1. PENDAHULUAN
* *)
Dr. Tatang A. Taufik, bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
1
Bahasan lebih jauh tentang ini dapat dilihat dalam beragam literatur kebijakan inovasi (lihat
misalnya Taufik, 2005).
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
2. TINJAUAN LITERATUR
Kebijakan inovasi hakikatnya bersifat horisontal, vertikal, temporal, dan sangat erat
dengan proses pembelajaran (learning process) untuk mendorong pengembangan kapasitas
inovatif. Oleh karena itu, kebijakan inovasi berkaitan erat dengan perubahan, fleksibilitas,
dinamisme dan masa depan. Dalam mayoritas literatur tentang sistem inovasi dan kebijakan
inovasi, ranah (domain) kebijakan inovasi mencakup atau berkaitan dengan kebijakan iptek
(termasuk berkaitan dengan aktivitas litbang), kebijakan industri, kebijakan daerah dan
kebijakan pendidikan.
Menurut Edquist (2001), pada prinsipnya terdapat dua hal utama untuk dapat
melakukan intervensi (kebijakan), yaitu: munculnya “persoalan atau isu” kebijakan, dan
adanya kemampuan lembaga publik mengatasi/memecahkan atau mengurangi persoalan
yang bersangkutan.
a. Munculnya “persoalan atau isu” kebijakan: Artinya, apa yang menjadi tujuan penting
(terkait dengan “sistem inovasi”) dinilai tidak tercapai. Ini berkaitan dengan
”alasan/argumen” kebijakan inovasi sebagaimana ditelaah dalam beragam literatur.
Argumen kegagalan pasar (market failures) merupakan argumen ”klasik” perlunya
intervensi pemerintah bagi kebijakan inovasi (termasuk kebijakan iptek). Tassey (2002,
1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan
litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment) dalam
pengembangan dan difusi pengetahuan/teknologi, yang menurutnya terjadi dalam
empat kategori, yaitu:
aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang
keseluruhan);
investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-
perusahaan baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada
(inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset
teknologi generik);
Tatang A. Taufik 2
investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi
(misalnya kurangnya litbang infratechnology);
Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically),
kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung
berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya
terjadi dan membutuhkan pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang
berbeda pula.
Sementara itu, Cornet dan Gelauff (2002), menyoroti teori dan bukti empiris yang
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya
dan manfaat sosial dari inovasi. Karena itu maka pasar inovasi (the innovation market)
gagal. Beberapa mekanisme menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif
yang optimal secara sosial:
knowledge spillovers: pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan
lainnya tanpa kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak
inovator tidak sepenuhnya dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh
pihak-pihak lain.
rent spillovers: inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai
sepenuhnya yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent
spillovers pada dasarnya terkait dengan sifat non rivalry and non excludability
dari inovasi.
Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure): risk-averse innovator2 tidak
mampu menanggung sehimpunan risiko inovasi;
Pencurian bisnis (business-stealing effects): inovasi berpotensi memperkuat
posisi pelaku bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis
(business-stealing effect) memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang
melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu, jenis kegagalan pasar yang
lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki oleh
masyarakat.
2
Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”
3
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Sementara itu, Smith (2000, 1996) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang
mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem
inovasi, yaitu:
1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in
infrastructural provision and investment): Ini misalnya menyangkut infrastruktur
fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan
dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang didukung
oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan
kementerian dalam pemerintah.
2. Kegagalan transisi (transition failures): Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-
persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum
dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi.
Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan
untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit.
3. Lock-in failures: Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi
yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem
perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap”
(locked-in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal,
dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan
Tatang A. Taufik 4
alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-sistem
teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
4. Kegagalan institusional: sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta,
sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut
mempengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan
membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam
sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang
berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan
dalam perundangan HKI.
5
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Upaya untuk mengenali isu kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Analisis kondisi yang dihadapi, studi perbandingan, dan benchmarking
merupakan pendekatan yang umumnya dilakukan untuk mengawali tahapan ini.
Kesadaran akan pentingnya penguatan sistem inovasi (di antara pembuat kebijakan
maupun analis), kelemahan ketersediaan data faktual yang relevan, dan masih terbatasnya
upaya-upaya kajian yang menyoroti hal ini merupakan kelemahan menonjol di Indonesia.
Mengenali “gejala” beragam kelemahan sistem inovasi daerah merupakan awal
penting. Namun tentu saja hal demikian belumlah cukup. Menelaah lebih mendalam akar-
akar persoalannya dan menganalisis isu kebijakan yang dinilai urgen untuk dipecahkan perlu
dilakukan sebagai bahan untuk mendesain langkah kebijakan yang perlu diambil. Walaupun
bukan maksud buku ini untuk mendiskusikan secara detail beragam kasus, namun penting
untuk disampaikan di sini bahwa intervensi pemerintah “secara langsung” tidak selalu
otomatis menjadi solusi bagi suatu isu kebijakan. “Solusi pasar dengan peran dan langkah
tertentu dari pemerintah dan/atau pihak lain” adakalanya merupakan alternatif solusi bagi isu
kebijakan. Kemungkinan untuk hal demikian perlu selalu terbuka dalam mengkaji isu
kebijakan, selain sebagai upaya menggali alternatif solusi terbaik juga menghindari atau
meminimalisasi pengekangan atau tidak berkembangnya peran/partisipasi swasta dan
masyarakat akibat dari (sebagai dampak negatif dari) intervensi pemerintah dalam konteks
tertentu.3
Setiap kebijakan, idealnya memenuhi kriteria kebijakan yang baik.4 Salah satu kriteria
penting kebijakan inovasi yang baik adalah memenuhi persyaratan “koherensi” kebijakan.
Oleh karena itu, di antara isu kebijakan inovasi yang menjadi perhatian berbagai negara
adalah mendorong berkembangnya koherensi kebijakan inovasi pada berbagai tataran.
Upaya demikian tentu perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak (para
pemangku kepentingannya). Kini semakin disadari bahwa kebijakan inovasi bukanlah
semata ranah intervensi bagi “Pemerintah Pusat/Nasional” tetapi juga “Pemerintah Daerah.”5
Selain itu, upaya bersama (atau kolaboratif) dalam mendorong koherensi kebijakan inovasi
ini juga sangat penting mengingat kebijakan inovasi setidaknya terkait dengan tiga dimensi
penting berikut:
Dimensi ”penadbiran kebijakan” (policy governance): bahwa kebijakan inovasi
dapat ditentukan pada beragam tataran (lokal, daerah, nasional dan
3
Istilah teknis untuk kondisi demikian sering disebut crowding out.
4
Beberapa kriteria kebijakan yang baik adalah (lihat Taufik, 2005): Efektivitas; Efisiensi; Memiliki
daya bangkitan yang signifikan (significant leveraging effects); Kelayakan cakupan (adequacy of scope);
Memenuhi kaidah pasar (conforming to the market mechanisms); Konsistensi; Koherensi; Keterbukaan
dan akuntabilitas; dan Komitmen kebijakan.
5
Bahasan lebih jauh tentang ini dapat dilihat dalam beragam literatur kebijakan inovasi (lihat
misalnya Boekholt, 2004, dan Taufik, 2005).
Tatang A. Taufik 6
internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan lainnya
sangatlah penting.
Dimensi “sektoral”: bahwa terdapat beragam faktor yang akan memberikan
pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh
yang mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang
dikembangkan perlu mempertimbangkan hal ini.
Interaksi dengan bidang kebijakan lainnya: bahwa kebijakan inovasi seringkali
perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya (selain ”kebijakan iptek”).
Karenanya, konsepsi inovasi dan sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu”
dalam beragam kebijakan terkait lainnya.
Seperti telah disampaikan, salah satu di antara kriteria kebijakan inovasi yang baik
tersebut adalah ”koherensi kebijakan.” Koherensi kebijakan inovasi pada dasarnya
menyangkut keterpaduan dan harmonisasi, saling mengisi dan memperkuat terutama
antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi, baik di tingkat nasional maupun daerah,
dan ”antara nasional/pusat dan daerah,”6 sehingga tidak berbenturan, bertolak belakang dan
membingungkan.
Secara konsep, koherensi kebijakan pada dasarnya setidaknya menyangkut tiga
dimensi, yaitu:
Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang
terkait atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi
dan/atau memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”)
dalam tujuan yang (mungkin) saling bertentangan;
Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh
sesuai atau konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat
kebijakan;
Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang
diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan
membatasi potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi
perubahan (dan berkaitan dengan manajemen transisi).
6
Termasuk konteks regional (supranasional) tertentu dan internasional.
7
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Sementara itu, fitur utama dari MKT yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
bersifat tidak mengikat (non-binding), yaitu tujuan/sasaran bersifat tidak menjadi
keharusan (not mandatory), tak ada sangksi untuk tak berkinerja;
pendekatan bottom-up yang mendorong pembelajaran kebijakan (policy
learning);
terbuka bagi para partisipan, baik dari pemerintah maupun swasta.
Knill dan Lenschow (2004) yang mengkaji bagaimana moda/pola regulasi dalam
penadbiran di Uni Eropa mengungkapkan suatu tipologi moda regulasi di Uni Eropa.
7
Lihat beberapa tinjauan antara lain seperti Dehouse dan Monnet (2003), DSV (2002), Knill dan
Lenschow (2003),Peters (2005), dan radaelli (2003).
Tatang A. Taufik 8
Moda/pola tersebut ditunjukkan pada Tabel 1, dimana MKT/OMC merupakan kelompok
intervensi dengan tingkat keleluasan yang tinggi (sejauh mana desentralisasi aktor dalam
proses implementasinya) dan tingkat kewajiban/obligasi yang rendah.
Lebih lanjut dalam upayanya mengungkap bagaimana setiap jenis regulasi berimplikasi
pada mekanisme yang berbeda dalam penyesuaian kebijakan setiap negara dan juga pola
penadbiraan yang berbeda dalam sistem multilevel Eropa, mereka meringkaskan dalam
Tabel 2. Dalam hal ini, mereka membedakan tiga jenis mekanisme umum bagaimana
regulator mempengaruhi perilaku kelompok sasaran regulasinya, yaitu: “pemaksaan”
(coercion) untuk mematuhi regulasi, perangsangan melalui insentif, dan pembelajaran.
Sedangkan dalam menelaah relevansi dari keempat jenis regulasi, dikelompokkan tiga
tingkatan relevansi, yaitu ++ dominant mechanism; + relevant mechanism; dan 0 irrelevant
mechanism. Pengkajian relevansi ini lebih didasarkan atas maksud/intensi yang
melatarbelakangi regulator, bukan kinerja nyatanya ataupun relevansi obyektif dari
mekanisme yang diterapkan.
9
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
++ + + +
“Pemaksaan” standar/syarat aturan umum shadow of pelaporan dan
(Coercion) yang mengikat (framework) dan hierarchy pemantauan
secara legal prosedural
0 ++ ++ +
perubahan aktor swasta peer pressure
Struktur Insentif peluang mempengaruhi
prosedural standar regulasi
dan/atau materi
0 0 + ++
komunikasi model-model
Pembelajaran dalam jaringan praktik terbaik
swasta (best practice
models)
Hierarchy Public Private Radical
model: delegation delegation subsidiarity
power of model: model model:
coercion traditional public learning
subsidiarity approach
Tatang A. Taufik 10
Dalam kaitannya dengan kapasitas pemecahan masalah, mereka memberikan
perhatian pada desin regulasi. Dalam hal ini, mereka menelaah empat faktor yang
diperkirakan mempengaruhi desain regulasi, yaitu (lihat Tabel 3):
Fleksibilitas penyesuaian yang tinggi untuk redesain yang cepat dari regulasi karena
inovasi teknologi, bukti saintifik yang baru atau pengalaman dengan pendekatan
sebelumnya.
Akan menjadi perbedaan yang penting bagi pencapaian tujuan secara efektif apakah
regulator mendesain aturannya karena kepentingan publik secara umum atau karena
kepentingan sekelompok masyarakat/industri.
Kapasitas pemecahan masalah diperkirakan akan meningkat yang akan berkaitan
dengan sejauh mana desain regulasi tanggap/responsif terhadap konstelasi masalah
nasional atau subnasional yang berbeda.
Akan melandasi kebutuhan yang sangat penting bagi regulasi yang efektif bahwa
regulator memiliki indikator yang jelas dalam rangka mengembangkan prediksi yang
baik tentang hasil (outcomes) potensial dari regulasi.
11
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Tatang A. Taufik 12
Tabel 4. Karakteristik Metode Informal Penadbiran di Uni Eropa.
8
Koordinasi vertikal lebih meningkat dibanding dengan koordinasi horisontal.
Menurut Radaelli (2003), persoalan MKT/OMC sebagai moda/pola baru penadbiran
(governance) terletak pada enam karakteristik metode sebagai berikut:9
1. Hukum yang baru dan peranannya yang terbatas. Peran hukum berbeda dari
penadbiran secara tradisional. Dalam MKT, tidak ada demarkasi yang nyata antara
pembuatan aturan dengan implementasi aturan. Perbedaan lainnya adalah pengadilan
tidak menyediakan mekanisme akuntabilitas yang pokok. Itu sebabnya kirtik terhadap
MKT seringkali berfokus pada akuntabilitas.
2. Pendekatan baru atas pemecahan masalah. Dalam format idealnya, metode ini bekerja
dalam iterasi (dint of iteration), kerjasama lintas pelaku (antar tingkat pemerintahan dan
antara sektor pblik dengan swasta), dan penetapan standar. Diskusi tentang sifat
pembelajaran dari MKT terus berlangsung, baik yang menakankan pola top-down
mapun bottom-up. The Lisbon Strategy merupakan contoh kehadiran keduanya.
3. Partisipasi merupakan kunci dari proses. Power sharing dalam MKT lebih tinggi
dibanding dalam legislasi tradisional. Pemerintah maupun masyarakat madani sama-
sama berpartisipasi. Partisipasi sangat penting mengingat dua alasan utama, yaitu
legitimasi dan efektivitas.
4. Keragaman (diversity) dan “penambahan/pelengkapan” (subsidiary). Metode terbuka
mengakui keragaman sepenuhnya. Hal ini didasarkan pada asumsi model-model
kapitalisme yang berbeda untuk mendapatkan solusi masing-masing atas persoalan
dari keragaman tantangan kompleksitas dan daya saing. Sebaliknya, model
penadbiran yang lebih tradisional mengarah pada harmonisasi.
5. Cara baru untuk menghasilkan pengetahuan yang berguna. MKT semestinya bekerja
seperti suatu jaringan untuk menggali pengetahuan yang berguna pada seluruh
tingkatan. Instrumen-instrumen spesifik akan koheren dengan tujuan pembelajaran,
setidaknya secara prinsip. Sebagai contoh adalah cara-cara benchmarking, peer
review, multi-lateral surveillance, scoreboards, trend-charts, dan mekanisme lain untuk
difusi kebijakan lintas-negara.
6. Pembelajaran kebijakan (policy learning). Kelebihan terbesar dari MKT adalah bahwa
metode ini memiliki potensi sangat besar bagi pembelajaran kebijakan. Dengan belajar
dari pengetahuan lokal dan dengan mendorong difusi lintas-negara, para penentu
kebijakan dapat memperbaiki langkahnya masing-masing.
15
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Sehubungan dengan itu, Metode Koordinasi Terbuka/MKT diajukan sebagai cara untuk
memulai upaya mendorong perkuatan koordinasi dan koherensi kebijakan inovasi di
Indonesia. Ini merupakan bagian integral dari prakarsa GERBANG INDAH NUSANTARA
(Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah
Nusantara). Secara skema gagasan ini diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.
RPJP
Jakstra
Iptek RPJM
Jakstra
Sektoral
Metode
Heksagon Koherensi
Koordinasi
Pengem- Kebijakan
Terbuka
bangan SI Inovasi
(MKT)
RPJMD
Tatang A. Taufik 16
4. Mendorong budaya inovasi.
5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan
klaster industri nasional dan daerah.
6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Visi
Visi
dalam
dalam
Peningkatan
Peningkatan
Daya
Daya Saing
Saing dan
dan
Kohesi
Kohesi Sosial
Sosial
2010
2010
Sasaran
Sasaran Kuantitatif
Kuantitatif
is if
ik
sn us
Bu
Pe va du
has /terbai in ova s novasi
ban dan/ ai, prakt
KM
bi nd
.
ps dan
b s ng ya
rke si d str
da
ino in
an ko
perk
iU
n a itb da
tau
Kes mbang
ya
mb an i
i d ng
i
ua k/l an
a
as ya
agi
ino
e
elar
or
ang kla
mp ipte n d
in um
va
asanan glob
ma g aa
an ste
i
gi um
ov
k
dan oras
si
ke kun bag
baik ifusi
sis r
ba ka
den al
du m
tem
b
ng
il lit
d
e
a
l
ra
Kol
ke
gan
Ke
3.2 Mekanisme
17
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Kesejahteraan
Kesejahteraan // Kemakmuran
Kemakmuran
Indikator
Indikator .. .. ..
1
1 2
2 33 44 5
5 6
6
Perbaikan
Perbaikan Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Perkembang-
Perkembang- Keselarasan
Keselarasan
Kerangka
Kerangka an Kelemba-
an Kelemba- an Kolaborasi
an Kolaborasi an Budaya
an Budaya an
an SI &
SI & Global
Global
Umum
Umum gaan
gaan && Daya
Daya Inovasi
I novasi && Inovasi
I novasi Klaster
Klaster
Dukung
Dukung IIptek,
ptek, Difusi
Difusi IIndustri
ndustri
serta
serta Absorpsi
Absorpsi
UKM
UKM
Program
Program// Aktivitas
Aktivitas
Kapabilitas
Kapabilitas Sumber
Sumber daya
daya
• Indikator . . .
• Indikator . . . • Indikator . . .
Tatang A. Taufik 18
Penurunan pengangguran
Indeks capaian teknologi atau perkembangan iptek
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Prakarsa inovatif dan kolaborasi sinergis.
Untuk beberapa contoh praktik di Uni Eropa, lihat misalnya Arundel dan Hollanders
(2003), Boekholt, et al. (2004), dan Hollanders (2003a, b, c).
Sejauh ini, beberapa prakarsa awal telah dan tengah diimplementasikan. Beberapa
perkembangan tentatif antara lain sebagai berikut.
19
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
Pada tataran nasional secara umum, proses perbaikan dalam tahap awal untuk
mendorong kolaborasi sinergis kebijakan inovasi ini sebaiknya dilakukan dengan evaluasi
dan konsolidasi dokumen formal terkait, serta perbaikan pada tingkat pelaksanaan
aktivitas/kegiatan pembangunan tahunan yang relevan dengan Heksagon Kebijakan Inovasi.
Dalam kerangka koordinasi terbuka yang pada dasarnya memang bersifat ”longgar,”
fokus utamanya bukanlah pada ”restrukturisasi” lembaga formal-struktural yang ada
(misalnya ”perangkat daerah”) ataupun adanya peran khusus organisasi/lembaga tertentu
secara ”struktural” dalam arena berkoordinasi. Semangat utamanya adalah lebih kepada
melakukan perbaikan pelaksanaan fungsi dalam pengembangan sistem inovasi (melalui
perbaikan koordinasi kebijakan inovasi agar semakin koheren). Kaena itu, kalaupun ada
implikasi yang dinilai memerlukan penataan kelembagaan formal, hal demikian perlu
dipandang sebagai implikasi dari perlunya perbaikan fungsinya dalam konteks tersebut.
Tatang A. Taufik 20
Sehubungan dengan itu, upaya pengembangan/perkuatan kelembagaan di daerah
oleh BPPT sejauh ini lebih diarahkan pada pengembangan/perkuatan lembaga non-
struktural daerah (seperti misalnya DPDS, DRD dan/atau kelompok kerja klaster industri)
dan umumnya bersifat kuasi-publik, dalam semangat sebagai solusi kelembagaan (dan
inovasi kelembagaan) agar daerah lebih berdaya/mampu dalam mendorong perkembangan
sistem inovasi dan daya saingnya.
Selain beberapa aktivitas kerjasama dalam topik-topik tertentu yang relevan dengan
tema kebijakan inovasi sebagaimana diindikasikan dalam Heksagon Kebijakan Inovasi, fora
yang lebih terjadwal secara reguler, perkuatan lembaga daerah (DPDS, DRD dan kelompok
kerja klaster industri), pemantauan, evaluasi dan peer review, serta proses pemanfaatan
portal internet merupakan di antara langkah awal penting dalam pelembagaan koordinasi
secara terbuka.
Di masa datang, proses koordinasi dapat ditingkatkan apabila dokumen formal daerah
dan para pihak juga telah mengakomodasi prakarsa ini dengan lebih terstruktur (termasuk
dalam matriks rencana tindak kolaboratif) dan diterjemahkan kedalam aktivitas kongkritnya
untuk diimplementasikan.
5. CATATAN PENUTUP
Dinamika perkembangan dan tantangan baik, yang bersifat universal maupun spesifik
dihadapi oleh setiap negara (dan daerah), kini membawa kepada urgensi untuk semakin
21
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
disadarinya bahwa kebijakan inovasi bukanlah semata ranah intervensi bagi “Pemerintah
Pusat/Nasional” tetapi juga “Pemerintah Daerah.” Selain itu, kebutuhan akan semakin
komplementatif dan harmonisnya kebijakan antarsektor (kebijakan industrial) maupun yang
bersifat lintas-sektor sehingga semakin koheren, menjadi syarat perlu (necessary conditions)
bagi perkembangan kebijakan inovasi yang baik.
Mengingat kebijakan inovasi akan terbentuk oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh berbagai pihak yang berbeda (baik dalam pengertian bidang/sektor maupun tataran
pemerintahan, yang menjadi ranah kewenangan/otoritasnya), maka tentunya upaya
reformasi/perbaikan kebijakan inovasi perlu dikembangkan bersama oleh berbagai pihak
(penentu kebijakan beserta para pemangku kepentingannya). Oleh karena itu, perbaikan
koordinasi untuk mendorong kebijakan inovasi yang lebih koheren dalam rangka
mengembangkan kebijakan inovasi yang baik merupakan agenda sangat penting.
Dalam rangka itu, makalah ini mengajukan salah satu metode/cara untuk mendorong
perbaikan koordinasi kebijakan inovasi di Indonesia, yaitu Metode Koordinasi Terbuka/MKT
(Open Method of Coordination/OMC). Dalam hal ini, MKT/OMC dapat diartikan sebagai cara,
metode atau mekanisme berkoordinasi (dan bekerjasama) antara tataran pemerintahan yang
berbeda (misalnya antara pemerintah nasional/pusat dan pemerintah daerah) dan antara
lembaga-lembaga pemerintah dan/atau para stakeholders dalam bidang tertentu
berdasarkan kesepakatan/konsensus (menyangkut kerangka utama dan sasaran kebijakan
tertentu) dan dilakukan secara sukarela (voluntary), bukan “keharusan/paksaan” (non-
mandatory).
Disadari bahwa perbaikan kebijakan inovasi itu sendiri semakin membutuhkan inovasi
dalam pengembangan kebijakannya, termasuk koordinasinya. Selain itu, keberhasilan
perbaikan kebijakan inovasi pada akhirnya juga ditentukan/dipengaruhi oleh keberhasilan
proses pembelajaran yang dilalui dan dikembangkan oleh para pihak yang terlibat dalam
siklus kebijakan yang bersangkutan, baik setiap kasus spesifik kebijakan maupun kebijakan
inovasi secara keseluruhan. MKT merupakan salah satu pilihan cara/mekanisme yang
dipandang perlu dikembangkan dalam rangka ini.
Namun sangat disadari, pola koordinasi dengan paradigma keterbukaan,
kesukarelaan, komitmen dan konsistensi para partisipan, serta penuh semangat berbagi
sumber daya, risiko dan manfaat (resource, risk, and benefit sharing, setidaknya berbagai
informasi, pengetahuan dan pengalaman) yang sangat membutuhkan keprakarsaan/
pioneering (dan kepemimpinan/leadership) dari setiap partisipan, memang bukanlah suatu
agenda yang mudah diimplementasikan secara kongkrit di lapangan. Oleh sebab itu, dari
beberapa prakarsa sangat awal yang dimulai oleh BPPT, baik pada tataran konsep maupun
empiris sejauh ini, maka beberapa hal dipandang menjadi elemen penting yang
direkomendasikan untuk dikembangkan lebih lanjut bagi keberhasilan peningkatan
koordinasi kebijakan inovasi di Indonesia dalam tahapan awal, seperti telah didiskusikan
secara singkat dalam makalah ini.
Untuk tataran daerah, beberapa elemen yang disarankan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Adopsi Kerangka Umum Kebijakan Inovasi (Heksagon Pengembangan Sistem Inovasi
dan Daya Saing) yang sedapat mungkin tertuang dalam dokumen formal daerah
(misalnya dokumen Strategi Inovasi Daerah atau Kebijakan Strategis Pembangunan
Iptek di Daerah).
Tatang A. Taufik 22
2. Penataan basisdata, indikator dan benchmarking sistem inovasi (terutama terkait
dengan data/indikator inovasi dan daya saing daerah), yang segera dikembangkan dan
terlembagakan (tersusun reguler tahunan) dalam statistik daerah (misalnya dalam
“Daerah Dalam Angka”), dan adanya pihak/lembaga penanggungjawab yang jelas.
3. Peningkatan kapasitas (capacity building), terutama untuk mendorong pemahaman,
kemampuan dan partisipasi SDM daerah.
4. Membangun community of practice, terutama dalam rangka memperkuat dan
memperluas praktik pragmatis oleh para pihak yang relevan, termasuk lembaga mitra
daerah (misalnya DPDS, DRD, Pemerintah Daerah) dan perluasan partisipasi dari
counterpart lain.
5. Implementasi pemantauan, evaluasi, dan peer review, terutama dalam rangka
melembagakan proses ini dalam mekanisme yang berlaku (termasuk dalam sistem
perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan daerah, setidaknya dalam
sistem perencanaan iptek di daerah).
Pada tataran nasional, proses perbaikan dalam tahap awal sebaiknya dilakukan
dengan evaluasi dan konsolidasi dokumen formal terkait, serta perbaikan pada tingkat
pelaksanaan aktivitas/kegiatan pembangunan tahunan yang relevan dengan Heksagon
Kebijakan Inovasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arnold, Erik dan Patries Boekholt. (2004). Innovation Governance: Typologies and
Principles. Bahan Workshop. "Ensuring policy coherence by improving the governance
of innovation policy." Trend Chart Policy Workshop. Brussels 27 April 2004.
2. Arnold, Erik dan Patries Boekholt. (2002). Measuring ‘Relative Effectiveness’ – Can We
Compare Innovation Policy Instruments? Dalam Patries Boekholt (Ed.). (2002).
“Innovation policy and sustainable development: can public innovation incentives make
a difference?” Contributions to a Six Countries Programme Conference, 28 February - 1
March, Brussels 2002. IWT-Observatory. Institute for the Promotion of Innovation by
Science and Technology in Flanders.
3. Arundel, Anthony dan Hugo Hollanders. (2003). Methodology Report. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 6. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 14, 2003.
4. Boekholt, Patries. (2004). Innovation Governance: Typologies and Principles.
Background Paper. "Ensuring policy coherence by improving the governance of
innovation policy." Trend Chart Policy Workshop. Brussels 27 April 2004.
5. Boekholt, Patries, Shonie McKibbin dan Philip Sowden. (2004). Benchmarking
‘Innovation Excellence’ as a Tool for Innovation Policy. Background Paper (Using input
from the Trend Chart correspondents and the Synthesis Report by Slavo Radosevic).
Trend Chart Policy Workshop. European Commission. European Trend Chart on
Innovation. Leiden, 11-12 October 2004.
23
Konsep dan Prakarsa Implementasi Metode Koordinasi Terbuka
untuk Mendukung Koherensi Kebijakan Inovasi
6. Cornet, Maarten dan George Gelauff (2002). Innovation Policy. CPB Report 2002/2.
7. Dehousse, Renaud, dan Jean Monnet. (2003). The Open Method of Coordination: A
New Policy Paradigm ? Paper presented at the First Pan-European Conference on
European Union Politics “The Politics of European Integration: Academic Acquis and
Future Challenges.” Bordeaux, 26-28 September 2002.
8. DSV. (2002). The Open Method of Coordination in the Field of Social Insurance.
Position Paper by the Umbrella Organisations of the German Social Insurance
Schemes. Issued in May 2002. Deutsche Sozialversicherung Europavertretung.
European Social Insurance Partners. Maison Européenne De La Protection Sociale.
9. Edler, Jakob, Stefan Kuhlmann, dan Ruud Smits. (2003). New Governance for
Innovation: the Need for Horizontal and Systemic Policy Co-ordination. Report on
Workshop. Fraunhofer ISI Discussion Papers Innovation Systems and Policy Analysis,
No. 2/2003. Karlsruhe, June 2003.
10. Edquist, Charles. (2001). The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy:
An Account of the State of the Art. Lead paper presented at the DRUID Conference,
Aalborg, June 12-15, 2001, under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions
and Public Policies’ (Invited Paper for DRUID's Nelson-Winter Conference) Dari
http://www.druid.dk/conferences/ nw/paper1/edquist.pdf
11. Edquist, Charles. (1999). Innovation Policy – A Systemic Approach. Paper for DRUID's
Innovation Systems Conference, June 1999. Dari http://www.druid.dk/conferences/
summer1999/conf-papers/edquist.pdf
12. Hollanders, Hugo. (2003a). Regional Innovation Performances. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 3. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 28, 2003.
13. Hollanders, Hugo. (2003b). Analysis of National Performances. 2003 European
Innovation Scoreboard: Technical Paper No 2. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 20, 2003.
14. Hollanders, Hugo. (2003c). Indicators and Definitions. 2003 European Innovation
Scoreboard: Technical Paper No 1. A publication from the Innovation/SMEs
Programme. Enterprise Directorate-General. European Commission. European Trend
Chart on Innovation. November 11, 2003.
15. Knill, Christoph, dan Andrea Lenschow. (2004). Modes of regulation in the Governance
of the European Union: Towards a Comprehensive Evaluation. European Integration
Online Paper (EioP). Vol.7. 2003. N 1. Http://eiop.or.at/eiop/texte/2003-001a.htm
16. Lundvall, B.A. dan Susana Borras. (1997). The Globalising Learning Economy:
Implications for Innovation Policy. Report based on contributions from seven projects
under the TSER programme. DG XII, Commission of the European Union. European
Commission. Targeted Socio-Economic Research. December 1997.
17. Mytelka, Lynn K. dan Keith Smith. (2001). Innovation Theory and Innovation Policy:
Bridging the Gap. Paper presented to DRUID Conference. Aalborg, June 12-15 2001.
Dari http://www.druid.dk/conferences/nw/paper1/mytelka_smith.pdf
Tatang A. Taufik 24
18. Peters, B. Guy. (2005). Forms of Informal Governance: Searching for Efficiency and
Democracy. NOPSA 2005 Reykjavik. Nordic Political Science Association (NOPSA).
Reykjavik 11–13 August 2005. Http://registration.yourhost.is/nopsa2005/papers/
19. Radaelli, Claudio M. (2003). The Open Method of Coordination: A new governance
architecture for the European Union? Swedish Institute for European Policy Studies
(SIEPS). Rapport nr 1, March/2003.
20. Smith, Keith. (2000). Innovation as a Systemic Phenomenon: Rethinking the Role of
Policy. Enterprise and Innovation Management Studies. Vol. 1, No. 1. 2000, 73-102.
Dari unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan003366.pdf
21. Smith, Keith. (1996). Systems Approaches to Innovation: Some Policy Issues. STEP-
Group, Oslo, Norway.
22. Tassey, Gregory. (2002). R&D Policy Issues in a Knowledge-Based Economy. National
Institute of Standards and Technology. Dari http://www.nist.gov/public_affairs/
budget.htm
23. Tassey, Gregory.(1999a). R&D Policy Models and Data Needs. APPAM 1999 Research
Conference. November 4, 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/
strategicplanning.htm
24. Tassey, Gregory.(1999b). Standardization in Technology-based Markets. Forthcoming in
“Research Policy.” June 1999. Alamat web: http://www.nist.gov/director/planning/
strategicplanning.htm
25. Tassey, Gregory.(1999c). R&D Trends in the U.S. Economy: Strategies and Policy
Implications. 99-2 Planning Report. National Institute of Standards and
Technology`(NIST).
26. Taufik, Tatang A. (2005a). Mendorong Kewirausahaan Teknologi (Technopreneurship) di
Lingkungan Perguruan Tinggi: Peningkatan Peran dalam Membangun Daya Saing.
Disampaikan sebagai Keynote Paper dalam “The 4th National Conference: Design and
Application of Technology 2005” di Surabaya, 27th June 2005. Konferensi
diselenggarakan oleh Universitas Widya Mandala – Surabaya.
27. Taufik, Tatang A. (2005b). Menumbuhkembangkan Sistem Inovasi dan Daya Saing
Daerah: Makalah Konsep. Makalah Disampaikan sebagai Makalah Kunci dalam
Workshop “Gerbang Indah Nusantara - Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya
Saing di Seluruh Wilayah Nusantara” di BPPT, 10- 11 Mei 2005.
28. Taufik, Tatang A. (2005c). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif
Kebijakan. P2KTPUDPKM – BPPT dan KRT. 2005.
25