirasi dari masyarakat yang nantinya akan dilanjutkan melalui kader parpol yang
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 38
STUDI KASUS DAN LITERATUR

menduduki kursi parlemen. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah anggaran
tunjangan penyerapan aspirasi dirasa masih kurang, padahal jumlahnya luar biasa.

Rincian tunjangan penyerapan aspirasi:

Reses : 53.080.000x4
Kunker Pribadi : 8.983.500x6
Tunjangan Komunikasi : 12.019.000x12
Tunjangan Penyerapan Aspirasi : 7.225.000x12
Total : 452.231.500 (Per anggota/ tahun)
Jel
Berarti jelas motifnya tidak lain tidak bukan adalah untuk menguras anggaran negara
demi kesejahteraan pribadi. Padahal banyak anggota dewan juga yang membangun
rumah aspirasinya cukup dengan gaji bulanannnya. Dan apabila ditelusuri apakah
memang anggaran penyerapan aspirasi sudah optimal dijalankan. Anggaran yang luar
biasa tersebut saja tidak optimal, apalagi ditambah, mereka akan semakin menghisap
darah rakyat. Dan rumah aspirasi di tengarai hanya akan menjadi instrumen balas jasa
anggota DPR untuk menampung para tim sukses-nya di daerah pemilihan maupun kolega
serta kerabatnya. Preseden ini dapat dilihat dati tim ahli DPR yang lebih banyak berasal
dari kerabat ataupun kolega partai politiknya, tidak berdasarkan profesionalisme.

Episode 3: Kesimpulan dari kebobrokan kinerja dan tingkah laku anggota DPR

Sebelum masuk kesimpulan, berikut ada data penelitian terkait kinerja DPR tahun 2010 yang
dilakukan oleh Charta Politika dan digelar di 7 kota pada tanggal 27-29 Agustus 2010 (378
responden).

*Fungsi legislasi : 58,4% belum baik

*Fungsi Anggaran : 54,8% belum baik

*Fungsi Pengawasan : 52,1% buruk

Dari polling di atas berarti dapat kita tangkap ada beberapa permasalahan yang paling inti
dari bobroknya kinerja DPR saat ini. Dosa-dosa besar DPR di atas merupakan Side Effect. Dan
ada Core Problem yang harus diungkap disini.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 39
STUDI KASUS DAN LITERATUR

1. Buruknya peran parpol dalam menjalankan fungsinya. Tidak adanya proses kaderisasi
yang ideal dan berkesinambungan sehingga hanya menghasilkan kader-kader karbitan.
Kemudian peran sosialisasi dan pendidikan politik yang dirasa sangat kurang. Kemudian
mekanisme Recruitment yang sangat longgar. Rata-rata partai sekarang hanya
mementingkan basis massa dibandingkan terciptanya suatu iklim demokratis di tubuh
partai tersebut dengan proses kaderisasi. Terlebih budaya patron dan oligarki sangat
kental berkembang di partai politik kita saat ini.

2. Sistem suara terbanyak dalam pemilu seharusnya berakhir dengan kebaikan. Yakni akan
terciptanya rasa keterkaitan keeratan antara pihak konstituen dengan wakilnya. Namun
sistem itu hanya dipahami banyak partai secara prosedural, sehingga mereka lebih
memilih untuk merekrut banyak kader-kader populer dan memiliki banyak uang. Rakyat
kita sekarang belum cerdas secara utuh, hanya cerdas secara kebutuhan-kebutuhan
praktis saja. Rata-rata mereka hanya memilih caleg yang paling populer, dan yang paling
banyak memberi materi. Mereka tidak pernah berpikir apa visi-misinya, apa program ke
depan yang akan dijalankan, dll. Kemudian sistem ini pada akhirnya akan kembali
kepada UANG. Dimana ia harus mencari perhatian konstituennya sesering dan sebanyak
mungkin. Biaya operasional akan membengkak. Dan juga ajang sikut-sikutan bukan
hanya di tataran parpol, namun di tataran antar caleg. Belum nafsu pragmatisme untuk
mancari investor demi membiayai proses pemenangannya. Dan kesimpulannya mereka
akan mewakili aspirasi orang yang menanamkan saham kepadanya, bukan rakyat
sesungguhnya. Pada akhirnya sesuatu yang dimulai dengan instan, maka hasil atau
kinerja anggota DPR yang dihasilkan juga akan instan. Mental untuk Recovery Cost
sangat kentara sekali, bahkan tidak cukup sampai disitu, melainkan harus mengeruk
sebanyak-banyaknya keuntungan demi kesejahteraan pribadi, maupun golongan.

Rekomendasi
Kami melakukan kritik terhadap DPR RI bukan karena benci, tetapi karena kami cinta akan
institusi ini, karena kami rindu DPR RI yang kuat yang bisa melakukan check and balance
kepada pemerintah. Oleh karena itu dalam menyongsong 1 tahun DPR RI kami memberikan
rekomendasi kepada DPR dan elemen lain yang menyebabkan DPR hari ini kacau dan carut
marut agar:
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 40
STUDI KASUS DAN LITERATUR

1. DPR RI melakukan reformasi diri secara institusi, sehingga fungsi-fungsi yang melekat
dalam kelembagaan DPR RI ( Anggaran, Pengawasan, dan legislasi) bisa dijalankan secara
maksimal. Selain itu DPR RI juga harus melakukan reformasi tehadap badan-badan
kelengkapan yang hari ini ada di dalam tubuh DPR RI seperti komisi dan Badan kelengkapan
lainnya agar bekerja maksimal dalam memenuhi tuntutan-tuntutan rakyat.

2. Anggota DPR melakukan reformasi diri dengan menghentikan politik pencitraan seolah-olah
mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pribadi atau partai mereka
sendiri. Selain itu Hendaknya anggota-anggota dewan yang hari ini tidak mengerti substansi
permasalahan yang dialami DPR untuk berhenti beretorika di depan media yang
mengakibatkan rakyat terprovokasi akibat retorika-retorika tersebut. Disisi yang lain lifestyle
anggota Dewan yang tidak mencerminkan keprihatinan mereka terhadap rakyat Indonesia.

3. Partai-Partai politik untuk melakukan reformasi diri, Karena anggota-anggota DPR yang
sering membolos, malas melaporkan kekayaan serta sering menghambur-hamburkan uang
rakyat hari ini merupakan produk dari partai-partai politik hari ini. Hal ini terjadi karena
macetnya system kaderisasi partai yang lebih mengutamakan kekayaan dan kepopuleran
anggota dewan, dibandingkan intelektualitas anggota dewan itu sendiri.

4. Demi terwujudnya DPR RI yang mewakili rakyat hendaknya partai-partai politik mem-PAW-
kan (Pergantian antar waktu) yang anggotanya terbukti sering membolos, lalai melaporkan
kekayaannya serta memboroskan uang rakyat.

5. Meminta seluruh elemen bangsa agar mengawal perubahan UU paket Politik karena terbukti
kacau dan carut marutnya DPR RI hari ini dikarenakan kegagalan UU Paket Politik itu
sendiri.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 41
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Sumber

Sharma, P. 2004. Sistem Demokrasi yang Hakiki. Jakarta: Yayasan Menera Ilmu.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer.
Rachman, Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Depok: Koekoesan.
Hanta Yuda AR dalam Rapor Merah DPR, Kompas, Opini, 2 September 2010.
Yasta Kamir Piliang dalam Ilusi-ilusi Demokrasi, Kompas hal 16, Opini, 19 Maret 2010.
Kacung Marijan dalam Biaya Demokrasi, Kompas hal 7, 24 agustus 2010.
Boni Hargens dalam Imajinasi Keindonesiaan, Media Indonesia hal 26, Opini, 16 Agustus
2010.
Fadjroel Rachman dalam Jangan Pernah Letih Mencintai Indonesia, Kompas hal 26, Opini, 16
Agustus 2010.
Boni Hargens dalam Astigmatisme Kekuasaan, Media Indonesia hal 21, Opini, 6 Juni 2010.
Zaenal A. Boediyono dalam Paradoks Demokrasi Kita, Media Indonesia hal 17, Opini, 18
Februari 2010.
Yudi Latif dalam Kemerdekaan Tanpa Kepemimpinan, Media Indonesia hal 44, Kolom Pakar,
16 Agutus 2010.
Victor Silaen dalam Demokrasi Politik Uang, Media Indonesia hal 22, Opini, 28 April 2010.
www.tribunnews.com www.republikaonline.com
www.bisnis.com www.rakyatmerdeka.co.id
www.inilah.com www.waspadaonline.com
www.dpr.go.id www.kompas.com
www.vivanews.com www.suarakaryaonline.com
www.tempointeraktif.com www.mediaindonesia.com
www.bataviase.co.id www.jawapos.com
www.kpk.go.id www.sinarharapan.com
www.detinews.com www.hukumonline.com
www.primaironline.com Media Indonesia
www.politisiindonesia.com Kompas
www.jakartapress.com Republika
PUSAT KAJIAN DAN STUDI PERGERAKAN GREEN FORCE UNJ 42
STUDI KASUS DAN LITERATUR

Jurnal Nasional UU No. 2 tahun 2008


Sindo Nota Keuangan APBN-P 2010
Koran Tempo CPI 2009
UUD 1945 Amandemen ke-4 Prolegnas 2010-2014
UU No. 27 tahun 2010

Anda mungkin juga menyukai