Anda di halaman 1dari 3

Nama : NIM :

Ahmad Fahrurozi 4825102546

Sosiologi Pembangunan Reguler 2010

Indonesia: Negeri Balada Pencitraan1


Erving Goffman memahami dramaturgi sebagai pandangan atas kehidupan sosial yang dipenuhi dengan serangkaian pertunjukkan dramatis seperti di atas panggung. Setiap orang melakukan drama dan menjalankan pertunjukan dalam hidupnya, manusia akan berperan sebagai individu yang berbeda disetiap situasi yang berbeda. Peran manusia itu sendiri tergantung pada situasi dan tujuan yang dihadapinya, sehingga manusia itu sendiri bisa masuk kedalam akting yang dibuatnya. ada perbedaan akting saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama. Hal ini pun terjadi dalam konteks politik indonesia yang dimana skenario dari dramaturgi itu pun semakin mudah untuk dibaca masyarakat. Dramaturgi itu sendiri adalah suatu fenomoena dimana individu itu berinteraksi dan memainkan peran didasarkan pada konsep pertunjukkan drama. Jadi setiap orang sudah sedemikian rupa merencanakan tindakan untuk berinteraksi dia atas panggung guna mencitrakan diri, tentu saja citra yang baik-baik saja yang ditampilkan. Fenomena dramaturgi ini semakin mudah saja terlihat saat mendekati masa pemilu, dalam hal ini bisa dilihat saat momen pemilukada DKI Jakarta akan berlangsung. Contoh dramaturgis dalam konteks politik, kita dapat menyaksikan bagaimana selebaran dan spanduk para calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta sudah banyak terlihat di sekitar halte-halte busway dan tempat umum lainnya. Yang ditampilkan di spanduk dan selebaran itu tentu saja hal yang baik-baik seperti Abang Sani Abang Kite, berjuang bersama mewujudkan kesejahteraan pekerja. Disini Aktor biasanya akan menyajikan citra diri yang positif agar lebih mudah di terima masyarakat. Mereka melakukan komunikasi politik yang berbelit-belit melalui media cetak. Pada saat mereka berpentas di panggung frontstage dalam hal ini adalah berkampanye, aktor melakukan kontrol pada penonton yang biasa disebut impression management atau

Ditulis oleh Ahmad Fahrurozi, Mahasiswa Sosiologi Pembangunan Reguler 2010.

pengolahan kesan biasanya dalam masa kampanye aktor politik melakukan hal yang baik-baik dan aktor mencoba menyajikan gambaran ideal atas dirinya sendiri di frontstage. Aktor berharap agar citra diri yang positif dapat diterima oleh masyarakat. Ditahap kampanye inilah komunikasi politik bekerja. Didalam komunikasi politik mengandung pemberian pesan dari komunikator ke komunikan mencakup soal politik. Untuk melicinkan komunikasi politik maka diperlukan juga agen-agen politik yakni yang paling dominan adalah media massa. Media massa-lah yang mempunyai peran paling powerful karena dengan mengusai media massa lah informasi dapat di manipulasi. Ada banyak skenario yang menampilkan calon dalam upaya membangun simpati dari masyarakat dengan melakukan bantuan kemanusiaan seperti melakukan aksi sosial pada saat kampanye ataupun dengan tiba-tiba menjadi orang yang sering menyelenggarakan pengajian bersama agar dipandang sebagai orang yang taat beragama. Tidak hanya itu, kita juga dapat melihat betapa lihainya para aktor politik mengemas janji-janjinya dengan menggunakan bahasa politik yang berbusa-busa, yang seakan-akan mengapresiasikan semangat pembebasan dari sekian masalah pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Mereka mati-matian mengeruk miliaran rupiah untuk membangun citra. Proses sosialisasi politik melaului kampanye inilah bisa dibilang merupakan tahap yang terberat. Karena pada sosialisasi politik inilah proses penanaman nilai-nilai politik ditanam. Berhasil atau tidaknya proses penanaman itu ditentukan oleh waktu. Semakin lama durasi dalam berkampanye (curi start, lama kampanye) maka semakin mudah untuk diterima oleh masyarakat karena itulah sosialisasi politik tidak terbatas oleh waktu. Proses politik ini merupakan bagian penting dari struktur dan sistem politik yang menyangkut keterlibatan budaya politik. Memang dengan melakukan pencitraan suatu perubahan politik akan mudah diraih tapi dengan syarat apabila pencitraan itu berhasil maka calon yang mendapatkan kharisma buatan yang telah mereka tanam saat kampanye. Suatu perubahan politik yang dibuat melalui pilkada ini memang agak menjadi samar karena pada akhirnya yang menang adalah mereka yang pintar dalam membangun kepura-puraan. Ini merupakan suatu kondisi yang ironis dimana hidup dengan pencitraan seolah-olah menjadi hal yang sudah lumrah. Hal ini akan membuat suatu pemahaman bahwa politisi adalah pembohong? Penilaian bahwa politisi adalah pembohong saat ini seolah-olah telah menjadi hal yang tak terbantahkan. Pertanyaannya adalah mengapa rakyat Indonesia menilai politisi merupakan individu yang hanya

pintar membohong dan menipu? Apakah benar politik identik dengan kebohongan sebagai intrik demi mengelola kepentingan yang ada? Hal ini bisa di kaji lebih jauh dari bagaimana politisi mewujudkan citra yang telah dibangun tersebut. Tak hanya sekedar menjadi perhatian kita, namun harus pula menjadi refleksi bagi Bangsa Indonesia bahwa kepemimpinan itu bukan sekedar pencitraan, namun lebih kepada bagaimana suatu kepemimpinan dapat membawa perubahan politik yang berarti. Memang pencitraan itu tidak salah, namun tidak terlalu penting untuk menciptakan efek positif atas pandangan publik kepada para pemimpin. Sebab, ketika seseorang menjadi pemimpin, maka kinerjalah yang akan menjadi perhatian utama dan dinilai oleh masyarakat. yang kini

dimasalahkan adalah bagaimana pemimpin tersebut dapat mewujudkan apa yang telah dicitrakannya. Dapat disimpulkan bahwa politik yang dilakukan di Indonesia hanyalah politik spanduk atau nama kerennya adalah politik kosmetik. Lebih spesifik lagi bahwa politik di indonesia lebih banyak pencitraannya daripada menunjukkan watak aslinya. Gaya politik pencitraan di indonesia sangat menonjolkan tampilan luarnya saja seperti gaya pidato yang terlihat berwibawa dan berapi-api, membeberkan data dengan angka-angka fantastis, ekspresi emosional seperti katakata saya prihatin, dan pandai bersandiwara layaknya tukang obat lagi jualan.

Anda mungkin juga menyukai