Anda di halaman 1dari 2

MENYUCIKAN LAUT DAN GUNUNG

BUKAN DENGAN UPACARA DAN RUMUS OMONG


KOSONG
Oleh I Wayan Artika (Dosen Undiksha Singaraja)

Hindu memuja gunung dan laut. Laut tidak hanya sebagai rumah ikan-ikan, kerang, atau
karang-karang indah; tetapi laut adalah rumah dewa. Gunung pun tidak sebatas vegetasi dan flora
(hutan, burung, mamalia, cacing, dan serangga); tetapi gunung adalah istana dewa. Barangkali
karena itu Hindu (dalam hal ini Bali) menyucikan gunung dan laut.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Bali dikenal rumus kata-kata “tri hita karana”;
hubungan harmonis di antara tiga segi: alam, tuhan, dan manusia. Sayang sekali, tri hita karana
agak sombong karena dalam hubungan itu manusia dipahami sebagai poin yang paling berkuasa.
Manusia lupa justru dirinya bukan mahluk paling mulia atau paling terhormat. Manusia justru
mahluk yang paling jahat dan paling hina. Manusia mencuri buah pohon-pohon, menebang
pohon untuk membangun rumah atau untuk membangun pura, mencuri madu dari sarang lebah,
mengotori air sungai dengan limbah diterjen atau minyak, menyemblih --dari ayam sumalulung
hingga burung garuda untuk dimakan atau atas dalih korban suci. Harus diperbaiki konsep bahwa
“manusia adalah mahluk paling mulia karena manusia memiliki tiga pramana”: ini omong
kosong atau ini sebatas apologi doktrinasi yang menyesatkan. Manusia angkuh dan berlindung di
balik rumus-rumus agama. Anehnya, mengapa ajaran agama tidak mendidik humanisme kita
sebaliknya agama haya dalih untuk menghancurkan mahluk lain atau membunuh tumbuhan.
Tumbuhan tidak beragama dan harimau-harimau atau cacing juga tidak beragama; tetapi mereka
tidak merusak lingkungan dan masyarakatnya; agama tumbuhan, hewan, serangga, keong-keong
adalah agama alam. Mereka hidup harmonis dengan alam. Merekalah yang menerapkan rumus
tri hita karana. Kembalikan rumus itu kepada mereka karena manusia (orang Hindu, di Bali)
sama sekali tidak pantas memiliki rumus itu lagi.
Yang paling bisa menjaga kesucian gunung dan laut (habitat, air, aneka ragam hayati)
adalah tumbuhan dan binatang-binatang. Manusia hanya bisa merusaknya. Jika kita ingin
menyucikan laut dan gunung maka lupakanlah rumus-rumus agama atau stop melakukan hanya
ngaturang pakelem di danau di gunung atau di selat-selat laut. Artinya, ritual agama saja tidak
cukup untuk menyucikan laut dan gunung. Yang paling penting adalah: sucikan laut dengan
gunung dengan cara hidup menghormati laut dan gunung, secara nyata dan bisa dilihat hasilnya.
Jika ke pura, bawalah kembali segala sampah ke rumah kita. Jangan kotori pura-pura kita dengan
sampah yang kita bawa dari rumah. Mungkin di beberapa pura telah ada petugas kebersihan
tetapi melakukan sendiri (tidak membuang sampah seenaknya) jauh lebih bagus bagi diri
sendiri. Doa di pura tidak hanya doa kata-kata semu tetapi doa-doa juga bisa dalam bentuk tidak
membuang sampah sembarangan di pura (apalagi sampah plastik); bisa pula dalam bentuk
memungut satu keping pembungkus permen yang tercecer. Mungkin ini sulit tetapi harus mau
mengubah pola hidup agama: dari agama sebagai ritus ke agama sebagai hidup nyata. Harus
diubah juga: dari manusia sebagai mahluk terhormat ke manusia sebagai mahluk yang paling
hina dan paling kotor. Dalam agama kita harus ada di bawah segala mahluk dan segala alam.
Agama telah salah besar karena menempatkan mausia di atas tumbuhan dan hewan-hewan.
Karena itu kita hanya omong besar memuja laut dan gunung tetapi kenyataannya kita kotori laut
dan gunung dengan sampah-sampah dan limbah. Coba renungkan; siapakah yang menghasilkan
oksigen? Apakah manusia bisa membuatnya? Tumbuhan yang melakukan hal ini dalam sistem
yang tidak tertandingi segala kesempurnaannya; proses fotosintesis. Dengan menyadari hal ini
kita seharusnya menaruh rasa hormat pada tumbuhan. Manusia hanya bisa bikin air dalam
kemasan da menjualnya dengan iklan yang mengatasnamakan pemujaan terhadap alam; sehingga
mereka kaya raya; tetapi manusia tidak pernah memikirkan dirinya bahwa mereka tidak bisa
bikin air. Jika kita hanya menggunakan air di danau dan laut, maka yang terpenting adalah
menjaga kualitas air itu, sebagaimana alam menjaganya. Inilah cara kita menyucikan laut atau
menyucikan air; dan sama sekali tidak dengan upacara atau ritus. Dalam hal ini upacara Hindu
atau ritus Hindu yang dikaitkan dengan menyucikan laut dan gunung adalah omong kosong.
Yang perlu untuk menyucikan laut dan gunung adalah agama nyata dalam hidup. Ritus atau
upacara agama hanya mengajak kita semua berkhayal soal laut yang indah dan gunung yang
lestari dan jadilah agama rumah besar utopia; akses ke rumah itu hanyalah upacara dan ritus
omong kosong.
Jika sekarang Indonesia mengalami bencana: banjir bandang, tsunami, dan gunung
meletus, tidak tepat lagi bicara dengan ajaran agama. Agama tidak memiliki metode
membicarakan satu kebenaran soal gunung meletus dan patahnya lempengan bumi. Agama
adalah satu tafsir terhadap segala gejala alam. Tafsir ini tidak pernah diukur dan karena itu
kebenaran agama atas segala penjelasan alam dan hidup harus diragukan atau terima saja sebagai
dongeng.
Jika kita di Bali benar-benar menyucikan laut dan gunung maka upacara mahal saja tidak
cukup. Gunakan saja segala dana upacara yang sangat mahal itu untuk menghormati gunung dan
laut: bersihkan laut dan gunung di Bali dari sampah-sampah (terutama sampah plastik). Gunakan
dana upacara itu untuk mendidik anak-anak di Bali bagaimana caranya menyucikan laut dan
gunung. Ajak mereka pergi ke gunung dan tunjukkan cara-cara menyucikan gunung; ajak
mereka melakukan tindakan nyata menyucikan gunung. Demikian pula hanya dengan laut. Inilah
jalan agama hidup dan agama alam ketika kita menyucikan laut dan gunung itu. Inilah cara hidup
tri hita karana.

Anda mungkin juga menyukai