Anda di halaman 1dari 3

Cerpen

PAGI DI PUSKESMAS
Oleh I Wayan Artika UN berlalu. Aku, Visca, Faradina, Debby Sundah, Kucit, dan 30 teman di kelas IPA 1 SMA Saraswati tak lagi memiliki cerah pagi halaman sekolah. Grafity tembok WC atau bangkubagku jadilah kenangan. Musim-musim flamboyant berbunga merah. Tak hanya warna tetapi guguran kelopak-kelopak. Kami menyambutnya ketika angin kota Tabanan merontokkan. Aku akan ke Yogyakarta, kuliah di UGM, di fakultas kedokteran. Tidak menjadikan diriku bangga karena senja ini di Jalan Darma Wangsa Gang 1 kamar kekasihku terkunci. Ini kehilangan. Angan rasa bangga menjadi mahasiswa kedokteran, tak bisa mengganti kehilangan cinta pertama itu. Pergi bersama lelaki lain ketika aku berkutat di UN dan mengikuti bimbingan belajar. Dia bersama Wanntera. Kata Siwi ketika aku duduk di teras kamarnya. Sudah aku duga. Kapan? Tanyaku. Sebulan mungkin sudah. Senja dan duka kini miliku. Temaramnya tak menghanyutkan kenangan dan ciuman di kamar itu. Aku ingin jadi senja dan gelombang mengapungkan rumput laut Pantai Pasut. Mungkin di angan horizon, kekasihku menyelipkan salam perpisahan dan kata selamat tinggal. Cukup buatku. Tak perlu ciuman lagi karena lebih dari ciuman itu aku telah memetik di sebuah penginapan di Bedugul, di kanan jalan ke Kebun Raya, pada akhir pekan ketiga Juli tahun itu. Tapi cinta tidak hanya tentang ciuman atau birahi. Cinta adalah pemberian dan tanggung jawab. Maafkan aku berteori cinta. Sebentar lagi nelayan Pantai Pasut pulang membawa petang pada gulungan jala dan tambatan perahu di semak pandan. Yogyakarta memberiku hidup intelektual yang tak ada di Bali. Pertemuan tradisi Jawa, tourisme internasional dan nusantara, serta pendidikan modern. Yang kukagumi Yogyakarta bertahan pada jati diri tradisi kota pedalaman Jawa (bahasa, makanan, pakaian, sopan santun). Bertahun-tahun aku tidak pulang. Aku bosan jadi orang Bali. Selama di Yogya aku ingin mendapat identitas lain. Entahlah yang pasti aku tidak lagi monokultur selaku orang Bali. Dengan pandangan ini aku menjadi bagian tradisi-industri-modern-inteltual Kota Yogyakarta. Tak terasa, aku harus PKL di sebuah puskesmas. Aku pilih Bali, tepatnya di salah satu puskesmas di kota kecamatan Penebel.

Page1

Desa Senganan adalah desa Kadek Wanntera, lelaki yang mungkin membawa kekasihku pergi, empat tahun silam. Aku ingin berjumpa kekasihku dan aku ingin mengucap selamat tinggal. Ini alasan kuat mengapa aku pilih puskesmas Penebel. Orang tuaku ingin aku PKL di puskesma Pupuan. Minggu-minggu di bulan pertama aku tidak hirau cinta pertama itu, entah di mana. Sepulang PKL aku menikmati air panas di Penatahan. Pada hari lain aku menyaksikan taman kupu-kupu di Wanasari. Hari lain lagi aku ke Jatiluwih menyusuri sawah indah subur lestari di lereng bukit. Di hari lain lagi aku sujud di keheningan pura Wangaya Gede. Jika tidak kemanamana aku berdiam di rumah penginapan ini membaca buku kesukaan atau menulis catatancatatan lapangan. Aku selalu menyempatkan diri ke gereja di desa Viling, gereja di desa pedalaman kaki Gunung Batukaru. Aku tidak bayak menulis catatan klinis tentang pasien yang berobat di puskesma ini. Aku lebih tertarik tahu banyak apa pikiran pasien dan apa harapan mereka atau siapa mereka, hidup mereka. Di sini aku berjumpa pengalaman baru. Pengalama yang tidak kutahu dari diktat kedokteran yang selama empat tahun aku hafalkan. Dokter datang pada pukul 09.00 wita. Sementara itu, pasien menunggu berjam-jam. Paramedis juga pada umumnya terlambat satu jam. Aku datang bersama pasien, mereka datang dari desa-desa jauh, naik angkutan desa yang tidak nyaman atau naik ojek. Aku biasanya ngobrol dengan mereka karena aku tidak bisa membuka pintu puskesmas. Aku tidak membawa kunci karena aku PKL. Aku mengerti, mengapa dokter datang sangat telat. Karena mereka buka praktik pagi di rumahnya. Setelah pasien habis terlayani, dokter baru ke puskesmas. Sejak aku berkenalan dengan banyak pasien, aku tidak lagi tinggal di penginapan atau tidak lagi menghabiskan waktu membaca, jalan-jalan ke taman kupu-kupu, menikmati air panas Penatahan tetapi aku mengunjungi rumah-rumah pasien itu. Mereka umumnya miskin. Aku semakin sadar, kedokteran tidak hanya perkara klinik tetapi lebih kepada perkara sosiologis dan antropologis. Karena dokter tidak mengerti antropologi pasiennya, maka pasien tidak dilihat sebagai mausia tetapi hanya sebagai sarang penyakit. Cara pandang ini menyebabkan dokter memandang pasien secara dingin dan tidak manusiawi. Dokter memandang pasien sebagai tubuh (tulang, daging, sirkulasi, metabolisme) yang rusak. Tidak ada komunikasi tulus di antara dokter Sementara itu, pasien tidak tahu apa hak-haknya. dan pasien. Dokter tidak memiliki waktu bicara dari hati yang dalam kepada pasiennya.

Page1

Pengalaman ini mengubah cara pandangku terhadap profesi dokter. Dokter harus berangkat dari segi-segi kemausiaan pasien, secara antropologis. Aku kira tidak banyak ilmu medik yang dibutuhkan. Sebaliknya yang banyak dibutuhkan adalah ilmu antropologi, komunikasi, dan diterapkan bersama ilmu medik-klinik. Inilah pengalaman berharga yang akan aku bawa kemabli ke Yogyakarta. Pada suatu hari yang tiada kutahu, seorang ibu muda datang, bersama anak 4 tahun, lelaki tampan berkulit sawomatang. Aku lihat sekilas dari meja kerjaku. Jantungku berdebar lebih kencang. Dia? Aku menenangkan diri dan melanjutkan menulis data pasien di dalam laptopku. Pun detik ini tiba. Ni Nyoman Wiratmi aku baca nama di kartu pasien. Aku tak sanggup memandangnya. Dia cantik atas jejak-jejak di wajah membawa aku ke emat tahun lalu di kota Tabanan. Aku mencium aroma yang paling kutahu, datang dari masa silam, romansa sepasang anak SMA yang tengah berjalan bersama janji, harapan, dan cinta remaja di bangku sekolah. Aku gugup, Siapa yang sakit Bu? Aku pura-pura tidak kenal dan tidak terjadi apa-apa. Kami saling tatap. Putu? Tanyanya singkat. Ya, tidak aku sangka, bertemu pagi hari dingin di puskesmas ini. Aku mencoba tenang. Aku berpikir. Pun aku berjumpa lagi dengan cinta pertama itu walaupun ia telah jadi istri lelaki lain serta seorang ibu. Semua itu tidak menghapus cinta pertamaku sebelum aku mengucapkapkan selamat jalan dan izin aku pamit ke masa depan bersua cinta yang lain. Lama kami saling tatap. Di kertas resep aku menulis: Nyoman, aku menemukan cinta pertamaku. Walau bukan untukku lagi. Bagaimanapun juga aku telah mengucap pamit henti mencintaimu pada suatu pagi di bilik puskesmas ini.

Page1

Anda mungkin juga menyukai