Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Demokrasi diprediksikan sebagai alternatif ideologi yang dapat menghadirkan sebuah


kesejahteraan bagi masyarakat dunia, yang sangat fleksibel dengan kultur yang ada di masing-
masing negara. Demokrasi digadang-gadang sebagai sebuah formula luar biasa, yang dapat
menjamin hak asasi manusia dapat terpenuhi. Ideologi tersebut pun menjamin adanya rasa
kemerdekaan, keadilan, keterbukaan, persamaan, persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan.
Namun demokrasi bukanlah sebuah keadaan sempurna. Negara dengan praktek demokrasi
terbaik selalu saja ada orang-orang miskin di negaranya karena paham-paham kapitalisme sudah
menggerogoti demokrasi.

Demokrasi itu sendiri lahir dari sebuah kontrak sosial yang disepakati bersama di
masyarakat melalui sebuah tatanan sistem yang baku. Fenomena kontrak sosial inilah yang
menjadi landasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Karena sejatinya kedaulatan tertinggi di dalam
kehidupan berdemokrasi adalah rakyat itu sendiri. Dalam sejarahnya demokrasi lahir dengan
format langsung. Dimana rakyat secara langsung menyuarakan sebuah aspirasinya di dalam
forum besar. Namun ide strategis dari demokrasi tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan
dan kebutuhan di setiap negara. Secara politik saja itu sudah sangat merepotkan, dan dipastikan
asas keterwakilan tidak akan tercapai. Maka dari itulah muncul fenomena kontrak sosial.

Fenomena kontrak sosial itu nanti akan dipegang oleh seorang wakil yang berasal dari
komunitasnya, dan ia akan berjuang di parlemen untuk mewujudkan apa-apa saja yang
diaspirasikan oleh komunitas masyarakatnya. Sang ‘wakil rakyat’ harus bersikap dan bertindak
secara aspiratif dan demokratif atas kebutuhan dari rakyat yang diwakilinya tersebut. Ia harus
memosisikan dirinya sebagai pelayan dari ‘sang tuan’, yakni rakyat itu sendiri.

“Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini
mempunyai suatu “kehendak” (yang oleh Rousseau disebut Volonte Generale atau General
Will). Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentic dari
generall will. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-
undang mengikat seluruh masyarakat.”.Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam UUD 1945
pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang”.

Dari teori di atas dapat kita simpulkan bahwa DPR adalah pemegang kontrak sosial dan
pemegang legitimasi dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Lembaga tersebut merupakan lembaga
negara yang di dalamnya berisi para wakil-wakil dari seantero Indonesia, yang hadir di dalam
sebuah parlemen demi memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili baik skala lokal maupun
skala nasional. Maka dari itu tuntutan akan amanah untuk menghadirkan kesejahteraan bagi
pemegang kedaulatan itu sendiri sangat luar biasa.
Pilar Pilar Demokrasi di Indonesia

Untuk menegakkan demokrasi, maka dibutuhkan pilar-pilar yang menopang demi


tereralisasinya nilai-nilai luhur dari demokrasi tersebut. Karena demokratisasi tidak akan tercapai
substansinya apabila tidak ditopang oleh pilar yang kuat. Pilar dari demokrasi itu sendiri dibagi
menjadi 3 bagian sesuai konsepsi dari Montesquieu. Yakni adanya legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Rasionalisasi yang digunakan olehnya adalah pembatasan kekuasaan tersebut demi
tercapainya sistem yang seimbang, dan biasa disebut check and balance. Karena sesuai dengan
teori Lord Acton, “Manusia yang memiliki kekuasaan akan selalu cenderung berusaha
menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas
pasti akan menyalahgunakannya.” (Power tends to corrupt, but absolutely power corrupt
absolutely). Dalam prakteknya, Indonesia tidak menggunakan konsep Montesquieu tersebut,
Tetapi Indonesia menggunakan prinsip Pembagian kekuasaan.

Demokrasi di Indonesia

Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia,


kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang.
Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia,
karena masyarakatnya belum siap.

Namun demikian pada dekade terakhir perkembangan demokrasi kita, acapkali dirasakan
sulit membangun dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan rakyat, akibat intervensi dari luar
yang berkedok simbol dan megedepankan wacana seperti politik etis, nasionalisme, kapitalisme,
demokrasi, developmentalisme, dan seterusnya. Konsep dan Wacana-wacana tersebut secara
substansi melahirkan banyak dampak, baik dampak sosial, politik, ekonomi sampai pada tataran
yang bersifat ideologis seperti imperialism global.

Lalu pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, mungkinkah upaya-upaya


melakukan perubahan di tanah air bisa dilakukan tanpa melibatkan struktur kapitalisme ataupun
imperialisme global? Apakah mungkin membangun kesejahteraan ditengah instabilitas politik
dan demokrasi yang tidak sehat? Ini adalah dua pertanyaan mendasar sekaligus sindiran yang
patut dilayangkan pada semua komponen bangasa, kepada para politisi karbitan yang hiruk-
pikuk dengan berbagai kepentingan dangkal, ditengah gegap-gempitanya dunia global yang
pelan-pelan menggeliat, mencengkeram Bangsa Indonesia pada sisi yang lain, yaitu ekonomi.
Indonesia kini praktis berada dalam Genggaman Imperialisme Global, dimana Imprealisme
modern telah bermetamorfosis dari bentuk penguasaan secara fisik kedaulatan sebuah bangsa,
kepada bentuk peperangan baru tanpa melibatkan rudal dan kapal perang, namun sudah masuk
ke dalam ranah paling sensitif bagi semua bangsa yaitu sistem dan struktur ekonomi. Dan
Indonesia hari ini, telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian regional dan internasional, untuk
masuk dalam labirin perdagangan global (pasar bebas), yang sesungguhnya tidak memberikan
keuntungan yang signifikan bagi Indoneisa, justru sebaliknya merupakan potensi ancaman bagi
masa depan Indonesia.

Karena itulah, kualitas sikap partai dan politisi menjadi penting. Seyogyanya kita, dan
khsusnya para politisi kita di Parlemen menyadari bahwa persoalan bangsa ini begitu kompleks,
tidak elok jika semua energi politik terkuras untuk sebuah agenda yang sesak oleh bau
“politisasi”. Lingkungan politik menjadi tidak sehat, dan niat baik memperbaiki keadaan
ditunggangi oleh syahwat “berkuasa” yang berlebihan dan tidak terkontrol. Sering terdapat upaya
manipulasi subjektif terkait kebijakan pemerintahan demi pencapaian kepentingan politik
individu dan kelompok. Alih-alih berjuang untuk kesejateraan rakyat, yang terjadi sebaliknya,
banyak politisi dan pemimpin politik berubah wujud menjadi predator-predator; bermental
manipulative yang kontraproduktif terhadap upaya membangun den memperkuat demokrasi,
bahkan merupakan ancaman bagi masa depan demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah
payah.

Problem Demokrasi di Indonesia

Problem Demokrasi adalah Maraknya Predator Politik Demokrasi. Gejala ini telah
menjangkiti salah satu aktor demokrasi yakni partai politik. Dalam teori politik, parpol
dibutuhkan dalam kerangka untuk memperjuangan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Kehadiran
parpol sebagai institusi politik, diharapkan mampu menjembatani, dalam menyambung dan
memfasilitasi kidupan dan kesejahteraan masyarakat agar menjadi lebih baik, beradab, sejahtera
dan mandiri. Bukan malah sebaliknya sepanjang tahun Parpol hanya hadir memberi konstribusi
pada instabilitas politik.

Pertama, Buruknya peran parpol dalam menjalankan fungsinya. Tidak adanya proses
kaderisasi yang ideal dan berkesinambungan sehingga hanya menghasilkan kader-kader karbitan.
Kemudian peran sosialisasi dan pendidikan politik yang dirasa sangat kurang. Kemudian
mekanisme Recruitment yang sangat longgar. Rata-rata partai sekarang hanya mementingkan
basis massa dibandingkan terciptanya suatu iklim demokratis di tubuh partai tersebut dengan
proses kaderisasi. Lebih dari itu semua, predator politik tentu saja menyengsarakan dan
merugikan masa depan rakyat, sebagai pemegang mandat mutlak kekusaan. Posisi parpol hari ini
seolah-olah menutup diri dan lupa dengan keberadaan rakyat. Jika hal ini terus berlajut, bukan
tidak mungkin praktek demokrasi di negeri ini akan makin tidak tentu arah dan masa depannya.

Kedua, Sistem suara terbanyak dalam pemilu seharusnya berakhir dengan kebaikan.
Yakni akan terciptanya rasa keterkaitan keeratan antara pihak konstituen dengan wakilnya.
Namun sistem itu hanya dipahami banyak partai secara prosedural, sehingga mereka lebih
memilih untuk merekrut banyak kader-kader populer dan memiliki banyak uang. Rakyat kita
sekarang belum cerdas secara utuh, hanya cerdas secara kebutuhan-kebutuhan praktis saja. Rata-
rata mereka hanya memilih caleg yang paling populer, dan yang paling banyak memberi materi.
Mereka tidak pernah berpikir apa visi-misinya, apa program ke depan yang akan dijalankan, dll.
Kemudian sistem ini pada akhirnya akan kembali kepada UANG. Dimana ia harus mencari
perhatian konstituennya sesering dan sebanyak mungkin. Biaya operasional akan membengkak.
Dan juga ajang sikut-sikutan bukan hanya di tataran parpol, namun di tataran antar caleg. Belum
nafsu pragmatisme untuk mencari investor demi membiayai proses pemenangannya. Dan
kesimpulannya mereka akan mewakili aspirasi orang yang menanamkan saham kepadanya,
bukan rakyat sesungguhnya. Pada akhirnya sesuatu yang dimulai dengan instan, maka hasil atau
kinerja anggota DPR yang dihasilkan juga akan instan. Mental untuk Recovery Cost sangat
kentara sekali, bahkan tidak cukup sampai disitu, melainkan harus mengeruk sebanyak-
banyaknya keuntungan demi kesejahteraan pribadi, maupun golongan.

Anda mungkin juga menyukai