Tanggal 1 Juni 2008 kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila, dasar negara
Republik Indonesia. Apa yang harus kita renungkan terkait dengan peringatan kelahiran
Pancasila akan menjadi fokus tulisan ini. tulisan ini merupakan ringkasan dari paper yang
pernah saya tulis mengenai Pancasila dan Multikulturalisme yang bersumber dari seminar
tersebut.
Seminar ini mengambil tema yang agak luar biasa, menurut saya, mengingat bahwa
pembicaraan mengenai Pancasila sudah tidak lagi menarik dan intens, terkecuali pada
saat kuliah 'Pancasila dan Kewarganegaraan' yang selalu dipenuhi oleh para mahasiswa,
hal ini tentu karena wajib untuk diambil; dan sangat mungkin jika tidak diwajibkan hanya
mahasiswa ilmu politik dan mahasiswa yang kekurangan SKS yang akan mengambil
matakuliah tersebut. Pancasila, semenarik apapun pembahasannya, telah disaingi oleh
diskusi mengenai multikulturalisme; meskipun dalam seminar ini, Pancasila selalu
dijadikan pondasi bagi adanya multikulturalisme di Indonesia yang kaya akan budaya.
Resume ini tidak membahas semua materi yang diberikan, justru sebagai pandangan
pribadi atas masalah Pancasila dan multikulturalisme yang dikemukakan oleh para ahli
dalam seminar tersebut.
Unity in Diversity atau Bhineka Tunggal Ika – bagi saya – tidak lebih dari suatu ideologi
yang dimasukkan oleh negara guna mengontrol penduduknya yang memiliki berbagai
latar budaya yang berbeda. Negara telah membius penduduknya, bahwa perbedaan yang
ada harusnya menjadi suatu kondisi di mana ketahanan negara dan – terutama sekali –
persatuan masyarakat adalah suatu keharusan, dengan demikian, Bhineka Tunggal Ika
mengharuskan berbagai masyarakat dalam berbagai latar budaya sedapat mungkin
menghindari sikap etnosentris demi persatuan dan kesatuan negara Indonesia.
Mungkinkah multikulturalisme dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik? Baik
Moeslim Abdurrahman, Hendardi, Daniel Sparringa dan Todung Mulya Lubis meyakini
bahwa multikulturalisme harus dipahami secara baik dan benar, dalam artian setiap orang
sedapat mungkin menghindari sikap-sikap etnosentris (termasuk didalamnya egosentris
dan religiosentris), hal ini dimaksudkan agar terjadi suatu equilibrium dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Izinkan saya memulai bagian ini dari pertanyaan, atau lebih tepatnya kegundahan,
seorang dosen matakuliah 'Pancasila dan Kewarganegaraan' atas semakin hilangnya
Pancasila dari kampus-kampus di Indonesia. Bagi saya, kegundahan ini berarti dua hal,
pertama, dosen tersebut khawatir jika suatu saat kampus besar seperti Unair akan
kehilangan "Pancasila" sebagai simbol; dan kedua, dosen tersebut khawatir akan
hilangnya Pancasila sebagai wacana.
Berawal dari multikulturalisme, apakah itu dipandang sebagai realitas empiris ataupun
dipandang sebagai ajaran, semuanya bermula dari satu hal, yakni adanya suatu kondisi di
mana pembauran berbagai etnis dengan berbagai latar belakang budaya adalah hal yang
tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Semua ini membawa pada implikasi yang lebih
serius, yakni perlu adanya suatu mekanisme untuk mengatur ke-multikultur-an yang ada
di Indonesia, dan dalam hal ini, negara memiliki kemampuan yang lebih sehingga dapat
mengelola masyarakat yang multikultur.