dan berbicara dengan teman yang bertanya tadi. Merasa diceramahi dan tidak
mau dipermalukan lebih jauh, temannya itu menghiraukan penjelasan si pemuda
tersebut, mengalihkan fokus perhatiannya pada laki-laki yang baru datang. Si
pemuda terdiam, menyadari dia tak lagi didengarkan. Dengan sekuat mungkin
meredam keperihan hatinya, pemuda itu memasukkan kembali buku-buku dan
alat tulisnya ke dalam tas mungilnya yang lusuh dengan koyakan di bagian
retsletingnya. Semua buku telah terlipat di beberapa bagian dan ujung dari
sticky notes yang berwarna-warni mengintip keluar dari banyak lembaran bukubuku tersebut. Menunjukkan betapa seriusnya mencari ilmu bagi pemuda
tersebut.
Bilamana ilmu yang telah diserapnya tersebut diceritakan kembali di ruangan
tutorial dan tiada satupun yang akan menolehkan bola matanya mendengarkan
penjelasannya, sejatinya waktu yang dia kerahkan untuk menjelaskan semua itu
adalah kesia-siaan. Maka kesia-siaan tadi, yang tak mau kembali ia rasakan
sakitnya, membentuk orientasi perilakunya untuk tidak lagi begitu peduli dengan
sesama.
Maksud hati selalu menjadi hal yang tersirat. Dan aku sadar bahwa aku tak
pernah pandai dalam menyaratkan hal itu. Saat aku memberikan waktuku, maka
yang kuinginkan kembali hanyalah pendengaran. Hanya mereka untuk
mendengarkanku, kata pemuda tersebut sembari mengusap bulir tangis di
sudut matanya.
Maka tak pernah ada alasan untuk tidak menghargai sesama, sekalipun yang
mereka lakukan terkadang tak mencerminkan sesuatu yang manis, tapi niat
mereka sesungguhnya sangat baik. Semoga contoh kecil saling menghargai
seperti mendengarkan seseorang berbicara tidak pernah luntur dari dasar hidup
kita semua sebagai makhluk sosial.