Anda di halaman 1dari 20

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR KEP - 184/PJ./2002

TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON PERFORMING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan
saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan
Pemerintah;
b. bahwa perlakuan pajak atas penghasilan bank berupa bunga kredit non performing perlu diatur khusus untuk menunjang
percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan/PSAK nomor 31 tentang Akuntansi Perbankan (revisi tahun 2000), perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non Performing ;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA
BUNGA KREDIT NON-PERFORMING.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit yang diberikan oleh bank yang
digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.

Pasal 2

(1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diakui pada saat penghasilan bunga
tersebut diterima oleh bank (cash basis).
(2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurangan pokok kredit, saat pengakuan
penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit.

Pasal 3

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sepanjang debitur yang terkait melakukan penyesuaian saat pengakuan biaya
bunga kredit non-performing dengan cara yang sama.

Pasal 4

(1) Bank wajib menyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan
Pajak tempat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
bersangkutan.
(2) Daftar debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nomor urut, nama debitur, alamat, NPWP, jumlah kredit non-
performing yang digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet, serta jumlah bunga yang terutang (accrual basis) yang belum
diakui sebagai penghasilan pada tanggal laporan keuangan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I, lampiran II dan Lampiran III Keputusan ini.

Pasal 5

Pada saat keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-273/PJ/1998 dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ.42/1998 tanggal 30 Desember 1998, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tahun pajak 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan menempatkannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

HADI POERNOMO

SURAT EDARAN
SE-08/PJ.42/2002
Ditetapkan tanggal 17 Mei 2002

TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON-PERFORMING

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2002 tanggal 11 Apri1 2002 Tentang
Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non-Performing sebagai pengganti Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-273/PJ/1998 tanggal 11 Desember 1998 yang berlaku mulai tahun pajak 2001, dengan ini perlu diberikan penegasan
mengenai pelaksanaannya sebagai berikut :

1. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas, diatur bahwa :

Pasal 2 :

(1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing diakui pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash
basis).
(2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurang pokok kredit, saat pengakuan
penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit.

Pasal 3 :
Ketentuan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 2 tersebut di atas berlaku sepanjang debitur yang terkait rnelakukan penyesuaian
saat pengakuan biaya bunga kredit non-performing dengan cara yang sarna.

Pasal 4 ayat (1) :

Bank wajib rnenyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan
Pajak ternpat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai larnpiran dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
bersangkutan.

1. Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :

1. Bank dan debitur yang terkait terlebih dahulu harus mernbuat perjanjian tambahan atau addendum atas perjanjian
kreditnya, yang rnenyatakan bahwa kedua belah pihak setuju untuk rnemperlakukan setiap pernbayaran yang dilakukan
oleh debitur kepada bank sebagai cicilan pokok kredit hingga lunasnya pokok kredit keseluruhan dan pernbayaran-
pernbayaran setelah itu diperlakukan sebagai bunga;

2. Bank dapat langsung rnenerapkan ketentuan Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas, dengan
rnenyerahkan satu dokurnen perjanjian tarnbahan atau addendum dirnaksud pada huruf a bersarnaan dengan penyerahan
daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan rnacet kepada Kantor Pelayanan Pajak ternpat
bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran dari SPf Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan;

3. Apabila debitur ternyata tidak rnelakukan penyesuaian saat pengakuan biaya bunga dalarn pernbukuan tahun yang
bersangkutan sesuai dengan perjanjian tarnbahan atau addendum dirnaksud, rnaka harus dilakukan koreksi fiskal rnelalui
prosedur pemeriksaan atau prosedur lain yang berlaku;

4. Dalam hal terjadi gagal bayar (default) oleh debitur sehingga bank melakukan penghapusan piutang tak tertagih atas
bunga yang belurn dibayar, maka sebagai konsekuensi belurn diakuinya bunga tersebut sebagai penghasilan bank dan
biaya debitur, penghapusan piutang tak tertagih atas bunga tersebut bagi bank bukan merupakan kerugian sedang bagi
debitur bukan merupakan keuntungan karena pembebasan utang;

5. Dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2002tanggal 11 April 2002 mulai tahun
pajak 2001, maka bagi Wajib Pajak bank dan debitur terkait yang telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Badan tahun pajak 2001 sebelum diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, dapat menerapkan ketentuan
ini melalui pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan tahun pajak 2001.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,
ttd
Hadi Poernomo
NIP 060027375

Tembusan :

1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;


2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak; dan
para Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 164/KMK.03/2002
TENTANG

KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan
Keputusan Menteri Keuangan tentang Kredit Pajak Luar Negeri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 No. 49, TLN RI
No. 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No.126,
TLN RI No. 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (LN RI Tahun 1983 No.50, TLN RI No. 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No.127, TLN RI No. 3985);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

(2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :

a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000,
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

Pasal 2

(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang dibayar
atau terutang diluar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.

(2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar
negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).
1. Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi tertentu.
2. Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri
terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama
dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar
negeri.
3. Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.
4. Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Penghasilan yang dikena Pajak yang bersifat
final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8
ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 3

Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Pasal 4

(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyimpan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan dilampiri :

a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;


b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri;
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 5

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur).
Pasal 6

(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan
tersebut.

(2) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan kurang dibayar, maka atas
kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000.
(3) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan
tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Pasal 7

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tentang Kredit Pajak
Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Kuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 19 April 2002

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BOEDIONO

LAMPIRAN
TATA CARA PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI

1. UMUM
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 (undang-undang Pajak Penghasilan) menentukan bahwa Wajib Pajak dalam negeri
dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di
Indonesia maupun di luar Indonesia.
Untuk menghindari pengenaan pajak ganda tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau terutang
di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan.
Metode kredit pajak yang disebut metode pengkreditan terbatas (''ordinary credit method'').

1. Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri

1. Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri adalah sebagai berikut :

1. Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima
dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam
menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak diperoleh atau
diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak sesuai dengan dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2)
Undang-undang Pajak Penghasilan.

Contoh
PT A di Jakarta dalam tahun pajak 1995 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai
berikut :
a. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp 800.000.000,00;
b. Dividen atas pemilikan saham pada ''X Ltd.'' di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan
Tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham Tahun 2000 dan baru dibayar dalam Tahun 2001;
c. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada ''Y Corporation'' di Hongkong yang sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh Tahun 2001;
d. Bunga kwartal IV Tahun 2001 sebesar Rp 100.000.000,00 dari ''Z Sdn Bhd'' di Kuala Lumpur yang baru akan diterima
bulan Juli 2002.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah
penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri
dalam tahun pajak 2002.
2. Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak diluar negeri tidak boleh
dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.
Contoh :
PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai berikut :
a. di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp 400.000.000,00);
b. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp 750.000.000,00);
c. di negara Z, menderita kerugian Rp 2.500.000.000,00;
d. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp 4.000.000.000,00.
Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Penghasilan luar negeri :

a. Laba di Negara X Rp 1.000.000.000,00


b. Laba di Negara Y Rp 3.000.000.000,00
c. Laba di Negara Z Rp ------ (+)
-----------------------------
Jumlah penghasilan dalam negeri = Rp 4.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri = Rp 4.000.000.000,00
3. Jumlah penghasilan neto adalah :
Rp 4.000.000.000,00 + Rp 4.000.000.000,00
= Rp 8.000.000.000,00
4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp 2.382.500.000,00
5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
a. Untuk negara X =
Rp.1.000.000.000,00 x Rp 2.382.500.000,00
Rp 8.000.000.000,00
= Rp 297.812.500,00
Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp 400.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan = Rp 297.812.500,00
b. Untuk negara Y =
Rp.3000.000.000,00 x Rp 2.382.500.000,00
Rp 8.000.000.000,00
= Rp 893.437.500,00
Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp 750.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan
adalah Rp 750.000.000,00.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah Rp 297.812.500,00 + Rp 750.000.000,00 = Rp
1.047.812.500,00.
Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri yaitu
(di negara Z sebesar Rp 2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.
3. Penghitungan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut :
Contoh.
a) PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai beikut : Penghasilan dalam negeri Rp
1.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri (dengan tarif Pajak 20%)Rp 1.000.000.000,00
Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Penghasilan luar negeri
Rp 1.000.000.000,00 Penghasilan dalam negeri
Rp 1.000.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan neto
Rp 2.000.000.000,00
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak
Penghasilan yang terutang sebesar Rp 582.500.000,00.
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
Rp.1.000.000.000,00 x Rp 582.500.000,00
Rp 2.000.000.000,00
= Rp 291.250.000,00
Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 291.250.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar
negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 200.000.000,00, maka jumlah kredit pajak luar
negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp 200.000.000,00.
b) PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai berikut :
Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp 1.000.000.000,00
Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00)
Pajak atas penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp 400.000.000,00
Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sebagai berikut :
1. Penghasilan usaha luar negeri Rp 1.000.000.000,00
Rugi usaha dalam negeri (Rp 200.000.000,00) (+)
Jumlah Penghasilana neto Rp 800.000.000,00
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak
Penghasilan yang terutang sebesar Rp 222.500.000,00
3. Batas maksimum pajak luar negeri adalah :
Rp.1.000.000.000,00 x Rp 222.500.000,00
Rp 8.000.000.000,00
= Rp 278.125.000,00
Oleh karena pajak yang dibayar di luar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat
dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan
untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu
Rp 222.500.000,00.
4. Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri
dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan sebagai berikut :
Contoh :
PT C di Jakarta dalam Tahun 1995 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut :
- Penghasilan dari dalam negeri = Rp 2.000.000.000,00
- Penghasilan dari negara X
(dengan tarif pajak 40%) = Rp 1.000.000.000,00
- Penghasilan dari negara Y
(dengan tarif pajak 30%) = Rp 2.000.000.000,00(+)
Jumlah penghasilan neto = Rp 5.000.000.000,00

Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17
sebesar Rp 1.482.500.000,00.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah :
a. untuk negara X =
Rp.1.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 296.500.000,00
Rp 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 400.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp 296.500.000,00

1. untuk negara Y =
Rp.2.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 593.000.000,00
Rp 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 600.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp 593.000.000,00.

5. Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat
(4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, maka atas penghsilan tersebut bukan merupakan faktor penambah
penghasilan pada saat penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Contoh :

PT “D” di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut :

1. Penghsilan dari Negara Z Rp2.000.000.000,00

(dengan tarif pajak 30%)

2. Penghasilan Dalam Negeri Rp3.500.000.000,00

(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Pajak Penghasilan sebesar Rp500.000.000,00)

3. Penghasilan Kena Pajak PT “D” sebesar :

(Rp2.000.000.000,00 + Rp3.500.000.000,00 - Rp500.000.000,00 = Rp500.000.000,00)

= Rp5.000.000.000,00

4. Sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp1.482.500.000,00

5. Batas Maksimum kredit pajak luar negeri adalah :


Rp.2.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 593.000.000,00

Rp 5.000.000.000,00

Pajak terutang di negara Z sebesar Rp 600.000.000,00 namun maksimum kredit pajak dapat dikreditkan sebesar Rp
593.000.000,00

2. Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan karena perubahan penghasilan dari luar negeri, dilakukan seabagai berikut :

1. Dalam hal koreksi fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah koreksi yang menyebabkan adanya tambahan
penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di
Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih.

Contoh :
1. Penghasilan luar negeri (SPT) = Rp1.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri= Rp2.000.000.000,00
3. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp2.000.000.000,00
4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40 %
5. PPh Pasal 25 yang dibayar = Rp 500.000.000,00
6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut :
SPT SPT PEMBETULAN
1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00 1. Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00
3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,00
================= =================
4. PPh terutang Rp 882.500.000,00 4. PPh terutang Rp 1.182.500.000,00
5. Kredit Pajak Luar Negeri : 5. Kredit Pajak Luar Negeri :
1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 2.000.000.000,00 x Rp 1.182.500.000,00
3.000.000.000,00 = Rp 294.166.667,00 4.000.000.000,00 = Rp 591.250.000,00
6. PPh harus dibayar Rp. 588.333.333,00 6. Harus bayar di Indonesia Rp 591.250.000,00
7. PPh Pasal 25 Rp. 500.000.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00
8. PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00 8. PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00
9. Masih harus dibayar Rp 2.916.667,00

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp2.916.667,00 tidak ditagih bunga.

2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar
negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar.
Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil,
sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak
setelah diperhitungkan dengan utng pajak yang lain.

Contoh :
1. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp 1.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00
3. Penghasilan luar negeri (setelah koreksi di luar negeri) Rp500.000.000,00
4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%
5. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp 500.000.000,00
6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut :
SPT SPT PEMBETULAN
1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00 1. Penghasilan luar negeri Rp 500.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00
3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 2.500.000.000,00
================= =================
4. PPh terutang Rp 882.500.000,00 4. PPh terutang Rp 732.500.000,00
5. Kredit Pajak Luar Negeri : 5. Kredit Pajak Luar Negeri :
1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 500.000.000,00 x Rp 732.500.000,00
3.000.000.000,00 = Rp 294.166.667,00 2.500.000.000,00 = Rp 146.500.000,00
6. Harus dibayar di Indonesia Rp. 588.333.333,00 6. Harus bayar di Indonesia Rp 586.000.000,00
7. PPh Pasal 25 Rp. 500.000.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00
8. PPh Pasal 29 Rp. 88.333.333,00 8. Kurang bayar Rp 86.000.000,00
9. PPh Pasal 29 telah dibayar Rp. 88.333.333,00
10.Lebih bayar Rp 2.333.333,00

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang
lain.

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd,

BOEDIONO

SURAT EDARAN
SE-04/PJ.42/2002
Ditetapkan Tanggal 2 April 2002

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian imbalan bunga kepada Wajib
Pajak, untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, dengan ini diberikan penegasan
sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolah Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.

2. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,menagih, dan
memelihara penghasilan.

3. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan antara lain:

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

1. Berdasarkan Pasal 27A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, diatur sebagai berikut:
Ayat (1) :
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana
dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

Ayat (2) :
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan
Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

1. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut:

1. Imbalan bung yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan
Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak
Penghasilan;
2. Pengembalian sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda,
adalah bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan karena atas pembayaran sanksi tersebut sebelumnya tidak dapat
dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

HADI POERNOMO
NIP. 060027375

SURAT EDARAN
SE-01/PJ.33/2005
Ditetapkan tanggal 19 Januari 2005

PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Yth.

1. Para Kepala Kantor Wilayah DJP;


2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
3. Para Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak;
4. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;
5. Para Kepala Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Pajak; Seluruh Indonesia,
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pemberian imbalan bunga berkenaan dengan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, dengan ini
diberikan penjelasan sbb.:

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang No. 17 tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang?undang No. 17 tahun 2000, atas penghasilan tsb di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah. Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatant,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti;
4. hadiah dan penghargaan selain yang dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf e;
3. Berdasarkan butir 5 a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-04/PJ.42/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Perlakuan
Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, Imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak
berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan.
4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tsb di atas, dengan ini ditegaskan bahwa pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak
berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan, tatapi bukan merupakan Objek Pemotongan
PPh Pasal 23.
Dengan demikian, imbalan bunga tsb rnerupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.
5. Selanjutnya Kepala KPP yang menerbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, agar membuat Alat
Keterangan (KP Data) pembayaran imbalan bunga untuk memastikan bahwa Imbalan bunga tersebut dilaporkan Wajib Pajak
dalam SPT Tahunan untuk tahun pajak diterimanya imbalan bunga.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

HADI POERNOMO
NIP 060027375

Tembusan Yth:

1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;


2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan;
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
5. Para Direktur dan para Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 141/PJ/1999
TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/AGUNAN


BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996 atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi, yayasan atau
organisasi yang sejenis dan Wajib Pajak badan terutang Pajak Penghasilan;
b. bahwa dalam rangka menunjang kelancaran proses restrukturisasi perusahaan maupun penyelesaian kredit perbankan perlu
diberikan kemudahan perlakuan Pajak Penghasilan;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 83 Tahun 1998, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya sebagai
dasar penghitungan penghasilan bruto bagi bidang usaha tertentu dan Wajib Pajak tertentu yang mengikuti program
restrukturisasi perusahaan berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah;
d. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur pengakuan penghasilan dari pengalihan
harta/agunan berupa tanah dan/atau bangunan yang diperoleh Wajib Pajak tertentu dalam rangka proses restrukturisasi
perusahaan maupun penyelesaian kredit perbankan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3567);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3579) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3798) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3814);
5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/AGUNAN
BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU.

Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Tertentu dalam keputusan ini adalah :

a. Bank Dalam Penyehatan;


b. Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan;
c. Debitur yang langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada Bank Dalam Penyehatan, BPPN,
dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN, termasuk Bank yang mempunyai kewajiban
kepada Bank Indonesia dalam kaitan dengan Fasilitas Bank Indonesia;
d. Pemegang Saham, Direktur atau Komisaris Bank Dalam Penyehatan;
e. Debitur/Pemilik Agunan pada Bank Umum;
yang diambil alih harta/agunannya dalam rangka melaksanakan restrukturisasi perusahaan sesuai dengan program
Pemerintah;

(2) Wajib Pajak Tertentu pada ayat (1) huruf a, b, c, dan d sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 1 butir 2 dan 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Wajib Pajak Tertentu tersebut pada ayat (1) huruf e, sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 12 A Undang-undang Nomor 7
(3)
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pasal 2

(1) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib Pajak tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf d yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional ditunda
sampai dengan pihak Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengalihkan harta tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.
(2) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan agunan berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib Pajak tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang dilakukan oleh Bank Umum yang melaksanakan restrukturisasi sesuai program Pemerintah
ditunda sampai dengan pihak Bank Umum mengalihkan agunan tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.

Pasal 3

(1) Penundaan saat pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut di atas berlaku paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal Surat Pernyataan Pembelian Sementara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau saat
pengambilalihan agunan debitur oleh Bank Umum.
(2) Apabila setelah lewat batas waktu tersebut pada ayat (1) belum terjadi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pembeli yang sebenarnya, maka atas pengalihan yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Umum
tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juni 1999
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. ANSHARI RITONGA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 237/PJ./2001

TENTANG

SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN KARENA PEMBEBASAN UTANG YANG


DIPEROLEH DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI UTANG USAHA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan
kebijaksanaan Pemerintah;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang saat pengakuan
penghasilan berupa keuntungan karena pembebasan utang yang diperoleh debitur tertentu dari perjanjian restrukturisasi utang
usaha;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN KARENA
PEMBEBASAN UTANG YANG DIPEROLEH DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI UTANG USAHA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan debitur tertentu adalah debitur Wajib Pajak dalam negeri yang
melakukan perjanjian restrukturisasi utang usaha dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesuai dengan kebijaksanaan
Pemerintah.

Pasal 2

Pengakuan penghasilan atas keuntungan debitur tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat dialokasikan dalam jangka
waktu (lima) tahun dalam jumlah yang sama besarnya yaitu setiap tahunnya sebesar 20% dari pembebasan utang dimaksud dimulai dari
tahun pajak saat dilakukannya pembebasan utang.

Pasal 3

(1) Untuk dapat memperoleh perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, debitur harus mengajukan permohonan tertulis kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat debitur terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(2) Permohonan harus diajukan paling lambat sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut, dengan dilampiri fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang dilegalisir oleh BPPN.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berwenang menetapkan lamanya penundaan/pengangsuran antara 1 (satu) hingga 5 (lima) tahun
dengan mempertimbangkan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan kondisi objektif Wajib Pajak.
(4) Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus sudah diterbitkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterimanya permohonan.

Pasal 4

Pada saat berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/1999 tanggal 11
Pebruari 1999 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Maret 2001
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 02/PJ.42/2003

TENTANG

KEWAJIBAN MENCANTUMKAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DALAM SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK BADAN BAGI PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL, PENGURUS DAN KOMISARIS

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ/2002 tanggal 30 Agustus 2002 tentang
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi, Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21, Beserta Petunjuk Pengisiannya, dengan ini disampaikan hal-hal
sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, setiap Wajib Pajak wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat Kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

2. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), yang menjadi Subjek Pajak dalam
negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

3. Berdasarkan Pasal 8 UU PPh, diatur bahwa:

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal
22 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup terpisah;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.

(3) Penghasilan netto suami/isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami/isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai
dengan perbandingan penghasilan netto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan
yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf c.

4. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-161/PJ/2001 tanggal 21 Februari 2001 tentang
jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah
melebihi Penghasilan tidak Kena Pajak setahun, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling
lambat pada akhir bulan berikutnya.

5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
a. Bagi pemegang saham/pemilik modal serta pengurus dan komisaris yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan
menerima atau memperoleh penghasilan yang melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak wajib mencantumkan NPWP
dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
b. Bagi pemegang saham/pemilik modal serta pengurus dan komisaris yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
dan atau menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia, tidak wajib mencantumkan NPWP dalam SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan.
c. Bagi istri yang tidak mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dengan suami dan bagi anak yang
belum dewasa yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang menjadi
pemegang saham/pemilik modal dan atau pengurus dan komisaris, wajib mencantumkan NP'WP suami/bapak dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
d. Apabila dalam mengisi SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dibantu konsulan pajak, Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengisi identitas konsultan pajak (Nama dan NPWP).

Demikian untuk diketahui serta disebarluaskan kepada seluruh Wajib Pajak yang terdaftar di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Location : .
Joined : 15 Aug 2007.
Posts : 161.
15 Oct 2008 20:24 •

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR S - 260/PJ.313/1998
TENTANG

PERMOHONAN PENJELASAN MENGENAI OBJEK PPh PASAL 21 ATAS GAJI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat tanggal 4 September 1998 perihal tersebut di atas, dengan ini diberikan
penjelasan sebagai berikut :

1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa :


a. PT. XYZ bergerak dalam bidang angkutan barang (truk). Untuk setiap trayek perusahaan
membayar sopir dengan suatu jumlah tertentu yang sudah ditabelkan.
b. Setiap trayek sopir truk mendapat komisi (kelebihan) yang jumlahnya tidak tetap tergantung dari
kondisi perjalanan.
c. Sopir truk adalah pegawai tetap perusahaan yang mana komisi tersebut diperhitungkan sebagai
bagian gaji yang dibayarkan dan PPh Pasal 21 dipotong dari jumlah sisa komisi yang diterima setiap
bulan.
d. Saudara mohon penjelasan cara pemotongan PPh Pasal 21 dan apakah uang jalan yang tidak
didukung oleh bukti-bukti dapat dibiayakan sebagai biaya.

2. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ./1995
tanggal 9 Januari 1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan 26 sehubungan dengan Pekerjaan , Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diatur
bahwa dipotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa
gaji, uang pensiun, bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau
anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti
rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,
tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak,
beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya
dengan nama apapun.

3. Berdasarkan uraian di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :


a. Oleh karena disamping mendapat komisi, sopir adalah pegawai tetap perusahaan, maka
penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi tersebut adalah dengan cara terlebih dulu mencari
penghasilan netto setahun, yaitu penghasilan bruto sebulan (gaji + komisi) setelah dikurangi dengan
biaya jabatan, iuran THT kemudian disetahunkan. Penghasilan netto yang disetahunkan selanjutnya
dikurangi dengan besarnya PTKP pegawai yang bersangkutan untuk menghitung besarnya PPh Pasal
21 setahun. Besarnya PPh Pasal 21 sebulan dihitung dengan
cara membagi besarnya PPh Pasal 21 setahun dengan angka 12.

b. Biaya-biaya yang dipergunakan dalam rangka operasional perusahaan dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan sepanjang didukung bukti pengeluaran. Dengan demikian uang jalan
yang diberikan kepada sopir dapat dibiayakan apabila pengeluaran seperti pembelian bahan bakar,
pelumas, kernet, parkir, retribusi jalan dan jembatan timbang, uang makan didukung bukti-bukti
yang sah.

c. Apabila uang makan yang dibayarkan kepada sopir diberikan dalam bentuk tunai setiap hari tanpa
memperhatikan apakah yang bersangkutan menjalankan tugas pengemudi atau tidak, maka uang
makan tersebut merupakan unsur penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21. Apabila sopir tersebut
hanya menerima uang makan kalau sedang menjalankan tugas mengemudi maka uang makan
tersebut termasuk sebagai uang perjalanan dinas sehingga bukan merupakan unsur penghasilan yang
bersangkutan.
d. Bagian uang jalan yang diberikan kepada kernet adalah penghasilan bagi kernet yang
bersangkutan. Apabila kernet tersebut menerima penghasilan secara teratur dan diberikan tanpa
memperhatikan apakah yang bersangkutan bertugas atau tidak, maka perusahaan yang
membebankan biaya tersebut sebagai pemberi kerja wajib menghitung PPh Pasal 21 secara bulanan
dengan mengurangkannya dengan jumlah PTKP yang sebenarnya atas penghasilan kernet tersebut.
Sedangkan apabila kernet tersebut hanya menerima penghasilan jika ia bertugas, maka perusahaan
sebagai pemberi kerja tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan tersebut
apabila jumlahnya Rp. 14.400,- (empat belas ribu empat ratus rupiah) atau kurang per hari.

Apabila masih terdapat hal-hal yang kurang jelas, agar Saudara mengacu pada Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor : Kep-02/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995 atau menghubungi Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

Demikian untuk dimaklumi.

A.n DIREKTUR JENDERAL


DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN

ttd

IGN MAYUN WINANGUN

Anda mungkin juga menyukai