Anda di halaman 1dari 3

LUKISAN

Oleh I Wayan Artika

Namaku I Putu Gede Ambara, seorang guru dengan masa kerja belum genap tiga tahun.
Denpasar, pada salah satu SD negeri dekat Lapangan Puputan Badung aku ditempatkan.
Semangat Puputan Badung yang kubaca dari sejarah Denpasar atau dari patung-monumen itu
mengilhami diriku menjadi guru yang humanis, disiplin, dan selalu baca buku.
Anak-anak di kelas IV adalah penyuka cerita atau kisah dongeng. Menjadikan mereka
penyuka cerita lisan awalnya tidak mudah. Yang mereka tahu cerita-cerita elektronik dalam
DVD atau televisi. Mereka tidak tumbuh di tengah kisah lisan orang tua dan kehangatan
keluarga. Inilah awal kesulitanku memulai mengisahkan dongeng-dongeng secara lisan atau
membacakan kisah lain dari buku cerita yang kubeli di Toko Buku Gramedia. Aku paham,
imajinasi anak-anak di kelas IV (atau di mana saja) telah mati oleh hiburan elektronik.
Menjadikan mereka penyuka dongeng atau kisah-kisah sama artinya dengan menghidupkan
imajinasi mereka.
“Ananda sekalian, inilah kisah persabatan seorang anak dengan sebatang pohon…”
Tanpa selamat pagi aku memulai kelas dengan kata-kata tak jelas bagi mereka. Tapi anak-anak
kelas IV menatapku aneh. Mereka tidak tertarik. Kelas sepertinya menolak. “Pohon itu rindang,
rantingnya amat kokoh. …” Aku melanjutkan cerita walaupun tidak diperhatikan oleh anak-
anak. Pun akhirnya cerita ini tidak pernah selesai dari pagi ke pagi di kelas ini. Aku segera
menghentikannya. Beralih ke pokok hari ini: terkadang tentang sifat-sifat cahaya, nama-nama
tari daerah di Indonesia atau metamorphose kupu-kupu. Aku berjuang keras untuk tetap berkisah,
sampai kisahku disukai. (dan) Pada saat itu anak-anak kelas IV menurutku telah kembali ke
imajinasinya. Di akhir pelajaran, “Setiap kali, Ananda sekalian, pohon itu menyapa
sahabatnya… dan berkata, berayunlah di rantingku hai sahabat!”
Berminggu-minggu aku berjuang di kelas IV untuk menghidupkan daya imajinasi anak
lewat narasi atau bahasa dongeng, tanpa efek suara, tanpa efek visual seperti di game-game; juga
tanpa layar monitor. Singkat kata, pada bulan kesekian:
“Ananda sekalian, senja Pantai Sanur selalu memberi hamparan pasir yang elok…” Kelas
senyap. Aku tersanjung karena anak-anak kelas IV tertarik oleh sapaanku. “Di pasir pantai inilah
Page1

Ni Pollok, seorang penari legong dari banjar Klandis, yang juga seorang model pelukis Le
Mayeur de Mepres asal Belgia….” Kataku pelan dan hidmat. “diajari menulis oleh Tuan Le
Mayeur. Tidak di atas kertas tetapi di atas pasir Sanur. Penanya adalah ranting-ranting yang
hanyut ke pantai….” Aku lihat anak-anak menarik napas lega karena mereka menemukan
sesuatu di alam imajinasinya: perbedaan cara belajar dirinya dengan Ni Pollok. “Setiap senja,
mereka mengunjungi Pantai Sanur. Akhirnya Ni Pollok yang semula buta huruf bisa membaca
dan menguasai bahasa Inggris. Untuk belajar sesuatu orang bisa dimana saja. Tidak mesti di
sekolah, bukan?”
Pagi ini amat bersejarah karena kami merampungkan kisah Ni Pollok bersama Tuan Le
Mayeur beserta kisah cintanya; karena kami bersama telah kembali ke imajinasi. Sejak pagi ini,
aku selalu datang dengan kisah. Aku berterima kasih kepada Anthony de Mello yang memberiku
kekuatan cerita lewat kisah-kisah dalam Doa Sang Katak 1 dan 2.
Di samping akhirnya kami penyuka kisah dan mengarungi wilayah tiada batas imajinasi,
kami pun berlatih melukis. Anak kelas IV akan berpameran karya pada akhir tahun pelajaran.
“Ananda harus menyerahkan satu karya lukis.” Kataku
Anak-anak bersemangat. Selama proses mengerjakan lukisan ini, yang dilakukan di
rumah, aku selalu mendapat cerita seru mereka. Aku amat berbahagia menyimaknya.
“Pak guru, ayahku membelikan saya cat aklirik. Bagus.” Kata Made Ngurah.
Anak yang lain, “Pak Guru…” Nonik mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “lihat, ini foto
lukisan saya. Ini Pantai Sanur….” Aku tertegun sejenak.
“Apakah lukisan ini ada hubungannya denga Ni Pollok?” Tanyaku.
“Tidak. Saya hanya melukis pantainya dan orang-orang yang sedang mandi.”
Seorang anak, Putu Wirawan, tidak bersemangat dan tidak pernah menceritakan kegiatan
melukisnya.
“Putu, apakah putu mengalami kesulitan?”
“Tidak, Pak Guru.” Jawab Putu. Sepertinya dia tidak mau terus terang.
Aku penasaran, “Tapi apakah Ananda Putu sudah mengerjakan lukisanmu?”
“Sudah. Sudah Pak Guru!”
Hari pengumpulan karya tiba. Anak-anak kelas IV bangga karena karya mereka
dipamerkan di sekolah. Pada saat jam istirahat, aku mendata satu demi satu lukisan mereka.
Sebuah lukisan menarik perhatianku. “Ini paling lain. Sepertinya tidak cocok sebagai karya anak
Page1
kelas IV.” Aku penasaran. Aku terkejut dan merasa dibohongi. “Putu Wirawan? Ini lukisan
Putu?” Aku bimbang, ragu. Aku curiga dan aku tidak percaya.
“Putu,…” Putu Wirawan gugup di hadapanku. Sepertinya dia tahu apa yang akan
kutanyakan. “Lukisanmu bagus sekali. Tapi saya minta maaf karena menurut saya, bukanlah
karya kamu sendiri.” Aku menatap Putu Wirawan. Ia menunduk. Aku tahu cara ini membuat dia
malu. Tapi aku berprinsip, seorang guru harus bisa memberi kejelasan dan ketegasan: mana baik
dan mana buruk.
Aku menyentuh pundak Putu Wirawan, “Katakan saja terus terang, saya tidak marah.”
Putu menangis, “Pak Guru…” aku harus sabar karena Putu berat untuk bicara, “bukan
karya saya. Bapak yang buat.”
Aku tidak perlu alasan mengapa Putu Wirawan membawa lukisan yang dibuat oleh
ayahnya. Bagiku, meminta Putu jujur saja sudah luar biasa.
Aku tersenyum dan mengangkat dagu Putu, “Ananda Putu, saya bangga karena putu
jujur. Saya tidak marah. Saya minta maaf, lukisan ini tidak bisa ikut pameran. Karena bukan
karya putu sendiri. Saya titip lukisan ini ke bapakmu. Tapi, kita masih ada waktu seminggu. Putu
bisa menggunakannya untuk membuat lukisan sendiri.”
Rupanya putu mengisahkan penolakan lukisan itu kepada bapaknya.
Orang tua putu menjumpai saya di sekolah. Orang tua yang angkuh. Orang tua yang sok
tahu dunia sekolah. Orang tua yang merendahkan guru. Orang tua yang tidak mengerti belajar
sebagai proses. Orang tua yang menyimpan ancaman di tepi tatapan matanya. Orang tua yang
menginginkan anaknya mencapai prestasi secara instan.
“Bapak tidak terima?”
Nada bicaranya meninggi, “Saya mengerjakannya sampai bergadang dan Anda tidak
menghargai!”
“Bapak, saya sangat menghargai lukisan itu sebagai karya Bapak. Tapi saya tidak bisa
terima kalau lukisan itu karya Putu Wirawan, anak Bapak. Kenapa Bapak mendidik anak sendiri
menjadi plagiator?”
Page1

Anda mungkin juga menyukai