Anda di halaman 1dari 38

JILBAB: KEWAJIBAN MUSLIMAH

(Kritik terhadap buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, karya Prof. Dr. Quraish Shihab)

Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A.

I. Muqaddimah

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang memberikan karunia dan nikmat-
Nya kepada semua makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad saw, para keluarga, dan para sahabat serta seluruh pengikutnya hingga hari
kiamat.
Suatu hari, tepatnya pada Selasa tanggal 28 Maret 2006, saat masih tinggal di
Kairo, Mesir, penulis didatangi oleh pengurus Fordian (Forum Studi Al Qur’an) Kairo,
untuk membedah dan mengkaji karya terbaru Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab,
yang berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan
Cendekiawan Kontemporer. Waktu itu, penulis teringat beberapa kasus yang terjadi baik
di Indonesia maupun di Kairo, ketika Quraish Shihab menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Kairo. Kasus–kasus tersebut mencuat di masyarakat karena seorang tokoh
sekaliber Quraish yang dipandang banyak kalangan merupakan ulama besar dan alumnus
Universitas Al Azhar Kairo, ternyata mengeluarkan pernyataan tentang hukum memakai
jilbab yang bertentangan dengan apa yang selama ini diyakini oleh masyarakat muslim
Indonesia, bahkan oleh masyarakat muslim dunia pada umumnya.
Maka, teringat kasus-kasus tersebut, penulis menjadi penasaran dan tertarik untuk
menerima tawaran dari pengurus Fordian untuk membedah buku Quraish Shihab tentang
jilbab. Karena saat itu, penulis cukup sibuk dalam beberapa urusan, termasuk mengejar
penyelesaian penulisan Disertasi Doktor di Universitas Al Azhar, sehingga tidak sempat
menulis satu makalah yang komprehensif. Hal itu penulis sampaikan juga kepada para
peserta diskusi yang ternyata cukup membludak, sehingga ruangan Wisma Nusantara
KBRI Kairo tidak mampu menampung semua mahasiswa yang hadir untuk menyaksikan
diskusi bedah buku jilbab karya Quraish Shihab tersebut.
Dalam diskusi tersebut, para pembahas sepakat bahwa buku Quraish Shihab
tersebut masih menyisakan banyak masalah dan sejumlah kekurangan, baik dilihat dari
isinya yang cenderung lebih banyak menukil pendapat kalangan yang tidak mewajibkan,
begitu juga referensi kitab-kitab turatsnya yang sangat sedikit dan kurang akurat, serta
kesimpulan akhirnya yang masih mengambang dan tidak jelas. Maka, sangat wajar jika
banyak kalangan baik di tingkat elit maupun masyarakat awam memahami bahwa
Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab. Selain tidak ada ketegasan dalam memutuskan
hukum, dia juga cenderung banyak memberikan ruang bagi kalangan yang tidak
mewajibkan jilbab, sebagaimana disebut di atas.
Dalam bukunya, Quraish memang tidak mau dituduh bahwa dia tidak mewajibkan
pemakaian jilbab. Kata Quraish, dia hanya membentangkan aneka pendapat, baik
pandangan ulama–ulama terdahulu maupun cendekiawan kontemporer 1. Akan tetapi
faktor-faktor yang disebutkan di atas membuat banyak kalangan berkesimpulan lain.

1
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati, 2004 ) Cet I, hlm. 4

1
Taruhlah kita terima pengakuannya bahwa dia hanya membentangkan aneka macam
pendapat saja, tetapi itu pun masih banyak meninggalkan masalah di kalangan umat
Islam Indonesia. Sebagai orang yang pernah menduduki beberapa jabatan penting di
Indonesia dan luasnya pengetahuan yang dimilikinya, Quraish Shihab dianggap banyak
kalangan memiliki otoritas tinggi, dan tidak pernah salah dalam berpendapat dalam
menyoal agama, sehingga muncul anggapan pada sebagian orang bahwa apa yang
dikatakan oleh Quraish Shihab pasti benar. Padahal, jika pendapatnya dikaji secara lebih
ilmiah, tidak selalu seperti itu. Sejumlah dalil dan logika yang dipakai oleh Quraish
Shihab dalam buku ini adalah pendapat yang nyleneh dan tidak dipakai di kalangan para
ulama.
Meskipun demikian, kalangan awam tidak memahami hal itu. Karena yang
berpendapat adalah seorang Quraish Shihab, maka langsung ditelan begitu saja, dianggap
benar. Penulis mendengar cerita dari seorang Ustad bahwa seorang jamaahnya secara
terus terang menyatakan, dia lepas jilbab setelah mendengar pendapat Quraish Shihab.
Maka, sangat tepat apa yang ditulis oleh salah satu penyair :

‫وكل كاسدة يوما لھا سوق‬ ‫لكل ساقطة في الحي القطة‬

“ Setiap barang yang jatuh di suatu desa… ada saja yang mengambilnya
dan setiap barang yang tidak laku, bisa saja pada suatu ketika akan laris “ 2

Dari situ, sebagian kalangan yang peduli dalam dakwah Islam merasa gerah dan
aneh, melihat kenyataan bahwa buku-buku Quraish Shihab yang sebagian mengandung
beberapa kesalahan fatal, sampai sekarang tidak ada satu ulama pun yang mengingatkan
dan meluruskannya, terutama lewat tulisan. Masalah ini tentu menjadi kewajiban para
ulama untuk meluruskan. Para ulama tidak boleh berdiam diri terhadap suatu kekeliruan,
apalagi jika itu dilakukan oleh seorang yang berilmu tinggi.
Ketika penulis tiba di Indonesia pada tanggal 13 Pebruari 2008 M, dan berada di
Jakarta beberapa saat, sejumlah tokoh meminta penulis untuk meluruskan beberapa
kesalahan yang ditulis Quraish Shihab dalam bukunya: Jilbab, Pakaian Wanita
Muslimah. Walaupun masih diliputi berbagai kesibukan pribadi, penulis merasa
terpanggil untuk mengabulkan permintaan tersebut, walaupun tidak menjanjikannya
dalam waktu dekat, dengan niat mudah-mudahan amal yang sedikit ini, bisa bermanfaat
dan mampu menjelaskan walau secara sekilas tentang beberapa kekeliruan pemikiran
Quraish Shihab dalam soal jilbab ini.
Perlu dijelaskan, bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk membuka aib dan
mencari-cari kesalahan orang lain, akan tetapi sekedar menjelaskan kepada umat bahwa
memakai jilbab itu hukumnya wajib, sekaligus ingin menepis anggapan sebagian
kalangan bahwa bahwa Quraish Shihab adalah sosok ulama yang tidak pernah salah.
Namun demikian, penulis berusaha menghidangkan tulisan ini dengan kata-kata yang
sopan, santun serta penuh etika, karena walau bagaimanapun juga Qurash Shihab adalah
seorang yang berpengetahuan luas, yang perlu dihormati. Justru kritik terhadapnya sangat
diperlukan, sebab membiarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya adalah sama
dengan menjerumuskan dirinya dan juga umat Islam secara keseluruhan. Justru tanda

2
Muhammad Ismail Muqadim, Ar Radd Ilmi ‘Ala Kitab Tadzkir Ashab Bi Tahrim An ,iqab,
( Iskandariyah, Dar Al Iman, 2003 ) , Cet. Ke 6, hal. 9

2
persaudaraan yang baik adalah mengingatkannya jika tergelincir dalam kesalahan.
Karena buku itu sudah tersebar luas, di dalam dan luar negeri, maka menjadi kewajiban
umat Islam pula untuk menulis jawaban berupa tulisan yang serupa, agar bisa dinikmati
oleh umat Islam seluas mungkin.
Mudah-mudahan tulisan ini adalah salah satu usaha untuk membudayakan tradisi
ilmiah di tengah masyarakat Muslim. Sesuai dengan saran sejumlah pihak, agar buku ini
ditulis seringkas mungkin dan dapat terjangkau seluas mungkin, maka di waktu
mendatang, penulis berencana akan mengambangkan buku kecil ini menjadi sebuah buku
yang lebih komprehensif tentang jilbab.

Jakarta , 5 Ramadhan 1429 H/5September 2008 M

Penulis

3
II. Tidak Semua Ilmu dan Informasi Boleh Disebarluaskan

Sejumlah pihak menyampaikan kepada penulis, bahwa sangat disayangkan,


Quraish Shihab menerbitkan buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah tersebut. Di
tengah-tengah maraknya gerakan jilbab dan gerakan anti-pornografi, penerbitan karya
Quraish Shihab ini dipandang sebagai sesuatu yang kontra-produktif. Seperti ditulis
sebelumnya, ada ibu aktivis pengajian, yang dulunya memakai jilbab secara baik dan
rapi, namun setelah mendengar pendapat Quraish Shihab ini, akhirnya ia melepas
jilbabnya. Ketika ditanya tentang sikap yang diambilnya, dia menjawab bahwa menurut
Quraish Shihab, jilbab itu tidak wajib.
Sangat ironis memang. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi.
Makanya, sangat wajar jika para ulama, da’i dan aktivis-aktivis muslim menganggap
bahwa buku Quraish Shihab ini lebih banyak mengandung mudharatnya daripada
manfaatnya. Kritik pun berdatangan silih berganti, bahkan tidak sedikit yang datangnya
dari teman dekatnya sendiri. Hal ini sangat disadari oleh Quraish Shihab, sebagaimana
ungkapannya sendiri dalam bukunya : "Penulis sadar bahwa tidak jarang penulis
dikecam oleh sementara teman sendiri karena menghidangkan aneka pendapat
keagamaan tanpa melakukan pen-tarjihan - , yakni menetapkan mana yang lebih kuat
, sehingga – kata mereka – hal ini membingungkan masyarakat umum. " Selanjutnya
Quraish menulis : " Penulis menghargai juga nasihat beberapa teman yang mengharap
kiranya buku tentang persoalan jilbab itu jangan disebarluaskan, karena khawatir
jangan sampai timbul kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara
kalangan. "
Nasehat yang diungkapkan oleh teman-teman Quraish menurut hemat penulis
sangatlah benar adanya. Karena dalam ajaran Islam, tidak semua ilmu atau informasi
boleh disebarluaskan kepada masyarakat umum. Dalam keadaan tertentu, suatu ilmu atau
sebuah informasi hanya boleh disampaikan pada orang-orang tertentu. Dalam hal ini
Allah berfirman :

ُ ‫يستنبطونه‬ َ ِ ‫لعلمهُ ﱠ‬
َ ُ ِ َ ْ َ ‫الذين‬ ْ ُ ْ ِ ‫األمر‬
َ ِ َ َ ‫منھم‬ ِ ْ ُ ‫وإلى‬
ِ ْ َ ‫أولي‬ َ ِ َ ‫الرسول‬
ِ ُ ‫ردوهُ ِ َإلى ﱠ‬ ْ َ َ ‫به‬
‫ولو َ ﱡ‬ ْ ُ َ َ ‫الخوف‬
ِ ِ ‫أذاعوا‬ ِ ْ َ ْ ‫أو‬
ِ َ ‫األمن‬
ِ ْ َ ‫من‬ ٌ ْ َ ‫جاءھم‬
َ ‫أمر ﱢ‬ ََِ
ْ ُ َ ‫وإذا‬
ُْ ْ ِ
‫منھم‬
" Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
lalu mereka menyiarkannya. (Padahal) kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan Ulil Amri di antara mereka, tentunya mereka (Rasul dan Ulil Amri tersebut) dapat
menetapkan kesimpulan ( istinbat) dari berita tersebut " (Qs An Nisa : 83 )

Pada ayat di atas, Allah menegur orang-orang yang menyebarluaskan semua


informasi kepada masyarakat umum, sebelum diteliti kebenarannya, khususnya
informasi-informasi yang bisa meresahkan masyarakat. Selanjutnya Allah SWT
memberikan petunjuk kepada kaum muslimin bahwa informasi-informasi semacam itu
sebaiknya dikembalikan kepada Rasulullah saw atau kepada para pemimpin dan para
ulama, agar mereka mempelajarinya, kemudian memutuskan apakah informasi-informasi
tersebut bisa disebarluaskan atau tidak. Ulil Amri dalam ayat di atas, sebagaimana yang

4
dijelaskan oleh Imam Qurthubi yang dinukil dari Hasan Basri dan Qatadah : " Ulil Amri
disini adalah pakar ilmu dan fiqh " 3
Sangatlah indah apa yang ditulis oleh Syekh Nasir Sa'di dalam tafsirnya " Taisir
Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan " :
" Ini merupakan teguran dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya bahwa
perbuatan mereka ini tidaklah pantas. Jika ada urusan yang penting dan
berhubungan dengan masalahat umum, serta terkait dengan keamanan dan
kebahagian orang-orang beriman atau dengan ketakutan yang menimpa mereka,
yang seharusnya mereka lakukan, adalah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa untuk
menyebarkan informasi tersebut. Akan tetapi hendaknya diserahkan kepada
Rasulullah saw, dan kepada para pemimpin di antara mereka yaitu para pemikir,
para pakar ilmu dan penasehat, para cerdik pandai, dan orang-orang yang selalu
berhati-hati, yaitu orang-orang yang mengetahui urusan-urusan tersebut dan
mengetahui pula maslahat dan mudharatnya. Jika mereka melihat bahwa
menyebarluaskan masalah tersebut akan membawa maslahat, semangat dan
kebahagian bagi orang-orang yang beriman, serta bisa membentengi mereka dari
musuh-musuhnya, maka mereka menyebarluaskannya. Dan jika mereka melihat
bahwa di dalamnya ada kemudharatan atau terdapat suatu maslahat, akan tetapi
mudharatnya lebih banyak dari maslahatnya, maka mereka tidak
menyebarluaskannya. Oleh karena itu Allah berfirman (tentunya Rasul dan Ulil
Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbath) dari berita
tersebut) yakni mereka dapat menyimpulkannya dengan pikiran-pikiran dan
pendapat-pendapat mereka yang tepat, serta dengan ilmu-ilmu mereka yang
terarah. Dan ini merupakan dalil dari sebuah Kaedah Etika yaitu jika ada suatu
masalah, hendaknya diselesaikan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya,
dan diamanatkan kepada mereka, dan mereka tidak boleh sama sekali dilangkahi,
karena hal itu lebih mendekati kebenaran dan jauh dari terjerumus dalam
kesalahan. " 4

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :


‫كفي بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع‬

“Cukup bagi seseorang dikatakan berdosa, kalau dia menyampaikan seluruh apa
yang ia dengar “ (HR Muslim)

Hal ini dikuatkan oleh Imam Bukhari yang menyebutkan dalam buku " Shahih " –
nya satu bab yang berjudul : ‘’Siapa yang mengkhususkan pengajaran suatu ilmu bagi
kalangan tertentu, karena khawatir sebagian kalangan tidak bisa memahaminya’’.
Kemudian beliau menukil perkataan Imam Ali r.a. : “Berbicaralah kepada manusia
dengan sesuatu yang mereka ketahui, apakah kalian senang jika Allah dan Rasul-Nya

3
Imam al- Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz V, hlm.
188
4
Syekh Abdurrahman Ibn Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Manan,
(Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi ) Cet ke- II, 1992 M -1412 H, Juz II, hlm. 113-114

5
didustakan.5 Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani dalam Kitab Fathu al-Barri
menjelaskan masalah di atas :
‘Di dalam hadist tersebut terdapat pelajaran bahwa sesuatu yang masih samar ( Al
Mutasyabih) tidak boleh diungkap di depan orang awam. Ini sebagaimana
perkataan Ibnu Mas’ud : ‘’Tidaklah engkau berbicara dengan sebuah komunitas
dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka, kecuali akan membuat
fitnah bagi sebagian mereka.’’

Kemudian beliau memberikan contoh bagaimana para ulama dahulu, seperti


Khudzaifah dan Hasan Basri sangat mengingkari seseorang yang menyampaikan hadits
Al ‘Arayinin 6 kepada Hajjaj Tsaqafi karena dijadikan dalil untuk menumpahkan darah
kaum muslimin hanya karena karena masalah-masalah yang sepele. 7
Kalau kita perhatikan buku Quraish Shihab ini, bisa kita katogorikan buku yang
mutasyabih, karena isinya tidak jelas dan membingungkan umat, apalagi beliau sendiri
mengaku belum bisa mengambil keputusan di dalam masalah jilbab. Kalau kebingungan
bisa menyelimuti orang sekaliber Quraish Shihab, bagaimana orang awam yang menjadi
murid-muridnya. Dan karena ketidakjelasan, maka sebagian kalangan menyimpulkan
bahwa Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab, walaupun beliau sendiri tidak mau
mengakuinya. Inilah salah satu fitnah yang dikhawatirkan oleh para ulama terdahulu, jika
seseorang berbicara sesuatu yang tidak bisa dipahami secara baik oleh orang awam.

III. Tidak Semua Perbedaan Pendapat Bisa Diterima

Quraish Shihab menulis bahwa : ”menghidangkan satu pendapat saja


disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan
kenyataan bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan
keragaman pendapat. Keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al Qur'an dan hadits
yang sungguh dapat menampung aneka pendapat.“ 8

Kalau saja Quraish Shihab menghidangkan berbagai pendapat ulama yang diakui
otoritas keilmuannya, tentunya tidak akan berdampak buruk seperti yang terjadi sekarang.
Yang disayangkan, ternyata beliau menghidangkan pendapat orang-orang yang – nota
bene – hanya pemikir yang kurang otoritatif dan sama sekali bukan ulama yang mu’tabar,
sehingga menyeleweng jauh dari kebenaran dan cenderung berpendapat nyleneh.
Makanya, jauh-jauh sebelumnya, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak setiap
perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa diterima, karena bisa dimungkinkan bahwa
yang berbeda itu adalah pendapat orang yang bukan ahlinya. Berkata Ibnu Hajar Al
Haitami :

‫النظر‬ ْ ِ ‫خالفًا َلهُ َحظﱞ‬


ِ َ ‫من ﱠ‬ َ ِ ‫معتبرا ﱠإال‬
ً َ َ ْ ُ ‫جاء‬ ‫◌ليس ُ ﱡ‬
ٍ َ ِ ‫كل‬
َ َ ‫خالف‬ َ َْ َ

5
Muhammad bin Ismail Bukhari, As Shahih , dicetak bersama Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 )
Cet ke – 1 , Juz I , hal. 272
6
Al ’Arayinin adalah para penjahat yang merampok unta-unta sedekah dan membunuh petugasnya,
kemudian Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk mengejar para pelakunya.
7
Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1, Juz I, hal. 272
8
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 5

6
"Tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima, kecuali perbedaan pendapat
yang mempunyai dasar pijakan (menurut disiplin keilmuan )" 9

Kita lihat bagaimana Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama besar dari Madzhab
Syafi’i telah meletakkan sebuah kaidah yang sangat penting, khususnya bagi kaum
muslimin di Indonesia yang kebanyakan masih menganggap bahwa seluruh perbedaan
pendapat bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh dan jelas-jelas bertentangan
dengan Al Qur’an dan Hadist serta ijma’ pun harus diterima sebagai perbedaan pendapat.
Sampai-sampai saat ini ada yang menyatakan, bahwa pendapat yang menghalalkan
homoseks dan lesbian pun harus dihormati juga sebagai bagian dari perbedaan, karena
perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu saja pendapat semacam ini sangat keliru.
Perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di atas dikuatkan juga dengan perkataan ulama
besar, Imam Ar Romli :
‫يراعى‬ ‫وليس ُ ﱡ‬
ٍ َ ِ ‫كل‬
َ َ ُ ‫خالف‬ َ ْ َ َ , ‫شاذ‬ َ ْ َ ْ ‫ھذا‬
‫القول َ ﱞ‬ َ َ ‫إن‬ ْ َ ‫إ ﱠال‬
َ َ ُ ‫أن‬
‫يقال ﱠ‬

"Hanyasanya, bisa dikatakan bahwa pendapat ini adalah nyleneh, dan tidak
setiap perbedaan pendapat bisa diterima " 10

Dari sini, bisa penulis katakan bahwa pendapat-pendapat yang selayaknya ditampilkan
dalam masalah jilbab ini, hanyalah terbatas pendapat-pendapat para ulama yang bergelut
dalam bidang syari'ah dan memang telah diakui kredibilitas dan kemampuannya.
Seandainya Quraish Shihab hanya menampilkan dua pendapat kelompok besar dari para
ulama tentang batasan aurat tentu kita sepakat dan mendukungnya. Berkata Quraish
Shihab: "Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan tentang aurat wanita, ada
dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh
tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua mengecualikan
wajah dan telapak tangan. “ 11
Dua pendapat yang sudah disebutkan Qurasih, menurut hemat penulis secara
umum sudah cukup mewakili seluruh ulama yang ada. Adapun jika ada perinciannya lagi
dalam beberapa hal, maka bisa disesuaikan dengan kaidah-kaidah fiqh yang ada. Jadi,
tidak perlu menampilkan lagi pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang
sebenarnya tidak berhak sama sekali ikut bicara dalam masalah yang bukan menjadi
bidang garapannya, karena hal itu akan merusak tatanan dispilin keilmuan yang sudah
ada. Dan jika beliau menampilkan pandangan cendekiawan kontemporer tersebut secara
sepintas saja, tentunya dampak negatifnya lebih kecil dari pada sekarang. Tetapi
kenyataannya beliau justru menyendirikan pandangan cendekiawan kontemporer tentang
jilbab itu dalam satu bab secara lengkap, yaitu dari halaman 113 sampai 164, yaitu
sekitar 30% dari jumlah keseluruhan isi buku -- sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Quraish Shihab ketika menerangkan tentang pendapat ulama yang diakui otoritasnya.
Bukan hanya pendapat para cendekiawan saja yang dipermasalahkan oleh para
ulama, bahkan pendapat pakar ushul fiqh pun – yang dalam hal ini sangat dekat dengan

9
Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhi al Minhaj, ( Dar Ihya Turats al Araby ) Juz III, hlm.
209
10
Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, ,ihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, ( Beirut, Dar al Fikr ).
11
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Juz II, hlm. 8

7
ahli fiqh- belum tentu bisa diterima pendapatnya jika ia berbicara masalah fiqh. Berkata
Imam Zarkasyi:
"Apakah pendapat pakar ushul fiqh ketika berbicara masalah fiqh bisa diterima?
....Adapun mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Abul Husain bin Qattan menyatakan
bahwa pendapat seorang pakar ushul fiqh dalam permasalahan fiqh tidaklah bisa
diterima, karena dia tidak termasuk ahli fatwa. " 12

Kalau keadaannya demikian, bagaimana para ulama tersebut jika hidup pada
zaman sekarang dan mendengar seorang insiyur bangunan, sarjana politik, mantan
perwira, dokter gigi, ekonom atau sejenisnya yang sama sekali buta dengan ilmu-ilmu
syariah kemudian berfatwa tentang hukum jilbab, tentunya akan ditolak mentah-mentah.
Jika tidak memahami atau tidak mempunyai otoritas di bidang itu, seharusnya kembali
kepada ulama yang diakui otoritasnya.

IV. Perbedaan antara Ulama dan Cendekiawan

Penulis berpendapat, bahwa perlu dibedakan antara pengertian ulama dan


cendekiawan. Ulama dalam bahasa Arab adalah jama’ dari kata ‘alim, artinya ulama itu
adalah kumpulan orang-orang ‘alim. Yaitu orang yang menguasai bidang keilmuan
tertentu dari Ilmu Syariah yang biasanya dia mempelajarinya secara sistematis dan
berurutan dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Sedang
Cendekiawan dalam bahasa Arab sering disebut Adib, yaitu seseorang yang mengetahui
sedikit-sedikit dari banyak hal, semua itu didapat dari pengalaman dan bacaan sana sini
yang dilakukan secara tidak sistematis dan teratur.
Sebenarnya, setiap disiplin ilmu juga memegang otoritas keilmuan ini secara
ketat. Tidak setiap orang boleh berpendapat dalam masalah ekonomi, kedokteran, dan
sebagainya, jika dia tidak memiliki otoritas di bidang itu. Begitu juga dalam masalah
ilmu-ilmu agama (ulumuddin) diperlukan otoritas dan kedisiplinan yang tinggi, sehingga
tidak setiap orang bisa seenaknya menyebarkan pendapatnya tentang sesuatu tanpa
memiliki otoritas di bidang tersebut.
Dalam hal ini Quraish Shihab pun tidak membedakan antara ulama dan
cendekiawan, sehingga kedua golongan itu disejajarkan di dalam masalah jilbab. Quraish
mengatakan: “ Dalam buku ini, penulis berusaha membentangkan aneka pendapat,
baik pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan
kontemporer yang dinilai longgar. “13

Dalam pernyataan tersebut, Quraish Shihab telah melakukan beberapa kekeliruan,


di antaranya :
Pertama : Menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan kontemporer. Padahal
menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan dulu pun tidak boleh ketika berbicara
masalah hukum, karena bukan level dan tandingannya. Begitu juga tidak boleh
menyejajarkan ulama kontemporer dengan cendekiawan kontemporer, karena bukan level
dan tandingannya dan garapan antara keduanya juga berbeda. Akan tetapi yang dilakukan

12
Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith , ( Dar al Kutby ) , Juz VI, hlm : 416, lihat juga Al Ghozali, Al
Mutashfa, hlm : 144
13
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 4

8
Quraish adalah menyejajarkan ulama dulu dengan cendekiawan kontemporer sungguh
sangat-sangat tidak sapadan, baik dari segi ilmu maupun akhlaqnya. Yang lebih
mendingan adalah menyejajarkan atau membandingkan ulama dulu dengan ulama
kontemporer.
Kedua : Tampaknya, Quraish Shihab tidak bisa membedakan antara ulama dan
cendekiawan sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Dalam disiplin ilmu fiqh,
disebutkan bahwa ulama adalah orang yang menguasai hukum-hukum syari’ah dan
mampu melakukan ijtihad hukum dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan Hadits. 14
Bahkan di dalam pembahasan ijma’ disebutkan bahwa kesepakatan yang merupakan
hujjah sesudah Al Qur’an dan Hadits adalah kesepakatan para ulama, yaitu mereka yang
mampu mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya setelah memenuhi beberapa syarat,
seperti penguasaan bahasa Arab yang cukup, pemahaman terhadap ilmu ushul fiqh yang
memadai, dan ilmu-ilmu lainnya. Kesepakatan ulama tersebut wajib kita ikuti, walaupun
mereka hanya sedikit. Sebaliknya kesepakatan para cendekiawan tidaklah diakui menurut
disiplin ilmu ushul fiqh, walaupun jumlah mereka sangat banyak. 15 Sehingga sangat
tidak benar jika dalam masalah hukum kita menyejajarkan antara para ulama dengan
cendekiawan, apalagi ulama yang dulu dengan cendekiawan kontemporer.
Ketiga: Mengesankan kepada para pembaca bahwa ulama dulu itu pendapat-
pendapatnya terkesan ketat dan mempersulit, sedang cendekiawan kontemporer terkesan
longgar. Kemudian setelah itu pada halaman berikutnya menukil ayat-ayat dan hadits-
hadits yang menunjukkan bahwa Islam itu mudah dan rahmat bagi sekalian alam. Cara
penulisan seperti ini walaupun barangkali tidak disengaja oleh Quraish Shihab akan tetapi
bisa membuat para pembaca alergi dan apriori dengan para ulama yang sejak pertama
dikesankan ketat dan mempersulit. Padahal kalau kita telusuri bahwa para ulama dulu
banyak yang telah menulis tentang kemudahan syari’at Islam ini.

V. Kemudahan dalam Islam bukan Berarti Meninggalkan Kewajiban atau Memilih


Pendapat yang .yleneh

Pada bagian pengantar bukunya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa agama Islam
itu mudah. Beliau menulis:
"Agama ini mengedepankan kemudahan. Kitab suci Al Qur'an menegaskan
bahwa:
َ ْ ُ ْ ‫بكم‬
‫العسر‬ ُ ُ ِ ‫يريد‬ َ ْ ُ ْ ‫بكم‬
ُ ِ ُ َ‫اليسر َوال‬ ّ ‫يريد‬
ُ ُ ِ ُ‫ﷲ‬ ُ ُِ

"Allah menghendaki buat kamu kemudahan dan tidak menghendaki buat kamu
kesulitan. ( Qs Al Baqarah [2] : 185 ) Di tempat lain ditegaskan-1ya bahwa :
‫حرج‬
ٍ َ َ ‫من‬
ْ ِ ‫الدين‬ ْ ُ ْ َ َ ‫جعل‬
ِ ‫عليكم ِفي ﱢ‬ َ َ َ ‫وما‬
َ َ

" ..dan Dia ( Allah ) tidak menjadikan bagi kamu dalam hal agama sedikit
kesulitanpun " ( Qs al Hajj [ 22] : 78 )

14
Al Ghozali, al Mustashfa, hlm. 143, Ibnu Qadamah, Raudhatu ,adhir, juz : II, hlm. 254
15
Al Ghozali, al Mustashfa, hlm. 137, Ibnu Qadamah, Raudhatu ,adhir, juz : I. hlm. 219

9
Itu semua antara lain disebabkan karena ajaran Islam yang disampaikan oleh
1abi Muhammad saw tidak bertujuan kecuali membawa rahmat seluruh alam ( Baca
Qs al Anbiya' [21] : 107 )
Disamping ayat-ayat Al Qur'an, banyak sekali petunjuk dan praktek Rasul saw
yang menunjukkan bagaimana beliau sangat memperhatikan dan menganjurkan
kemudahan beragama. Beliau berpesan :
"Berilah berita gembira dan jangan menjauhkan (orang dari tuntutan agama ,
permudahlah dan jangan mempersulit " (HR Bukhari dan Muslim ) 16

Kita sepakat dengan Quraish Shihab bahwa agama Islam itu mudah. Akan tetapi
kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada kita umat Islam ini, bukan berarti kita
dibolehkan untuk meninggalkan kewajiban–kewajiban yang dibebankan kepada kita, dan
bukan berarti juga, kita bebas memilih pendapat yang menurut kita enak, walaupun tidak
mempunyai dasar dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tulisan beliau tentang kemudahan ajaran Islam dalam pengantar tersebut akan
mengesankan bahwa dalam masalah jilbab, janganlah kita mempersulit diri, karena para
ulama masih berselisih tentang batasan-batasannya, bahkan sebagian cendekiawan
kontemporer ada yang tidak mewajibkannya. Karena agama ini mudah, maka tidak apa-
apa kalau kita memilih pendapat yang tidak mewajibkannya. Dan ini dampaknya sangat
berbahaya, karena pembaca akan tergiring untuk menyimpulkan bahwa diantara
pendapat-pendapat yang ada tentang hukum jilbab, maka yang paling sesuai dengan ruh
kemudahan dalam Islam adalah pendapat yang tidak mewajibkannya, atau paling tidak
yang memberikan banyak kelonggaran-kelonggaran di dalamnya, seperti pendapat yang
membolehkan terlihatnya leher, kaki atau pun sebagian rambut.

Selanjutnya Quraish menulis : "Sayang rahmat dan kemudahan itu, sering


tidak dirasakan bahkan boleh jadi ditutup-tutupi atau tertutupi oleh kaum muslimin
sendiri, akibat pemahaman dan penerapan mereka yang tidak tepat terhadap ajaran
Islam. Jauh sebelum masa kita ini, Syekh Muhammad Abduh ( 1849-1905 ) telah
menyatakan " (Pesona ajaran) Islam tertutupi oleh kaum muslimin." Yang menutupi
itu, tidak selalu orang-orang awam, tetapi juga orang-orang yang dinilai memiliki
pengetahuan agama yang mumpuni, dan tentu saja termasuk juga mereka yang
merasa memilikinya padahal yang mereka miliki baru kulit agama, belum intinya "

Tulisan Quraish Shihab semacam itu dapat menimbulkan kesan bahwa para ulama
dulu dan kini yang mewajibkan jilbab, baik yang mengatakan bahwa seluruh tubuh
perempuan itu aurat, maupun yang memberikan pengecualian wajah dan telapak tangan
adalah orang-orang Islam yang menutupi keindahan Islam, atau orang-orang yang hanya
memiliki kulit agama, bukan intinya. Menurut hemat penulis, semestinya kata-kata
seperti itu bisa dihindari sebagai bentuk penghormatan dan sopan santun kepada para
ulama, apalagi mereka adalah mayoritas ulama, kalau tidak mau dikatakan seluruh ulama.
Begitu juga kata-kata itu belum tentu benar adanya, bahkan sebaliknya para ulama dulu
adalah orang-orang yang ikhlas dan bersungguh-sungguh di dalam mempelajari Islam,
sehingga Allah menjadikan mereka ulama yang mumpuni dalam Ilmu Syari'at. Berbeda

16
. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati ) Cet I, 2004, hlm. 10

10
dengan sebagian ulama sekarang yang kadang menjual ilmu mereka untuk mendapatkan
kesenangan dunia yang sedikit ini.
Perbedaan sifat ulama-ulama dulu dan sekarang sudah banyak dibahas oleh para
ulama. Ibnu Rajab al Hambali di dalam bukunya "Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf "
(Keutamaan Ilmu Ulama Dulu Atas Ilmu Ulama Kontemporer ) menulis :

‘’Beginilah, sesungguhnya orang-orang sekarang banyak tertipu, mereka mengira


bahwa siapa yang banyak bicara dan berdebat serta berpolemik dalam masalah-
masalah keagamaan, pasti lebih pandai dari pada yang tidak bisa seperti itu.
Pendapat seperti ini hanyalah berasal dari kebodohan belaka. Lihatlah kepada
para senior sahabat Nabi saw, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Muadz, Ibnu
Mas’ud, Zaid bin Tsabit , ternyata perkataan ( riwayat ) mereka lebih sedikit dari
perkataan (riwayat) Ibnu Abbas, akan tetapi walaupun begitu mereka lebih pandai
darinya. Begitu juga para Tabi’in, perkataan (tulisan) mereka lebih banyak dari
sahabat, tetapi para sahabat lebih pandai daripada mereka, begitu juga para
Tabi’ut Tabi’in, mereka lebih banyak bicaranya dari Tabi’in, tapi para Tabi’in
lebih pandai dari mereka. Karena keilmuan tidaklah diukur dengan banyaknya
riwayat maupun tulisan, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah cahaya yang tertancap
dalam hati seseorang, sehingga dia bisa membedakan antara kebenaran dan
kebatilan.’’ 17

Quraish Shihab menulis : "Mereka lupa bahwa tidak menjelaskan kemudahan


itu dapat melahirkan sikap apriori dan penolakan karena menilai yang ditawarkan
atas nama agama- tanpa memberi alternatif- merupakan sesuatu yang sulit."

Apakah benar yang dikatakan Quraish Shihab bahwa para ulama lupa atau tidak
menjelaskan kemudahan dalam masalahan-masalah agama? Tentu saja jawabannya tidak.
Mereka, para ulama tersebut, tidak lupa akan hal itu, bahkan mereka dengan penuh
tanggung jawab dan sungguh-sungguh telah menjelaskan akan kemudahan Islam.
Lihatlah ratusan buku-buku turats dalam berbagai disiplin keilmuan penuh dengan
penjelasan tersebut. Dari buku-buku tafsir, yang Quraish Shihab pakar di dalamnya,
sampai buku-buku hadits dan syarahnya serta buku-buku fiqh, qawaid fiqh sampai buku-
buku ushul fiqh.
Dalam buku-buku tafsir umpamanya, akan kita dapatkan keterangan tentang
kemudahan Islam itu dalam tafsir Surat Al Baqarah , ayat 185:

َ ْ ُ ْ ‫بكم‬
‫العسر‬ ُ ُ ِ ‫يريد‬ َ ْ ُ ْ ‫بكم‬
ُ ِ ُ َ‫اليسر َوال‬ ّ ‫يريد‬
ُ ُ ِ ُ‫ﷲ‬ ُ ِ ُ
’’Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.’’

Begitu juga dalam surat Al Hajj, ayat 78 :

‫حرج‬ ْ ِ ‫الدين‬
ٍ َ َ ‫من‬ ْ ُ ْ َ َ ‫جعل‬
ِ ‫عليكم ِفي ﱢ‬ َ َ َ ‫وما‬
َ َ

17
Ibnu Rajab Al Hambali, Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf , ( Kairo, Al Maktabah Al Islamiyah – Dar
Ahlu As Sunnah, 1996 ) Cet Ke – 1 , hal. 27

11
" ..dan Dia ( Allah ) tidak menjadikan bagi kamu dalam hal agama sedikit kesulitan
pun."

Dalam buku-buku hadits, kita dapatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim
tentunya dengan syarahnya Fathu al Bari dan Syarah Nawawi. Begitu juga dalam buku-
buku Qawa'id Fiqhiyah, terutama dalam kaidah ”Al Masyaqqah Tajlibu at Taisir "
(kepayahan itu akan mengundang kemudahan) akan kita dapatkan penjelasan yang
panjang lebar dan mendetail tentang kemudahan dalam Syari’at Islam.18 Begitu juga
dalam buku-buku Fiqh dan Ushul Fiqh, khususnya dalam masalah ”Rukhsyah Syar'iyah”
(keringanan dalam beribadah),19 dalam buku-buku tersebut akan kita dapatkan keterangan
dari para ulama bahwa ajaran Islam ini begitu indah dan mudah.
Tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendudukkan ajaran Islam
yang mudah ini dengan perintah Allah kepada wanita-wanita muslimah untuk menutup
aurat mereka dengan menggunakan jilbab. Apakah karena kemudahan ini, terus
kemudian seorang wanita muslimah bebas memakai apa saja yang ia sukai, atau
kemudahan itu hanya terdapat pada keadaan-keadaan tertentu yang memang menuntut
demikian. Inilah yang barangkali Quraish Shihab belum bisa mengambil keputusan di
dalamnya dan terus diliputi keragu-raguan akan hukum jilbab, walaupun sebenarnya
dalil-dalil tentang kewajiban itu sangat gamblang dan jelas.

VI. Hukum Menjamak Shalat Tanpa Sebab

Selanjutnya Quraish Shihab menulis: "Sebagai contoh, 1abi Muhammad saw


suatu ketika shalat Zhuhur lalu langsung setelah itu melaksanakan shalat Ashar.
Beliau menjamak atau bagaikan menjamak kedua shalat itu, padahal ketika itu beliau
tidak dalam perjalanan (musafir), tidak juga karena adanya sebab-sebab jelas-yang
selama ini dipahami sebagai alasan untuk menjamak shalat." Kemudian Quraish
melanjutkan : "maka paling tidak, ia menunjukkan bolehnya menjamak shalat –
sewaktu-waktu - walau bukan dalam keadaan musafir. Ini bila ada kebutuhan yang
mendesak, sebagaimana yang dilakukan oleh sementara ulama. " 20

Hadits yang dimaksud oleh Quraish Shihab di atas adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. yang menyebutkan :

ٍ َ َ ‫وال‬
. ‫مطر‬ َ َ ‫خوف‬
ٍ ْ َ ‫غير‬ ِ َ ِ ْ َ ‫والمغرب‬
ْ ِ , ‫والعشاء‬
ِ ْ َ ‫من‬ ِ ْ َ ْ َ ‫الظھر‬
ِ ِ ْ َ ْ َ , ‫والعصر‬ ِ ْ ‫بين ﱡ‬
َ ْ َ ‫جمع‬
َ َ َ ‫النبي صلى ﷲ عليه وسلم‬ ‫َﱠ‬
‫أن ﱠ ِ ﱠ‬

18
Lihat umpamanya Imam As Suyuti dalam Al Asybah wa An-,adhair, ( Beirut, Dar kutub Ilmiyah ,
1983) Cet. Ke– 1, hal. 76-86 , Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wa An ,adhair, ( Kairo, Al Maktabah At
Taufiqiyah, t.t. ) hal. 82-93 , Izzuddin bin Abdissalam As Salami dalam Qawa’id Al Ahkam fi Mashalihil
Anam ( Kairo, Dar Al Bayan Al Arabi , 2002) Juz II, hal. 6-12
19
Diantara buku-buku yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah : Usamah Muhammad As Sholabi, Ad Durar
Al Bahiyah Fi Ar Rukahs As Syar’iyah, Ahkamuha Wa Dhawabituha (As Syariqah, Maktabah As Sahabah,
2003 ) Cet- 1, Prof. DR. Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Amien As Syenkity, ,adhrat Wa Tafahush
Fi Ar Rukhsah Wa At Tarakhus,( Dar At Tiba’ah Al Islamiyah, 1994 ), Cet. Ke- 1
20
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 12

12
"Bahwa nabi Muhammad saw pernah menjamak antara dzhuhur dan Ashar, dan
Maghrib dan Isya' dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan " 21

Para ulama dulu telah membahas hadits ini secara panjang lebar. Kesimpulannya
bahwa hadits ini berlaku dalam keadaan sakit, atau berlaku bagi orang yang keadaannya
sangat payah jika melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti kakek atau nenek
yang sudah tua renta serta sakit-sakitan. Atau dimungkinkan Rasulullah saw mengerjakan
shalat-shalat tersebut pada waktunya, karena keadaan tertentu, maka yang satu dikerjakan
pada akhir waktu sedang yang lain dikerjakan pada awal waktu, yang oleh orang yang
melihatnya seakan-akan Rasulullah saw menjamak kedua shalat tersebut, padahal
hakikatnya tidak demikian.
Adapun menjamak shalat tanpa sebab, maka mayoritas ulama mengatakan tidak
boleh. Memang ada segilintir orang -- yang belum diketahui siapa mereka -- yang
membolehkan demikian. Dan ada segelintir lagi yang membolehkannya dalam keadaan
tertentu itupun tidak boleh menjadi kebiasaan. Baiklah untuk meyakinkan pembaca, akan
penulis sebutkan perkataan sebagian ulama tentang hukum menjamak shalat tanpa udzur.
Berkata Imam Nawawi :
" Madzhab para ulama tentang hukum menjamak shalat ketika dalam keadaan
tidak takut, tidak pula sedang dalam bepergian , tidak pula dalam keadaan hujan
dan tidak pula dalam keadaan sakit : untuk madzhab kita ( Syafi'i ) dan madzhab
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, serta mayoritas ulama hukumnya adalah tidak
boleh. Sedang Ibnu Mundzir menceritakan dari beberapa kalangan akan
kebolehannya walaupun tanpa sebab. Dia berkata juga bahwa Ibnu Sirrin
membolehkan hal itu jika memang ada kebutuhan, dan tidak boleh menjadikan hal
itu sebagai kebiasaan . " 22

Berkata Ibnu Qudamah :


" Dan tidak boleh menjamak shalat kecuali bagi yang telah kami sebutkan.Berkata
Ibnu Syubrumah : Boleh menjamak shalat jika ada kebutuhan atau hal yang lain,
selama itu tidak dijadikan suatu kebiasaan. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas:

ٍ َ َ ‫وال‬
. ‫مطر‬ َ َ ‫خوف‬
ٍ ْ َ ‫غير‬ ِ َ ِ ْ َ ‫والمغرب‬
ْ ِ , ‫والعشاء‬
ِ ْ َ ‫من‬ ِ ِ ْ َ ْ َ , ‫والعصر‬
ِ ْ َ ْ َ ‫الظھر‬
ِ ْ ‫بين ﱡ‬
َ ْ َ ‫جمع‬
َ َ َ ‫النبي صلى ﷲ عليه وسلم‬ ‫َﱠ‬
‫أن ﱠ ِ ﱠ‬

"Bahwa Nabi Muhammad saw pernah menjamak antara Zhuhur dan Ashar, dan
Maghrib dan Isya' dalam keadaan tidak takut dan tidak pula sedang hujan "
Ibnu Abbas ketika ditanya : Kenapa Rasulullah saw melakukan hal yang demikian
? Beliau menjawab : Supaya tidak menyusahkan umatnya. Sedang dalil kita
adalah hadist-hadist yang menerangkan tentang waktu-waktu shalat yang lima itu.
Sedang maksud hadist Ibnu Abbas di atas adalah ketika Rasulullah saw dalam
keadaan sakit, dan berlaku bagi orang yang keadaannya sangat payah jika
melakukan shalat lima waktu pada waktunya, seperti orang yang sedang
menyusui, dan kakek yang sudah tua renta serta sakit-sakitan, dan orang-orang
yang sejenis itu yang jika tidak menjamak shalat akan mendapatkan kepayahan
yang amat sangat. Dan dimungkinkan Rasulullah saw – karena keadaan tertentu-

21
HR Muslim No Hadist: 706
22
Imam Nawawi, Al Majmu' Syarhu al Muhadzab, ( Al Muniriyah ) Juz IV, hlm : 264

13
mengerjakan shalat yang pertama pada akhir waktu, sedang untuk shalat yang
kedua dikerjakan pada awal waktu . " 23

Dari keterangan di atas, kita bisa mengetahui bahwa Quraish Shihab ternyata
memberikan contoh bahwa ajaran Islam itu mudah dengan hal-hal yang sifatnya syadz
(nyleneh), padahal mayoritas ulama terdahulu dan kontemporer menjauhi hal tersebut,
bahkan melarangnya. Dengan begitu, apakah kemudian akan kita katakan bahwa
mayoritas ulama adalah orang-orang yang menutupi keindahan Islam, karena mereka
melarang seorang muslim untuk menjamak shalat tanpa ada sebab?

VII. Larangan untuk Mengikuti Pendapat Ulama yang 1yleneh

Pada bagian akhir tulisannya, yaitu ketika menulis tentang pandangan


cendekiawan kontemporer, Quraish Shihab memulainya dengan menceritakan sepak
terjang Qasim Amin ( 1803-1908 ), salah satu cendekiawan Mesir yang baru pulang dari
Perancis dan merupakan tokoh pelopor pembebasan wanita. Dalam bukunya yang sangat
kontroversial Tahrir Al Mar’ah (Pembebasan Perempuan), ia mengajak perempuan
Mesir untuk menanggalkan jilbab yang selama ini mereka yakini sebagai kewajiban
agama. Qasim Amin menegaskan dalam bukunya tersebut bahwa tidak ada satupun
ketetapan agama ( nash dari syari’at ) yang mewajibkan pakaian khusus ( hijab atau
jilbab) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Qasim Amin juga
berpendapat bahwa Al Qur’an membolehkan perempuan menampakkan sebagian dari
tubuhnya di hadapan orang-orang yang bukan muhramnya. Tetapi Al Qur’an – masih
menurut Qasim Amin – tidak menentukan bagian-bagian mana dari anggota tubuh yang
boleh terbuka.
Setelah menukil pendapat Qasim Amin, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa
Syekh Muhammad Abduh (1849- 1905) yang pernah menjabat menjadi mufti Mesir
ternyata secara diam-diam mendukung apa yang dinyatakan oleh Qasim Amin tentang
aurat wanita. Kemudian cerita itu ditutup oleh Quraish Shihab dengan pernyataan sebagai
berikut : " ...Yang penulis maksud, tidak lain hanyalah ingin membuktikan bahwa ada
juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut atau bahkan mencetuskan
pendapat-pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.
Terlepas dari siapa pencetus ide tentang pakaian wanita, yang sedikit dan
banyak berbeda dengan pendapat ulama terdahulu, namun yang jelas bahwa para
pencetus dan pendukung ide serta pendapat-pendapat ulama terdahulu, memiliki juga
dalil atau dalih yang menjadi dasar pendapat mereka " 24

Selanjutnya Quraish menulis : " Praktek nabi –walau hanya sekali- yang dijadikan
dasar antara lain oleh Syekh Muhammad Abduh itu , hampir ( hlm 12 ). ....Syekh
Muhammad Ghazali ( hlm 13) ?????dari sya

23
Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Dar Ihya al Turast al Arabi ) Juz II , hlm : 60
24
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 117

14
Banyak para ulama yang melarang seseorang mencari-cari pendapat yang nyeleneh.,
walaupun kadang itu berasal dari sebagian ulama. Dalam hal ini seorang
...............menulis :

‫تزندق‬ ْ ِ ِ ِ َ َ ‫من‬
َ َ ْ َ َ ‫أقاويلھم‬ ْ ِ ‫بالرخص‬ َ َ َ ‫أو‬
ِ َ ‫أخذ ِ ﱡ‬ ُ َ َ ُ ْ ‫فيه‬
ْ َ ‫العلماء‬ َ َ َ ْ ‫يتتبع َما‬
ِ ِ ‫اختلف‬ ِ ْ َ َ ‫ويعتمد‬
ْ َ َ . ‫عليه‬
ُ ‫ومن َ َ َ ﱠ‬ ِ ْ َ ‫يستروح‬
ُ َ َ ْ ُ َ ‫إليه‬ ‫ليس ُ ﱡ‬
ٍ َ ِ ‫كل‬
ُ َ ْ َ ْ ُ ‫خالف‬ ‫َ ﱠ‬
َ ْ َ ُ‫◌نه‬
َ َ ‫أو‬
. ‫كاد‬ َْ
" Bahwasanya tidak setiap perbedaan pendapat itu bisa diambil dan dijadikan sandaran.
Dan barang siapa yang mencari-cari apa yang diperselisihkan oleh para ulama atau
mengambil keringanan-keringanan saja dari pendapat mereka, maka dia akan menjadi
zindiq atau mendekati zindiq " 25

Memang harus diakui bahwa di dalam banyak masalah agama, para ulama
berselisih pendapat di dalamnya. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas
untuk berbicara tentang agama kecuali yang memang mempunyai kemampuan dan
memenuhi syarat-syaratnya. Dan ini bukan berarti juga, bahwa setiap orang bebas
memilih mana saja dari perbedaan para ulama tersebut tanpa dibarengi dengan sifat wara’
dan kehati-hatian serta rasa takut kepada Allah SWT. Selain itu, di dalam memilih salah
satu dari pendapat-pendapat para ulama itu, juga harus diperhatikan dampak positif dan
negatifnya terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Jika ada salah satu atau sebagian
ulama berpendapat suatu hal yang bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist
serta adab-adab Islam secara umum, maka tentunya pendapat itu tidak bisa kita terima,
seperti pendapat yang membolehkan seorang laki-laki untuk melihat seluruh tubuh wanita
yang hendak dinikahinya dengan menggunakan dalil salah satu hadist :

“Jika salah satu dari kalian ingin menikahi seorang wanita, hendaklah dia melihatnya
yang menyebabkan dia bisa menikahinya “

Tentunya pendapat ini tidak bisa kita terima sama sekali, walaupun dilontarkan
oleh seorang ulama dan berdasarkan dhahir dari hadist Rasulullah saw, karena pendapat
ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist lainnya yang menyatakan
keharusan untuk menundukkan pandangan dan menutup aurat kecuali kepada orang-
orang tertentu, seperti suami atau istrinya.

Seperti juga pendapat yang membolehkan seorang wanita menjadi Imam bagi
kaum laki-laki dalam shalat. Menurut sebagian kalangan pendapat ini diriwayatkan dari
beberapa ulama, seperti Imam At Tsauri 26, akan tetapi benarkah kenyataannya seperti
itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus meneliti kebenaran riwayat tersebut.
Dan ternyata kita tidak mendapatkan sanad bersambung sampai kepada ulama tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa riwayat itu belum tentu benar adanya. Taruhlah riwayat itu
benar, akan tetapi apakah riwayat tersebut menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh
kelompok yang mengusungnya bahwa seorang wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki
di masjid umum, bahkan pada shalat Jumat? Tentunya ini juga perlu penelitian juga. Dan

25
Muhammad bin Ahmad As Safarini, Ghidhau al Albab fi Syarh Mandhumat al Adab, Muassasah Al
Qurtubah, Juz I , hlm : 150
26
Lihat umpamanya Al Mawardi di dalam Al Hawi Al Kabir, Juz II, hlm : 326.

15
hadist yang dijadikan sandaran oleh ulama tersebut seandainya riwayatnya shahih, hanya
menunjukkan bahwa seorang wanita menjadi imam bagi anggota keluarganya. Jadi dari
mana mereka menyatakan kebolehan seorang wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki
dewasa di masjid besar dan pada shalat Jumat? Inilah salah satu contoh bagaimana
sekelompok orang mengangkat dan membesar-besarkan “ suatu masalah “ yang nyleneh
dan belum jelas kebenarannya, untuk pembenaran atas pemikiran-pemikiran yang
mereka usung dan mereka pasarkan.27 Ini adalah salah satu bentuk mencampuradukkan
antara kebenaran dan kebatilan yang menjadi ciri khas perbuatan orang-orang Yahudi,
sebagaimana yang disinyalir dalam Al Qur’an :

“Dan janganlah engkau mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan


engkau menutupi kebenaran tersebut, padahal engkau mengetahuinya “ ( Qs Al Baqarah
: 42 )

Bahkan para ulama- sebagaimana yang telah disebutkan di atas – menyatakan


bahwa siapa saja yang sengaja mencari-cari pendapat-pendapat nyleneh atau menelusuri
keringanan-keringanan dari pendapat ulama, maka dia akan menjadi zindiq atau
mendekati zindiq.

Para ulama telah memberikan perumpamaan tergelincirnya seorang ulama


bagaikan kapal yang bocor, jika kapal tersebut tenggelam, maka akan tenggelam semua
penumpang di dalamnya.

Berkata Umar bin Khattab :


" Tiga hal yang akan merusak agama : tergelincirnya seorang ulama, debatnya orang
munafik terhadap Al Qur'an, dan para pemimpin yang sesat . " 28

Berkata Ibnu Abbas :


" Celakalah bagi orang-orang yang mencari-cari tergelincirnya seorang ulama. "
Bagaimana itu bisa terjadi ? Berkata Ibnu Abbas : " Yaitu seorang ulama berbicara menurut
pikirannya ( tanpa ada dasarnya ), kemudian orang tersebut mendapatkan ulama lain yang lebih
tahu darinya, dia tidak mau mengikutinya, dan tetap mengikuti sang alim yang tergelincir tadi " 29

Berkata Ibrahim bin Abi Ablah :


" Barang siapa yang suka membawa ilmu yang nyeleneh, maka berarti dia telah
membawa kejelekan yang sangat banyak . " 30

Berkata Imam Malik :


" Sejelek-jelek ilmu adalah ilmu yang nyleneh, dan sebaik-baik ilmu adalah yang jelas
dan yang telah diriwayatkan oleh banyak orang. " 31

27
Lihat masalah ini secara lebih rinci di DR. Muhammad Nu'aim Sa'I, Haditsatu ,ew York, hlm : 94-100.
28
Atsar ini diriwayatkan oleh Darimi di dalam As Sunan, Juz I , hal. 71
29
Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam bukunya : Jami' Bayan Al Ilmi , no : 1877
30
Ad Dzahabi, Siar A'lam ,ubala' , Juz III, hal. 391
31
Tartib Al Madarik , Juz I, hal. 184

16
Dari riwayat-riwayat di atas, kita mengetahui bahwa mengikuti pendapat-
pendapat nyleneh dan aneh dari para ulama adalah perbuatan yang tercela dan dilarang
dalam agama. Maka, hendaknya seorang muslim selalu mengikuti hal-hal yang sudah
disepakati oleh para ulama atau yang telah dianut oleh mayoritas, paling tidak mengikuti
hal-hal yang sudah dikenal di kalangan para ulama.

Berkata Ibnu Hajar :


‫إذا تكلم المرء في غير فنه أتى بھذه العجائب‬
“ Kalau seseorang berbicara bukan pada bidangnya, niscaya akan bicara yang aneh-aneh
“ 32

VIII. Tidak Mendukung Pendapat Para Ulama

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa Quraish Shihab


walaupun tidak mau terus terang untuk mengatakan bahwa jilbab tidaklah wajib, akan
tetapi disela-sela tulisannya menunjukkan bahwa beliau memang terkesan untuk
memihak pendapat cendekiawan kontemporer dan memojokkan pendapat para ulama
dulu. Diantara bukti-buktinya adalah sebagai berikut :

Pertama : Quraish Shihab menulis : « Penulis tidak cenderung mendukung


pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya atas dasar
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ini bukan saja karena lemahnya alasan-
alasan yang mereka kemukakan, tetapi juga dengan tampil seperti yang mereka
wajibkan itu gugurlah fungsi hiasan dan keindahan dalam berpakaian, padahal Al
Qur’an sendiri menyebutkan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah hiasan. « 33

Dari tulisan Quraish Shihab di atas, secara jelas dan gamblang bahwa beliau tidak
mendukung pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya, seraya
memberikan alasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang
menyatakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah hiasan. Bukan sampai di sini saja,
beliau lebih lanjut menukil perkataan kelompok yang sangat membenci pendapat ini-
walau beliau tidak bermaksud untuk mengolok-ngoloknya . Beliau menulis : « Pakaian
longgar, berwarna hitam yang tidak menampakkan kecuali sepasang- bahkan sebiji-
bola mata yang juga tidak jarang ditutup dengan kaca mata hitam, sungguh tidak
mengandung nilai-nilai kecantikan dan hiasan. Penulis tidak akan berkata seperti
tulis beberapa orang bahwa pakaian seperti yang diwajibkan oleh sementara ulama
itu, menjadikan wanita tampil seperti sosok hantu atau bahwa pakaian itu seperti
kafan dan menjadikan pemakainya bagaikan mayat-mayat yang berjalan. Sama sekali
penulis tidak akan berkata demikian. « 34

Dari pernyataan tersebut bisa kita lihat bagaimana besarnya ke-tidaksetuju-annya


terhadap pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya, bahkan
sampai menyempatkan dirinya untuk menukil pernyataan yang sangat tidak etis dan

32
Muh Ismail Muqaddim, Op. Cit, hal. 48
33
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal : 107
34
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal : 107

17
secara jelas dan gamblang mengolok-ngolok wanita yang mengikuti salah satu pendapat
ulama yang mu’tabar dengan menyebutnya sosok hantu dan mayat-mayat yang
berjalan….subhanallah ! Seandainya Quraish tidak mau berkata demikian, kenapa
pernyataan tersebut. harus dinukil di dalam bukunya, kemudian tidak membantahnya
sedikitpun. Apa perlunya beliau menukil perkataan tersebut ? Mudah-mudahan beliau
segera menyadari kesalahan fatal ini dan menghapusnya dari bukunya.

Kedua : Di akhir bukunya Quraish Shihab membuat kesimpulan bahwa


: " Wanita yang menutup seluruh badannya atau kecuali wajah dan telapak
tangannya, telah menjalankan bunyi teks ayat-ayat Al Qur’an, bahkan mungkin
berlebih. 1amun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka
yang tidak memakai kerudung , atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa
mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama . " 35

Kita bisa melihat dari pernyataan di atas, bahwa Quraish bukan hanya tidak setuju
dengan pendapat yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuh badannya saja, bahkan
beliau juga tidak setuju dengan pendapat mayoritas ulama yang lebih longgar yaitu yang
mewajibkan menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Beliau
menyatakan bahwa orang yang mengikuti pendapat ini telah berlebihan di dalam
mengamalkan teks-teks Al Qur’an. Dalam pandangan Islam, orang yang berlebih-lebihan
di dalam mengamalkan ajaran agama adalah orang yang tidak berjalan di atas jalan yang
lurus, bahkan kelompok-kelompok sesat dan ahli bid’ah menjadi sesat karena berlebih-
lebihan di dalam mengamalkan ajaran agama. Jika sifat berlebihan ini dicapkan dan
ditempelkan kepada para wanita yang berjilbab sungguh merupakan suatu tuduhan yang
keji, yang sebenarnya sangat tidak layak diucapkan oleh tokoh sekaliber Quraish yang
telah bertahun-tahun mendalami ilmu agama di pusat peradaban Islam, Mesir dan di
Universitas Islam tertua di dunia yaitu Universitas Al Azhar. Semoga Allah mengampuni
kita semua dan menunjukkan kepada kita jalan yang lurus.

IX. Hubungan Budaya Setempat dengan Teks Al Qur'an Dan Hadist

Di dalam masalah jilbab, Quraish Shihab cenderung untuk mendukung pendapat


yang mengatakan bahwa batasan pakaian dalam Islam disesuaikan dengan kondisi dan
adat istiadat masyarakat setempat. Jika pakaian tersebut layak dan pantas serta wajar
menurut masyarakat tertentu, maka itulah pakaian yang diperintahkan oleh Islam untuk
dipakainya. Banyak pernyataan-pernyataan Quraish Shihab yang menunjukkan hal
tersebut. Di sini akan diberikan beberapa contoh darinya, walau sebagian besar sudah
dikupas oleh penulis pada halaman-halaman berikutnya.

Contoh Pertama :
Quraish menulis : "Terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa ayat-ayat Al
Qur'an lebih-lebih sabda, pengamalan dan pembenaran 1abi Muhammad saw ( As-
Sunnah ) kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyarakat yang memiliki
budayanya."

35
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 174

18
Selanjutnya beliau menulis : "Mereka juga hendaknya memahami budaya
masyarakat, sejarah nabi Muhammad saw, sebab-sebab turunnya satu ayat, atau
tercetusnya ucapan dan sikap 1abi Muhammad saw . Di sisi lain , perlu juga digaris
bawahi bahwa pemahaman seseorang menyangkut satu nash ( teks ) – termasuk Al
Qur'an dan Hadist – tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan budaya masyarakatnya, di samping kecerdasan dan kecenderungan
pribadinya. 36

Dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara
pengambilan hukum dari Al Qur'an dan Hadist disebutkan bahwa pengambilan suatu
hukum hanyalah tertumpu pada teks-teks yang ada dalam Al Qur'an dan Hadist yang
tentunya menggunakan bahasa Arab, maka salah satu syarat mutlak untuk menjadi
seorang mujtahid ( yang mampu mengistinbatkan suatu hukum ) adalah penguasaan
bahasa Arab. Teks-teks yang ada dalam Al Qur'an dan Hadist itulah yang akan diolah
oleh seorang mujtahid sehingga diperoleh suatu hukum. Tidak disebutkan di dalamnya
keharusan memahami budaya masyarakat pada waktu itu sebagaimana yang dianjurkan
oleh Quraish.

Menggulirkan wacana keterkaitan wahyu dengan budaya masyarakat setempat


tanpa memberikan keterangan yang lebih jelas dan batasan-batasannya akan berakibat
fatal bagi perkembangan hukum Islam, khususnya jika wacana ini ditangkap oleh
sebagian orang yang berpaham liberal dan berusaha melakukan perubahan-perubahan
frontal dalam syari'ah Islam tanpa dibekali dengan alat-alat yang memadai. Seluruh
ajaran Islam yang sudah baku akan hancur berantakan dengan dalih bahwa zaman sudah
berubah, dan budaya masyarakat sekarang berbeda dengan masyarakat pada waktu
diturunkan Al Qur'an. Maka konsekwensinya, masih menurut pandangan ini, shalat lima
waktu, ibadah haji, kewajiban zakat , kewajiban jihad fi sabilillah dan lain-lainnya akan
tidak berlaku pada zaman sekarang, karena zaman dan budaya masyarakat sudah
berubah. Dan ujung-ujungnya juga bahwa kewajiban wanita muslimah untuk memakai
jilbab-pun tidak berlaku lagi, karena itu adalah budaya masyarakat setempat dan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Contoh Kedua :
Quraish Shihab menulis : " Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa
masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak
harus tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam
diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAI1 Syarif Hidayatullah
Maret 1988 adalah : " Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut
hukum Islam , dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan
kebutuhan. " 37

Pernyataan Quraish Shihab di atas sudah penulis kupas pada tulisan-tulisan


sebelumnya. Namun yang perlu dijelaskan di sini, bahwa Quraish Shihab- walau secara

36
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 51-52
37
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166

19
tidak terus terang- cenderung untuk mendukung pendapat yang telah diputuskan oleh
Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah bahwa pakaian yang harus dipakai
oleh seorang muslimah batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi
dan kebutuhan.

Jauh-jauh sebelumnya para ulama telah meletakkan batasan-batasan kapan sebuah


adat istiadat dan budaya sebuah masyarakat bisa dijadikan sandaran di dalam menentukan
sebuah hukum. Diantaranya adalah bahwa adat istiadat atau kebiasan tersebut tidak
bertentangan dengan teks Al Qur’an dan Hadist.38 Berkata Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu
Sunnah :

« Syarat ketiga : Hendaknya adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil
syar’i. Maksudnya bahwa adat istiadat masyarakat tersebut harus sesuai dengan hukum-hukum
yang bersandar pada dalil-dalil. Jika adat istiadat tersebut bertentangan dengannya, maka tidak
boleh dipakai. Seperti kebiasaan masyarakat yang meminum khamr dan melakukan judi, wanita-
wanita yang turut mengiring jenazah, menyalakan lilin di kuburan-kuburan, serta membuka
39
sebagian aurat…dan banyak lagi hal-hal yang menyelisihi syari’ah. »

Hal ini sejalan dengan sebuah kaidah yang diletakkan oleh para fuqaha bahwa :

‫ يرجع فيه إلى العرف‬، ‫ و ال في اللغة‬، ‫ و ال ضابط له فيه‬، ‫كل ما ورد به الشرع مطلقا‬

« Setiap yang disebut di dalam Syari’ah secara mutlak, dan belum ada batasannya sama
sekali, sekalipun dari sisi bahasa, maka ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan « 40

Dengan demikian, pernyataan bahwa pakaian yang harus dipakai oleh seorang
muslimah, batasannya ditentukan masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan
adalah pernyataan yang jauh dari kebenaran. Karena al Qur’an dan hadist telah
memberikan batasan-batasan tertentu terhadap pakaian wanita.

Contoh Ketiga :
Quraish Shihab menulis : ‘ 1amun persoalannya dalam hal aurat perempuan,
apakah jika memang diakui ke-shahih-an kedua hadist yang dinisbahkan kepada istri
1abi Aisyah ra. di atas, maka ia dapat dipahami seperti pemahaman al ‘Asymawi,
yakni bahwa ia bersifat sementara dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat ? Atau bahwa itu adat masyarakat ketika itu, di mana masyarakat lain
tidak terikat dengannya ? Sekali lagi, ulama dan cendekiawan berbeda pendapat.’ 41

38
Untuk mengetahui masalah ini lebih lengkap bisa dirujuk umpamanya : Prof. Dr. Abdul Aziz Azzam, Al
Qawa’id Al Fiqhiyah ( Kairo : Dar Al Hadist, 2005 ) hal : 174-176 , Pof Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al
Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1, hal. 105-122.
39
Prof. Dr. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar al Bashoir,
2004 ) Cet ke- 1, hal. 113.
40
As- Suyuti, al Asybah wa al ,adhair , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah , 1983 ) Cet Ke – 1, hal 98
41
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 153

20
Pernyataan tersebut juga sudah penulis kupas pada halaman sebelumnya,
hanyasanya yang perlu dijelaskan di sini bahwa Quraish Shihab telah menggiring kalau
tidak mau dikatakan ‘memaksakan‘ penafsiran hadits di atas, bahwa kewajiban berjilbab
itu hanya bersifat sementara, dan tergantung kepada kondisi dan perkembangan
masyarakat setempat, atau hal itu hanyalah sebuah adat istiadat masyarakat Arab dan
tidak ada kaitannya dengan wanita-wanita muslimah yang ada di Indonesia.

Contoh Keempat :
Quraish Shihab menulis : " Persoalaan yang muncul lebih jauh adalah, apakah
seorang wanita muslimah yang menampakkan selain wajah dan tangannya dapat
dinilai telah melanggar tuntunan Allah itu ? Bukankah – seperti penulis kemukakan
pada awal uraian- bahwa boleh jadi pemahaman para sahabat 1abi saw. tentang ayat-
ayat Al Qur’an akan berbeda jika mereka hidup pada masa kita dewasa ini ? " 42

Dalam pernyataan di atas, lagi-lagi Quraish Shihab mengatakan bahwa wanita-wanita


yang tidak berjilbab belum dapat dinilai bahwa mereka telah melanggar tuntunan Allah.
Alasan yang diungkap oleh Quraish Shihab sangat tidak ilmiah, yaitu dengan mengatakan
bahwa jika sahabat hidup pada zaman sekarang boleh jadi pemahamannya berbeda.
Maksudnya mereka para sahabat jika hidup pada zaman sekarang, mungkin akan
berpendapat juga bahwa jilbab itu tidak wajib. Kalau logika berpikir seperti ini
diterapkan pada semua hukum Islam, tentunya akan kacau dan hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh para fuqaha selama berabad-abad lamanya akan rontok dengan sendiri
ketika dihadapkan dengan logika yang dipakai oleh Quraish Shihab tersebut. Selain itu,
logika tersebut akan memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tidak senang dengan
Islam untuk mengobrak-abrik bangunan Islam dari dalam. Maka, diharapkan kepada
Quraish untuk lebih berhati-hati di dalam mengungkap argumen, khususnya ketika
berbicara tentang suatu hukum dari hukum-hukum Islam.

X. Tidak Boleh Menjadikan Perbuatan Sebagian Orang Sebagai Dasar Hukum.

Quraish Shihab menulis : " Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat
lain yang lebih longgar di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak keluarga
kalangan ulama yang terpandang yang wanita-wanitanya –baik anak maupun istri-
tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat
1ahdhatul Ulama atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu
saja para ulama kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan
dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu-
apalagi tanpa teguran dari para ulama – boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran
atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah
yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang
gangguan dari mereka yang usil. ". 43

Pernyataan Quraish di atas mengandung beberapa kejanggalan, diantaranya


adalah :

42
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 109
43
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166-167

21
Pertama : Menjadikan perbuatan sekelompok orang, sebagai pembenaran atas
suatu masalah . Sikap seperti ini kurang tepat, apalagi ditinjau dari displin ilmu ushul fiqh
dan fiqh. Menurut para ulama 44, sumber hukum terbagi menjadi dua : pertama : sumber
hukum yang disepakati, yaitu : Al Qur'an, Hadist, Ijma' dan Qiyas. Sedangkan yang
kedua : sumber-sumber yang masih diperdebatkan, yaitu : Qaul Shahabi ( perkataan para
sahabat ), Istihsan, Saddu Adz-Dzarai', Al Istish-hab, Mashalih Mursalah. Dengan
demikian, diketahui bahwa perbuatan sekelompok orang, selain sahabat tidak dianggap
sebagai salah satu sumber hukum. Dengan demikian dasar pijakan yang diambil oleh
Quraish sangat rapuh sehingga sulit untuk diterima.
Kedua : Quraish memberikan contoh dari " keluarga ulama yang terpandang " ,
tetapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud ulama terpandang
tersebut, dan bagaimana kriterianya. Apakah ulama yang terpandang adalah ulama yang
terkenal dan diberitakan oleh mass media atau ulama yang duduk dan menjadi pengurus
dalam Majlis Ulama Indonesia, ataupun ulama yang menjadi pejabat di Departemen
Agama, semuanya belum jelas. Kemudian harus dibedakan antara ulama dan
keluarganya, karena para ulama itu mungkin mengetahui dan menyakini bahwa seorang
wanita wajib menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan, dan mereka
pun sudah menyuruh keluarganya- baik istri dan anak- akan tetapi keluarganya tidak mau
mendengar perintah atau anjuran ulama tersebut. Sebagaimana yang kita dapatkan pada
keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth, anak atau istri kedua nabi tersebut membangkang dan
tidak mau mentaati perintah suami atau bapaknya yang merupakan nabi. Jadi, kalau kita
mau menggunakan logika yang digunakan Quraish, tentu masalahnya akan menjadi fatal
karena bisa saja seseorang tidak mau mentaati perintah Allah swt dengan dalih bahwa
keluarga sebagian nabi juga tidak mentaati perintah Allah swt.
Ketiga : Quraish juga memberikan contoh dari " Muslimat ,ahdhatul Ulama,
atau Aisyiah " dengan alasan bahwa mereka dari organisasi besar. Menurut penulis,
alasan ini juga rapuh dan tidak kuat sehingga sulit untuk diterima. Bagaimanapun juga,
besarnya organisasi tidak ada hubungannya sama sekali dengan proses pengambilan
hukum. Apalagi itu pada belasan tahun yang lalu, karena kemungkinan besar
pengetahuan tentang wajibnya seorang perempuan menutup seluruh badan kecuali wajah
dan telapak tangan belum sampai kepada mereka, karena buku-buku tentang itu juga
belum banyak waktu itu di Indonesia. Sangat berbeda dengan sekarang, dimana
informasi-informasi, baik lewat mass media maupun lewat buku-buku sangat mudah
diakses oleh umat Islam Indonesia, sehingga sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama dan
Aisyiah-pun sudah mulai menggunakan jilbab yang menutupi seluruh badannya, kecuali
telapak tangan dan wajahnya , sebagaimana yang merupakan pendapat mayoritas ulama.
Bahkan, lebih dari itu, bisa kita dapatkan sekarang sebagian Muslimat Nahdhatul Ulama,
Aisyah dan Persis telah memakai cadar yang menutup seluruh badannya kecuali kedua
matanya.
Keempat : Selanjutnya Quraish menambahkan bahwa karena tidak adanya
ulama yang menegur wanita-wanita yang tidak menggunakan jilbab, maka hal ini
menjadi pembenaran perbuatan tersebut. Alasan yang dikemukan Quraish ini juga tidak
tepat, paling tidak dari dua sisi :

44
Lihat umpamanya : DR. Amir Abdul Aziz, dalam bukunya : “ Ushul Fiqh Al Islami “ , ( Kairo, Dar As
Salam, 1997 ) Cet ke- 1, Juz I , hal : 151-135 dan Juz II, hal : 442-512

22
1. Pertama : Tidak semua ulama, khususnya yang di Indonesia mau beramar ma'ruf dan
nahi mungkar. Banyak faktor yang membuat mereka berbuat demikian, diantaranya
adalah faktor lingkungan dan adat istiadat masyarakat, atau faktor politik, atau kesibukan
mereka mencari nafkah, atau bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka dalam
masalah ini.
2. Kedua : Bisa dimungkinkan mereka sudah mengingatkan dan menegurnya, akan
tetapi masyarakat tidak mengindahkan teguran tersebut, atau teguran dari ulama itu tidak
disebarluaskan, sehingga mengesankan bahwa tidak ada satupun ulama yang menegur
wanita-wanita yang tidak memakai jilbab.

XI. Harus dibedakan antara ‘Illat ( Alasan ) dan Hikmah

Quraish Shihab menulis : « boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas
pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang
menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan
dari mereka yang usil. ". 45

Ada beberapa kejanggalan dari tulisan Qurais Shihab di atas, sehingga perlu
diluruskan dalam beberapa point berikut :
Pertama : Quraish Shihab menyatakan bahwa yang terpenting di dalam dari
pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat. Kata-kata «
dalam bentuk terhormat « adalah kata-kata yang tidak mempunyai kriteria dan batasan
yang jelas. Bisa saja orang yang berpakaian bikini dalam suatu masyarakat dinilai
pakaian yang wajar. Lihatlah sekarang, bukan saja di negara-negara Barat yang menganut
paham kebebasan, di Indonesiapun yang rata-rata penduduknya beragama Islam, pakaian
bikini yang mengumbar aurat sudah menjadi sebuah kewajaran, bahkan yang lebih ironis
pakaian bikini tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan dalam beberapa
instansi dan lembaga.
Umpamanya untuk menjadi sekertaris pada sebuah perusahaan, seorang wanita
harus berpakaian yang menampakkan paha, begitu juga pekerja wanita yang menjadi
pelayan di mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan, pakaian seragamnya adalah rok
pendek di atas lutut, yang menampakkan bagian dari pahanya. Dan ternyata banyak dari
mereka yang merasa aman-aman saja, alias tidak diganggu oleh tangan-tangan usil. Tapi
apakah itu yang dimaksud berpakaian dalam ajaran Islam ? Tentu jawabannya tidak. Jadi
yang dinyatakan atau disebut oleh Quraish Shihab dalam tulisan di atas tidak benar dan
bisa menyesatkan pemahaman kaum muslimin tentang adab berpakaian dalam Islam .
Dari situ, kita mengetahui bahwa yang terpenting dalam berpakaian, atau alasan
wanita diperintahkan untuk berpakaian adalah menutup aurat, bukan supaya
berpenampilan yang wajar, dan bukan pula supaya tidak diganggu.
Kedua : Para ulama ushul fiqh telah membahas masalah « ‘illat « ( alasan
ditetapkan sebuah hukum ) di dalam tulisan-tulisan mereka dengan pembahasan yang
mendetail. Mereka memperlakukan syarat-syarat yang ketat untuk menyebut bahwa
sesuatu hal bisa disebut « illat « . Mereka menyebutkan –paling tidak - lima syarat illat :
1. Illat itu harus sesuatu yang jelas, bisa dilihat dengan panca indra, umpamanya
illat qishash pada dasarnya adalah membunuh dengan sengaja. Hanya saja, faktor
45
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166-167

23
kesengajaan ini terdapat dalam hati, dan sulit dideteksi, maka para ulama mencari sesuatu
yang jelas dan bisa dilihat oleh panca indra sehingga bisa dijadikan patokan dan ukuran
bahwa orang tersebut membunuh dengan sengaja, umpamanya senjata tajam atau segala
barang yang biasa untuk membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa setiap orang
yang membunuh dengan senjata tajam, atau senjata api atau dengan sesuatu yang biasa
dipakai untuk membunuh, maka dikatagorikan bahwa orang tersebut telah membunuh
dengan sengaja, walaupun dia mengingkarinya.
2. Illat itu harus mempunyai kriteria dan batasan-batasan yang yang jelas.
Umpamanya illat dibolehkannya seseorang untuk menjamak shalat atau tidak berpuasa
pada bulan Ramadhan pada dasarnya adalah « masyaqqah « ( kepenatan atau kecapaian ).
Hanya saja karena « masyaqqah « tersebut tidak mempunyai kriteria dan batasannya
yang jelas, karena bisa saja seseorang melakukan suatu perjalanan jauh, tetapi tidak
merasa berat dan penat, sementara bagi orang lain – walaupun dalam satu kendaraan
sekalipun– merasa berat dan penat. Maka para ulama mencari sesuatu yang mempunyai
kriteria dan batasan yang jelas, yaitu safar ( melakukan perjalanan ), sehingga bisa
dijadikan patokan dan ukuran bahwa orang tersebut dibolehkan menjamak atau tidak
berpuasa pada bulan Ramadlan.
3. Illat itu harus sesuai dengan tujuan syari’ah, umpamanya perbuatan mencuri
adalah illat (alasan) yang menyebabkan munculnya hukuman potong tangan, dan ini
sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu penjagaan terhadap harta benda.
4. Illat itu hendaknya bisa diterapkan kepada masalah-masalah lain, umpamanya
memabukkan yang menyebabkan diharamkanya khamr, bisa diterapkan kepada seluruh
minuman yang memabukkan selain khamr.
5. Illat itu hendaknya bukan suatu hal yang tidak bertentangan dengan syari’ah,
umpamanya menyamakan jatah anak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan,
dengan alasan bahwa kedua-duanya adalah anak kandung. Illat seperti ini tidak bisa
diterima, karena bertentangan dengan syari’ah, yang telah menentukan bahwa jatah
perempuan adalah setengah dari jatah laki-laki .46

Yang perlu kita ketahui juga, bahwa ada perbedaan antara illat ( alasan ) dengan
hikmah. Dalam suatu kaidah disebutkan « Al Hukmu Yaduru Ma’a Illatihi Wujudan Wa
‘Adaman « ( Hukum itu berputar bersama illatnya, jika dia ada, maka hukum ada, jika
illat tersebut hilang, maka hukum tersebut jika hilang), jadi hukum akan selalu bersama
illat-nya. Tetapi tidak demikian dengan hikmah. Kadang suatu hukum ada, tetapi
hikmahnya tidak terwujud, umpamanya hukuman potong tangan terhadap pencuri,
hikmahnya agar harta benda terjaga, atau agar pencuri tersebut jera. Kadang kita terapkan
hukuman tersebut, tetapi karena suatu sebab, maka masih saja ada harta benda yang tidak
terjaga dan ada juga pencuri yang tidak jera setelah dipotong tangannya.

Agar perbedaan illat dengan hikmah menjadi lebih jelas, kita berikan contoh dari
kehidupan sehari-hari, yaitu illat (alasan) seorang pengemudi menghentikan kendaraanya
di persimpangan jalan adalah adanya lampu merah, jika lampu hijau, maka pengemudi

46
Lihat lebih lengkapnya syarat-syarat illat dalam : Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, (
Beirut,Muassasah Risalah,1996 ) Cet ke – 5 , hal : 204- 207, Dr.Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al Islami, (
Kairo, Dar As Salam, 1997 ) cet ke -1 , Juz I , hal 366-374, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Dar Al
Fikr Al Araby, 1958 ), hal 238- 241

24
tersebut boleh menjalankan kendarannya lagi. Adapun hikmahnya adalah supaya tidak
terjadi tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Tetapi kadang hikmah tersebut tidak
terwujud, seperti seorang pengemudi sudah berhenti ketika ada lampu merah, namun
karena suatu hal, terjadi juga tabrakan atau kesemrawutan lalu lintas. Jadi hikmah suatu
hukum kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu hal.

Sekarang marilah kita lihat, apakah sebenarnya 'illat ( alasan )


diwajibkannya wanita untuk memakai pakaian? Kita katakan bahwa illat ( alasan )
diwajibkan berpakaian adalah menutup aurat, dan salah satu hikmahnya adalah supaya
tidak diganggu. Jadi siapa saja yang menutup auratnya sesuai dengan batasan yang telah
ditentukan dalam Islam, berarti dia telah melaksanakan perintah Allah swt untuk
memakai jilbab. Tetapi walaupun begitu, karena ada suatu sebab, kadang ada saja orang
yang iseng dan mengganggu orang yang memakai jilbab. Jadi hikmah suatu hukum
kadang tidak terlihat dan tidak terwujud karena suatu. 47

XII. Pengaburan Terhadap Pendapat Para Ulama


Dalam bukunya, Quraish Shihab banyak mengaburkan pendapat para ulama dan
mencampuradukkan dengan pendapat para cendekiawan yang nota benenya bukan
termasuk golongan ulama. Kemudian lebih cenderung untuk mengambil pendapat para
cendekiawan dari pada pendapat para ulama. Di bawah ini akan disebutkan beberapa
contoh :

Contoh Pertama :
Quraish Shihab menulis : " Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa
masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak
harus tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam
diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAI1 Syarif Hidayatullah
Maret 1988 adalah : " Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut
hukum Islam , dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan
kebutuhan. " 48

Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait dengan tulisan Quraish di atas :
Pertama : Quraish menyatakan bahwa batas aurat wanita merupakan masalah
khilafiyah. Sampai di sini pernyataan Quraish adalah benar. Karena kita dapatkan bahwa
para ulama terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama kelompok yang mengatakan
bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, sedang kelompok kedua mengatakan bahwa
wajah dan telapak tangan bukan aurat dan boleh dibuka. Perbedaan para ulama dalam
menentukan batas aurat hanya sampai sini saja.
Kedua : Tetapi masalahnya adalah ketika menyatakan bahwa batas aurat wanita
merupakan masalah khilafiyah, kemudian Quraish menukil kesimpulan dari Forum
Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada
masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Cara penulisan seperti ini,

47
Syekh Albani juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa illat atau alasan diwajibkannya jilbab
adalah supaya tidak diganggu. ( Lihat Muhammad Nasiruddin Albani, " Jilbab al Mar’ah al Muslimah fi al
Kitab wa as Sunnah," (Beirut, Dar Ibnu Hazm- Amman, Maktabah Islamiyah, 1994 ) Cet Ke -2 , hal.93
48
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 166

25
sangatlah berbahaya, dan yang amat sangat disayangkan dari Quraish Shihab, justru gaya
seperti inilah yang sering beliau lakukan. Tulisan tersebut akan berkibat fatal, paling
tidak akan menyisakan dua kesan negatif :
Pertama : Memberikan kesan bahwa Quraish telah mencampuradukkan antara
kebenaran dan kebatilan. Kebenaran yang dimaksud adalah bahwa batas aurat wanita
merupakan masalah khilafiyah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dan yang dimaksud
kebatilan disini adalah pernyataan bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada masing-
masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Kita tidak tahu, apakah Quraish Shihab
melakukan hal ini secara sengaja atau karena kekhilafan, tetapi yang jelas, pernyataan
dan tulisan tersebut berakibat fatal dan sangat membahayakan .
Kedua : Memberikan kesan, bahwa Quraish cenderung untuk memilih pendapat
bahwa batas aurat wanita diserahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan
kebutuhan, padahal kesimpulan yang dinyatakan oleh Forum Pengkajian IAIN Syarif
Hidayatullah tersebut bukanlah salah satu pendapat ulama yang berselisih pendapat,
sebagaimana yang diterangkan di atas. Tetapi kenapa justru itu yang ditampilkan oleh
Quraish Shihab setelah menyebutkan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah ? Maka,
mestinya Qurasih Shihab tidak usah resah, jika sebagian kalangan menganggap bahwa
dia tidak mewajibkan jilbab, jika kenyataannya seperti ini.

Contoh Kedua :
Quraish Shihab menulis : ‘ 1amun persoalannya dalam hal aurat perempuan,
apakah jika memang diakui ke-shahih-an kedua hadist yang dinisbahkan kepada istri
1abi Aisyah r.a. di atas, maka ia dapat dipahami seperti pemahaman al ‘Asymawi,
yakni bahwa ia bersifat sementara dan sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat ? Atau bahwa itu adat masyarakat ketika itu, di mana masyarakat lain
tidak terikat dengannya ? Sekali lagi, ulama dan cendekiawan berbeda pendapat.’ 49

Quraish Shihab dalam tulisan di atas menyebutkan bahwa para ulama dan
cendekiawan berbeda pendapat menjadi dua kelompok di dalam menafsirkan hadist
Aisyah r.a. :
Kelompok Pertama : adalah kelompok yang menyatakan bahwa kandungan
hadist Aisyah tersebut tidak mutlak, artinya bahwa perintah menutup aurat kecuali wajah
dan telapak tangan merupakan perintah yang bersifat sementara, tidak abadi dan ini
disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat.
Kelompok Kedua : adalah kelompok yang menyatakan bahwa hadist Aisyah ra
tentang perintah untuk memakai jilbab hanyalah adat masyarakat Arab, sehingga
masyarakat lain, termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia tidak terikat dengannya,
atau tidak terkena kewajiban memakai jilbab.

Benarkah pernyataan Quraish Shihab di atas? Kenapa dia tidak memberikan


contoh siapa saja ulama yang berpendapat demikian? Iya, karena dia tidak menemukan
satu ulama-pun yang berpendapat demikian. Dua pendapat yang yang disebutkan oleh
Quraish hanyalah pendapat sebagian cendekiawan, seperti Asymawi dan teman-
temannya. Tetapi kenapa Quraish menyebut bahwa hal itu adalah perbedaan pendapat
antara Ulama dan cendekiawan? Inilah yang penulis maksudkan bahwa Quraish sering
49
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 153

26
mengaburkan pandangan para ulama dan mencampuradukkannya dengan pendapat
cendekiawan yang tidak punya otoritas untuk bicara dalam masalah-masalah hukum dan
agama.

Contoh Ketiga :
Quraish Shihab menulis : " 1amun dalam saat yang sama kita tidak wajar
menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang
menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar
petunjuk agama . Bukankah Al Qur'an tidak menyebut batas aurat ? Para ulamapun
ketika membahasnya berbeda pendapat " 50

Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung hal-hal yang perlu diluruskan :


Pertama : Wanita-wanita yang tidak memakai kerudung, belum tentu melanggar
petunjuk agama. Pernyataan Quraish seperti ini sangat berbahaya. Kenapa ? Karena
wanita yang tidak memakai kerudung sangat banyak dan bermacam-macam. Wanita yang
memperlihatkan lehernya, telinganya, rambutnya, betisnya, bahkan yang memperlihatkan
pahanya-pun termasuk katagori orang yang tidak memakai kerudung. Siapakah yang
dimaksud oleh Quraish Shihab bahwa « mereka yang tidak memakai kerudung, kita
tidak wajar menyatakan terhadap mereka bahwa mereka secara pasti telah melanggar
petunjuk agama ? « Seharusnya Quraish menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan
wanita yang tidak berkerudung tersebut. Karena sangat mungkin akan dipahami oleh
sebagian orang bahwa orang yang menampakkan pahanya termasuk wanita yang tidak
melanggar petunjuk agama. Dan penulis yakin Quraish tidak bermaksud demikian. Maka
kejelian di dalam menulis sangat diperlukan.
Kemudian kita bertanya kepada beliau, kalau dikatakan mereka yang tidak
memakai kerudung tersebut belum tentu melanggar petunjuk agama, berarti bisa kita
katakan mereka masih berpegang teguh dengan petunjuk agama. Pendapat seperti ini
tentunya susah untuk diterima.

Kedua : Di akhir tulisan tersebut, Quraish menutupnya dengan sebuah pertanyaan


yang mengandung tasykik ( membuat keragu-raguan ) terhadap para pembaca. Beliau
mengatakan : « Bukankah Al Qur'an tidak menyebut batas aurat ? Para ulamapun
ketika membahasnya berbeda pendapat « Dari pernyataan tersebut, Quraish ingin
menyatakan bahwa bahwa wanita muslimah tidak diwajibkan untuk berkerudung, dengan
dua alasan ; yang pertama bahwa Al Qur’an tidak menyebut batas aurat. Yang kedua
bahwa para ulama masih berselisih pendapat di dalamnya. Seperti dalam dua contoh
sebelumnya, di sini lagi-lagi Quraish mencampur adukkan antara satu masalah dengan
yang lainnya dan mengaburkan pandangan ulama tentang jilbab dan menggiringnya
bahwa di antara para ulama-pun ada yang tidak mewajibkan wanita untuk memakai
kerudung. Lagi-lagi juga, Quraish tidak bisa menyebutkan nama satu ulama saja yang
mengatakan seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pernyataan-pernyataan
Quraish Shihab yang tidak didukung oleh penelitian ilmiah.

50
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 174

27
Contoh Keempat :
Quraish Shihab menulis : “ Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, yang
membahas tentang Pemikiran dan Peradaban, dikemukakan bahwa menyangkut
Jilbab, penulis menyatakan ketidakharusannya, padahal yang selama ini penulis
kemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa
menetapkan suatu pilihan. Ini karena hingga saat itu, penulis belum lagi dapat men-
tarjih- kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam. Dalam salah satu seminar
di Surabaya pernah penulis “ setengah dipaksa“ untuk menyatakan pendapat final,
karena sementara hadirin boleh jadi tidak mengetahui bahwa banyak ulama yang
mengambil sikap tawaqquf yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut
berbagai persoalan keagamaan, akibat tidak memiliki pijakan yang kuat dalam
memilih argumentasi beragam yang ditampilkan oleh berbagai pendapat. “ 51

Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kejanggalan :


Pertama : Qurasih Shihab menyatakan bahwa beliau hanya mengemukakan
aneka pendapat “pakar“ tentang persoalan jilbab. Seharusnya beliau menerangkan
maksud dari pada “pakar“, agar para pembicara menjadi paham, sebenarnya siapa saja
yang diungkap pendapat-pendapatnya oleh Quraish Shihab tentang jilbab. Karena
kenyataannya, kita dapatkan dalam buku tersebut, beliau banyak mengemukakan
pendapat orang-orang yang sama sekali bukan “pakar” dalam bidang hukum Islam, yang
sebenarnya tidak berhak sama sekali berbicara tentang persoalam jilbab.
Kedua : Kemudian beliau menyatakan bahwa pendapat tentang hukum jilbab ini
beragam, artinya sangat banyak, sehingga beliau sendiri bingung dan tidak bisa men-
tarjih salah satu dari banyaknya pendapat tersebut. Padahal kalau kita mau jujur, para
ulama hanya terbagi menjadi dua kelompok dalam menetapkan hukum jilbab : kelompok
pertama berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari wanita adalah seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan telapak tangan. Sedang kelompok kedua berpendapat bahwa wanita
wajib menutup seluruh tubuhnya, tanpa terkecuali.
Ketiga : ketika Quraish Shihab memilih tawaqquf ( tidak mengambil pendapat
apapun ) dalam masalah jilbab, beliau beralasan bahwa banyak para ulama juga
melakukan tawaqquf dalam persoalan-persoalan lain. Apakah alasan itu tepat ? Tentu
jawabannya adalah tidak tepat dan terkesan dicari-cari. Kenapa ? Karena seharusnya,
beliau memberikan contoh dari beberapa ulama, baik yang dulu maupun yang
kontemporer, yang mereka tawaquf dalam masalah jilbab, akan tetapi hal itu tidak
dilakukannya, karena memang sampai sekarang, kita belum atau tidak menemukan
seorang ulamapun yang tawaqquf ( tidak bisa menentukan hukum ) dalam masalah jilbab,
makanya Quraish membelokkan dengan mengatakan bahwa para ulama juga pernah
tawaqquf dalam berbagai persoalan agama.

XIII. Tidak Merujuk pada Referensi Primer

Ketika memaparkan pendapat para ulama dari keempat madzhab, Quraish Shihab
tidak merujuk langsung kepada sumber aslinya, akan tetapi menukil dari buku
kontemporer. Beliau menulis : " ...ada baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu
pendapat para ulama keempat madzhab populer menyangkut aurat. Dalam buku Al
51
. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm : 4

28
Fiqh Wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az –Zuhaili, persoalan aurat disimpulkan
sebagai berikut : ... " 52

Tulisan di atas menunjukkan bahwa Quraish Shihab, ketika menukil pendapat


empat madzhab tidak merujuk kepada buku primer setiap madzhab yang empat tersebut.
Tetapi yang dilakukannya adalah merujuk langsung kepada buku salah seorang ulama
kontemporer saja. Cara seperti ini tidak dibenarkan menurut metodologi ilmiah yang
berlaku, khususnya di Universitas Al Azhar di mana Quraish merupakan salah satu
alumninya. Mudah-mudahan ini, karena kesibukan beliau, sehingga tidak sempat untuk
merujuk kepada buku-buku primer tersebut, atau mungkin karena konsentrasi beliau pada
bidang tafsir, sehingga ketika menulis tentang hukum- hukum fiqh tidak terbiasa untuk
merujuk kepada buku-buku madzhab. Oleh karenanya, sangat baik, kalau kita sebutkan di
bawah ini pendapat para ulama keempat madzhab tentang batasan aurat dari buku primer
masing-masing dari setiap madzhab.

Pertama : Madzhab Hanafi :


Disebutkan dalam Bahru ar-Raiq :
" Dan badan perempuan semuanya aurat kecuali wajah, telapak tangan dan dua telapak
kaki. Dalilnya adalah firman Allah :
‫ﺎ‬‫ﻤﻨﹾﻬ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻅ‬
‫ﺎ ﹶ‬‫ﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ‬
 ‫ﻬ‬ ‫ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺩ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭﻝﹶﺎ‬
" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."
Berkata Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali wajah dan telapak tangannnya…dan karena
kebutuhan menuntut untuk membuka wajah untuk keperluan jual beli. Dan begitu juga diperlukan
untuk membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi, makanya tidak dimasukkan aurat.
Disebutkan telapak tangan bukan tangan, sebagaimana yang disebut dalam buku " Al Muhit " ,
karena hal itu menunjukkan bahwa yang diboleh dibuka hanyalah telapak tangan dalam, sedang
telapak tangan luar adalah aurat , sebagaimana dalam dhahir riwayat. "
" …Berkata guru-guru kami : Perempuan yang masih muda dilarang untuk membuka
wajahnya di depan laki-laki pada zaman kita saat ini, karena takut akan menimbulkan fitnah.
Yang dilarang ini termasuk rambut yang berlebihan … "
" Pengarang buku mengecualikan telapak kaki, hal itu karena sangat menyulitkan
khususnya bagi para perempuan-perempuan faqir. Dalam masalah ini masih diperselisihkan
apakah ini benar riwayat dari Abu Hanifah dan para guru-guru. ….Tetapi dalam buku " Syarh Al
Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah tetap aurat secara mutlak, karena
banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu, diantaranya adalah apa yang diriwayatkan
Abu Daud dan al Hakim dari Ummu Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw :
. ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻤﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺭ ﹶﻗ‬ ‫ﻭ‬‫ﻅﻬ‬
‫ﻴ ﹶﻐﻁﱢﻲ ﹸ‬ ‫ﺎ ﹺﺒﻐﹰﺎ‬‫ﻉ ﺴ‬
 ‫ﺩﺭ‬ ‫ﻥ ﺍﻝ‬
 ‫ل ﺇﺫﹶﺍ ﻜﹶﺎ‬
َ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ‬‫ﺍﺭ‬‫ﺎ ﺇﺯ‬‫ﻬ‬‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﺱ‬
 ‫ﻭﹶﻝﻴ‬ ‫ﺎ ﹴﺭ‬‫ﺨﻤ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻉ‬‫ ﹴ‬‫ﺩﺭ‬ ‫ﻲ‬‫َﺃ ﹸﺓ ﻓ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ﺼﻠﱢﻲ ﺍﻝﹾ‬  ‫َﺃ ﹸﺘ‬
Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak
memakai sarung ? Maka Rasulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan
menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233,
Daruquthni : 2/62 , )” 53

52
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 109
53
Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm :
284-285 . Bisa dirujuk juga : Muhammad Al Babruty, 'Inayah Syarhu Al Hidayah, ( Beirut , Dar Al Fikr )
Juz I , Hlm : 259 , Mula Al Hasru, Durar Al Hukkam Syar Ghurar Al Ahkam, ( Dar Ihya Al Kutub Al
Arabiyah ) Juz I , Hlm : 59

29
Nukilan di atas secara tidak langsung, telah membantah apa yang ditulis oleh
Quraish Shihab bahwa kaki wanita bukanlah aurat yang dia nisbatkan sebagai pendapat
Abu Hanifah. Quraish menulis : "Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu
Hanifah dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan
bahwa ini lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita
miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk
memenuhi kebutuhan mereka" 54.

Tulisan Quraish Shihab di atas mengandung beberapa kesalahan :


Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah bukan dari buku madzhab Abu
Hanifah, tetapi langsung mengambil dari buku kontemporer yaitu " Tafsir Ayat Ahkam "
yang ditulis oleh Muhammad Ali As-Sais, sehingga terjadi banyak kejanggalan dan
kesalahan.
Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Ini berarti
bahwa semua bagian dari kaki wanita bukanlah aurat, termasuk paha dan betis wanita
bukanlah aurat, karena termasuk bagian dari kaki. Pernyataan ini tentunya tidak bisa
diterima oleh siapapun juga yang mengaku dirinya muslim. Walaupun mungkin bukan itu
yang dimaksud oleh Quraish Shihab, tetapi ketidaktelitian beliau di dalam memilih kata-
kata menyebabkan pemahaman yang rancu dan membingungkan. Mestinya beliau
menulis “ telapak kaki wanita “ sebagai ganti dari “ kaki wanita “ .
Ketiga : Seandainya beliau telah mengakui kesalahannya dan memperbaiki
tulisannya tersebut, yaitu dengan menulis “ telapak kaki wanita “, walaupun demikian,
beliau masih terjebak dalam kesalahan berikutnya, yaitu bahwa yang benar dari riwayat
Abu Hanifah bahwa telapak kakipun aurat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Nujaim salah seorang tokoh madzhab Hanafiyah. Ibnu Nujaim menulis :
“Tetapi dalam buku " Syarh Al Muniyah " dirajihkan bahwa kedua telapak kaki tersebut adalah
tetap aurat secara mutlak, karena banyaknya hadist-hadist yang menyebutkan hal itu. “55

Madzhab Maliki :
Berkata Ibnu al Arabi Al Maliki dalam " Ahkamul Qur'an " :
" Adapun aurat perempuan adalah semua badannya, kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya. Dan di dalam buku-buku hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
ٍ َ ِ ِ ‫حائض ﱠإال‬
‫بخمار‬ ٍ ِ َ ُ ‫صالة‬ ُ َ ْ ُ ‫ال‬
َ َ ‫تقبل‬
" Tidak akan diterima shalat seorang wanita yang sudah haidh ( baligh ) kecuali dengan khimar
" ( HR Timidzi no 377 ) "
Dan ini adalah batasan aurat wanita merdeka, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu
Salamah bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah saw
. ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻤﻴ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺭ ﹶﻗ‬ ‫ﻭ‬‫ﻅﻬ‬
‫ﻴ ﹶﻐﻁﱢﻲ ﹸ‬ ‫ﺎ ﹺﺒﻐﹰﺎ‬‫ﻉ ﺴ‬
 ‫ﺩﺭ‬ ‫ﻥ ﺍﻝ‬
 ‫ل ﺇﺫﹶﺍ ﻜﹶﺎ‬
َ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ‬‫ﺍﺭ‬‫ﺎ ﺇﺯ‬‫ﻬ‬‫ﻋﹶﻠﻴ‬
 ‫ﺱ‬
 ‫ﻭﹶﻝﻴ‬ ‫ﺎ ﹴﺭ‬‫ﺨﻤ‬
 ‫ﻭ‬ ‫ﻉ‬
‫ ﹴ‬‫ﺩﺭ‬ ‫ﻲ‬‫َﺃ ﹸﺓ ﻓ‬‫ﻤﺭ‬ ‫ﺼﻠﱢﻲ ﺍﻝﹾ‬
 ‫َﺃ ﹸﺘ‬
Apakah seorang perempuan boleh shalat dengan memakai baju dan kerudung, sedang dia tidak
memakai sarung ? Maka Rosulullah saw menjawab : Jika baju tersebut panjang, maka akan
menutup kedua telapak kakinya. ( HR Abu Daud, Baihaqi dalam Sunan Kubra : 2/233, Daruqutni
2/62 , )” 56

54
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 48
55
Ibnu Nujaim, Bahru Ar Raiq Syarh Kanzu Al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al Islami ) Juz I , Hlm :
284-285 .
56
Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul al Qur'an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet ke I, hal. 309-310

30
Berkata Ibnu Juzzai di dalam al Qawanin al Fiqhiyah :
“ Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua
telapak tangan. “ 57

Madzhab Syafi’i :
Berkata Imam Syafi'I – rahimahullah – di dalam " Mukhtashor al Muzani " :
" Bagi perempuan merdeka, hendaknya menutup auratnya dalam sholat sampai tidak
kelihatan dari anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " 58

Berkata Imam al Mawardi di dalam bukunya " al-Hawi al- Kabir " :
" Untuk perempuan, seluruh badannya adalah aurat dalam sholat, kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya sampai akhir dari pergelangan tangannya… dalilnya adalah firman Allah swt :
‫ﺎ‬‫ﻤﻨﹾﻬ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻅ‬
‫ﺎ ﹶ‬‫ﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ‬
 ‫ﻬ‬ ‫ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺩ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭﻝﹶﺎ‬
" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."
Berkata Ibnu Abbas r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “59
Di tempat yang lain beliau juga menulis :
" Adapun aurat ( perempuan ),maka di bagi mejadi dua : kecil dan besar. Adapun aurat yang besar
yaitu seluruh badan ( perempuan ), kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. " “60

Berkata Khotib Syarbini di dalam bukunya “ Mughni al Muhtaj “ :


“ Adapun aurat perempuan yang merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya luar dan dalam, dari ujung jari sampai pergelangan tangan. Dalilnya adalah
firman Allah swt :
‫ﺎ‬‫ﻤﻨﹾﻬ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻅ‬
‫ﺎ ﹶ‬‫ﻥ ﺇﻝﱠﺎ ﻤ‬
 ‫ﻬ‬ ‫ﻥ ﺯﹺﻴ ﹶﻨ ﹶﺘ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺩ‬‫ﻴﺒ‬ ‫ﻭﻝﹶﺎ‬
" Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak ."
Berkata Ibnu Abbas dan Aisyah r.a. : maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. “61

Madzhab Hambali :
Berkata Ibnu Quddamah di dalam kitab : « Al Mughni « :
" Tidak ada perselisihan di dalam madzhab ( Hambali ) bahwasanya dibolehkan bagi
perempuan membuka wajahnya dalam sholat. Dan bahwasanya tidak dibolehkan baginya untuk
membuka selain wajah dan kdua telapak tangannya ....Berkata sebagian dari ulama kita bahwa
perempuan semua badannya adalah aurat, karena ada hadist diriwayatkan dari nabi Muhammad
saw bahwasanya bliau bersabda :
‫المرأة عورة‬
" Perempuan itu semuanya aurat " ( Hadist riwayat Tirmidzi, dan berkata : hadist ini
adalah hadist hasan shohih ) " 62

57
Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 ) hal. 46
58
Al Muzani, Mukhtashor al Muzani 'ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke –
1, hal : 19
59
Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 167
60
Al Mawardi, al Hawi al Kabir, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1414-1994 ) Juz II , hal : 170
61
Muhammad Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994 ) Juz I , hal :
397
62
Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby, ) Juz I , hlm : 637

31
Madzhab Dhahiriyah :
Berkata Ibnu Hazm dalam « Al Muhalla « :

" Adapun perempuan , sesungguhnya Allah berfirman : " Janganlah mereka


menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka « sampai firman Allah swt : « dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. ». Dan ini merupakan nash yang menunjukkan
kewajiban untuk menutup aurat, leher dan dada. Dan di dalamnya terdapat nash yang
menunjukkan kebolehan untuk membuka wajah . dan tidak mungkin ditafsirkan selain itu. Dan
firman Allah : " dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.. " merupakan nash yang menunjukkan bahwa dua kaki dan betis
merupakan sesuatu yang tersembunyi , dan tidak halal untuk ditampakkan. " 63

XIV. Tidak Seimbang Dalam Penukilan.

Dalam bukunya, Quraish tidak adil di dalam menyebut berbagai pendapat yang
ada. Bahkan terkesan, bahwa beliau lebih cenderung kepada pendapat yang tidak
mewajibkan jilbab, yang dalam hal ini diwakili oleh cendekiawan kontemporer.
Kecenderungan ini sangat kentara ketika beliau menukil pendapat para ulama dari empat
madzhab yang populer, bahkan pendapat mayoritas ulama dari dulu hingga sekarang
yang jumlahnya tidak terhitung lagi, baik yang mewajibkan untuk menutup semua tubuh
wanita tanpa kecuali, maupun yang membolehkan untuk membuka wajah dan telapak
tangannya saja serta dalil-dalilnya dari Al Qur'an dan Sunnah dan lain-lainnya. Itu semua
hanya ditulis dalam 62 halaman saja. Sedangkan, ketika beliau menukil pendapat
beberapa gelintir cendekiawan yang tidak mewajibkan jilbab - yang dalam hal ini
diwakili oleh dua orang saja- , yaitu : Syahrur dan Asymawi, ditulis sebanyak 49
halaman, padahal keduanya bukanlah ulama, yang tidak berhak sama sekali untuk
berbicara masalah hukum dengan segala rinciannya. Seakan-akan Quraish
membandingkan keilmuan dua orang tersebut dengan keilmuan mayoritas ulama yang
dulu, dan yang sekarang, yang mungkin jumlahnya sampai jutaan orang. Yang unik dari
Quraish Shihab, adalah ternyata beliau sendiri mengakui bahwa Syahrur di dalam
memaparkan pandangannya tentang jilbab tidak menggunakan dasar dalil, kecuali
subyektitas belaka. Quraish Shihab menulis : " Kelompok pertama , mengemukakan
pendapatnya tanpa dalil keagamaan ataupun kalau ada, maka itu sangat lemah lagi
tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dan disiplin agama " 64. Beliau juga menulis : "
Pendapat-pendapat di atas mereka kemukakan tanpa dalil kecuali subyektifitas mereka
" 65

XV. Sangat Sedikit Menggunakan Referensi Fiqh

Yang sangat disayangkan dari Quraish Shibab dalam penulisan buku : “Jilbab,
Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan
Kontemporer” ini bahwa beliau tidak banyak menggunakan referensi primer ( utama ),

63
Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar, Beirut, Dar Al Fikr, juz II, hlm : 247
64
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 117
65
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 118

32
terutama buku-buku fiqh madzab empat yang telah diakui oleh umat Islam, seperti
madzhab Abu Hanifah, madzhab Imam Malik, madzhab Imam Syafi’i dan madzhab
Imam Ahmad, padahal tema besar dan judul yang diangkat dalam bukunya adalah seputar
batasan aurat perempuan dan hukum memakai jilbab. Seharusnya, - paling tidak -
sebagian besar referensi yang digunakan adalah referensi fiqh, baik yang klasik maupun
yang kontemporer. Akan tetapi hal itu tidak kita dapatkan dalam bukunya Quraish di
atas. Yang ada hanyalah satu buku fiqh kontemporer, yaitu : al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu, karya DR. Wahbah Zuhaili ( hlm : 109 ), satu buku fiqh madzhab Maliki,
yaitu : Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd ( hlm : 105) masing-masing hanya dikutip
satu kali saja. Kemudian empat buku tafsir hukum, dengan rincian dua buku klasik, yaitu
: Ahkamul Qur’an karya Ibnu Al Araby ( hlm : 56, 79 ), Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an,
karya Imam Qurtubi ( hlm 71, 79, 132 ), dan dua buku kontemporer, yaitu : Tafsir Ayat
Ahkam, karya Muhammad Ali As Sais ( hlm ; 48, 71, 134 ), Rawai’ Al Bayan, karya
Muhammad Ali Shobuni ( hlm : 91 )
Kalau kita melihat referensinya saja, tentunya para pembaca akan mengerti sejauh
mana pembahasan hukum yang dituangkan dalam buku tersebut. Tentunya tidak bisa
mendalam dan data-data yang diungkapkan-pun tidak valid, sebagaimana yang sudah
penulis jelaskan pada tulisan sebelumnya. Hal-hal seperti ini, mestinya bisa dihindari
oleh Quraish Shihab.

XVI. Tidak Cermat dan Tidak Teliti Dalam Penukilan.

Kadang-kadang Quraish Shihab tidak cermat dan tidak teliti di dalam menukil
perkataan para ulama. Penulis juga kurang tahu apakah hal itu memang karena kurang
telitinya beliau di dalam menulis ataukah ada unsur kesengajaan, wallahu a’lam. Tapi
yang jelas kesalahan yang dilakukan oleh Quraish Shihab di dalam menukil,
menerjemahkan dan menyimpulkan dari perkataan ulama akan berakibat fatal bagi
kalangan umum. Di bawah ini beberapa contoh dari ketidaktelitian Quraish di dalam
menukil perkataan para ulama :

Contoh Pertama :
Beliau menulis : "Memikirkan bukan menganjurkan untuk menerapkannya—
karena betapapun -- seperti tulis Imam al-Qurthubi sebagaimana akan penulis kutip
selengkapnya nanti—memakai jilbab dengan hanya membuka wajah dan tangan,
adalah pandangan yang lebih baik dalam rangka kehati-hatian" 66

Tulisan Quraish di atas mengandung beberapa hal yang perlu dicermati :


Pertama : Quraish tidak menyebutkan secara mendetail dimana Imam Qurtubi
menyatakan hal itu, karena Imam Qurtubi mempunyai lebih dari satu buku. Alangkah
baiknya kalau Quraish menyebutkan referensinya secara lebih mendetail dengan
menyebut judul buku dan halamannya, agar pembaca mudah untuk merujuk buku
tersebut.
Kedua : Quraish tidak cermat dan kurang teliti dalam penukilan. Setelah diteliti,
didapatkan bahwa Imam Qurtubi menyatakan hal itu dalam tafsirnya yang bernama : " Al
Jami' li Ahkam Al Qur'an " , dalam tafsir tersebut Imam Qurtubi menulis :
66
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 50

33
" Pendapat ini lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan memperhatikan kebejatan manusia,
maka seorang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak yaitu
wajah dan telapak tangannya " 67

Ketiga : Ketidakcermatan Quraish dalam menukil pendapat Imam Qurtubi


berakibat fatal. Karena Quraish menyebutkan bahwa Imam Qurtubi membolehkan
seorang perempuan membuka wajah dan tangannya. Padahal sebagaimana penulis
nukilkan dari tafsirnya sebagaimana tersebut di atas, ternyata Imam Qurtubi hanya
membolehkan seorang perempuan membuka wajah dan telapak tangannya saja ( bukan
tangan ). Di sini harus dibedakan antara tangan dengan telapak tangan. Kalau seorang
awam membaca tulisan Quraish tersebut, mungkin dia akan langsung memakai baju
lengan pendek, dengan alasan bahwa tangan bukanlah aurat. Mudah –mudahan Quraish
memahami kesalahan ini, kemudian mau memperbaikinya.

Contoh Kedua :
Selanjutnya Quraish menulis :"Pakar hukum dan tafsir Ibn al-Arabi
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ath-Thahir Ibn 'Asyur, berpendapat bahwa
hiasan yang bersifat khilqiyah/melekat adalah sebagian besar jasad perempuan,
khususnya wajah, kedua pergelangan tangannya (yakni sebatas tempat penempatan
gelang tangan) kedua siku sampai dengan bahu, payudara, kedua betis dan
rambut.Sedangkan hiasan yang diupayakan adalah hiasan yang merupakan hal-hal
yang lumrah dipakai perempuan seperti perhiasan, perendaan pakaian,dan
memperindahnya dengan warna-warni, demikian juga pacar, celak, siwak, dan
sebagainya. Hiasan khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang bila ditutup
mengakibatkan kesulitan bagi wanita seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki,
lawannya adalah hiasan yang disembunyikan/harus ditutup seperti bagian atas kedua
betis, kedua pergelangan, kedua bahu, leher dan bagian atas dada dan kedua telinga."
68

Ada beberapa catatan terhadap nukilan Quraish di atas :


Pertama : Dalam menukil perkataan ulama, Quraish tidak merujuk langsung
kepada referensi primer, tetapi Quraish hanya menggunakan referensi sekunder, padahal
referensi primer itu ada dan sangat terkenal, yaitu " Ahkam Al Qur'an " karya Ibnu Al
Arabi. Akibatnya kadang yang disebutkan oleh referensi sekunder itu tidak sama dengan
apa yang terdapat dalam referensi primer.
Kedua : Quraish tidak cermat dan kurang teliti dalam penukilan. Karena setelah
diteliti ternyata apa yang dinukil oleh Quraish berbeda dengan apa yang terdapat dalam
buku aslinya " Ahkam Al Qur'an ". Dalam buku tersebut Ibnu Al Araby menyatakan
bahwa yang boleh nampak adalah wajah dan telapak tangan 69( bukan tangan )
sebagaimana yang dinukil oleh Quraish. Kedua istilah tersebut harus dibedakan.

67
Al- Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah ) 1993 M, juz XII, hlm :
152
68
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 70
69
Silahkan dirujuk Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul Qur'an , ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet Ke I )
Juz III, hlm : 381-382

34
Contoh Ketiga :
Quraish menulis : "Dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah
dinyatakan bahwa menurutnya kaki wanita bukanlah aurat dengan alasan bahwa ini
lebih menyulitkan dibandingkan dengan tangan, khususnya wanita-wanita miskin di
pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi
kebutuhan mereka" 70.

Tanggapan terhadap tulisan ini, sudah penulis ungkapkan pada halaman


sebelumnya. Yang pada intinya Quraish telah melakukan beberapa kesalahan :
Pertama : Beliau menukil pendapat Abu Hanifah dari buku kontemporer
sehingga terjadi banyak kejanggalan dan kesalahan.
Kedua : Beliau menyebutkan bahwa “ kaki wanita “ bukanlah aurat. Padahal
yang dimaksud adalah telapak kaki. Ini menunjukkan ketidakcermatan beliau di dalam
menerjemahkan.
Ketiga : Bahwa yang benar dari riwayat Abu Hanifah bahwa telapak kakipun
aurat.

Daftar Pustaka

1. Abdul Aziz Azzam, Al Qawa’id Al Fiqhiyah ( Kairo : Dar Al Hadist, 2005 )


2. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, ( Beirut,Muassasah Risalah, 1996
) Cet ke – 5 ,
3. Abdurrahman Ibn Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam
Al Manan, ( Unaizah, Markaz Sholeh Al Tsaqafi, 1992 ) Cet ke- II.
4. Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al Fuqaha ( Kairo, Dar
al Bashoir, 2004 ) Cet ke- 1
5. Al Ghozali, al-Mustashfa, (Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1993 ), Cet Ke- I
6. Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, ( Beirut, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah, 1994 ) Cet
Ke- I
7. Al Muzani, Mukhtashor al Muzani 'ala al Umm, ( Beirut, Dar al Kutub al
Ilmiyah, 1413-1993 ) Cet Ke – 1,
8. Al Qurtubi, Al Jami' li Ahkam Al Qur'an, ( Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah,
1993 )
9. Amir Abdul Aziz,, Ushul Fiqh Al Islami , ( Kairo, Dar As Salam, 1997 ) Cet ke-
1
10. An Nawawi, Al Majmu' Syarhu al Muhadzab, ( Al Muniriyah )
11. An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ( Kairo, Daar Ar Royyan li at Tutast ) t.t.

70
M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hal 48

35
12. As Sakhowi, Al Qaul Al Badi’ Fi Fadhli As Shalah Ala Al Habib As Syafi’, Dar
Ar Royan , Hal 195 .
13. As Suyuti, Al Asybah wa An-,adhoir, ( Beirut, Dar al-Kutub aI-Ilmiyah , 1983 )
Cet Ke – 1,
14. Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith , ( Dar al Kutby ) ,
15. Ibnu al Arabi al Maliki, Ahkamul Qur'an , ( Beirut, Dar Kutub Ilmiyah ) , Cet
Ke I
16. Ibnu Badran, Al-Madkhal Ila Madhab Imam Ahmad ( Kairo, Dar Al Aqidah,
2001 ) Cet Ke -1
17. Ibnu Hajar Al Atsaqalani , Fathul Bari ( Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke –
1.
18. Ibnu Hajar Al Atsqalani, Tabyiin Al Ajab Bima Warada Fi Fadli Rajab, (
Muassah Qurtubah )
19. Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhta fi Syarhi al Minhaj, ( Dar Ihya turats al
Araby
20. Ibnu Hazm, Al Muhalla b ial Atsar ( Beirut, Dar Al Fikr)
21. Ibnu Juzzai, al Qawanin al Fiqhiyah, ( Kairo, Dar al Hadits, 2005 )
22. Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wa An ,adhoir, ( Kairo, Al Maktabah At
Taufiqiyah, t.t. )
23. Ibnu Nujaim, Bahru ar Raiq Syarh Kanzu al Daqaiq , ( Beirut , Dar Al Kitab Al
Islami )
24. Ibnu Qayyim, I’lamu Al Muwaqi’in,
25. Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Dar Ihya al Turast al Arabi )
26. Ibnu Qudamah, Al Mughni ,( Beirut, Dar al Kitab al Araby )
27. Ibnu Qudamah, Raudhatu an-,adhir wa Junnatu al-Munadhir, ( Madinah,
Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, t.t. )
28. Ibnu Rajab Al Hambali, " Fadhlu Ilmu Salaf 'Ala Ilmu Kholaf " , ( Kairo, Al
Maktabah Al Islamiyah – Dar Ahlu As Sunnah, 1996 ) Cet Ke – 1.
29. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa,
30. Izzuddin bin Abdissalam As Salami dalam Qowa’id Al Ahkam fi Masholihil
Anam ( Kairo, Dar Al Bayan Al Arabi , 2002) Juz II,
31. M . Quraish Shihab, Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atasTtafsir Al Manar,
( Jakarta, Lentera Hati, 1996) Cet Ke – 1
32. M . Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta, Lentera Hati,
2004 ) Cet Ke- I
33. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ( Dar Al Fikr Al Araby, 1958 )
34. Muhammad al Babruty, 'Inayah Syarhu al Hidayah, ( Beirut , Dar al Fikr )
35. Muhammad al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, ( Beirut, Daral Kutub al
Ilmiyah, 1994 )
36. Muhammad bin Ahmad As Safarini, Ghidhau al Albab fi Syarh Mandhumat al
Adab, ( Muassasah Al Qurtubah )
37. Muhammad bin Ismail Bukhari, ash-Shahih , dicetak bersama Fathul Bari (
Kairo, Dar Ar Royan, 1986 ) Cet ke – 1
38. Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, ,ihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, (
Beirut, Dar al Fikr )

36
39. Muhammad Ismail Muqadim, Ar Radd Ilmi ‘Ala Kitab Tadzkir Ashab Bi
Tahrim An ,iqab, ( Iskandariyah, Dar Al Iman, 2003 ) , Cet Ke 6.
40. Muhammad Nasiruddin Albani, Jilbab al Mar’ah al Muslimah fi al Kitab wa as
Sunnah, (Beirut, Dar Ibnu Hazm- Amman, al Maktabah al Islamiyah, 1994 ) Cet
Ke -2 ,
41. Muhammad Nu'aim Sa'I, Haditsatu ,ew York, ( Kairo, Dar As Salam, 2005 )
Cet Ke – I
42. Mula Al Hasru, Durar al Hukkam syar Ghurar al Ahkam, ( Dar Ihya al kutub Al
Arabiyah )
43. Prof. Dr. Abdullah bin Umar bin Muhammad Al Amien As Syenkity, ,adhrat
Wa Tafahush fi Ar Rukhsah Wa at Tarakhus, ( Dar At Tiba’ah Al Islamiyah,
1994 ) Cet Ke- 1
44. Sa’dudin As Sayid Muhammad Sholeh, Al Masuniyah fi Atswabiha al
Mu’ashirah, ( Jeddah, Maktabah As Shohab, 1993) Cet- 1,
45. Salman Fahd Audah, Al Hiwar Al Hadi’ ma’a Muhammad Ghazali, ( Riyadh,
Dar Al Hijrah, 1410 H ) Cet ke – 3
46. Usamah Muhammad As Sholabi, Ad Durar Al Bahiyah Fi Ar Rukahs As
Syar’iyah, Ahkamuha Wa Dhawabituha ( As Syariqah, Maktabah As Sahabah,
2003 ) Cet- 1,

DAFTAR ISI :

1. Muqaddimah 1
2. Tidak Semua Ilmu Dan Informasi Boleh Disebarluaskan 3
3. Tidak Semua Perbedaan Pendapat Bisa Diterima 6
4. Perbedaan Antara Ulama Dan Cendekiawan 8
5. Kemudahan Dalam Islam Bukan Berarti Meninggalkan Kewajiban Atau Memilih
Pendapat Yang Nyleneh 9
6. Hukum Menjamak Shalat Tanpa Sebab . 11
7. Larangan Untuk Mencari Pendapat Ulama Yang Nyleneh 13
8. Tidak Mendukung Pendapat Para Ulama 19
9. Hubungan Budaya Setempat Dengan Teks Al Qur'an Dan Hadist 20
10. Tidak Boleh Menjadikan Perbuatan Sebagian Orang Sebagai Dasar Hukum 23
11. Harus dibedakan antara Illat ( Alasan ) dan Hikmah 25
12. Pengaburan Terhadap Pendapat Para Ulama 27
13. Tidak Merujuk Pada Referensi Primer. 30
14. Tidak Seimbang Dalam Penukilan. 32
15. Sangat Sedikit Menggunakan Referensi Fiqh. 34
16. Tidak Cermat dan Tidak Teliti Dalam Penukilan. 34
17. Tidak Merujuk Kepada Referensi Yang Tersedia. 35
18/ Daftar Pustaka 37

37
38

Anda mungkin juga menyukai