Anda di halaman 1dari 25

KONSEP DAN PRAKARSA IMPLEMENTASI METODE KOORDINASI TERBUKA

UNTUK MENDUKUNG KOHERENSI KEBIJAKAN INOVASI


Tatang A. Taufik**)

1. PENDAHULUAN

Dinamika sistem inovasi pada dasarnya menunjukkan bagaimana suatu


bangsa/masyarakat (atau daerah) mampu menguasai, memanfaatkan dan mengembangkan
pengetahuan, berinovasi dan mendifusikan inovasi tersebut, serta berproses dalam
pembelajaran dan beradaptasi terhadap beragam perubahan. Oleh karena itu, daya saing
dan kohesi sosial yang merupakan tumpuan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di
suatu negara (daerah) akan semakin ditentukan oleh bagaimana perkembangan sistem
inovasi negara (daerah) yang bersangkutan.
Tetapi harus diakui bahwa pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa sistem
inovasi suatu negara tidak berkembang begitu saja. Perkembangan sistem inovasi suatu
negara akan ditentukan/dipengaruhi oleh kebijakan inovasi yang tepat yang diterapkan
sejalan dengan konteks dan perkembangan sistem inovasi yang berkembang, serta direspon
dengan tepat oleh industri dan para pemangku kepentingan lainnya. Setiap negara berupaya
mengembangkan kebijakan inovasi agar memenuhi kriteria kebijakan yang baik. Kini
semakin disadari bahwa salah satu kriteria penting kebijakan inovasi yang baik adalah
memenuhi persyaratan “koherensi” kebijakan (lihat misalnya Taufik, 2005). Oleh karena itu,
di antara isu kebijakan inovasi yang menjadi perhatian berbagai negara adalah mendorong
berkembangnya koherensi kebijakan inovasi pada berbagai tataran.
Upaya demikian tentu perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak (para
pemangku kepentingannya). Kini semakin disadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah
semata ranah intervensi bagi “Pemerintah Pusat/Nasional” tetapi juga “Pemerintah Daerah.”1
Selain itu, upaya bersama (atau kolaboratif) dalam mendorong koherensi kebijakan inovasi
ini juga sangat penting mengingat kebijakan inovasi setidaknya terkait dengan tiga dimensi
penting berikut:
 Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance), bahwa kebijakan inovasi
dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan
internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya
sangatlah penting.
 Dimensi “sektoral” di mana terdapat beragam faktor yang akan memberikan
pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh
yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang
dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
 Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya, di mana kebijakan inovasi seringkali
perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya. Karenanya, konsepsi inovasi
dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu” dalam beragam kebijakan
terkait lainnya.

* *)
Dr. Tatang A. Taufik, bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
1
Bahasan lebih jauh tentang ini dapat dilihat dalam beragam literatur kebijakan inovasi (lihat
misalnya Taufik, 2005).
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

Sebagai bagian integral dari prakarsa ”GERBANG INDAH NUSANTARA” (Gerakan


Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah Nusantara), maka
upaya/langkah-langkah untuk mendorong berkembangnya koherensi kebijakan inovasi di
Indonesia dipandang sangat perlu untuk terus dikembangkan dan melibatkan kolaborasi
banyak pihak.
Makalah ini memperkenalkan ”metode koordinasi terbuka” (open method of
coordination/OMC) sebagai suatu cara yang penting dan sesuai dengan kerangka sistem
pemerintahan di Indonesia (NKRI) serta dipandang berpotensi sangat positif dalam
mendorong otonomi daerah.

2. TINJAUAN LITERATUR

2.1 Argumen Kebijakan Inovasi

Kebijakan inovasi hakikatnya bersifat horisontal, vertikal, temporal, dan sangat erat
dengan proses pembelajaran (learning process) untuk mendorong pengembangan kapasitas
inovatif. Oleh karena itu, kebijakan inovasi berkaitan erat dengan perubahan, fleksibilitas,
dinamisme dan masa depan. Dalam mayoritas literatur tentang sistem inovasi dan kebijakan
inovasi, ranah (domain) kebijakan inovasi mencakup atau berkaitan dengan kebijakan iptek
(termasuk berkaitan dengan aktivitas litbang), kebijakan industri, kebijakan daerah dan
kebijakan pendidikan.
Menurut Edquist (2001), pada prinsipnya terdapat dua hal utama untuk dapat
melakukan intervensi (kebijakan), yaitu: munculnya “persoalan atau isu” kebijakan, dan
adanya kemampuan lembaga publik mengatasi/memecahkan atau mengurangi persoalan
yang bersangkutan.
a. Munculnya “persoalan atau isu” kebijakan: Artinya, apa yang menjadi tujuan penting
(terkait dengan “sistem inovasi”) dinilai tidak tercapai. Ini berkaitan dengan
”alasan/argumen” kebijakan inovasi sebagaimana ditelaah dalam beragam literatur.
Argumen kegagalan pasar (market failures) merupakan argumen ”klasik” perlunya
intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002,
1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan
litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment) dalam
pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi, yang menurutnya terjadi dalam
empat kategori, yaitu:
 aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang
keseluruhan);
 investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-
perusahaan baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
 investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada
(inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset
teknologi generik);

Tatang A. Taufik 2
 investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi
(misalnya kurangnya litbang infratechnology);
Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically),
kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung
berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya
terjadi dan membutuhkan pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang
berbeda pula.
Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya
dan manfaat sosial dari inovasi. Karena itu maka pasar inovasi (the innovation market)
gagal. Beberapa mekanisme menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif
yang optimal secara sosial:
 knowledge spillovers: pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan
lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak
inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh
pihak-pihak lain.
 rent spillovers: inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai
sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent
spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry and non excludability
dari inovasi.
 Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure): risk-averse innovator2 tidak
mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
 Pencurian bisnis (business-stealing effects): inovasi berpotensi memperkuat
posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis
(business-stealing effect) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang
melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang
lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh
masyarakat.

Kegagalan pasar juga menghambat difusi inovasi dalam ekonomi, terutama


menyangkut:
 Informasi tak sempurna (imperfect information): pasar belum sepenuhnya
memahami (terbiasa) dengan keseluruhan inovasi dan karenanya enggan untuk
mengadopsi inovasi tersebut serta berinvestasi dalam perbaikan-perbaikan dari
inovasi tersebut;
 Eksternalitas jaringan (network externalities): nilai sosial dari inovasi bergantung
pada jumlah pengguna. Karena itu, ada insentif untuk menunggu untuk
mengadopsi inovasi dan menunggu berinvestasi dalam inovasi komplemennya;
 Kekuatan pasar (market power): Para pengguna (pelanggan) akan berbeda
dalam kesediaannya membayar (willingness to pay) atas inovasi. Oleh karena
itu, inovator memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna
yang paling awal menghendaki inovasi, selanjutnya mengurangi harga secara

2
Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”

3
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

bertahap untuk melayani pengguna-pengguna yang berikutnya. Kecepatan


adopsi biasanya relatif lambat;
 Keunggulan pelopor (first-mover advantage): suatu inovasi yang kecil dapat
mendorong produk-produk yang ada menjadi tertinggal/kadaluarsa (obsolete).
Oleh karena itu, difusi yang cepat akan lebih menarik dari perspektif inovator,
namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.

Paradigma sistem yang mencermati ”sistem inovasi” membawa pada argumen


kegagalan sistemik, selain kegagalan pasar (dan kegagalan pemerintah) yang pada
dasarnya telah dikenal dalam arus utama ekonomi, sebagai landasan bagi
pengembangan kebijakan inovasi.
Kebijakan inovasi pada prinsipnya adalah mengkomplementasi perusahaan dan pasar,
bukan menggantikan atau menduplikasinya. Dalam hal ini, menurut Edquist,
setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang sebagian berhimpitan satu
dengan lainnya), yaitu:
1. Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
2. Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan
tidak ada;
3. Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak
ada; atau
4. Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau
tidak ada.

Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang
mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem
inovasi, yaitu:
1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in
infrastructural provision and investment): Ini misalnya menyangkut infrastruktur
fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan
dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung
oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan
kementerian dalam pemerintah.
2. Kegagalan transisi (transition failures): Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-
persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum
dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi.
Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan
untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
3. Lock-in failures: Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi
yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem
perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap”
(locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal,
dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan

Tatang A. Taufik 4
alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem
teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
4. Kegagalan institusional: sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta,
sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut
mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan
membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam
sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang
berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan
dalam perundangan HKI.

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan


tekanan) yang tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya
kebijakan inovasi. Arnold dan Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu
argumen berikut:
1. Kegagalan kapabilitas (capability failures): Hal ini berkaitan dengan kemampuan
perusahaan bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan
manajerial, kurangnya pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan
pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk memanfaatkan teknologi yang
berasal dari luar perusahaan.
2. Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions): kegagalan dalam berbagai
organisasi, baik bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan pengetahuan menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan.
Demikian juga kegagalan berinvestasi dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
3. Kegagalan jaringan (network failures): Hal ini berkaitan dengan interaksi
antaraktor, baik karena jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya
karena tidak berkembangnya rasa saling percaya atau keterisolasian para aktor
dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-in failures (di mana
sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang
teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
4. Kegagalan kerangka kerja (framework failures): Inovasi yang efektif akan turut
bergantung pada kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi
inovasi (misalnya sofistikasi konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).
Uraian di atas menunjukkan beragam potensi bagi identifikasi dan
elaborasi isu kebijakan inovasi yang perlu dicermati dalam konteks suatu
sistem inovasi.

b. Adanya kemampuan lembaga publik mengatasi/memecahkan atau mengurangi


persoalan yang bersangkutan.
Untuk mengatasi isu/persoalan kebijakan inovasi tentunya diperlukan kemampuan
lembaga publik untuk melakukan intervensi perlu ada/dimiliki untuk dapat melakukan
perubahan atau memberikan pengaruh terjadinya perubahan ke arah yang diharapkan.
Tidak adanya atau lemahnya kemampuan lembaga publik dalam kaitan ini sangat
berpotensi mengakibatkan kegagalan pemerintah (government failures). Walaupun
sebaliknya, adanya kemampuan lembaga publik tidak menjamin sepenuhnya terhindar

5
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

dari kegagalan pemerintah. Setidaknya, kememadaian kemampuan memberikan


peluang untuk sedapat mungkin meminimumkan kegagalan tersebut.

Upaya untuk mengenali isu kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Analisis kondisi yang dihadapi, studi perbandingan, dan benchmarking
merupakan pendekatan yang umumnya dilakukan untuk mengawali tahapan ini.
Kesadaran akan pentingnya penguatan sistem inovasi (di antara pembuat kebijakan
maupun analis), kelemahan ketersediaan data faktual yang relevan, dan masih terbatasnya
upaya-upaya kajian yang menyoroti hal ini merupakan kelemahan menonjol di Indonesia.
Mengenali “gejala” beragam kelemahan sistem inovasi daerah merupakan awal
penting. Namun tentu saja hal demikian belumlah cukup. Menelaah lebih mendalam akar-
akar persoalannya dan menganalisis isu kebijakan yang dinilai urgen untuk dipecahkan perlu
dilakukan sebagai bahan untuk mendesain langkah kebijakan yang perlu diambil. Walaupun
bukan maksud buku ini untuk mendiskusikan secara detail beragam kasus, namun penting
untuk disampaikan di sini bahwa intervensi pemerintah “secara langsung” tidak selalu
otomatis menjadi solusi bagi suatu isu kebijakan. “Solusi pasar dengan peran dan langkah
tertentu dari pemerintah dan/atau pihak lain” adakalanya merupakan alternatif solusi bagi isu
kebijakan. Kemungkinan untuk hal demikian perlu selalu terbuka dalam mengkaji isu
kebijakan, selain sebagai upaya menggali alternatif solusi terbaik juga menghindari atau
meminimalisasi pengekangan atau tidak berkembangnya peran/partisipasi swasta dan
masyarakat akibat dari (sebagai dampak negatif dari) intervensi pemerintah dalam konteks
tertentu.3

2.2 Koherensi Kebijakan Inovasi

Setiap kebijakan, idealnya memenuhi kriteria kebijakan yang baik.4 Salah satu kriteria
penting kebijakan inovasi yang baik adalah memenuhi persyaratan “koherensi” kebijakan.
Oleh karena itu, di antara isu kebijakan inovasi yang menjadi perhatian berbagai negara
adalah mendorong berkembangnya koherensi kebijakan inovasi pada berbagai tataran.
Upaya demikian tentu perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak (para
pemangku kepentingannya). Kini semakin disadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah
semata ranah intervensi bagi “Pemerintah Pusat/Nasional” tetapi juga “Pemerintah Daerah.”5
Selain itu, upaya bersama (atau kolaboratif) dalam mendorong koherensi kebijakan inovasi
ini juga sangat penting mengingat kebijakan inovasi setidaknya terkait dengan tiga dimensi
penting berikut:
 Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance): bahwa kebijakan inovasi
dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan
3
Istilah teknis untuk kondisi demikian sering disebut crowding out.
4
Beberapa kriteria kebijakan yang baik adalah (lihat Taufik, 2005): Efektivitas; Efisiensi; Memiliki
daya bangkitan yang signifikan (significant leveraging effects); Kelayakan cakupan (adequacy of scope);
Memenuhi kaidah pasar (conforming to the market mechanisms); Konsistensi; Koherensi; Keterbukaan
dan akuntabilitas; dan Komitmen kebijakan.
5
Bahasan lebih jauh tentang ini dapat dilihat dalam beragam literatur kebijakan inovasi (lihat
misalnya Boekholt, 2004, dan Taufik, 2005).

Tatang A. Taufik 6
internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya
sangatlah penting.
 Dimensi “sektoral”: bahwa terdapat beragam faktor yang akan memberikan
pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh
yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang
dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
 Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya: bahwa kebijakan inovasi seringkali
perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya (selain ”kebijakan iptek”).
Karenanya, konsepsi inovasi dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu”
dalam beragam kebijakan terkait lainnya.

Seperti telah disampaikan, salah satu di antara kriteria kebijakan inovasi yang baik
tersebut adalah ”koherensi kebijakan.” Koherensi kebijakan inovasi pada dasarnya
menyangkut keterpaduan dan harmonisasi, saling mengisi dan memperkuat terutama
antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi, baik di tingkat nasional maupun daerah,
dan ”antara nasional/pusat dan daerah,”6 sehingga tidak berbenturan, bertolak belakang dan
membingungkan.
Secara konsep, koherensi kebijakan pada dasarnya setidaknya menyangkut tiga
dimensi, yaitu:
 Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang
terkait atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi
dan/atau memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”)
dalam tujuan yang (mungkin) saling bertentangan;
 Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh
sesuai atau konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat
kebijakan;
 Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang
diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan
membatasi potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi
perubahan (dan berkaitan dengan manajemen transisi).

Dalam penelitiannya berkaitan dengan konteks perkembangan sistem inovasi di Uni


Eropa dan dalam rangka memberikan advis kebijakan inovasi kepada para penentu
kebijakan, Lundvall dan Borras (1997), misalnya mengungkapkan bahwa ketika merancang
kebijakan inovasi, para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan tiga tindakan utama
berikut:
1. Kebijakan yang mempengaruhi tekanan untuk berubah (misalnya kebijakan
persaingan, kebijakan perdagangan dan posisi kebijakan ekonomi secara
umum);
2. Kebijakan yang mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap
perubahan (misalnya pengembangan sumber daya manusia/SDM);

6
Termasuk konteks regional (supranasional) tertentu dan internasional.

7
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

3. Kebijakan yang dirancang untuk melindungi kelompok-kelompok yang “dirugikan”


oleh perubahan (misalnya kebijakan sosial dan daerah yang bertujuan pada
redistribusi).

Bidang kebijakan tersebut perlu disesuaikan dan dikoordinasikan sedemikian rupa


sehingga dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan tanpa mengabaikan kohesi sosial.
Selain itu, koordinasi vertikal juga sangatlah penting karena kesejalanan kebijakan pada
berbagai tataran pemerintahan yang berbeda akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi
kebijakan.

2.3 Metode Koordinasi Terbuka/MKT (Open Method of Coordination/OMC)

Metode Koordinasi Terbuka/MKT (Open Method of Coordination/OMC) dalam hal ini


dapat diartikan sebagai cara, metode atau mekanisme berkoordinasi (dan bekerjasama)
antara tataran pemerintahan yang berbeda (misalnya antara pemerintah nasional/pusat dan
pemerintah daerah) dan antara lembaga-lembaga pemerintah dan/atau para stakeholders
dalam bidang tertentu berdasarkan kesepakatan/konsensus (menyangkut kerangka utama
dan sasaran kebijakan tertentu) dan dilakukan secara sukarela (voluntary), bukan
“keharusan/paksaan” (non-mandatory).
Di antara “aplikasi”-nya dalam khasanah kebijakan publik, Metode Koordinasi
Terbuka/MKT (OMC) diperkirakan mulai diperkenalkan secara “formal” di lingkungan Uni
Eropa dalam the Amsterdam Treaty (tahun 1997) untuk the EU’s employment strategy.
Kemudian, hal ini ditekankan kembali dalam the Lisbon European Council (tahun 2000)
untuk beragam bidang, termasuk misalnya kebijakan riset dan pendidikan.7
Instrumen utama bagi MKT tersebut adalah:
 penetapan panduan kebijakan dengan jadwal yang ditentukan untuk mencapai
sasaran-sasaran,
 pengembangan benchmarking dan indikator kinerja (performance indicators);
 implementasi prosedur pemantauan (monitoring), evaluasi, dan peer review

Sementara itu, fitur utama dari MKT yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
 bersifat tidak mengikat (non-binding), yaitu tujuan/sasaran bersifat tidak menjadi
keharusan (not mandatory), tak ada sangksi untuk tak berkinerja;
 pendekatan bottom-up yang mendorong pembelajaran kebijakan (policy
learning);
 terbuka bagi para partisipan, baik dari pemerintah maupun swasta.

Knill dan Lenschow (2004) yang mengkaji bagaimana moda/pola regulasi dalam
penadbiran di Uni Eropa mengungkapkan suatu tipologi moda regulasi di Uni Eropa.

7
Lihat beberapa tinjauan antara lain seperti Dehouse dan Monnet (2003), DSV (2002), Knill dan
Lenschow (2003),Peters (2005), dan radaelli (2003).

Tatang A. Taufik 8
Moda/pola tersebut ditunjukkan pada Tabel 1, dimana MKT/OMC merupakan kelompok
intervensi dengan tingkat keleluasan yang tinggi (sejauh mana desentralisasi aktor dalam
proses implementasinya) dan tingkat kewajiban/obligasi yang rendah.

Tabel 1 Moda Regulasi di Uni Eropa.

Tingkat Kewajiban Tingkat Kewajiban


(Obligation) Tinggi (Obligation) Rendah

Instrumen Baru OMC


Tingkat Keleluasaan
(Discretion) Tinggi Ekonomi, komunikatif, Open method of coordination
framework regulation

Standar Regulasi (Regulatory Self-regulation


Tingkat Keleluasaan
Standards) Di balik bayang-bayang
(Discretion) Rendah
substantif, prosedural negara

Sumber : Knill dan Lenschow (2003).

Lebih lanjut dalam upayanya mengungkap bagaimana setiap jenis regulasi berimplikasi
pada mekanisme yang berbeda dalam penyesuaian kebijakan setiap negara dan juga pola
penadbiraan yang berbeda dalam sistem multilevel Eropa, mereka meringkaskan dalam
Tabel 2. Dalam hal ini, mereka membedakan tiga jenis mekanisme umum bagaimana
regulator mempengaruhi perilaku kelompok sasaran regulasinya, yaitu: “pemaksaan”
(coercion) untuk mematuhi regulasi, perangsangan melalui insentif, dan pembelajaran.
Sedangkan dalam menelaah relevansi dari keempat jenis regulasi, dikelompokkan tiga
tingkatan relevansi, yaitu ++ dominant mechanism; + relevant mechanism; dan 0 irrelevant
mechanism. Pengkajian relevansi ini lebih didasarkan atas maksud/intensi yang
melatarbelakangi regulator, bukan kinerja nyatanya ataupun relevansi obyektif dari
mekanisme yang diterapkan.

9
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

Tabel 2 Mekanisme Pengarahan dan Jenis Regulasi.

Standar Instrumen Baru Self-regulation MKT/OMC


Regulasi
(Regulatory
Standards)

++ + + +
“Pemaksaan” standar/syarat aturan umum shadow of pelaporan dan
(Coercion) yang mengikat (framework) dan hierarchy pemantauan
secara legal prosedural
0 ++ ++ +
perubahan aktor swasta peer pressure
Struktur Insentif peluang mempengaruhi
prosedural standar regulasi
dan/atau materi
0 0 + ++
komunikasi model-model
Pembelajaran dalam jaringan praktik terbaik
swasta (best practice
models)
Hierarchy Public Private Radical
model: delegation delegation subsidiarity
power of model: model model:
coercion traditional public learning
subsidiarity approach

Legenda: ++ dominant mechanism; + relevant mechanism; 0 irrelevant mechanism.


Sumber : Knill dan Lenschow (2003).

Selanjutnya dalam menentukan/menilai apakah suatu moda regulasi mencerminkan


“penadbiran yang baik (good governance)” atau tidak, ia menelaahnya dengan mengacu
pada suatu pola benchmark untuk mengevaluasinya. Dua sisi penting (yang sering menjadi
perdebatan) dicermati dalam konteks ini, yaitu keluaran (output) dan masukan (input).
Faktor keluaran (output) melandasi sebagian besar fokus legitimasi kebijakan regulasi
Uni Eropa. Perhatian pada sisi keluaran diberikan pada tiga faktor, yaitu:
Kapasitas pengambilan keputusan: Sejauh mana UE memiliki kapasitas mengambil
keputusan politis dalam bidang tertentu;
Efektivitas implementasi: Sejauh mana keputusan tersebut benar-benar
diimplementasikan dan dipatuhi pada tingkat nasional;
Kapasitas pemecahan masalah: Tingkat capaian kebijakan sesuai dengan tujuannya.

Tatang A. Taufik 10
Dalam kaitannya dengan kapasitas pemecahan masalah, mereka memberikan
perhatian pada desin regulasi. Dalam hal ini, mereka menelaah empat faktor yang
diperkirakan mempengaruhi desain regulasi, yaitu (lihat Tabel 3):
Fleksibilitas penyesuaian yang tinggi untuk redesain yang cepat dari regulasi karena
inovasi teknologi, bukti saintifik yang baru atau pengalaman dengan pendekatan
sebelumnya.
Akan menjadi perbedaan yang penting bagi pencapaian tujuan secara efektif apakah
regulator mendesain aturannya karena kepentingan publik secara umum atau karena
kepentingan sekelompok masyarakat/industri.
Kapasitas pemecahan masalah diperkirakan akan meningkat yang akan berkaitan
dengan sejauh mana desain regulasi tanggap/responsif terhadap konstelasi masalah
nasional atau subnasional yang berbeda.
Akan melandasi kebutuhan yang sangat penting bagi regulasi yang efektif bahwa
regulator memiliki indikator yang jelas dalam rangka mengembangkan prediksi yang
baik tentang hasil (outcomes) potensial dari regulasi.

Tabel 3 Moda Regulasi dan Kapasitas Pemecahan Masalah.

Standar Instrumen Baru Self-regulation MKT/OMC


Regulasi
(Regulatory
Standards)
Fleksibilitas
Rendah Rendah Tinggi Tinggi
penyesuaian
Rendah, tapi
bergantung pada Low, but
nasional , but depending on
Danger of capture Tinggi Tinggi
depending on national
national transposition
transposition
Responsivitas
konteks (context Rendah High Rendah Tinggi
responsiveness)
Prediktabilitas
hasil
Tinggi Rendah Tinggi Rendah
(predictability of
outcomes)

Sumber : Knill dan Lenschow (2003).

Sementara itu, Peters (2005) mengungkapkan keragaman beberapa penadbiran


informal (informal governance) yang dipraktikkan di Uni Eropa dan beberapa negara
anggotanya. Seperti ditunjukkan dalam rangkuman singkat Tabel 4, setiap metode memiliki

11
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

karakteristik, yang pada dasarnya perlu ditelaah lebih mendalam bagaimana


konsekuensinya baik secara normatif maupun empiris.

Tatang A. Taufik 12
Tabel 4. Karakteristik Metode Informal Penadbiran di Uni Eropa.

Kepemerintahan Akses Potensi Potensi Koordinasi Potensi Perubahan


(Governmentality) (Access) Legitimasi Tawar- (Coordination) Pengambilan Proses
(Legitimation menawar Keputusan (Process
Potential) (Bargaining (Decision- Change)
Potential) making
Potential)

Soft-Law Menengah Menengah Tinggi Tinggi Menengah Tinggi Tinggi

Jaringan Rendah/Menengah Tinggi(?) Menengah Tinggi Rendah Menengah Menengah


(Networking)
Kemitraan Menengah Menengah/ Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
(Partnerships) Rendah

Co- Menengah Menengah Rendah Menengah Rendah Menengah


Production
Multi-Level Tinggi Rendah Menengah Menengah Rendah Tinggi Rendah
Governance
MKT (Open Menengah Tinggi Menengah Menengah Tinggi8 Tinggi Rendah
Method of
Coordination)

Sumber : Peters (2005).

8
Koordinasi vertikal lebih meningkat dibanding dengan koordinasi horisontal.
Menurut Radaelli (2003), persoalan MKT/OMC sebagai moda/pola baru penadbiran
(governance) terletak pada enam karakteristik metode sebagai berikut:9
1. Hukum yang baru dan peranannya yang terbatas. Peran hukum berbeda dari
penadbiran secara tradisional. Dalam MKT, tidak ada demarkasi yang nyata antara
pembuatan aturan dengan implementasi aturan. Perbedaan lainnya adalah pengadilan
tidak menyediakan mekanisme akuntabilitas yang pokok. Itu sebabnya kirtik terhadap
MKT seringkali berfokus pada akuntabilitas.
2. Pendekatan baru atas pemecahan masalah. Dalam format idealnya, metode ini bekerja
dalam iterasi (dint of iteration), kerjasama lintas pelaku (antar tingkat pemerintahan dan
antara sektor pblik dengan swasta), dan penetapan standar. Diskusi tentang sifat
pembelajaran dari MKT terus berlangsung, baik yang menakankan pola top-down
mapun bottom-up. The Lisbon Strategy merupakan contoh kehadiran keduanya.
3. Partisipasi merupakan kunci dari proses. Power sharing dalam MKT lebih tinggi
dibanding dalam legislasi tradisional. Pemerintah maupun masyarakat madani sama-
sama berpartisipasi. Partisipasi sangat penting mengingat dua alasan utama, yaitu
legitimasi dan efektivitas.
4. Keragaman (diversity) dan “penambahan/pelengkapan” (subsidiary). Metode terbuka
mengakui keragaman sepenuhnya. Hal ini didasarkan pada asumsi model-model
kapitalisme yang berbeda untuk mendapatkan solusi masing-masing atas persoalan
dari keragaman tantangan kompleksitas dan daya saing. Sebaliknya, model
penadbiran yang lebih tradisional mengarah pada harmonisasi.
5. Cara baru untuk menghasilkan pengetahuan yang berguna. MKT semestinya bekerja
seperti suatu jaringan untuk menggali pengetahuan yang berguna pada seluruh
tingkatan. Instrumen-instrumen spesifik akan koheren dengan tujuan pembelajaran,
setidaknya secara prinsip. Sebagai contoh adalah cara-cara benchmarking, peer
review, multi-lateral surveillance, scoreboards, trend-charts, dan mekanisme lain untuk
difusi kebijakan lintas-negara.
6. Pembelajaran kebijakan (policy learning). Kelebihan terbesar dari MKT adalah bahwa
metode ini memiliki potensi sangat besar bagi pembelajaran kebijakan. Dengan belajar
dari pengetahuan lokal dan dengan mendorong difusi lintas-negara, para penentu
kebijakan dapat memperbaiki langkahnya masing-masing.

Radaelli menyimpulkan bahwa MKT dapat dikatakan sebagai suatu arsitektur


penadbiran baru. Namun perlu ditekankan bahwa keenam butir tersebut di atas, khususnya
yang terakhir, merupakan karakteristik sangat ideal. Artinya, MKT memiliki “potensi” bagi
pembelajaran. Apakah MKT benar-benar dapat menghasilkan pembelajaran yang sangat
berarti bagi lintas-negara, lintas-tingkatan pemerintahan, dan lintas-kebijakan, merupakan
pertanyaan lain.

3. KONSEPTUALISASI PRAKARSA MKT


9
Merujuk pada konsep dan praktik MKT di Uni Eropa.
Didorong oleh kesadaran bahwa masih demikian banyak kelemahan pembangunan di
masa lampau yang perlu diatasi, yang sangat erat kaitannya dengan reformasi kebijakan
(termasuk kebijakan inovasi) yang perlu terus dilakukan. Beberapa kelemahan tersebut
antara lain seperti berikut:
 Fragmentasi “sektoral”: pola pembangunan yang terlampau sektoral lebih
mendorong kebijakan yang terkotak-kotak (tersekat) dan menghambat
berkembangnya kebijakan yang lebih terkoordinasi dan sejalan satu dengan
lainnya, sehingga kurang mendukung perkembangan perekonomian yang lebih
terintegrasi dan perkuatan struktur industri. Tumpang-tindih dan inkonsistensi
antar “bidang/aspek” tidak mendukung terciptanya iklim yang kondusif bagi
perkembangan inovasi dan bisnis, bahkan sangat berpotensi menjadi kontra-
produktif.
 Dikotomi “Pusat/Nasional” – “Daerah”: pola pembangunan yang terlampau
sektoral dan tersentralistik serta mengutamakan penyeragaman pembangunan
turut berkontribusi pada kegagalan/kekurang-berhasilan banyak daerah dalam
membangun landasan dan pilar yang kokoh untuk memberdayakan dan
mengembangkan peluang dalam memanfaatkan hasil pembangunan sesuai
dengan potensi terbaik, tantangan dan karakteristik setempat lainnya untuk
mensejahterakan masyarakat. Namun kebijakan seringkali (diletakkan seolah)
menjadi isu dikotomis “pusat/nasional” – “daerah” dengan menganggap bahwa
kebijakan (termasuk kebijakan inovasi, yang mencakup pula kebijakan iptek)
tertentu menjadi pertentangan sebagai ranah salah satu pihak semata dan/atau
sepenuhnya menjadi tanggung jawab salah satu pihak. Padahal, dibutuhkan
paradigma baru untuk menyadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata
ranah pemerintahan pusat/nasional tetapi juga menjadi bagian ranah
pemerintahan daerah. Peran para pihak akan saling melengkapi dan
memperkuat.
 Perkembangan sistem pemerintahan: otonomi daerah merupakan pergeseran
yang memberikan ruang bagi reformasi kebijakan inovasi untuk mendorong
percepatan pengembangan/perkuatan sistem inovasi daerah dan daya saing
daerah sebagai basis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun tentu
saja niat baik “otonomi daerah” sekalipun - tanpa agenda yang tepat dan terarah -
tak akan serta-merta mampu memberikan dampak perbaikan yang signifikan.
 Pengalaman empiris mereka yang dinilai berhasil dalam memperkuat sistem
inovasi dan daya saingnya menunjukkan bahwa kebijakan inovasi yang baik
berkembang dari proses pembelajaran kebijakan itu sendiri. Kebutuhan proses
pembelajaran kebijakan yang lebih baik menjadi arena yang perlu melibatkan
para penentu kebijakan dan stakeholders kunci pada semua tataran dan bidang
yang berbeda.
 Kebutuhan respons kebijakan inovasi yang cepat, tepat, dan terkoordinasi serta
lebih koheren atas dinamika perubahan dan tantangan: persoalan masa lampau
dan dinamika perubahan dan tantangan yang dihadapi di depan semakin
memerlukan cara yang lebih baik antara lain melalui respons kebijakan inovasi
yang cepat, tepat, dan terkoordinasi serta lebih koheren, yang dikembangkan
oleh setiap pihak sesuai dengan peran masing-masing.

15
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

Sehubungan dengan itu, Metode Koordinasi Terbuka/MKT diajukan sebagai cara untuk
memulai upaya mendorong perkuatan koordinasi dan koherensi kebijakan inovasi di
Indonesia. Ini merupakan bagian integral dari prakarsa GERBANG INDAH NUSANTARA
(Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah
Nusantara). Secara skema gagasan ini diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.

RPJP

Jakstra
Iptek RPJM

Jakstra
Sektoral

Metode
Heksagon Koherensi
Koordinasi
Pengem- Kebijakan
Terbuka
bangan SI Inovasi
(MKT)

RPJMD

Gerbang Indah Nusantara


Gambar 1. Ilustrasi Gagasan Kerangka MKT Kebijakan Inovasi.

3.1 Acuan Berkoordinasi

Dalam prakarsa yang diajukan, kerangka kebijakan inovasi (innovation policy


framework) menjadi suatu acuan untuk berkoordinasi. Kerangka kebijakan inovasi tersebut
adalah tema utama Hexagon Kebijakan Inovasi (lihat Taufik 2005) sebagai berikut (lihat
ilustrasi Gambar 2):
1. Mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis.
2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang dan mengembangkan
kemampuan absorpsi UKM.
3. Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi,
praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbang.

Tatang A. Taufik 16
4. Mendorong budaya inovasi.
5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan
klaster industri nasional dan daerah.
6. Penyelarasan dengan perkembangan global.

Visi
Visi
dalam
dalam
Peningkatan
Peningkatan
Daya
Daya Saing
Saing dan
dan
Kohesi
Kohesi Sosial
Sosial
2010
2010
Sasaran
Sasaran Kuantitatif
Kuantitatif
is if

ik
sn us

Bu
Pe va du
has /terbai in ova s novasi
ban dan/ ai, prakt
KM
bi nd
.

ps dan
b s ng ya

rke si d str

da
ino in
an ko

perk
iU
n a itb da

tau

Kes mbang

ya
mb an i
i d ng

i
ua k/l an
a
as ya

agi

ino
e
elar
or

ang kla
mp ipte n d
in um

va
asanan glob
ma g aa

an ste
i
gi um
ov

k
dan oras

si
ke kun bag

baik ifusi

sis r
ba ka

den al
du m

tem
b
ng

il lit
d
e

a
l
ra

Kol
ke

gan
Ke

Gambar 2. Kerangka Perancangan Prakarsa.

3.2 Mekanisme

Sebagai tahapan awal prakarsa koordinasi terbuka, dipandang penting untuk


mengembangkan dan mengimplementasikan beberapa mekanisme berikut:
1. Dokumen bersama (konsensus) daerah, yang disusun berdasarkan (memuat)
kerangka Heksagon Kerangka Kebijakan Inovasi (Kerangka Pengembangan Sistem
Inovasi). Ini misalnya dalam bentuk dokumen “Strategi Inovasi Daerah (Kebijakan
Strategis Pembangunan Iptek di Daerah),” beserta sasaran capaian (sedapat mungkin
bersifat kuantitatif). Simplifikasi dari kerangka agenda ini adalah seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.

17
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

Kesejahteraan
Kesejahteraan // Kemakmuran
Kemakmuran
 Indikator
Indikator .. .. ..

Peningkatan Daya Saing dan Kohesi Sosial


 Indikator . . .

1
1 2
2 33 44 5
5 6
6
Perbaikan
Perbaikan Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Keselarasan
Keselarasan
Kerangka
Kerangka an Kelemba-
an Kelemba- an Kolaborasi
an Kolaborasi an Budaya
an Budaya an
an SI &
SI & Global
Global
Umum
Umum gaan
gaan && Daya
Daya Inovasi
I novasi && Inovasi
I novasi Klaster
Klaster
Dukung
Dukung IIptek,
ptek, Difusi
Difusi IIndustri
ndustri
serta
serta Absorpsi
Absorpsi
UKM
UKM

 Indikator . . .  Indikator . . .  Indikator . . .  Indikator . . .  Indikator . . .  Indikator . . .

Program
Program// Aktivitas
Aktivitas
Kapabilitas
Kapabilitas Sumber
Sumber daya
daya
• Indikator . . .
• Indikator . . . • Indikator . . .

Gambar 3. Simplifikasi Kerangka Agenda beserta Indikator Capaian.

Sebagai ilustrasi, berikut merupakan ilustrasi beberapa sasaran:


 Dokumen Strategi Inovasi Daerah dengan rencana tindak dan sasaran tahunan
yang jelas dan terukur.
 Investasi untuk inovasi dan difusi (bidang iptek, litbang):
- X% dari APBD (PDRB) pada tahun 20…
- Y% dari APBD (PDRB) untuk program (skema insentif bagi)
pengembangan perusahaan pemula inovatif di daerah pada tahun 20…
 Perijinan bisnis:
- Mekanisme/prosedur yang transparan
- durasi proses dan pembiayaan tertentu yang eksplisit
 Perkembangan bisnis baru (terutama yang inovatif)
 Perolehan HKI
 Perkembangan SDM dan kelembagaan
 Produktivitas
 Kesempatan kerja baru dan perusahaan baru yang inovatif

Tatang A. Taufik 18
 Penurunan pengangguran
 Indeks capaian teknologi atau perkembangan iptek
 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
 Prakarsa inovatif dan kolaborasi sinergis.

2. Pertukaran hasil kajian/informasi (misalnya kajian-kajian yang relevan, termasuk


benchmarking dan studi banding, pemantauan dan evaluasi bersama).
3. Peningkatan kapasitas (capacity building): misalnya dalam bentuk workshop, seminar,
TOT, dan sebagainya.
4. Rapat dan fora (forum-forum).
5. Pemantauan, evaluasi dan peer review.
6. Portal internet: sebagai langkah awal dikembangkan berdasarkan modifikasi dari ide
the European Innovation TrendChart.

Untuk beberapa contoh praktik di Uni Eropa, lihat misalnya Arundel dan Hollanders
(2003), Boekholt, et al. (2004), dan Hollanders (2003a, b, c).

4. PERKEMBANGAN TENTATIF PRAKARSA

Sejauh ini, beberapa prakarsa awal telah dan tengah diimplementasikan. Beberapa
perkembangan tentatif antara lain sebagai berikut.

4.1 Beberapa Elemen Aktivitas Penting dalam Kolaborasi

Beberapa hal dinilai merupakan elemen penting dalam kolaborasi mendorong


koordinasi dan koherensi kebijakan inovasi nasional dan daerah. Oleh karena itu, hal ini
didorong untuk dapat dipahami dan diimplementasikan oleh para pihak yang terlibat dalam
prakarsa. Elemen penting untuk tahap awal tersebut adalah sebagai berikut:
 Adopsi Kerangka Umum Kebijakan Inovasi (Heksagon Pengembangan Sistem
Inovasi dan Daya Saing). Dalam mendorong mekanisme koordinasi dan
koheensi kebijakan yang lebih terstruktur dan terarah, dpandang penting bahwa
kerangka kebijakan inoasi tersebut dapat tertuang dalam dokumen daerah
(dokumen Strategi Inovasi Daerah). Sebagai contoh, beberapa aktivitas bantuan
teknis (technical assistance) dilakukan oleh P2KT PUDPKM - BPPT dalam
membantu daerah menyusun dokumen Strategi Inovasi Daerah.
 Penataan basisdata, indikator dan benchmarking (SIDS). Upaya ini dipandang
penting agar dapat terlembagakan dalam statistik daerah, dan ada lembaga
penanggungjawab. Langkah awal untuk mendorong hal ini antara lain adalah
memberikan saran beberapa data/indikator penting (terkait dengan sistem
inovasi dan daya saing) untuk dihimpun oleh daerah. P2KT PUDPKM - BPPT

19
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

berdiskusi dengan pihak Bappeda dan Kantor Statistik daerah untuk


memprakarsai penataan basisdata inovasi dan daya saing daerah tersebut dan
melembagakannya dalam buku “daerah dalam angka” yang terbit setiap tahun.
 Peningkatan kapasitas (capacity building). Dalam rangka meningkatkan
partisipasi SDM daerah, dipandang penting untuk terus mendorong peningkatan
kapasitas para pembuat kebijakan dan staleholders kunci, terutama di daerah.
Beberapa upaya telah dan tengah dilaksanakan, antara lain dalam bidang sistem
dan kebijakan inovasi, pemetarencanaan teknologi (technology roadmapping),
pengukuran tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level).
 Membangun community of practice. Perluasan jangkauan praktik reformasi
kebijakan perlu melibatkan dan dilakukan oleh banyak pihak. Untuk itu, selain
melalui peningkatan kapasitas, maka langkah kampanye keperdulian dan
pelibatan banyak pihak (praktik oleh lembaga mitra, misalnya DPDS, DRD, dan
Pemkab, dan perluasan partisipasi dari counterpart lain) dipandang penting
dilakukan. Keterlibatan dalam beberapa fora relevan, program/aktivitas
pembangunan ekonomi lokal/daerah, pendampingan (mentor), konsultasi dan
penerbitan dan diseminasi beberapa publikasi (termasuk panduan-panduan)
merupakan aktivitas yang telah dilaksanakan sejauh ini di beberapa daerah,
walaupun dalam intensitas yang masih terbatas.
 Pemantauan, evaluasi, dan peer review. Upaya ini juga dilakukan untuk
mendorong pelembagaan proses pengembangan/perkuatan sistem inovasi dan
daya saing dalam mekanisme yang berlaku serta mendorong proses
pembelajaran kebijakan inovasi. Penyampaian beberapa advis sistem
perencanaan iptek dan evaluasi di daerah serta tinjauan-tinjauan dalam topik-
topik spesifik (misalnya berkaitan dengan “daya saing daerah,” “Indeks Capaian
Teknologi/Technology Achievement Index,” “Indeks Pembangunan Manusia/IPM”
dan “Millennium Development Goal/MDG” adalah beberapa contoh terbatas yang
dilaksanakan).

Pada tataran nasional secara umum, proses perbaikan dalam tahap awal untuk
mendorong kolaborasi sinergis kebijakan inovasi ini sebaiknya dilakukan dengan evaluasi
dan konsolidasi dokumen formal terkait, serta perbaikan pada tingkat pelaksanaan
aktivitas/kegiatan pembangunan tahunan yang relevan dengan Heksagon Kebijakan Inovasi.

4.2 Peran Para Pemangku Kepentingan (Stakeholders)

Dalam kerangka koordinasi terbuka yang pada dasarnya memang bersifat ”longgar,”
fokus utamanya bukanlah pada ”restrukturisasi” lembaga formal-struktural yang ada
(misalnya ”perangkat daerah”) ataupun adanya peran khusus organisasi/lembaga tertentu
secara ”struktural” dalam arena berkoordinasi. Semangat utamanya adalah lebih kepada
melakukan perbaikan pelaksanaan fungsi dalam pengembangan sistem inovasi (melalui
perbaikan koordinasi kebijakan inovasi agar semakin koheren). Kaena itu, kalaupun ada
implikasi yang dinilai memerlukan penataan kelembagaan formal, hal demikian perlu
dipandang sebagai implikasi dari perlunya perbaikan fungsinya dalam konteks tersebut.

Tatang A. Taufik 20
Sehubungan dengan itu, upaya pengembangan/perkuatan kelembagaan di daerah
oleh BPPT sejauh ini lebih diarahkan pada pengembangan/perkuatan lembaga non-
struktural daerah (seperti misalnya DPDS, DRD dan/atau kelompok kerja klaster industri)
dan umumnya bersifat kuasi-publik, dalam semangat sebagai solusi kelembagaan (dan
inovasi kelembagaan) agar daerah lebih berdaya/mampu dalam mendorong perkembangan
sistem inovasi dan daya saingnya.

4.3 Pelembagaan Koordinasi

Selain beberapa aktivitas kerjasama dalam topik-topik tertentu yang relevan dengan
tema kebijakan inovasi sebagaimana diindikasikan dalam Heksagon Kebijakan Inovasi, fora
yang lebih terjadwal secara reguler, perkuatan lembaga daerah (DPDS, DRD dan kelompok
kerja klaster industri), pemantauan, evaluasi dan peer review, serta proses pemanfaatan
portal internet merupakan di antara langkah awal penting dalam pelembagaan koordinasi
secara terbuka.
Di masa datang, proses koordinasi dapat ditingkatkan apabila dokumen formal daerah
dan para pihak juga telah mengakomodasi prakarsa ini dengan lebih terstruktur (termasuk
dalam matriks rencana tindak kolaboratif) dan diterjemahkan kedalam aktivitas kongkritnya
untuk diimplementasikan.

5. CATATAN PENUTUP

Kebijakan inovasi sebagai himpunan kebijakan untuk mendorong


perkembangan/perkuatan sistem inovasi semakin menjadi ranah penentu bagi peningkatan
daya saing dan kohesi sosial dalam rangka mewujudukan kesejahteraan masyarakat yang
semakin tinggi dan semakin adil di Indonesia. Dalam kaitan ini, kebijakan inovasi setidaknya
terkait dengan tiga dimensi penting berikut:
 Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance), bahwa kebijakan inovasi
dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan
internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya
sangatlah penting.
 Dimensi “sektoral” di mana terdapat beragam faktor yang akan memberikan
pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh
yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang
dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
 Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya, di mana kebijakan inovasi seringkali
perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya. Karenanya, konsepsi inovasi
dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu” dalam beragam kebijakan
terkait lainnya.

Dinamika perkembangan dan tantangan baik, yang bersifat universal maupun spesifik
dihadapi oleh setiap negara (dan daerah), kini membawa kepada urgensi untuk semakin

21
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

disadarinya bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata ranah intervensi bagi “Pemerintah
Pusat/Nasional” tetapi juga “Pemerintah Daerah.” Selain itu, kebutuhan akan semakin
komplementatif dan harmonisnya kebijakan antarsektor (kebijakan industrial) maupun yang
bersifat lintas-sektor sehingga semakin koheren, menjadi syarat perlu (necessary conditions)
bagi perkembangan kebijakan inovasi yang baik.
Mengingat kebijakan inovasi akan terbentuk oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh berbagai pihak yang berbeda (baik dalam pengertian bidang/sektor maupun tataran
pemerintahan, yang menjadi ranah kewenangan/otoritasnya), maka tentunya upaya
reformasi/perbaikan kebijakan inovasi perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak
(penentu kebijakan beserta para pemangku kepentingannya). Oleh karena itu, perbaikan
koordinasi untuk mendorong kebijakan inovasi yang lebih koheren dalam rangka
mengembangkan kebijakan inovasi yang baik merupakan agenda sangat penting.
Dalam rangka itu, makalah ini mengajukan salah satu metode/cara untuk mendorong
perbaikan koordinasi kebijakan inovasi di Indonesia, yaitu Metode Koordinasi Terbuka/MKT
(Open Method of Coordination/OMC). Dalam hal ini, MKT/OMC dapat diartikan sebagai cara,
metode atau mekanisme berkoordinasi (dan bekerjasama) antara tataran pemerintahan yang
berbeda (misalnya antara pemerintah nasional/pusat dan pemerintah daerah) dan antara
lembaga-lembaga pemerintah dan/atau para stakeholders dalam bidang tertentu
berdasarkan kesepakatan/konsensus (menyangkut kerangka utama dan sasaran kebijakan
tertentu) dan dilakukan secara sukarela (voluntary), bukan “keharusan/paksaan” (non-
mandatory).
Disadari bahwa perbaikan kebijakan inovasi itu sendiri semakin membutuhkan inovasi
dalam pengembangan kebijakannya, termasuk koordinasinya. Selain itu, keberhasilan
perbaikan kebijakan inovasi pada akhirnya juga ditentukan/dipengaruhi oleh keberhasilan
proses pembelajaran yang dilalui dan dikembangkan oleh para pihak yang terlibat dalam
siklus kebijakan yang bersangkutan, baik setiap kasus spesifik kebijakan maupun kebijakan
inovasi secara keseluruhan. MKT merupakan salah satu pilihan cara/mekanisme yang
dipandang perlu dikembangkan dalam rangka ini.
Namun sangat disadari, pola koordinasi dengan paradigma keterbukaan,
kesukarelaan, komitmen dan konsistensi para partisipan, serta penuh semangat berbagi
sumber daya, risiko dan manfaat (resource, risk, and benefit sharing, setidaknya berbagai
informasi, pengetahuan dan pengalaman) yang sangat membutuhkan keprakarsaan/
pioneering (dan kepemimpinan/leadership) dari setiap partisipan, memang bukanlah suatu
agenda yang mudah diimplementasikan secara kongkrit di lapangan. Oleh sebab itu, dari
beberapa prakarsa sangat awal yang dimulai oleh BPPT, baik pada tataran konsep maupun
empiris sejauh ini, maka beberapa hal dipandang menjadi elemen penting yang
direkomendasikan untuk dikembangkan lebih lanjut bagi keberhasilan peningkatan
koordinasi kebijakan inovasi di Indonesia dalam tahapan awal, seperti telah didiskusikan
secara singkat dalam makalah ini.
Untuk tataran daerah, beberapa elemen yang disarankan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Adopsi Kerangka Umum Kebijakan Inovasi (Heksagon Pengembangan Sistem Inovasi
dan Daya Saing) yang sedapat mungkin tertuang dalam dokumen formal daerah
(misalnya dokumen Strategi Inovasi Daerah atau Kebijakan Strategis Pembangunan
Iptek di Daerah).

Tatang A. Taufik 22
2. Penataan basisdata, indikator dan benchmarking sistem inovasi (terutama terkait
dengan data/indikator inovasi dan daya saing daerah), yang segera dikembangkan dan
terlembagakan (tersusun reguler tahunan) dalam statistik daerah (misalnya dalam
“Daerah Dalam Angka”), dan adanya pihak/lembaga penanggungjawab yang jelas.
3. Peningkatan kapasitas (capacity building), terutama untuk mendorong pemahaman,
kemampuan dan partisipasi SDM daerah.
4. Membangun community of practice, terutama dalam rangka memperkuat dan
memperluas praktik pragmatis oleh para pihak yang relevan, termasuk lembaga mitra
daerah (misalnya DPDS, DRD, Pemerintah Daerah) dan perluasan partisipasi dari
counterpart lain.
5. Implementasi pemantauan, evaluasi, dan peer review, terutama dalam rangka
melembagakan proses ini dalam mekanisme yang berlaku (termasuk dalam sistem
perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan daerah, setidaknya dalam
sistem perencanaan iptek di daerah).

Pada tataran nasional, proses perbaikan dalam tahap awal sebaiknya dilakukan
dengan evaluasi dan konsolidasi dokumen formal terkait, serta perbaikan pada tingkat
pelaksanaan aktivitas/kegiatan pembangunan tahunan yang relevan dengan Heksagon
Kebijakan Inovasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arnold, Erik dan Patries Boekholt. (2004). Innovation Governance: Typologies and
Principles. Bahan Workshop. "Ensuring policy coherence by improving the governance
of innovation policy." Trend Chart Policy Workshop. Brussels 27 April 2004.
2. Arnold, Erik dan Patries Boekholt. (2002). Measuring ‘Relative Effectiveness’ – Can We
Compare Innovation Policy Instruments? Dalam Patries Boekholt (Ed.). (2002).
“Innovation policy and sustainable development: can public innovation incentives make
a difference?” Contributions to a Six Countries Programme Conference, 28 February - 1
March, Brussels 2002. IWT-Observatory. Institute for the Promotion of Innovation by
Science and Technology in Flanders.
3. Arundel, Anthony dan Hugo Hollanders. (2003). Methodology Report. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 6. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 14, 2003.
4. Boekholt, Patries. (2004). Innovation Governance: Typologies and Principles.
Background Paper. "Ensuring policy coherence by improving the governance of
innovation policy." Trend Chart Policy Workshop. Brussels 27 April 2004.
5. Boekholt, Patries, Shonie McKibbin dan Philip Sowden. (2004). Benchmarking
‘Innovation Excellence’ as a Tool for Innovation Policy. Background Paper (Using input
from the Trend Chart correspondents and the Synthesis Report by Slavo Radosevic).
Trend Chart Policy Workshop. European Commission. European Trend Chart on
Innovation. Leiden, 11-12 October 2004.

23
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi

6. Cornet, Maarten dan George Gelauff (2002). Innovation Policy. CPB Report 2002/2.
7. Dehousse, Renaud, dan Jean Monnet. (2003). The Open Method of Coordination: A
New Policy Paradigm ? Paper presented at the First Pan-European Conference on
European Union Politics “The Politics of European Integration: Academic Acquis and
Future Challenges.” Bordeaux, 26-28 September 2002.
8. DSV. (2002). The Open Method of Coordination in the Field of Social Insurance.
Position Paper by the Umbrella Organisations of the German Social Insurance
Schemes. Issued in May 2002. Deutsche Sozialversicherung Europavertretung.
European Social Insurance Partners. Maison Européenne De La Protection Sociale.
9. Edler, Jakob, Stefan Kuhlmann, dan Ruud Smits. (2003). New Governance for
Innovation: the Need for Horizontal and Systemic Policy Co-ordination. Report on
Workshop. Fraunhofer ISI Discussion Papers Innovation Systems and Policy Analysis,
No. 2/2003. Karlsruhe, June 2003.
10. Edquist, Charles. (2001). The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy:
An Account of the State of the Art. Lead paper presented at the DRUID Conference,
Aalborg, June 12-15, 2001, under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions
and Public Policies’ (Invited Paper for DRUID's Nelson-Winter Conference) Dari
http://www.druid.dk/conferences/ nw/paper1/edquist.pdf
11. Edquist, Charles. (1999). Innovation Policy – A Systemic Approach. Paper for DRUID's
Innovation Systems Conference, June 1999. Dari http://www.druid.dk/conferences/
summer1999/conf-papers/edquist.pdf
12. Hollanders, Hugo. (2003a). Regional Innovation Performances. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 3. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 28, 2003.
13. Hollanders, Hugo. (2003b). Analysis of National Performances. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 2. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 20, 2003.
14. Hollanders, Hugo. (2003c). Indicators and Definitions. 2003 European Innovation
Scoreboard: Technical Paper No 1. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 11, 2003.
15. Knill, Christoph, dan Andrea Lenschow. (2004). Modes of regulation in the Governance
of the European Union: Towards a Comprehensive Evaluation. European Integration
Online Paper (EioP). Vol.7. 2003. N 1. Http://eiop.or.at/eiop/texte/2003-001a.htm
16. Lundvall, B.A. dan Susana Borras. (1997). The Globalising Learning Economy:
Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects
under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European
Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997.
17. Mytelka, Lynn K. dan Keith Smith. (2001). Innovation Theory and Innovation Policy:
Bridging the Gap. Paper presented to DRUID Conference. Aalborg, June 12-15 2001.
Dari http://www.druid.dk/conferences/nw/paper1/mytelka_smith.pdf

Tatang A. Taufik 24
18. Peters, B. Guy. (2005). Forms of Informal Governance: Searching for Efficiency and
Democracy. NOPSA 2005 Reykjavik. Nordic Political Science Association (NOPSA).
Reykjavik 11–13 August 2005. Http://registration.yourhost.is/nopsa2005/papers/
19. Radaelli, Claudio M. (2003). The Open Method of Coordination: A new governance
architecture for the European Union? Swedish Institute for European Policy Studies
(SIEPS). Rapport nr 1, March/2003.
20. Smith, Keith. (2000). Innovation as a Systemic Phenomenon: Rethinking the Role of
Policy. Enterprise and Innovation Management Studies. Vol. 1, No. 1. 2000, 73-102.
Dari unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan003366.pdf
21. Smith, Keith. (1996). Systems Approaches to Innovation: Some Policy Issues. STEP-
Group, Oslo, Norway.
22. Tassey, Gregory. (2002). R&D Policy Issues in a Knowledge-Based Economy. National
Institute of Standards and Technology. Dari http://www.nist.gov/public_affairs/
budget.htm
23. Tassey, Gregory.(1999a). R&D Policy Models and Data Needs. APPAM 1999 Research
Conference. November 4, 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/
strategicplanning.htm
24. Tassey, Gregory.(1999b). Standardization in Technology-based Markets. Forthcoming in
“Research Policy.” June 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/
strategicplanning.htm
25. Tassey, Gregory.(1999c). R&D Trends in the U.S. Economy: Strategies and Policy
Implications. 99-2 Planning Report. National Institute of Standards and
Technology`(NIST).
26. Taufik, Tatang A. (2005a). Mendorong Kewirausahaan Teknologi (Technopreneurship) di
Lingkungan Perguruan Tinggi: Peningkatan Peran dalam Membangun Daya Saing.
Disampaikan sebagai Keynote Paper dalam “The 4th National Conference: Design and
Application of Technology 2005” di Surabaya, 27th June 2005. Konferensi
diselenggarakan oleh Universitas Widya Mandala – Surabaya.
27. Taufik, Tatang A. (2005b). Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing
Daerah: Makalah Konsep. Makalah Disampaikan sebagai Makalah Kunci dalam
Workshop “Gerbang Indah Nusantara - Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya
Saing di Seluruh Wilayah Nusantara” di BPPT, 10- 11 Mei 2005.
28. Taufik, Tatang A. (2005c). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif
Kebijakan. P2KTPUDPKM – BPPT dan KRT. 2005.

25

Anda mungkin juga menyukai