Oleh:
DR.SETIYONO.MBA,Mkes,MPd
Pendahuluan
Semakin tinggi hirarki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin
rendah hirarkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah
hirarkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun. Disiplin birokrasi model Weber
menyatakan bahwa hirarki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh melawan kekuasaan
hirarki atas (dalam Thoha, 1999). Tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya adalah
memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh
masyarakat. Demikan pentingnya pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering
dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang ketika
paradigma Good Governance (kepemerintahan yang baik) dikedepankan dimana
akuntabilitas, efektivitas dan efesiensi dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik.
Permasalahan
Sebagaimana telah dinyatakan dalam pendahuluan bahwa tugas utama pemerintah adalah
memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh
masyarakat. Sementara itu dari banyak hasil kajian, masih dijumpai keengganan pemerintah
untuk melakukan pelayanan dengan baik. Aparatur birokrasi melakukan pembiaran atas
tuntutan publik; digunakannya birokrasi sebagai alat untuk mengonsentrasikan sumber-
sumber produksi. Dengan demikian masalah utamanya adalah bagaimana usaha yang
dilakukan agar birokrasi dapat memberikan pelayanan secara efektif dan efesien kepada
masyarakat?.
Pembahasan
1
masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat.
Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat
manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan
masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah
keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak
dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor
privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni
pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan
sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam pelayanan publik apabila
kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Akan tetapi
walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran
praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah
salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif
atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf
biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang
menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan
program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang
biasanya disebut pegawai Sipil. Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Aparatur
Pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya dan diberi mandat oleh
negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana
kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara
lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan,
pendidikan dan lainnya (Gaspersz, 2002).
Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi,
2006). Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang
terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga
rakyat nyaris dalam situasi yang tidak berdaya (powerless) dan tidak memiliki pilihan
(Tjokrowinoto, 2001).
Dengan kondisi yang demikian itulah maka penerapan organisasi pelayanan publik yang
berorientasi pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak
2
bersandar pada etos feodalisme. Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar
birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan
efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi,
bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada
tingkat struktur, sikap dan tingkah laku/etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan,
karena sebagian besar berkait dengan proses administrasi, akan tetapi yang lebih
fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being),
sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke tujuan
yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik
yang bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan skill based issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai
wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat
paternalistik yang banyak bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan,
termasuk didalamya dalam melakukan tugas penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini
etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam
mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan
dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk
bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.
Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam
melaksanakan reformasi birokrasi. Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus
dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public
service). Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas untuk
bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya adalah
kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik
yang bebas dari intervensi kekuatan politik.
Untuk melaksanakan konsep etika sebagaimana tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana
dikutip oleh Sugiyanto (2004) melakukan strategi sebagai berikut:
1. Membangun iklim etika dalam organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan
pentingnya membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan
(strong leadership) dalam menciptakan iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu
yang bernilai dan mendorong upaya ke arah penciptaan komunikasi yang terbuka. Karena
bagaimanapun terlebih di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya. Mengelola etika
bukan sekedar membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang
berkarakter moral tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama
untuk membangun budaya yang menjadikan nilai yang tinggi akan integritas etika,
mengembangkan kebijakan, prosedur serta sistem yang memungkinkan anggotanya
mempunyai integritas etika.
3
2. Mengembangkan Ethics Audit, yakni suatu metode untuk menilai standar moral yang
dijadikan pedoman perilaku dalam organisasi dan termasuk penilaian untuk mereview
aktivitas orang-orang dalam organisasi.
3. Mengembangkan program pelatihan etika pemerintahan, dengan harapan dapat
menjamin sosialisasi dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah
membangkitkan semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan
berperilaku melalui komunikasi.
4. Mengembangkan standar berperilaku yang membatasi tindakan aparat publik,
dengan cara meregulasi standar-standar perilaku yang telah menjadi prioritas dalam
mengelaborasi nilai-nilai dasar moral.
5. Menjamin integritas etika dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara menciptakan
lingkungan kerja yang menjamin transparansi dan integritas etika, rekrutmen dan
promosi berdasarkan meryt system dan pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol,
dan rotasi jabatan yang ketat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang transparan yang
dapat meminimalisir konflik.
6. Mengambil tindakan tegas terhadap bentuk-bentuk penyelewengan. Dengan
demikian maka dimensi etika dalam pemerintahan harus dipahami secara jelas dan benar
bahwa etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan bagaimana
prinsip-prinsip moral tersebut dapat diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan
sekedar formulasi norma-norma yang akan disepakati bersama akan tetapi juga berbicara
mengenai strategi aplikasi dan pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan etika
sesuatu yang dinamis dan realistik.
Daftar Pustaka