Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal

unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh

penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar

Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem

yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. 

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang

ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam

menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali

pemikiran rasional murni.1

PEMBAHASAN

1. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn Sina. Di Eropa

dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, daerah

Bukhara pada tahun 340 H atau 980 M.2 Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada

pemerintahan Dinasti Samani.3 Beliau dilahirkan dalam masa kekacauan karena pada waktu

itu kekuasaan Abasiyyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada

di bawah kekuasaan Abasiyyah mulai melepaskan diri dan berdiri sendiri. Kota Baghdad

sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H dan

kekuasaannya berlangsung sampai tahun 447 H.

1
M.M. Syarif, MA, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1994), hlm. 101
2
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007), hlm.188
3
Prof. Dr Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 34

1
Sejak kecil Ibnu Sina telah belajar Al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar-

belajar ilmu-ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang

murni dengan bantuan komentator-komentator pengarang otoriter dari Yunani yang sudah

diterjemahkan kedalam bahasa Arab4, beliau juga banyak mempelajari ilmu-ilmu

pengetahuan seperti fisika, matematika, hukum, dan lain-lain. Ketika umur beliau belum

mencapai 16 tahun, beliau sudah menguasai ilmu kedokteran baik dari segi teori maupun

praktisnya. Pada waktu Pangeran Nuh Ibn Manshur (penguasa Bukhara) sakit, dan para

dokter sudah tidak mampu mengobati maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, khalifah

itu menjadi sembuh.

Pada usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia pindah ke jurjan, dan di

sanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang terkenal dengan

nama al-Qanun fi al-Tibb. Kemudian ia pindah ke Hamadan dan di tempat ini ia dijadikan

mentri oleh Syamsuddaulah. Setelah itu ia pergi ke Isfahan dan meninggal pada tahun 428

H/1037 M. pada usia 57 tahun. 5

2. Filsafat Ibnu Sina

a. Filsafat Wujud

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di

atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi dalam Ibnu Sina, terdapat di dalam

akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang ada

dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya,

4
H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1949), hlm. 49
5
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam…….. hlm.189

2
oleh sebab itu wujudlebih penting dari esensi. Tidak mengherankan jika dikatakan bahwa

Ibnu Sina terlebih dahulu menimbulkan filsafat wujudiah dari filosof-filosof lain.6

Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa disebut mumtani’ yaitu

sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh: adanya sekarang ini juga kosmos yang lain di

samping kosmos yang ada.

2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak mewujud. Yang serupa ini

disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak

berwujud. Contoh: alam ini pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan

hancur menjadi tidak ada

3. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa

dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak

dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, tetapi esensi mesti dan wajib

mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu

Tuhan.

Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina

terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada: baharu (al-hadits) dan

Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan-

pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang

yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak

berbuat apa-apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman

yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan

6
Prof. Dr Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39

3
Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak

mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan

sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan

baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim,

sebelum Zaman.7

b. Filsafat Jiwa

Ibnu Sina sebagaimana Al-Farabi juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan

memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua dan Langit

Pertama; demikian seterusnya hingga tercapai Akal Kesepuluh dan bumi. Akal Pertama

adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.

Berlainan dengan al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama

mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat

mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga

obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin

wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya

sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.

Jiwa manusia, sebagi jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan,

memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa

menjadi tiga bagian:8

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan:

a) Makan

b) Tumbuh

7
Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 42
8
Prof. Dr Harun Naution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 35

4
c) Berkembang biak

2. Jiwa binatang:

a) Gerak

b) Menangkap

1) Menangkap dari luar dengan panca indra

2) Menangkap dari dalam dengan indra-indra dalam

(a) Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indra

(b) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama

(c) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi

(d) Estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari

materinya. Contoh keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.

(e) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

3. Jiwa manusia:

a) Praktis yang hubungannya dengan badan.

b) Teoritis yang hubungannya dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:

1) Akal materi yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum

dilatih walaupun sedikit.

2) Intellectus in habitu yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal

abstrak.

3) Akal aktuil yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.

4) Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak

dengan tak perlu pada daya upaya: akal yang telah terlatih begitu rupa sehingga

5
hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa

inilah yang sanggup menerima limpahan lmu pengetahuan dari akal Aktif.

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-

tumbuhan, binatang, dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-

tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai

binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai penaruh atas dirinya, maka orang itu

dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.9

Dalam hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang

berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan

tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia pada tingkatan yang

tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.

Menurut pendapat Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan

mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta setiap kali ada

badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa. Jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi

fisik dan dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai

daya yang berfikir.

Pada permulaan wujudnya, badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat

berfikir. Panca indra yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indra

bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-

konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Dan jika jiwa manusia ini telah mencapai

kesempurnaan dengan memperoleh konsep-konsep dasar yang perlu baginya, ia tidak lagi

berhajat pada pertolongan badan, malahan badan dengan daya-daya jiwa binatang yang

terdapat di dalamnya menjadi penghalang bagi jiwa manusia untuk mencapai


9
Ibid…… hlm. 37

6
kesempurnaan. Karena jiwa manusia merupakan unit tersendiri dan mempunyai wujud

terlepas dari badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang ada di dalam jiwa

manusia karena hanya mempunyai fungsi yang bersifat fisik dan jasmani akan mati

dengan matinya badan dan tak akan dihidupkan kembali di hari kiamat. Jika jiwa manusia

telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan

berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dalam keadaan tidak sempurna karena

semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu badan maka ia akan

hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.10

c. Wahyu dan Nabi

Seperti yang telah dijelaskan di atas, akal mempunyai empat tingkat dan yang

terendah adalah akal materil. Adakalanya Tuhan menganugrahkan kepada manusia akal

materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai al-hads atau intuisi.

Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui

latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat

menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang serupa ini mempunyai daya suci.

Inilah akal tertinggi yang hanya dapat diperoleh oleh Nabi-nabi 11 yang padanya terdapat

puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bentuk material. Karena yang

unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka nabi berdiri di atas semua

jenis wujud yang diunggulinya.

Wahyu merupakan bentuk pancaran yang diterima oleh para nabi, seolah olah ia

merupakan pancaran yang bersambung dengan akal universal. Jadi kerasulan ialah bagian

10
Prof. Dr Harun Naution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 38
11
Ibid…… 39

7
dari pancaran wahyu yang diterima dalam berbagai bentuk ekspresi untuk kepentingan

umat manusia.12

3. Karya Ibnu Sina

Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karen kecerdasan yang

dimilikinya, menyebabkan ia mampu menuliskan beberapa buku. Adapun karangan-karangan

Ibnu Sina yang terkenal adalah:13

a. As-Syfa, buku ini adalah Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio,

atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini

tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan

berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu: logika, fisika,

matematika dan metafisika (ketuhanan).

b. An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku Asy-Syifa.

c. Al-syarat Wat-Tanbihat, Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan -

peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.

d. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, ada yang mengatakan bahwa isi buku ini mengenai

tasaawuf. Tetapi menurut Carlos Nalino buku ini berisi tentang filsafat timur sebagai

imbangan dari filsafat barat.

e. Al-Qanun atau Canon of Medicine, adalah buku ilmu kedokteran dan buku ini dijadikan

buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).

Kemudian risalah-risalah lainnya kebanyakan dalam lapangan filsafat, etika, logika

dan psikologi. Seperti risalah Itsbat an Nubuwah, Hadiyat ar Rais ila al Amr. Kitab yang

terakhir adalah mengupas masalah jiwa.

12
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007), hlm.214
13
Ibid……. 189

8
PENUTUP

1. Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi


pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya
secara simultan mewarnai alam pikirannya.
2. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nyalah memancar segala yang ada.
3. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul
wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). 
4. Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa
latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

Anda mungkin juga menyukai