Anda di halaman 1dari 2

Dengarkan Aku

Oleh : Nurul Fadhilah

Bilamana ilmu pengetahuan hanya untuk dibaca lalu diceritakan ulang di


ruangan tutorial, maka sejatinya dia yakin waktunya telah terbuang untuk kesiasiaan. Setiap hari, dengan menyandang beratnya beban kehidupan seorang anak
kos ditambah oleh timbunan buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan
yang kini disandangnya, dia tidak pernah melanggar peraturan yang dibuatnya
sendiri untuk menyisihkan empat jam dalam dua puluh empat jam yang
dianugerahkan kepadanya untuk belajar. Dia seorang pemuda yang memeluk
erat cita-citanya, seorang anak yang menunduk patuh terhadap mimpi kedua
orang tuanya dan seorang calon dokter yang komitmen akan ikatan janji
bersama calon pasiennya kelak. Dia-lah seorang laki-laki yang dilihat setengah,
didengarkan separuh serta menjadi urutan akhir dalam bergaul. Konsekuensi
hidup yang harus ditanggung bila terbenam dalam lautan prinsip agung.
Setiap hari, layaknya ritual mahasiswa FK setiap harinya, dia datang tepat pukul
7 untuk mengikuti kuliah pakar dari seorang dosen favoritnya. Bergegas bersiap,
duduk dengan tenang sekalipun rayuan kantuk datang menutup matanya.
Kalimat demi kalimat tentang bagaimana bisa terjadinya ulkus pada duodenum
seseorang yang disampaikan oleh dosen tersebut didengarkannya begitu
seksama. Setelah ini, masih ada dua kuliah lagi yang akan disampaikan oleh
dosen yang berbeda. Pemuda itu tetap tak bergeming dari kursinya untuk terus
menyerap ilmu di kuliah itu.
Akhirnya pukul 10, semua kuliah hari itu selesai. Tidak ada jadwal apapun
setelah itu. Di saat semua orang sibuk berbicara tempat baru untuk hangout
mencari makan siang, pemuda itu langsung berlari menuju perpustakaan untuk
kembali membaca. Pukul 1 siang, perpustakaan ditutup sementara untuk
memberikan waktu istirahat kepada pegawainya. Pemuda itu kemudian berjalan
keluar dari kampus menuju pujasera yang ada di dekat kampus. Sendirian,
pemuda itu melahap makanannya, tidak acuh terhadap pandangan iba temanteman seangkatannya.
Besoknya, rutinitas kembali menghampiri. Pukul 8 dijadwalkan sebuah kuliah
bersama salah satu dosen lain yang menjadi favorit pemuda tersebut. Di tengah
penjelasan dosen tentang perdarahan pada saluran cerna, seorang temannya
bertanya kepadanya tentang suatu hal yang meragukan. Mengapa penyakit itu
memiliki ciri khas begitu? Tidak mau mengecewakan temannya tersebut,
pemuda itu menjawab dengan sangat mendetil tentang seluk beluk penyakit
yang diragukan dan bagaimana manifestasi klinis khasnya dapat terjadi. Dia
keluarkan berbagai buku dari tasnya lalu ditunjukkannya bagian-bagian buku
yang berwarna merah tinta stabilo yang memperkuat penjelasannya tadi. Begitu
menyeluruhnya penjelasan yang dia berikan, temannya yang bertanya tadi
merasa seperti diberikan kuliah oleh sejawatnya. Ini sedikit mengusik harga
diri temannya tersebut, salah paham dengan maksud inti si pemuda itu.
Malangnya, di saat bersamaan, salah seorang laki-laki lain mendatangi mereka

dan berbicara dengan teman yang bertanya tadi. Merasa diceramahi dan tidak
mau dipermalukan lebih jauh, temannya itu menghiraukan penjelasan si pemuda
tersebut, mengalihkan fokus perhatiannya pada laki-laki yang baru datang. Si
pemuda terdiam, menyadari dia tak lagi didengarkan. Dengan sekuat mungkin
meredam keperihan hatinya, pemuda itu memasukkan kembali buku-buku dan
alat tulisnya ke dalam tas mungilnya yang lusuh dengan koyakan di bagian
retsletingnya. Semua buku telah terlipat di beberapa bagian dan ujung dari
sticky notes yang berwarna-warni mengintip keluar dari banyak lembaran bukubuku tersebut. Menunjukkan betapa seriusnya mencari ilmu bagi pemuda
tersebut.
Bilamana ilmu yang telah diserapnya tersebut diceritakan kembali di ruangan
tutorial dan tiada satupun yang akan menolehkan bola matanya mendengarkan
penjelasannya, sejatinya waktu yang dia kerahkan untuk menjelaskan semua itu
adalah kesia-siaan. Maka kesia-siaan tadi, yang tak mau kembali ia rasakan
sakitnya, membentuk orientasi perilakunya untuk tidak lagi begitu peduli dengan
sesama.
Maksud hati selalu menjadi hal yang tersirat. Dan aku sadar bahwa aku tak
pernah pandai dalam menyaratkan hal itu. Saat aku memberikan waktuku, maka
yang kuinginkan kembali hanyalah pendengaran. Hanya mereka untuk
mendengarkanku, kata pemuda tersebut sembari mengusap bulir tangis di
sudut matanya.
Maka tak pernah ada alasan untuk tidak menghargai sesama, sekalipun yang
mereka lakukan terkadang tak mencerminkan sesuatu yang manis, tapi niat
mereka sesungguhnya sangat baik. Semoga contoh kecil saling menghargai
seperti mendengarkan seseorang berbicara tidak pernah luntur dari dasar hidup
kita semua sebagai makhluk sosial.

Anda mungkin juga menyukai