Anda di halaman 1dari 2

c  


   

Sudah wajar bila isi media massa selalu didominasi berbagai isu korupsi pejabat publik dan
birokrasi pusat maupun daerah. Telinga pun sudah bosan mendengar sikap dan perilaku elite
yang tidak serius untuk berbenah dan bekerja. Meskipun hal ini tidak dapat digeneralisasi,
fakta banyak birokrasi pemerintah yang masih buruk, tidak dapat dikesampingkan.

    

Penulis sangat sepakat dengan pendapat yang disampaikan oleh M. Alfan Alfian dalam
tulisannya yang berjudul Bangsa Main-main (18-11) di salah satu halaman media masa
nasional. Bagaimana tidak main-main, belum juga terungkap dugaan adanya mafia hukum
dan pajak yang bermain dalam kasus Gayus, si terdakwa bisa dengan santainya meleggang
keluar dari rutan dan menonton pertandingan tenis di Bali. Apalagi pengakuan yang
disampaikan pihak Polri dan Rutan sempat berbeda dengan keterangan yang bersangkutan.

Contoh tersebut hanya merupakan salah satu praktek birokrasi yang ada di negeri ini. Kondisi
ini secara empiris menunjukkan kepada masyarakat bahwa birokrasi Indonesia memang
sangat miskin transparansi, tidak akuntabel, dan tidak kredibel.

Wajar saja jika masyarakat menilai sangat rendah institusi penegak hukum dan elemen
pemerintah baik di pusat maupun daerah. Sebab, birokrasi lembaga-lembaga ini dirasakan
sangat minim perbaikan akan transparansi. Bagaimana dapat diubah dan diawasi jika
birokrasinya tidak pernah sungguh-sungguh membuka diri terhadap kritik dan masukan dari
masyarakat. Agaknya sangat sulit memercayai janji-janji perbaikan yang disampaikan. Selain
tidak konsisten, hal tersebut hanya lip service.

  

Penyakit lain yang masih menjangkiti birokrasi Indonesia adalah lamban dan kaku. Birokrasi
sulit untuk bergerak cepat dan tangkas jika masalah sudah muncul di depan mata.
Kelambanan dan kekakuan ini mungkin disebabkan oleh internal birokrasi sendiri yang tidak
memiliki semangat (passion) untuk mewujudkan visi mencerdaskan dan menyejahterakan
kehidupan masyarakat. Birokrasi lebih berkutat pada perhitungan cost dan benefit yang sering
penuh dengan kepentingan. Praktek selama ini yang terjadi, masyarakat lebih sering
menanggung cost yang lebih besar daripada benefit yang diperoleh.

Jika birokrasi sendiri tidak serius untuk melakukan peranannya, sudah pasti tidak ada yang
dapat diharapkan dari birokrasi itu. Masyarakat memerlukan birokrasi yang responsif, cepat,
dan bijak dalam mengambil setiap keputusan. Birokrasi yang sangat menyadari kekurangan
dan kelemahannya, tapi cepat untuk memperbaikinya dan membangun apa yang menjadi
kekuatannya. Kultur seperti itulah yang harusnya ada dalam jati diri birokrasi yang hendak
menyongsong era perkembangan dan pembangunan ekonomi yang potensial.

 
  

Birokrasi yang miskin transparansi dan akuntabilitas serta lamban dan kaku adalah birokrasi
yang sudah pasti tidak sehat dan ketinggalan zaman. Tidak salah jika menyebutnya sebagai
birokrasi yang ³kampungan´ atau kuno. Coba saja lihat, birokasi bisnis atau dunia usaha,
indikator untuk dapat dikatakan berkualitas dan bersih adalah transparan, akuntabel, inovatif,
dan cepat mengambil keputusan. Masyarakat tidak akan menaruh kepercayaannya kepada
perusahaan atau entitas bisnis yang tertutup dan kaku. Itu sebabnya, dalam BUMN mutlak
diterapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Hasilnya adalah SDM, manajemen, dan kultur organisasi yang berkualitas dan dapat
diandalkan. Secara individual dan kelembagaan dapat bersaing dengan entitas bisnis yang
lain baik secara nasional maupun internasional. Bukankah reputasi birokrasi semacam ini
yang diharapkan semua pihak.

Jika hal tersebut yang ingin diwujudkan, sudah waktunya, semua unsur kelembagaan
pemerintah memberikan peran dan peluang yang lebih besar bagi masyarakat untuk terlibat
langsung. Birokrasi jangan pelit dan takut akan kehilangan kekuasan, karena toh, kedaulatan
adalah di tangan rakyat. Berikan ruang yang lebih luas untuk demokrasi partisipatif agar
masyarakat dapat menjadi pengontrol yang efektif. Sudah banyak regulasi yang mendukung
hal tersebut dan birokrasi seharusnya menaatinya.

Sangat tepat apa yang ditulis oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt (2007), bahwa
government should be run like a democracy. Tiga elemen utama dalam prinsip-prinsip new
public service yang diperkenalkan keduanya adalah serving (melayani), love (cinta), dan
citizenship (kewarganegaraan). Bahwa negeri ini milik publik dan hanya untuk publik, bukan
untuk kepentingan segelintir elite atau golongan tertentu.

(Sumber: Lampung Post, 22 Nopember 2010).

Anda mungkin juga menyukai