Anda di halaman 1dari 3

NYONTEK

Sore itu wajah Ica yang imut tampak cemberut. Ia berjalan tergesa menuju kamar
kakaknya.
“Kak, pokoknya Kakak harus bantuin Ica!” Ica nyerobot masuk ke kamar kakaknya.
“Aduh Ica manis…, bukan Kakak nggak mau bantuin Ica, tapi Kakak emang nggak bisa
mantun. Apalagi dari kata… apa tadi? Berlayar, berdayung-dayung, berakit-rakit. Nah… kalau
yang berakit-rakit Kakak bisa. Berakit-rakit ke hulu- berenang-renang ke tepian- bersakit-sakit
dahulu- bersenang-senang kemudian,” ucap Kak Eva panjang lebar sambil berbaring di ranjang
dengan sebuah novel terbuka di tangannya.
“Ya…, itu sih contohnya Kak. Ica harus buat yang lain dari kata berakit-rakit.”
“Aduh gimana ya? Kakak benar-benar nggak bisa bantu Ica kali ini.” Kak Eva menutup
novelnya, kemudian duduk di tepi ranjang menatap adiknya sambil pasang wajah prihatin.
“Gimana dong, Kak…!” ucap Ica panik. “Kakak kan udah kuliah, masa pelajaran SD aja
nggak bisa?”
“Aduh Ica… mantun itu soal lain. Nggak semua orang bisa mantun, sama seperti nggak
semua orang bersuara merdu,” Kak Eva protes.
“Trus gimana dong…,” rengek Ica hampir menangis. “Kalau Ica nggak ngerjain PR ini,
Ica bakal di setrap di depan kelas.”
“Cuma disetrap, Ca,” ucap Kak Eva santai, “paling lama satu jam pelajaran.”
“Tapi kan malu Kak!” sekarang Ica yang protes.
“Nggak lama. Nanti juga lupa,” ucap Kak Eva lagi. Kali ini Kak Eva sudah benar-benar
cuek. Saat dia berbaring di ranjang sambil membuka novelnya lagi, wajah prihatinnya sudah
lenyap sama sekali.
Ica duduk di tepi ranjang kakaknya, air matanya bergulir. Hari sudah sore, Ica belum mau
mandi, bahkan sejak pulang sekolah tidak mau makan. Benak Ica masih dipenuhi oleh masalah
PR Bahasa Indonesia- membuat pantun yang belum satu baris pun tercipta.
“Sudah Ica mandi dulu, nanti Mama bantu ngerjain PRnya,” ucap mama seraya masuk ke
kamar Kak Eva coba membujuk Ica. Ica tak membantah, tapi juga tidak beranjak untuk pergi
mandi. Mama duduk di samping Ica, menarik napas pendek sebelum akhirnya berkata, “Apa kata
kuncinya tadi?”
“Berlayar,” jawab Ica pendek.
“Berlayar…,” ucap mama dengan kening berkerut. “berlayar ke pulau seribu,” mama
berhenti sampai di situ, berpikir untuk kalimat selanjutnya.
“Naik helikopter warna abu-abu,” kata Kak Eva asal-asalan masih dengan wajah tertutup
novel.
“Bagus! Itu juga boleh,” puji mama setuju, kemudian menambahkan dengan, “Ica belajar
sungguh-sungguh- pintar nanti berbakti pada ayah ibu.”
Akhirnya Ica bisa tersenyum puas. Tidak sampai dua puluh menit PR Ica sudah selesai.
Tapi yang membuat Ica sangat senang adalah pantun nomor 2, dari kata berdayung-dayung.
Berdayung-dayung menuju empang
Mencari ikan untuk lauk makan
Di sanjung-sanjung si anak tampan
Berbaju bagus boleh utang
Esok harinya wajah Ica saat pulang sekolah tidak bersinar ceria seperti pagi harinya. Kak
Eva yang kebetulan sudah pulang kuliah kerutkan keningnya sambil bertanya heran, “Ica
disetrap?”
Ica gelengkan kepalanya pelan, wajahnya masih tampak muram.
“Nilainya jelek?”
Lagi-lagi Ica hanya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Jadi berapa nilainya?” tanya Kak Eva yang berubah jadi penasaran.
“Sembilan,” jawab Ica pelan. Kak Eva memandang Ica lebih seksama. Wajah Ica tidak
bisa dibilang senang. Sebaliknya wajah Ica terlihat suram. Ia cemberut.
“Bagus! Ica nggak senang?” tanya mama penuh perhatian.
“Bu Mul ngira Ica nyontek,” kata Ica dengan nada kesal.
“Kok bisa?” Kak Eva yang buka suara.
“Eri lupa ngerjain PR lagi, jadi dia nyontek sama Ica. Trus, waktu semua PR harus
dikumpulin ke meja guru, buku Eri ada di atas buku Ica. Bu Mul ngira Ica yang nyontek sama
Eri,” cerita Ica panjang lebar tentang apa yang dialaminya di sekolah. Kak Eva berpaling pada
mama.
“Eri juara kelas dari kelas satu,” mama coba memberi penjelasan pada Kak Eva.
“Hasil nyontek?”
“Nggak juga. Eri memang sangat cerdas.”
“Tapi sering lupa ngerjain PR,” sela Ica sebel, “jadi sering nyontek sama Ica,” lanjutnya.
“Mama ke sekolah dong… nemuin Bu Guru, biar Eri ditegur. Biar nggak nyontek sama Ica lagi.”
“Loh, kenapa nggak Ica sendiri yang bilang ke Eri, supaya dia jangan suka nyontek.” Kak
Eva yang bicara.
“Ica takut Eri marah, nanti Ica nggak ditemenin.”
“Jadi Ica ngasih contekan karena takut nggak ditemenin sama Eri?”
“Sama Mira dan Putri juga.”
“Ya sudah, besok Mama ke sekolah.” Mama memutuskan. Ica diam tak berkata apa-apa
lagi, tapi dalam hati Ica ragu. Kalau mama ke sekolah menghadap Bu Guru, Eri, Mira dan Putri
pasti akan ditegur. Mereka pasti tahu teguran itu sebab kedatangan mama Ica ke sekolah. Kalau
sudah gitu, Ica pasti bakal dicuekin, Ica bakal nggak ditemenin, Ica bakal sendirian, Ica bakal….
“Nggak usah deh Ma,”ucap Ica tiba-tiba. Mama menatap Ica heran. Kak Eva juga.
“Ica mau menyelesaikannya sendiri?” tanya mama tidak yakin.
“Kalau Eri, Mira dan Putri marah sama Ica karena nggak dikasih contekkan, Ica nggak
salah kan Ma?”
“Tentu saja nggak. Kalau Ica berani melakukan hal yang benar, Ica keren gitu loch…!”
lagi-lagi Kak Eva nyerobot menjawab tanpa diminta. Mama hanya mengangguk sambil
tersenyum menyetujui.
Benar saja, beberapa hari kemudian Ica cerita pada mama kalau Eri disetrap karena lupa
mengerjakan PR. Eri marah pada Ica, Mira dan putri ikut-ikutan. Seminggu kemudian terjadi
lagi, lalu lagi, lagi dan saat pembagian raport, Ica naik keperingkat satu, sementara Eri langsung
turun ke peringkat empat. Mira dan Purti bahkan tak ada dalam peringkat sepuluh besar.
Jakarta, 30 Mei

Anda mungkin juga menyukai