Anda di halaman 1dari 16

Bronkiolitis

http://koaskamar13.wordpress.com/2007/09/21/bronkiolitis/

BATASAN

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil
(bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2-6
bulan dengan penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan
parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat,
retraksi dada dan wheezing.

PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di mukosa
bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi kerusakan/nekrosis sel-sel
bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit,
sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa,
kongesti serta penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan terjadi penyempitan
lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang
bervariasi (total/sebagian). Gambaran yang  terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan
distensi yang berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas
serius, gangguan ventilasi/perfusi  dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan
hiperkapnea (Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan
gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat
dengan nafas dangkal dan cepat.

Pemeriksaan fisis

Dapat dijumpai demam, dispne dengan expiratory effort dan retraksi. Nafas cepat dangkal
disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah. Terdengar
ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki
basah halus nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika
obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal, wheezing  berkurang
bahkan hilang.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat terlihat
gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar pada foto
lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis gas darah dapat
menunjukan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik atau metabolik. Bila
tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV dapat dikerjakan.
DIAGNOSIS BANDING

 Asma bronkial
 Aspirasi benda asing
 Bronkopneumonia
 Gagal jantung
 Miokarditis
 Fibrosis Kistik

TATALAKSANA

Tata laksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :

1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral).
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi
sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis.
6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu
wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3
dimasukkan dalam kategori ringan.
BRONKIOLITIS

http://klinikblogger.blogspot.com/2009/03/bronkiolitis.html

Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya
disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala–gejala obstruksi bronkiolus.
Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea,
retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada

EPIDEMIOLOGI. Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),


60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3,
Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama
bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi.
Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak
45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi
usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV
terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan
makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar
antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak
dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan
neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun
bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI. RSV adalah single stranded RNA virus yang
berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein
permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan
partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi
neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV
strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.
Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar
dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel
saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran
napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang
memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran
napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus .
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di
dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih
terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,
substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan
epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)
dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus
menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-
sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan
meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan
saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran
napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.
Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran
napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat
cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih
sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase
ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan
menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di
atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang
mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi
muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang
pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi
yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’ sehingga pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena
RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam
fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi
akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita
wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali
mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat
menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan
dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.

MANIFESTASI KLINIS. Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek
yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam
dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk
paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan
dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak
besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan
atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang
disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan
otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi
paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing
yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien
teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering
terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien
dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.Ada bentuk
kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis
(hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis
hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan
wheezing yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.
Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan
deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan
dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.

DIAGNOSIS. Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan


adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama
kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi
virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi
yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor
Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan
2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori
berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat
yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen <
95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan
peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003)
mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas
darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika
terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-
bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy
infiltrates).
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke
bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan:
siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar,
diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal,
pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing
untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma
bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis
adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik
fibrosis, gagal jantung, miokarditis .
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama,
dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan
pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA.
Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.

TATA LAKSANA. Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi,
pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan
biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan
bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat
inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan
neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah
sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan
pemberian antivirus.
Penanganan bronkiolitis: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita 2.
Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu
dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan
cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat:
deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang
baik, curiga infeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi
OksigenOksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang
sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker
(minimum 4 liter/menit) atau head box.
Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2)
pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh
pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. Penderita bronkiolitis
kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea
berulang.
Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas
untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari
kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome
of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).
Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang
mungkin timbul. AntibiotikaApabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita,
peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur
darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki
spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap
perjalanan bronkiolitis.
Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab
bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin
adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV. Ribavirin
menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan
aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau
sepuluh hari setelah terkena virus.
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka
pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai saat
ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi
mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada
penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil
tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel
yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja.
Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan
pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk
terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis
yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan
kortikosteroid.
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas
karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast,
menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan
silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik.
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis secara
nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi
yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi
bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan
perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang.
Uji efikasi salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di
bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada
kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih
pendek.
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi,
tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses
inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas
(bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang
minimal dibandingkan epinefrin.
Kortikosteroid Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas
kortikosteroid untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak
dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi
salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi
oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga
didapatkan pada pemberian deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata
tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada
hari ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat
rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa
tidak mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.
Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat
jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB
mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.Penelitian meta-analisis tentang
penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan
dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan
bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan
bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan
jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.
Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat
untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal.
Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide,
flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada
afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat
steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik
rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason,
budesonid, mometason.
Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus
membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang
selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE)
untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-β2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan
waktu 6-12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF,
IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-β2 dan mencegah
reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat agonis β2 jangka panjang- Mempercepat regenerasi
sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel inflamasiPENCEGAHANPencegahan dapat dilakukan
dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan
terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung
tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian
umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan
Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan
hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit
serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi
dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody,
yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal
hyperimmune globulin , diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai
imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab
sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak
yang mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu).
AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau
immunocompromised karena belum pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini.
Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live
recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.
Bronchiolitis
http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview

Author: Lucian Kenneth DeNicola, MS, MD, FAAP, FCCM, Professor, Department of
Pediatrics, University of Florida Health Science Center at Jacksonville
Coauthor(s): Nizar F Maraqa, MD,, Assistant Professor of Pediatrics, Pediatric Infectious
Diseases, University of Florida College of Medicine at Jacksonville; Haidee T Custodio,
MD, Fellow in Pediatric Infectious Diseases and Immunology, University of Florida College
of Medicine
Contributor Information and Disclosures

Updated: Oct 22, 2010

 Print This
 Email This

 Overview
 Differential Diagnoses & Workup
 Treatment & Medication
 Follow-up
 Multimedia

 References
 Keywords

Information from Industry

Bacterial RTIs: View S pneumoniae resistance map–Click on your state Consider the growing
problem of antibacterial resistance. What is the S pneumoniae resistance rate in your state? Read
more

Introduction

Background

Bronchiolitis is an acute, infectious, inflammatory disease of the upper and lower respiratory
tract that may result in obstruction of the small airways. Although it may occur in all age
groups, the larger airways of older children and adults better accommodate mucosal edema;
severe respiratory symptoms are usually limited to young infants. An example of
radiographic findings in bronchiolitis is shown in the image below.
A chest radiography revealing lung hyperinflation with a flattened diaphragm and
bilateral atelectasis in the right apical and left basal regions in a 16-day-old infant with
severe bronchiolitis.
[ CLOSE WINDOW ]

A chest radiography revealing lung hyperinflation with a flattened diaphragm and


bilateral atelectasis in the right apical and left basal regions in a 16-day-old infant with
severe bronchiolitis.

Pathophysiology

Necrosis of the respiratory epithelium is one of the earliest lesions in bronchiolitis and occurs
within 24 hours of the acquisition of infection.1 Proliferation of goblet cells results in
excessive mucus production, whereas epithelial regeneration with nonciliated cells impairs
elimination of secretions. Lymphocytic infiltration may result in submucosal edema.
Cytokines and chemokines, released by infected respiratory epithelial cells, amplify the
immune response by increasing cellular recruitment into infected airways. Interferon and
interleukin (IL)-4, IL-8, and IL-9 are found in high concentrations in respiratory secretions of
infected patients.2,3  
Johnson et al analyzed autopsy findings of children who died due to possible respiratory
syncytial virus (RSV) from 1925-1959, before modern intensive care, and autopsy findings of
a child with RSV bronchiolitis who died in a motor vehicle accident.4 They found that small
bronchiole epithelium was circumferentially infected, but basal cells were spared. Both type 1
and type 2 alveolar pneumocytes were also infected. Airway obstruction was due to epithelial
and inflammatory cell debris mixed with fibrin, mucus, and edema fluid but not bronchial
smooth muscle constriction. Other research revealed that neutrophil inflammation, but not
eosinophil inflammation, is related to the severity of a first infection in infants.5

The inflammation, edema, and debris result in obstruction of bronchioles, leading to


hyperinflation, increased airway resistance, atelectasis, and ventilation-perfusion
mismatching. Bronchoconstriction has not been described.

Infants are affected most often because of their small airways, high closing volumes, and
insufficient collateral ventilation. Recovery begins with regeneration of bronchiolar
epithelium after 3-4 days; however, cilia do not appear for as long as 2 weeks. Mucus plugs
are predominantly removed by macrophages.

Risk factors for developing bronchiolitis include the following:6,7,8,9

 Low birth weight, particularly premature infants 10


 Gestational age (independently associated with hospital resource use and outcome among
infants hospitalized for RSV)
 Lower socioeconomic group11
 Crowded living conditions, daycare, or both
 Parental smoking12
 Chronic lung disease, particularly bronchopulmonary dysplasia
 Severe congenital or acquired neurologic disease
 Congenital heart disease (CHD) with pulmonary hypertension: 13 Interestingly, Swiss children
with CHD did not show increased risk. 14  
 Congenital or acquired immune deficiency diseases
 Age less than 3 months
 Airway anomalies

Virtually all children experience RSV infection within the first 3 years of life, but previous
infection does not convey complete immunity. Reinfection is common; however, significant
antibody titers from previous infection ameliorate the severity of symptoms.15

Frequency

United States

Respiratory infection is observed in 25% of children younger than 12 months and 13% of
children aged 1-2 years.16 Of these 25%, one-half have wheezing-associated respiratory
disease.17 RSV can be cultured from one third of these outpatients and from 80% of
hospitalized children younger than 6 months.18,19 Nearly 100% of children experience an RSV
infection within 2 RSV seasons, and 1% are hospitalized.17 Among healthy full-term infants,
80% of hospitalizations occur in the first year, and 50% of hospitalizations occur in children
aged 1-3 months.11

Descriptive analysis of the US National Hospital Discharge Survey data from 1980-1996
showed that admissions associated with bronchiolitis totaled 1.65 million.20 The
hospitalization rate for children younger than 1 year increased from 12.9 in 1980 to 31.2 per
1000 population in 1996, and the proportion of hospitalizations for lower respiratory tract
illnesses among children younger than 1 year associated with bronchiolitis increased from
22.2% in 1980 to 47.4% in 1996.

The increase in hospitalizations is not due to increased pediatrician risk aversion, but rather is
attributable to physicians' desire to treat the condition with bronchodilators.21 The cost of
hospitalization for bronchiolitis in children younger than 1 year is estimated to be more than
$700 million per year.22

Fewer than 5% of hospitalizations occur in the first 30 days of life, presumably because of
transplacental transfer of maternal antibody.23

In the temperate climates of the northern hemisphere, RSV epidemics generally occur
annually in winter and late spring, whereas parainfluenza outbreaks usually occur in the fall.
Conversely, in the southern hemisphere, wintertime epidemics occur from May to September.
In the United States, the highest RSV activity usually occurs in winter, except in the
subtropical areas of the southeastern United States (eg, Florida) where RSV is endemic
throughout the year, with peaks from October to February and relative subsidence only from
March to July.24,25,26

Secondary infections occur in 46% of family members, 98% of other children in daycare,
42% of hospital staff, and 45% of previously uninfected hospitalized infants.27,28,29 Infection is
spread through self-inoculation of fomites via direct contact and environmental surfaces to
nasopharyngeal or ocular mucous membranes. RSV can survive for several hours on hands
and surfaces; therefore, handwashing and using disposable gloves and gowns may reduce
nosocomial spread.30,31

International

Bronchiolitis is a significant cause of respiratory disease worldwide. Its incidence in


developed countries appears similar to that in the United States. Epidemiologic data from
underdeveloped countries show RSV is a predominant viral cause of acute lower respiratory
tract infections and accounts for about 65% of hospitalizations due to viruses.32 However,
little is known about RSV-associated mortality in developing countries.

Mortality/Morbidity

RSV bronchiolitis accounts for about 50,000-80,000 hospitalizations annually.20 In a


prospective, population-based surveillance of acute respiratory infections, RSV accounted for
20% of hospitalizations, 18% of emergency department visits, and 15% clinic visits in
winter.33 Overall, the mortality rate in children hospitalized for bronchiolitis in different series
is 0.2-7%. This large variability is based on investigations of different cohorts with different
risk factors and different points in time relative to modern intensive care. 

Studies in pediatric ICUs (PICUs) of children with RSV bronchiolitis without comorbidities
show a 2-3% death rate, regardless of whether the children had CHD with pulmonary
hypertension.8 In a cohort study from 1999-2007 in the United Kingdom, RSV bronchiolitis-
related mortality was 1.7% with higher risk of death associated with preexisting conditions,
especially cardiac anomalies.34

Sex

Boys are affected more often than females.32,35 Death is 1.5 times more likely in males.36

Age

Although RSV bronchiolitis is clearly a significant disease of the young child, immunity has
been shown to wane over time;37 susceptible adults may be asymptomatic or mildly
symptomatic and act as carriers. With the increasing use of treatment modalities that
compromise cellular immunity, RSV infection may be life threatening to older children and
adults undergoing organ and bone marrow transplantation, as well as to the elderly.38,39

Clinical

History

Because bronchiolitis primarily affects young infants, clinical manifestations are initially
subtle. Infants may become increasingly fussy and have difficulty feeding during the 2 to 5-
day incubation period.40 A low-grade fever, usually less than 101.5°F, and increasing coryza
and congestion usually follow the incubation period. In older children and adults, as opposed
to infants, respiratory syncytial virus (RSV) infection is usually confined to the upper
airway.41

Over a period of 2-5 days, RSV infection progresses from the upper to lower respiratory tract,
which leads to the development of cough, dyspnea, wheezing, and feeding difficulties. When
the patient is brought to medical attention, the fever has usually resolved. Infants younger
than 1 month may present as hypothermic.42 Severe cases progress to respiratory distress with
tachypnea, nasal flaring, retractions, irritability, and, possibly, cyanosis.

Physical

Examination often reveals the following:

 Tachypnea
 Tachycardia
 Fever (38-39ºC)
 Retractions
 Fine rales (47%)
 Diffuse, fine wheezing
 Otitis media

Diagnosis is made based on age and seasonal occurrence, tachypnea, and the presence of
profuse coryza and fine rales, wheezes, or both upon auscultation of the lungs.
 Hypoxia is the best predictor of severe illness and correlates best with the degree of
tachypnea (>50 breaths per minute). The degree of wheezing or retractions correlates poorly
with hypoxia.
 First-time infections are usually most severe. Subsequent attacks are generally milder,
particularly in older children.
 Nonrespiratory manifestations of RSV infections include otitis media, myocarditis,
supraventricular and ventricular dysrhythmias, and inappropriate secretion of antidiuretic
hormone.43,44

In a systematic review, Ralston et al found the overall incidence of apnea ranged from 1.2-
23.8% in infants hospitalized with RSV bronchiolitis.45 Further analysis showed that apnea
occurred more commonly in preterm infants (range, 4.9-37.5%) compared with full-term
infants (range, 0.5-12.4%).

Kneyber et al found that the strongest independent risk factor for RSV-associated apnea was
age younger than 2 years.46 Apnea at admission was found to increase the risk recurrent
apnea. Additionally, the risk for mechanical ventilation significantly increased in children
who suffered from recurrent apnea.

Using the criteria of (1) full-term age less than 1 month, (2) preterm age less than 48 weeks,
and (3) observed apnea, Willwerth et al found the incidence of in hospital apnea was only
2.7%.47

Apnea occurs early in the course of the disease and may be the presenting symptom.

Nonobstructive central apnea occurs during quiet sleep and is associated with increases in the
apnea index (percentage of time the baby spends apneic), apnea attack rate (the number of
episodes of apnea per unit time), and apnea percentage (the distribution of episodes of apnea
while in a given sleep state).

Apnea rarely lasts longer than a few days; however, approximately 10% of these patients
require intubation and mechanical ventilation. Because very few cases of sudden infant death
syndrome are attributable to bronchiolitis, most infants with apnea apparently self stimulate
and recover spontaneously. Mild RSV disease in young infants is not an indication for
hospitalization to observe for apnea.45,47,48,49,50,51

Causes

RSV is the most commonly isolated agent in 75% of children younger than 2 years who are
hospitalized for bronchiolitis. RSV is an enveloped RNA virus that belongs to the
Paramyxoviridae family within the Pneumovirus genus.

In a prospective multicenter study of the viral etiology of bronchiolitis in the emergency


department, 277 samples were tested and showed positivity of samples for the following:52

 RSV - 64%
 Rhinovirus - 16%
 Human metanpneumovirus (hMPV) - 9%
 Influenza A - 6%
Agents that cause wheezing-associated respiratory infections include, but are not limited to,
the following:

RSV causes 20-40% of all cases and 44% of cases that involve children younger than 2 years.
Two RSV subtypes, A and B, have been identified based on the structural variations in the G
protein. Subtype A causes the most severe infections. One subtype usually predominates
during a given season; thus, RSV disease has "good" and "bad" years.53,54,55,56 The disease is
highly contagious. Viral shedding in nasal secretions continues for 6-21 days after symptoms
develop. The incubation period is 2-5 days.57

Parainfluenza virus causes 10-30% of all bronchiolitis cases.58

Adenovirus accounts for 5-10% of bronchiolitis cases.

Influenza virus accounts for 10-20% of bronchiolitis cases.

Mycoplasma pneumoniae infection accounts for 5-15% of bronchiolitis cases, particularly


among older children and adults.

hMPV has been increasingly implicated as an etiologic agent in bronchiolitis.59,60,61,62,63 First


identified in Holland in 2001, it is a paramyxovirus.64 Serologic studies indicated that, by age
5 years, all Dutch children had seroconverted and that the virus had been prevalent in the
population for at least 50 years.65

In a retrospective examination of nasal washings obtained between 1976 and 2001 from 2009
children with acute respiratory tract illness, 248 had identifiable viruses. Of these, 20% were
identified as hMPV, accounting for 12% of all viral lower respiratory illness in children
younger than 2 years.

The mean age in the hMPV group was 11.6 months, with a male-to-female ratio of 1.8:1.
They most often had illnesses between December and April, and 2% were hospitalized. The
virus was associated with bronchiolitis in 59% of patients.

Subsequent studies have shown that hMPV accounts for 5-50% of bronchiolitis cases, seems
to occur later in the bronchiolitis season, occurs with higher fevers, affects somewhat older
children, and causes more wheezing but less oxygen requirement (possibly because the
children are older and have less atelectasis).66,67,68

Recent observations note that dual infections with both hMPV and RSV are strongly
associated with severe bronchiolitis, with a 10-fold increase in PICU admission.69,70,71

Human bocavirus (HBoV) was discovered in 2005 and causes both upper and lower
respiratory infections. It has been implicated in both pertussis and bronchiolitislike
syndromes. Arnold et al demonstrated that 5.6% of 1474 nasal scrapings collected over a 20-
month period at San Diego Children's Hospital tested positive for HBoV, mostly in the
months of March through May.72

Abundant evidence reveals that complex immunologic mechanisms play a role in the
pathogenesis of RSV bronchiolitis. Type I allergic reactions mediated by the immunoglobulin
E (IgE) antibody may account for clinically significant bronchiolitis. Breastfed babies, who
receive colostrum rich in immunoglobulin A (IgA), appear to be relatively protected from
bronchiolitis.73,74

Anda mungkin juga menyukai