pengolahan kesan biasanya dalam masa kampanye aktor politik melakukan hal yang baik-baik dan aktor mencoba menyajikan gambaran ideal atas dirinya sendiri di frontstage. Aktor berharap agar citra diri yang positif dapat diterima oleh masyarakat. Ditahap kampanye inilah komunikasi politik bekerja. Didalam komunikasi politik mengandung pemberian pesan dari komunikator ke komunikan mencakup soal politik. Untuk melicinkan komunikasi politik maka diperlukan juga agen-agen politik yakni yang paling dominan adalah media massa. Media massa-lah yang mempunyai peran paling powerful karena dengan mengusai media massa lah informasi dapat di manipulasi. Ada banyak skenario yang menampilkan calon dalam upaya membangun simpati dari masyarakat dengan melakukan bantuan kemanusiaan seperti melakukan aksi sosial pada saat kampanye ataupun dengan tiba-tiba menjadi orang yang sering menyelenggarakan pengajian bersama agar dipandang sebagai orang yang taat beragama. Tidak hanya itu, kita juga dapat melihat betapa lihainya para aktor politik mengemas janji-janjinya dengan menggunakan bahasa politik yang berbusa-busa, yang seakan-akan mengapresiasikan semangat pembebasan dari sekian masalah pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Mereka mati-matian mengeruk miliaran rupiah untuk membangun citra. Proses sosialisasi politik melaului kampanye inilah bisa dibilang merupakan tahap yang terberat. Karena pada sosialisasi politik inilah proses penanaman nilai-nilai politik ditanam. Berhasil atau tidaknya proses penanaman itu ditentukan oleh waktu. Semakin lama durasi dalam berkampanye (curi start, lama kampanye) maka semakin mudah untuk diterima oleh masyarakat karena itulah sosialisasi politik tidak terbatas oleh waktu. Proses politik ini merupakan bagian penting dari struktur dan sistem politik yang menyangkut keterlibatan budaya politik. Memang dengan melakukan pencitraan suatu perubahan politik akan mudah diraih tapi dengan syarat apabila pencitraan itu berhasil maka calon yang mendapatkan kharisma buatan yang telah mereka tanam saat kampanye. Suatu perubahan politik yang dibuat melalui pilkada ini memang agak menjadi samar karena pada akhirnya yang menang adalah mereka yang pintar dalam membangun kepura-puraan. Ini merupakan suatu kondisi yang ironis dimana hidup dengan pencitraan seolah-olah menjadi hal yang sudah lumrah. Hal ini akan membuat suatu pemahaman bahwa politisi adalah pembohong? Penilaian bahwa politisi adalah pembohong saat ini seolah-olah telah menjadi hal yang tak terbantahkan. Pertanyaannya adalah mengapa rakyat Indonesia menilai politisi merupakan individu yang hanya
pintar membohong dan menipu? Apakah benar politik identik dengan kebohongan sebagai intrik demi mengelola kepentingan yang ada? Hal ini bisa di kaji lebih jauh dari bagaimana politisi mewujudkan citra yang telah dibangun tersebut. Tak hanya sekedar menjadi perhatian kita, namun harus pula menjadi refleksi bagi Bangsa Indonesia bahwa kepemimpinan itu bukan sekedar pencitraan, namun lebih kepada bagaimana suatu kepemimpinan dapat membawa perubahan politik yang berarti. Memang pencitraan itu tidak salah, namun tidak terlalu penting untuk menciptakan efek positif atas pandangan publik kepada para pemimpin. Sebab, ketika seseorang menjadi pemimpin, maka kinerjalah yang akan menjadi perhatian utama dan dinilai oleh masyarakat. yang kini
dimasalahkan adalah bagaimana pemimpin tersebut dapat mewujudkan apa yang telah dicitrakannya. Dapat disimpulkan bahwa politik yang dilakukan di Indonesia hanyalah politik spanduk atau nama kerennya adalah politik kosmetik. Lebih spesifik lagi bahwa politik di indonesia lebih banyak pencitraannya daripada menunjukkan watak aslinya. Gaya politik pencitraan di indonesia sangat menonjolkan tampilan luarnya saja seperti gaya pidato yang terlihat berwibawa dan berapi-api, membeberkan data dengan angka-angka fantastis, ekspresi emosional seperti katakata saya prihatin, dan pandai bersandiwara layaknya tukang obat lagi jualan.