Anda di halaman 1dari 10

Bidang Prestasi

Tema : Sunday

Jumlah Kata : 18505

By : Registalya

Kringgg… Kringgg… Kringgg…”, jam weker berbunyi.

“Hujan… Malasnya ane bangun…”, kata Vania sambil tetap menarik selimutnya.

Hari ini hari Kamis. Sebenarnya bukan hujan yang membuat Vania malas move on dari tempat tidurnya.

“Nanti sekolah pasti dikasih tugas lagi. Kalo gak ngegambar, pasti ngelukis, habis itu pasti nyanyi, belum
lagi nanti pelajaran Bahasa Indonesia, disuruh inilah, itulah, diskusi, buat karangan, cerpen, ngasih
komentar. Nggak habis disitu aja. Pelajaran terakhir nanti, bidang studinya Pak Hilton. Udah galak, tugas
banyak, ujian terus kayak minum obat. Besok juga. Walaupun ganti guru tapi tugas gak berhenti.
Capek…” keluh Vania masih berbaring “cantik” di atas kasurnya yang sambil sesekali melirik kerajinan
pesawat-pesawatannya yang dibuatnya dari jerami.

Ya… TUGAS!!! Bukannya tak bisa, tapi Vania memang tergolong anak yang sedikit uring-uringan dan suka
menunda-nunda pekerjaan. Kalau gak mood ya gak dikerjain. Malah Vania tergolong anak yang sangat
cerdas. Ranking 1 umum selalu disabetnya di setiap ajaran.

“Nak bangun Vania…” teriak bunda dari bawah.

“Vania bangun. Mba Syahrini aja bisa bangun dari “bobok cantik”nya. Kasihan dong Bunda udah teriak-
teriakan dari tadi. Mau kakak jemput ditemenin sama si Frank?” teriak kak Terrance.

Frank? Kucing itu? Lebih baik Vania bangun daripada harus merasakan sensasi menangis, melompat,
berlari, dan bersin-bersin karena alergi bulunya secara bersamaan.

“Hitungan ke tiga ya Van… 1…” Vania segera merapikan kasurnya. “2…” Gak sempat. Vania langsung
turun “3…” Duk! Vania berlari menuruni tangga dan jatuh karena melewatkan satu anak tangga. Pening?
Memang. Tapi jauh lebih baik dari pada melihat penampang si Frank.

“Terrance. Ih kamu ini. Kasihan kan adeknya.” marah bunda

“Ya Bunda. Maaf… Udah sana mandi gih Vania. Udah jam berapa ini?” kata kak Terance menyesal.
Vania langsung minggat. Rencana perang mulut sama kak Terrance udah gak bisa lagi. Akhirnya alam ini
memang menakdirkannya untuk SEKOLAH.

1 jam kemudian…

“Udah selesai Van?” tanya Bunda.

“Bentar lagi Bun..” jawab Vania dari dalam kamar.

Lalu Vania ke luar dari kamar dengan rapi dan terburu-buru.

“Eh makan dulu…” tahan Bunda melihat Vania langsung mau pergi begitu saja.

“Makasih ya Bunda.” jawab Vania mengambil roti berisi selai kacang dan langsug mencium pipi Bunda.
Bunda hanya geleng-geleng kepala.

Sesampainya di sekolah…

Bel berbunyi tepat saat Vania sampai di pintu kelas.

“Telat nih ceritanya?” tanya Sasa, si sekretaris kelas.

“Nggak dong. Aku kan nyampe duluan baru belnya dering. Nggak telat dong Sa.” jawab Vania sewot.

Vania sama sekali belum memiliki minat namanya masuk catatan sebagai murid terlambat dalam “Buku
Dosa”.

“Ya udah. Duduk sana gih.” kata Sasa mencoba menenangkan. Vania masuk dan segera meletakkan
tasnya di kursi di samping tempat duduk Sasa.

Tak… Tok… Tak… Tok…

Seorang guru perempuan dengan syal bulu, tas jinjing berwarna merah dengan glitter bertaburan,
rambut disanggul ke atas, make up menor, plus bulu mata palsu tiga lapis, berjalan masuk. Semua siswa
yang ada di dalam kelas langsung kocar-kacir mencari tempat duduknya dan tanpa dikomando langsung
duduk diam.

“Ketua kelas…” kata sang guru.

“Berdiri… Bersiap… Sebelum memulai pelajaran mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan kita
masing-masing… Berdoa dimulai…” kata ketua kelas memimpin doa.

Seluruh siswa segera menundukkan kepalanya dan berdoa.

“Selesai..” Seluruh siswa segera mengangkat kepala.


“Kepada ibu guru kita yang cantik jelita indah dipandang menawan hati kita semua ini, beri salam.”

Semua murid terdiam sejenak melihat tingkah laku si ketua kelas tapi segera mengabaikannya. “Selamat
pagi bu.”

“Baiklah anak-anak. Silahkan duduk. Oke anak-anak kita akan mulai pelajaran matematika kita hari ini
dalam materi..” guru memutar badan dan siswa hanya melongok melihatnya.

“Menghitung garis singgung persekutuan dalam dan persekutuan luar lingkaran.” kata bu Tracy, sang
guru matematika sambil mencatat di papan tulis.

Seluruh siswa segera berbalik dan mengeluarkan buku pelajaran matematika dari dalam tas masing-
masing. Sementara Vania? Ya Vania terus berharap agar tidak diberi tugas.

Tapi…

Di akhir pelajaran..

“Baiklah anak-anak sampai disini ada yang tidak paham?”

Tidak ada siswa yang mengacungkan tangannya sementara papan tulis sudah penuh dengan tulisan dari
jari-jemari bu Tracy

“Oke sekarang ambil buku basisnya…”

Semua siswa segera mengambil buku basis.

“Ditandai ya. Halaman 45 “Asah Kecakapan 4” nomor 1, 4, 6. Dan halaman 50 dikerjakan “Asah
Pemahaman”nya ya. Jangan lupa. Dibuat gambarnya. Yang cantik, berwarna, rapih, nanti yang paling
kece badai ulala halilintar ibu kasih nilai, tanda tangan, dan pakai tanda plus.” kata bu Tracy dengan
centil dan raut wajahnya kemudian berubah secara tiba-tba.

“Tapi bagi siapapun yang tidak mengerjakan PR…” bu Tracy memukulkan penggaris kayu panjang di
tangannya ke mejanya,

“Kalian tidak perlu berharap mendapatkan plus, masuk ruangan ini selama jam pelajaran saya pun kalian
tidak akan saya izinkan. Satu lagi. Kalian akan saya hukum hormat tiang bendera sampai jam pulang
sekolah.”

Semua siswa bergidik ngeri sambil mengangguk-angguk.

Apa sih susahnya? pikir Vania dalam hati. 5 menit juga selesai. Besok-besok dikerjain juga bisa. Pasti
beres kok, kata Vania dalam hati. Vania punya setumpuk spidol warna, pensil warna, connector warna,
dan segenap pewarna-pewarna lainnya yang bisa digunakannya untuk mengerjakan tugas tersebut.
Dikumpulnya juga hari Senin kok. Bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Bu Tracy keluar dari kelas
dengan gayanya yang juga centil.

Kali ini guru yang masuk jauh dari kata centil, genit, dan glamor. Masuklah sorang guru pria paruh baya,
tatapan tajam, style seragam guru yang rapi, kacamata hitam yang tebal, bulat, dan bertengger di atas
hidungnya. Ya, Mr. Sopran, seorang guru kesenian yang sering mendapat julukan “Leadernya Guru Killer
Sedunia”. Suara keheningan siswa, suara jangkirik, dan alunan piano Fur Elise mengiringi langkah Mr.
Sopran yang masuk ke dalam kelas.

Sesampainya di kelas, Mr. Sopran langsung mengajarkan tentang pengenalan musik daerah, macam-
macam tarian daerah Melayu, macam-macam bentuk mozaik, macam-macam bentuk dan ukuran
angklung berdasarkan suaranya, dan macam-macam yang lainnya.

Di akhir pelajaran, Mr. Sopran memberikan tugas yang akan dikumpulkan di hari Selasa dalam
pertemuan selanjutnya. Tugas itu adalah: mengaransemen lagu “Kicir-Kicir” sesuai warna suara dan alat
musik yang dikuasai oleh masing-masing siswa, membuat mozaik pola bebas dari tempelan potongan
kecil-kecil origami dan kacang-kacangan. Vania tak merasa kesulitan. Vania memiliki kemampuan yang
baik dan membuat jari-jari lentiknya menari-nari di atas piano. Vania juga memiliki suara yang begitu
tinggi dan jenis, bahkan di setiap kegiatan paduan suara, Vania selalu ambil andil di kelompok sopran,
bahkan tak jarang juga menjadi solis. Hanya saja, Vania merasa agak atau SANGAT MALAS dalam
mencari kacang-kacangan yang sebenarnya tumbuh subur di belakang rumahnya dan memotong kecil-
kecil origami aneka warna untuk ditempelkan.

Bel istirahat akhirnya berbunyi juga…

Vania tak sedikit pun beranjak dari tempat duduknya. Dia hanya memutar badannya dan mengambil
kotak bekal berwarna pink berbentuk hati di dalam tasnya. Hari ini bunda mengisi kotak bekal caniknya
itu dengan dua lapis roti bantal berisikan selai pandan berhiaskan strawberry di atasnya. Cukup
menghibur hatinya. Setelah merasa kenyang dan waktu istirahat masih tersisa 3 menit lagi, Vania
mengutak-atik smartphonenya. Mulai dari mengecek Instagram, BBM, hingga melihat serangkaian foto
yang diupload oleh teman-temannya.

Bel masuk berbunyi…

Vania tak perlu berlari kocar-kacir ke tempat duduknya ketika mendengat bel masuk berbunyi, seperti
yang dilakukan oleh teman-temannya. Sebab dari tadi dia memang sudah menempel pada tempat
duduknya. Tepat saat Sasa, teman sebangkunya duduk, masuklah William membawa kabar sukacita.
“Hari ini Pak Alfonso gak bisa hadir, karena menghadiri Seminar Pertemuan Guru se-kabupaten/kota.
Pak Alfonso gak ada ngasih tugas. Jadi kita belajar sendiri aja ya.”, suara William terdengar begitu jelas.
Seisi kelas menyambutnya dengan penuh gembira hati. Terjadilah suatu fenomena dimana seisi kelas
merayakan jam free class dengan serangkaian selebrasi.

JUMAT

Hari ini pelajaran dibubuhi dan dibingkai dengan segenap tugas yang cukup melelahkan dan
merepotkan. Dalam mata pelajaran Kelistrikan dan Elektrika, Pak Domdom, seorang guru gendut,
berkamata tebal, dengan kumis yang terlihat klimis, memberi tugas untuk membuat rangkaian Sirine
Sederhana. Setelah memberikan seluruh komponen, PCB, dan memberikan pengarahan, Pak Domdom
meminta agar siswa mengumpulkan tugas tersebut minggu depan, setelah disolder dengan rapi. Pak
Domdom juga berjanji akan memberikan nilai A+ pada hasil kerja terbaik.

Lain lagi dengan Mr. Foray. Sang Guru Biologi tersebut membagi siswa dalam beberapa kelompok,
dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang. Vania juga sepatutnya bersyukur sebab ia
dikelompokan dengan anak-anak yang tergolong amat RAJIN. Satu kata penuh makna. Vania melirik Sasa
yang nasibnya tak seberuntung dirinya. Tugasnya pun tak begitu sulit. Setiap kelompok ditugaskan untuk
melakukan penelitian di pabrik terdekat, melihat proses produksi, serta melihat kehidupan makhluk atau
biota yang ada di sekitar pabrik tersebut, dan membuat laporannya di double folio beserta nama
kelompoknya. Vania bersyukur sebentar dalam hati, lalu Rio, seorang siswa kurus, tinggi, dan
berkacamata tebal menghampirinya.

“Van, hari Sabtu kita kerjain ya. Biar bisa cepat selesai. Bisa kan?”

Vania baru saja akan menjawab tidak ketika dilihatnya Felic, Ray, Maxi, dan Bonbon, semua teman
sekelompoknya menatap tajam ke arahnya.

“Iya.” Jawab Vania sambil menelan ludah. Sebenarnya ide Rio adalah ide yang amat cemerlang. Sebab
tugas tersebut akan dikumpulkan pada hari Senin. Tapi mengapa tidak hari Minggu saja?

Di akhir pelajaran, masuklah seorang guru memakai jaket tebal dengan bibir pucat. Sangat jelas tampak
di wajah Bu Helen, guru tersebut, bahwa ia sedang tidak enak badan. Ternyata guru tersebut tidak
masuk. Hanya berdiri di daun pintu dengan tangannya yang lemah menahan tubuhnya di pintu.
Terdengarlah suara lemah sang guru Fisika tersebut.

“Nak… Uhuuk…Uhuuuk…” suaranya terputus-putus karena batuk.

“Ibu sedang tidak enak badan… Uhhuuuuk. Uhhhuuk. Ibu gak mungkin bisa ngajar.. Ibu mau pulang..
Tapi sebelumnya ibu mau kasih tugas untuk kalian kumpulkan di hari Senin.”
Nafas Vania tertahan mendengar kata “tugas”.

“Ibu ingin kalian tulis di buku tugas kalian apa-apa saja yang sudah kita pelajari di semester ini. Dan
sertakan model pembelajarannya.. Uhhhuuk…uhhuuuk… Contohnya, kita telah mempelajari materi
mengenai Resonansi di Kolam Udara. Lalu kalian buat model kolam udara dan bagaimana proses
resonansi dalam kolam udara tersebut. Paham?” Tanya Bu Helen.

“Paham bu..” jawab seisi kelas.

“Baiklah ibu mau pulang dulu.”

Entah mengapa mood Vania sedang amat baik. Tak perlu waktu lama. Menjelang 15 menit waktu pulang
Vania telah menyelesaikan catatan. Tinggal membuat model pembelajaran. Vania tersenyum puas
melihat catatannya. Catatan dengan tulisan rapi dan indah.

SABTU

Hujan turun begitu derasnya, membuat Vania meringkuk semakin malas di balik selimut bulu warna pink
bergambar hello kitty nya. Hari ini Vania libur seperti biasanya, dan sesuai janji jam 3 sore nanti Vania
dan kelompoknya akan mengerjakan tugas Biologi secara bersama-sama. Vania melirik ke arah jam
besar berwarna cokelat dengan hiasan kristal di pinggirnya yang menggantung di dalam kamarnya. Jam
10. Sudah agak siang dan 5 jam lagi dia harus segera bersiap-siap. Tapi Vania memang sangat malas. Tak
ada gairah sedikit pun untuk bangkit dari tempat tidurnya. Vania baru saja akan tidur lagi ketika
terdengar dering handphonenya.

“Van. Ini aku Rio.” terdengar suara suara serak Rio di seberang sana

“Oh Rio. Ada apa Ri? Iya nanti ngumpul jam 3 di taman kan?” tanya Vania memastikan

“Iya nanti jadi. Tapi tadi Felic bilang. Kita gak ngumpul di taman. Dia harus nemenin mamanya check up
katanya. Jadi kita langsung ke tempatnya aja. Ke “Lenny’s Chocolate Factory” yang di Jalan Merak VI
no.10. Tahu kan? Terkenal banget itu pabriknya. Jangan sampe gak datang ya.” jelas Rio

“Oh gitu ya. Ada perubahan. Harus bawa apa aja Ri?”

“Bawa kamera dan alat tulis aja sih.”

“Makasih ya Ri.”

Vania menutup pembicaraan. Akhirnya Vania benar-benar “bangun”.

Waktu terus berjalan. Namun, hal yang dari tadi dilakukan Vania hanya bermain game. Padahal
kalau Bunda ada, Bunda pasti sudah sangat marah. Bunda sedang pergi ke Penang bersama ayah untuk
menemani eyang berobat akibat kakinya yang patah dan semakinn parah karena kecelakaan motor
seminggu yang lalu. Sebenarnya, dari tadi Vania sudah berniat untuk mengerjakan serangkaian PR nya,
namun ia malas dan menunda untuk dikerjakan pada hari Minggu esok

Waktu menunjukkan pukul setengah 2 siang. Vania sudah mandi dan makan. Kemudian terdengar suara
ketukan pintu.

“Kak Terrance. Baru pulang kak?” tanya Vania menyambut kedatangan kak Terrance sepulang ekskul
basket.

“Iya nih capek. Tadi tiba-tiba ada turnamen antar sekolah. Kakak mau mandi dulu ah.” kata kak Terrance

“Eh. Kakak inget gak? Kakak kan ada janji mau ngajak aku jalan-jalan hari ini sekalian beli es krim.”

“Iya. Nanti ya habis kakak mandi.”

“Yes.” Vania bersorak senang

“Eh tapi kamu bukanya ada janji kerja kelompok penelitian ya jam 3 ini?”

Vania melirik jam yang sudah menjukkan pukul 14.45

“Iya sih. Tapi nanti bisa kok kak. Makanya kakak cepet mandi sana gih.” perintah Vania meyakinkan

“Ya udah deh.”

Tak perlu waktu lama. 25 menit kemudian kak Terrance telah selesai mandi dan makan lalu mereka
berangkat.

Vania sangat menikmati jalan-jalan dan makan-makannya bersama kak Terrance. Vania sama sekali tak
menghiraukan telepon dari Rio yang sudah berulang kali mencoba menghubunginya. Jadilah Vania tak
ikut berperan dalam kerja kelompoknya.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Vania melihat notifikasi 15 panggilan
tak terjawab dari Rio. Rio pasti sangat marah. Terdengar suara ketukan pintu. Ketika dibuka, Vania
melihat Rio yang berdiri dengan muka marah.

“Van kamu itu jadi orang gak bertanggung jawab banget sih. Udah dikasih kepercayaan juga malah gak
datang. Sebagai gantinya kamu harus nyatetin ke double folio semua pokok-pokok penelitiannya. Nih.”
Rio menyerahkan semua kertas yang dipegangnya lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Vania kaget namun tak berkata apa-apa. Vania berniat untuk mengerjakan semua tugasnya malam ini
juga. Namun semua memang hanya sebatas niat. Setelah mandi dan makan malam, ia kembali
bermalas-malasan sambil menonton TV.
“Van, gak ada PR?” tanya kak Terrance

“Ada banyak banget numpuk lagi kak.” keluh Vania

“Ya udah. Dah tau banyak kok dari tadi cuman malas-malasan?”

“Besok aja deh hari Minggu dikerjainnya. Malas banget.”

“Kalo hari Minggunya hilang gimana?” tanya kak Terrance tiba-tiba serius

“Ah kakak ada-ada aja. Hari Minggu nya hilang dari Hongkong. Udah ah sana kak ganggu aja.” balas
Vania tertawa-tawa.

Malam itu Vania tidur begitu lelapnya meninggalkan tugasnya yang berceceran di atas meja belajarnya.

KEESOKAN HARINYA…

“Vania bangun dong sayang..” kata Bunda membangunkan

“Ih ntar ah Bunda. Libur juga.” jawab Vania malas

“Bangun dong.” Akhirnya Vania bangun juga.

“Lho Bunda bukannya Bunda bilang datangnya Senin subuh. Kok tiba-tiba Bunda ada disini?” Vania
keheranan

“Lha emang iya. Tadi subuh Bunda datang. Oh iya kamu tuh ya udah tahu mau sekolah juga masa
bukunya belom dirapiin. Udah Bunda masukkin bukunya ke tas sesuai jadwal pelajaran. Cepet deh. Hari
ini hari Senin upacara keburu macet. Berangkatnya ntar sama Kang Diman. Ayah kecapean.”

“Hari Senin apa sih Bunda? Hari ini tuh masih hari Minggu.”

“Kamu tuh ya udah bangun masih aja ngigau. Udah ah sana mandi.” kata Bunda. Tepat saat itu kak
Terrance lewat

“Kak.. Bentar deh.”

“Apa sih?”

“Kakak bener hari Minggunya hilang.” kata Vania panik

“Apaan sih kamu. Sejak kapan Minggu bisa hilang? Udah ah kakak mau mandi.”

Vania gelisah bukan main. Tak ada satu pun tugasnya yang selesai. Hal yang baru pertama kali
dirasakannya dalam hidupnya. Vania melihat dan mengeluarkan semua PR-PR nya. Buku Matematika
nya masih putih mulus tanpa sedikit pun tulisan. Hanya ada judul catatan. Belum ada juga model
pembelajaran Fisika yang dibuatnya. Dan tugas Biologinya? Tugas kelompok. Dan Vania belum
menyentuhnya.

Vania segera menelepon Rio..

“Halo Ri. Ini aku Vania.”

“Oh kamu. Ada apa Van?”

“Ri.. Tugas kita belum jadi aku catet. Maaf ya. Aku lupa.” Vania hampir menangis

“Hahahahaha… Itu sekarang jadi nasib kamu. Aku udah telfon Felic kemarin, minta tolong dia yang nulis.
Soalnya kamu emang bener-bener gak bisa dipercaya. Penelitian aja kamu gak datang apalagi nulis.”

“Tapi aku emang gak tau. Tiba-tiba hari Minggu nya hilang. Jadi waktu kamu kasih pokok tulisan, aku
tidur, bangun-bangun udah hari Senin aja. Aku bener-bener gak tau.. Aku bingung. Tolongin dong Ri.” Air
mata Vania sudah hampir jatuh.

“Eh Vania. Kamu tuh ya, udah gak bertanggung jawab, tukang nipu lagi. Pake buat mitos segala hari
Minggu hilang lah. Udah kamu tolong aja diri kamu sendiri.”

Tuuuuutttt. Kali ini Rio yang menutup pembicaraan.

Vania merosot.. Kini ia menangis, dan air matanya benar-benar jatuh. Ini semua memang salahnya.
Kesalahannya yang suka menunda-nunda pekerjaan. Sekarang semua ada di tangannya. Ia harus
berangkat sekolah, apapun yang terjadi, segala hukuman yang akan diterimanya itu sudah sangat
pantas. Vania menghapus air matanya. Ia segera ke luar dari kamarnya.

Ketika membuka pintu, Vania melihat cahaya yang semakin lama semakin terang, semakin terang…

“Aaaaaaaaaaaa…”

Seketika semua menjadi gelap.

“Vania bangun… Vania..”

Vania bangun dan melihat kak Terrance menatapnya panik.

“Kakkk… Hari Minggunya hilang.” Vania menangis di pelukan kak Terrance

“Udah ya.. Kamu tadi tu ngigau. Ini hari Minggu. Kamu gara-gara kakak bilang semalam hari Minggu nya
hilang jadi kepikiran terus. Udah minum sana biar gak halu.” kata kak Terrance sambil tersenyum.

Vania minum dan bersyukur dalam hati setelah sadar semua hanya mimpi.
Vania kembali ke kamar dan melihat tugasnya yang masih berceceran. Tugas Biologinya pun memang
menjadi tanggung jawabnya. Rio pasti tetap percaya padanya.

Hari Minggu memang tak akan pernah hilang, tapi bukan berarti Vania akan menunda pekerjaannya lagi.
Vania berjanji akan mengerjakan PR nya tanpa harus menunggu. Kali ini bukan sebatas janji, sebab Vania
tak ingin hari-hari yang lainnya jadi benar-benar hilang.

Anda mungkin juga menyukai