Anda di halaman 1dari 2

New Historicism atau Sejarah Baru

Oleh I Wayan Artika (Dosen Undiksha Singaraja-Bali, Mahasiswa Program Doktor Linguistik Konsentrasi Kajian Wacana Sastra Unud Denpasar, Peneliti Sastra Lekra dengan Teori New Historicism) Pada 2006, Melani Budianta mempublikasikan hasil penelitian berjudul Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicsm dalam Perkembangan Kritik Sastra dalam Susastra 3 volume 2 nomor 3. Inilah kajian awal menggunakan teori new historicism dalam sastra Indonesia. Budianta (2006) meneliti karya Aman Datoek Madjoindo (Tjerita Boedjang Bingoeng dan Si Doel Anak Jakarta). Dalam kedua karya tersebut, pasar dan uang adalah hal yang sangat penting. Teks di luar sastra yang diteliti oleh Budianta adalah surat pembaca yang dipublikasikan dalam majalah Minangkabau tahun 1918. Surat ini berisi keluhan pembaca majalah tersebut terhadap hawa nafsu orang terhadap uang pada masa transisi dari masyarakat tradisional ke industri. Surat ini dipilih oleh Budianta karena mengandung pokok yang sama dengan kedua karya sastra yang dikaji. Istilah new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre pada tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya (Brannigan, 1999: 421; Bressler, 1999: 236; Barry, 2002: 172; Budianta, 2006: 2-3). New historicism mengembangkan metode pembacaan fiksi yang berbeda dengan metode sebelumnya yang menganggap fiksi ekslusif atau dipisahkan dengan teks-teks lainnya karena itulah new historicism menawarkan perspektif bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, politik karena sastra ikut mengambil bagian di dalamnya (Sambodja, 2011: 184). New historicism tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra. Dalam implementasinya, new historicism menerapkan metode kerja interteks dengan membaca beberapa teks secara pararel (pararel reading) karena semua teks merupakan produk zaman, dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi. Kerena itu, new historicism meninggalkan pemaknaan teks berdasarkan teks tunggal yang melegalkan interpretasi pembaca/peneliti beralih kepada memaknai dalam kerangka adanya hubungan-hubungan. New historicism menekankan keterkaitan antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, politik, ekonomi, ideologi yang melingkupinya.

New historicism menolak adanya perbedaan antara karya sastra adiluhung dengan karya sastra picisan karena hal itu menunjukkan bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. New historicism tidak bertujuan mengevaluasi produk-produk budaya (tinggi-rendah, sastranonsastra, serius-populer) melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks saling terkait dengan persoalan-persoalan zamannya. Menurut New historicism, sastra bukan sebagai cerminan yang transparan dan pasif sejarah melainkan karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan, dan mereproduksi konvensi, norma, nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatif. Sejalan dengan hal itu, new historicism dengan tegas mengatakan bahwa membaca sastra sama dengan membaca sejarah dan membaca sejarah sama dengan membaca sastra. New historicism memberi cara pandang baru kita kepada karya sastra, membebaskan kita bergerak di dalam ruang teks dan ruang sejarah, melintasi batas-batas teks. Semula sastra diinterpretasikan secara subjektif oleh si pembaca atau sebaliknya pembaca menerima apa kata pengarang atau apa maksud karya itu. Perilaku itu sangat buruk karena sastra menjadi objek taklukan pembaca/peneliti atau objek yang dimuliakan. Anehnya, di tengah iklim itulah fakultas sastra eksis; Nobel Sastra dianugrahkan; novel, puisi, cerita pendek ditulis dan dicetak di pabrikpabrik; selalu lahir generasi umat manusia yang ingin menjadi pengarang; dengan demikian sastra diajarkan di sekolah-sekolah. New historicism yang menggunakan pembacaan teks pararel memberi alasan kepada pembaca untuk bebas dari penistaan dan pemuliaan sastra karena newhistoricsm mengajak pembaca memilih jalan ketiga yaitu interteks. Interteks tidak sebatas menemukan hubunganhubungan di antara teks tetapi makna sastra adalah pada hubungan-hubungan itu. Pembaca membangun makna-makna teks dalam lalu lintas hubungan itu. Pembaca harus menerapkan cara pandang baru terhadap teks, yaitu teks tanpa jenis apapun. Dalam zaman yang sama semua teks adalah sejarah dan pembaca harus membacanya secara pararel (secara holistik dan integrasi) karena teks apapun mengartikulasi keadaan zamannya bersama dengan teks lain dan membentuk zaman itu. Jika dimuat Data Penulis No Rekening: 145-00-0602121-2 Bank Mandiri KCP Singaraja Bali NPWM79.277.888.8-902.000 HP 082147296000

Anda mungkin juga menyukai