GLOKALISASI BAHASA1
Khaerul Umam Noer2
Abstrak
1
Disampaikan dalam “International Symposium on Language, Culture and Globalization in
Southeast Asian Countries”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 11 Desember 2008.
2
Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social Research Center Nuruttaqwa Foundation,
Bekasi. Anda dapat melihat web resmi saya di www.umamnoer.co.cc
Apa yang anda pikirkan dan menjadi pertimbangan ketika anda membeli sepotong
kaos? Harga? Kenyamanan? Warna? Grafik? Atau lainnya?, pertanyaan ini bahkan
menjadi semakin rumit ketika ditanyakan “di mana lokasi yang biasanya anda
kunjungi ketika membeli kaos?” mall? Gerai busana? Butik? Distro? Atau pinggir
jalan?, tapi apa pun jawaban anda, coba lah perhatikan – terutama bagi laki-laki –
kaos yang anda miliki, berapa banyak dari kaos yang anda miliki memiliki tema yang
unik berupa kata-kata yang nyeleneh, gambar-gambar yang ‘tidak biasa’.
Kaos tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah pakaian yang dapat dikenakan secara
universal, karena pada dasarnya kaos tidak lah ditujukan pada segmentasi pasar
tertentu maupun untuk gender tertentu, kaos tidak pula ditujukan bagi golongan
dengan status tertentu maupun untuk usia tertentu. Dalam konteks yang lebih luas,
pemakaian kaos bersifat universal tanpa mengenal batasan usia, status, dan gender.
Tulisan ini akan berbicara mengenai cerita tentang sepotong kaos, bagaimana kaos
tersebut melakukan transformasi, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
orang-orang yang memakainya.
Pernahkah anda melihat film “Rebel Without a Cause” yang populer pada era 1950-
an? Jika anda pernah melihat film itu, anda akan mengerti mengenai tranformasi luar
biasa pada T-shirt (saya akan mempergunakan istilah kaos untuk mengacu pada istilah
ini). Pada film tersebut anda akan melihat James Dean menggunakan kaos, jeans
butut, dan jaket kulit, dan pakaian ini lah yang mengubah dunia mode dunia saat itu
(lihat Kompas 2008b). Adalah penting untuk mengingat konteks berpakaian pada era
itu, di mana kaos umumnya adalah pakaian yang dikenakan oleh kaum pekerja
Amerika, hal ini tentu saja berhubungan erat dengan penggunaan jeans yang
ditujukan bagi para pekerja pertambangan. Lalu apa hubunganya dengan Indonesia?
Sebagai pakaian yang sesuai dengan kondisi iklim tropis Indonesia, kaos merupakan
solusi pakaian yang dapat dikenakan tanpa mengenal waktu. Penggunaan kaos pun
tidak hanya digunakan oleh orang dengan etnis tertentu, namun juga meluas ke semua
etnis yang ada. Penggunaan kaos yang bersifat universal boleh jadi mengalahkan
popularitas pakaian lainnya, sebut saja baju koko atau bahkan kemeja khas Eropa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana transformasi kaos, dari sekedar
pakaian hingga menjadi representasi dan medium kritik?
Tentu saja hal ini tidak dapat lepas dari peran distro yang menjadikan kaos memiliki
nuansa politis yang kental. Adalah distro, atau distribution outlet, sebuah cabang lain
dari indie yang mengkhususkan diri pada penjualan pakaian – utamanya kaos,
assesori, maupun benda-benda lain yang berhubungan dengan fashion (Wikipedia
t.t.). Sebagaimana jalur indie lainnya, distro pun berbagi satu ciri utama: penekanan
pada ekspresi diri. Hal ini lah yang menjadi salah satu ciri utama berbagai kaos yang
secara spesifik diproduksi oleh distro, di mana mereka memproduksi dalam jumlah
terbatas, sehingga hal ini menjadi sebuah ‘jaminan’ bagi para pelanggan distro
mengenai ‘perbedaan’ diri mereka dengan orang lain, atau dalam istilah lain, distro
menyediakan sebuah produk yang terbatas dan menjadi bagian dalam proses ekspresi
diri seseorang.
Berbagai distro yang tersebar di Bandung misalnya, lebih 500 merek yang secara
aktif menumpahkan produk mereka di daerah Bandung dan sekitarnya (Kompas
2008a). Geliatnya boleh jadi terasa sejak euforia reformasi pada tahun 1998, namun
gerak yang sesungguhnya terjadi jauh sebelum itu. Saat reformasi bergulir, dapat
dikatakan bahwa Bandung menjadi barometer tersendiri ketika berbicara mengenai
‘fashion as personal statement’. Berbagai distro yang muncul, sebut saja Ouval,
Unkle 347, Celtic, Airplane System, Brooms, Valley Inc, dan lain sebagainya
menjadikan produk mereka sebagai ‘fashion statement’, di mana karya mereka
menjadi penanda khusus bagi orang yang memakainya. Kedekatan distro dengan
kalangan indie dan underground menjadikan distro sebagai wadah yang khusus yang
secara spesifik menciptakan produk sebagai sarana berekspresi yang tertuang dalam
Dalam konteks representasi diri misalnya, sangat banyak desain kaos yang menjadi
penanda khusus bagi pemakainya, mulai dari yang sifatnya gurauan sampai hal-hal
serius. Teks dalam kaos pun dapat menjadi penanda bagi seseorang; mulai dari tulisan
dengan sedikit humor seperti “masih jomblo”, “Butuh uang segera!!!”, “Nyante
dengan Sate”, atau “I just wanna say I HATE you”, “I am who I am”, “Super Bitch”,
“hot momma”, “Dirty Babe”; hingga tulisan yang secara tegas menandakan posisi dan
identitas seperti “NO CAMPAIGN ON 2009”, “Dont tell me to behave”, “Dont
Disturb Me!!”, hingga “Yes, I’m GAY”.
Tidak hanya dalam konteks representasi diri, dalam konteks afiliasi diri pun cukup
beragam desain yang tersedia, dan banyak pula yang secara efektif menunjukkan
afiliasi pemakainya terhadap ‘produk’ yang ada dalam kaos tersebut. Para Slankers
misalnya, akan dengan segera menggunakan kaos yang mereka gunakan untuk
menandakan afiliasi mereka dengan grup tersebut, demikian pula para supporter
sepak bola yang mempergunakan kaos grup sepak bola tersebut sebagai penanda
afiliasi diri. Tapi tentu saja bentuk afiliasi ini sering kali tidak bersifat permanen, di
mana hal ini hanya muncul ketika si pemakai bergabung dalam satu komunitas
tertentu yang terikat oleh satu kepentingan tertentu. Meskipun demikian, patut
dipertimbangkan mengenai afiliasi orang-orang yang menggunakan kaos bergambar
partai politik, di mana afiliasi mereka umumnya tidak lah sesuai dengan kaos yang
mereka kenakan.
Tidak hanya sebagai bagian dari representasi diri seseorang dalam domain publik,
kaos pun dapat berperan sebagai medium dalam melontarkan kritik. Salah satu band
indie misalnya, secara sengaja membuat kaos dengan tulisan “Who ever they voted
for, we are ungovernable” (Kompas 2008a), ada pula kaos yang bergambarkan
seorang kandidat presiden 2004 dengan tulisan “No body’s perfect?”. Jika menilik
Kaos tidak hanya menjadi medium dalam representasi diri, afiliasi diri, maupun
‘kritik yang tidak bersuara’, namun juga dapat berfungsi sebagai pengikat solidaritas
dan identitas kelompok. Tidak sedikit para musisi indie yang sengaja membuat kaos
dengan gambar atau logo grup band mereka – atau bahkan gambar album mereka –
dan mendistribusikan kaos tersebut ke penggemarnya. Kaos para fans sepak bola juga
contoh yang sangat baik mengenai fungsi kaos sebagai identitas kelompok, di
samping mulai bermunculan pula kaos yang diproduksi untuk komunitas-komunitas
tertentu, seperti kaos untuk para skaterboard dan surfer. Kaos pun semakin
mengalami diversifikasi tujuan, yakni dengan terbentuknya satu varian lain, yakni
kaos sebagai talking shirt atau kaos sebagai “penanda berbicara” mengenai identitas
kelompok”.
Jika anda memperhatikan dengan seksama, berbagai contoh yang saya berikan
memberikan gambaran yang jelas, bahwa sebagian besar kaos yang ada lebih banyak
menggunakan bahasa Inggris sebagai teks dalam desain kaos itu sendiri. Hal ini tentu
saja tidak lah mengherankan, mengingat posisi bahasa Inggris sendiri yang telah
menjadi lingua franca dalam pergaulan sehari-hari.3
3
Mengenai penggunaan bahasa Inggris sebagai lingua franca, menarik untuk melihat tulisan
Alastair Pennycook (1998) yang mempertanyakan netralitas bahasa Inggris, di mana Pennycook
melihat bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa global tidak lah bersifat netral, namun
merupakan bentuk kolonialisme terselubung yang dilakukan oleh para negara maju (AS) kepada
negara dunia ketiga.
Dalam banyak kesempatan, tidak sedikit pula para desainer kaos yang
menggabungkan bahasa Inggris dengan bahasa lokal. Cak-Cuk Surabaya misalnya,
pernah mengeluarkan kaos dengan tulisan “What are u lookin’ at, jancuk!!”, maupun
Concorde, sebuah distro di Jakarta, mengeluarkan desain kaos dengan teks unik
“Mau Kemane Om?, hotel or cafe?” , atau Sonixx, sebuah distro di Bandung yang
mengeluarkan kaos dengan desain grafis peta Bandung dengan tulisan “What the hell
with Bandung, hareudang pisan euy...”.
Sulit untuk dikatakan sejak kapan gejala penggabungan bahasa ini terjadi dalam
desain grafis kaos, namun setidaknya gejala ini dapat terlihat dengan cukup jelas
sejak tahun 1990an, dan terus bergulir hingga saat ini. Adanya permintaan
penggunaan bahasa lokal misalnya, boleh jadi merupakan bentuk revivalisme budaya
lokal, atau kebangkitan budaya lokal dalam bentuk bahasa maupun dialek-dialek
tertentu. Saya pun tidak dapat menutup kemungkinan adanya otonomi daerah
memunculkan gejala kebangkitan atau revivalisme tersebut.
Adanya gejala pencampuran bahasa dalam desain kaos dapat dikatakan sebagai gejala
hibridasi budaya yang terjadi dalam pasar Indonesia. Hibridasi ini terjadi setidaknya
karena dua hal pokok: (1) adanya penetrasi pasar global dalam sistem pasar yang
menjadikan bahasa Inggris sebagai lingua franca menyebabkan adanya peningkatan
permintaan penggunaan bahasa Inggris, dan (2) adanya peningkatan permintaan pasar
mengenai penggunaan bahasa lokal. Kedua hal ini lah yang nampaknya mampu
memaksa para desainer kaos untuk memikirkan ulang penggabungan bahasa lokal
Globalisasi, sebagai suatu proses yang terus berlanjut tentu saja membawa dampak
yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, bagaimana masyarakat menanggapi
globalisasi yang terjadi dan dialektika yang terjadi di masyarakat adalah fokus yang
cukup banyak dikaji (lihat Ritzer 2007). Dalam konteks tulisan ini, globalisasi dilihat
dalam kaitannya dengan transformasi kaos dan perubahan dalam dunia sosio-
linguistik pada pemakai kaos itu sendiri.
Transformasi desain kaos yang memasukkan bahasa Inggris, yang dianggaps sebagai
bahasa global, sebagai bagian integral dalam desain kaos itu sendiri menyebabkan
desain kaos menjadi lebih variatif. Penggunaan bahasa Inggris sebagai dampak yang
terlihat dari globalisasi menyebabkan hampir semua desainer kaos mengeksplorasi
bahasa ini, tidak hanya dari sisi desain, namun juga dari sisi nama produk yang
mereka usung. Penggunaan bahasa Inggris boleh jadi merupakan gejala yang bersifat
massif dan universal, sehingga para desainer kaos pun berupaya sedapat mungkin
untuk tidak meninggalkan bahasa ini dalam desain-desain mereka.
Di sisi yang lain, permintaan atas penggunaan bahasa lokal pun perlahan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, dan hal ini lah yang dilihat oleh para pengusaha
distro. Permintaan mengenai penggunaan bahasa lokal menjadi satu point penting
dalam transformasi kaos di Indonesia. Adanya permintaan yang relatif sama
menyebabkan para pengusaha distro untuk menyesuaikan desain kaos mereka dengan
memasukkan dua ‘jenis’ bahasa yang berbeda dalam satu desain kaos. Hal ini lah
Gejala glokalisasi bahasa sejatinya tidak lah hanya terlihat dalam desain kaos, namun
juga dalam pergaulan sehari-hari pemakai kaos itu sendiri. Dalam banyak percakapan
yang terjadi misalnya, gejala glokalisasi bahasa adalah hal yang umum terjadi, di
mana para penutur bahasa justru melakukan pencampuran bahasa, yakni dengan
menggunakan bahasa yang berbeda dalam satu pembicaraan, hal ini tentu saja dapat
dilihat dalam konteks bicara sebagai aktivitas budaya (lihat Keating dam Egbert
2004). Tentu saja hal ini dapat dilihat sebagai bentuk globalisasi yang terjadi dalam
bidang bahasa, di mana penggunaan bahasa pun tidak dapat melepaskan diri dari
aspek sosio-kultural (Bell 2007).
Bahasa menjadi domain penting dalam globalisasi, sebab melalui bahasa lah
globalisasi lebih mudah terserap dalam kehidupan sehari-hari. Gejala glokalisasi
bahasa, yang terjadi dalam desain kaos dan percakapan sehari-hari adalah fenomena
bahasa yang sulit dihindari. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini dapat bermuara
pada persoalan politik identitas. Kenny (2004) misalnya, mengetengahkan suatu isu
mengenai politik identitas (politics of identity), bahwa politik identitas merujuk pada
praktik-praktik politik yang berdasarkan kelompok, di mana praktik ini tidak lah
terkait dengan sistem politik tertentu, dan menjadi suatu ciri umum bahwa hal ini
mengambil pondasi dari adanya mobilisasi berdasarkan identitas kolektif yang
disembunyikan, ditekan atau bahkan diabaikan (lihat Sparringa 2005).
Ketika kaos menjadi identitas tersendiri bagi kalangan indie yang bergerak di musik
punk dan underground misalnya, kaos menjadi penanda terciptanya suatu politik
identitas, di mana para musisi dan penikmat musik indie mengambil sebuah identitas
kolektif dan merepresentasikan identitas kolektif tersebut melalui kaos. Hal ini dapat
pula dilihat pada para penikmat musik yang dibawakan oleh musisi di jalur
Politik identitas dapat dilihat dalam banyak hal, utamanya dalam representasi yang
dikeluarkan oleh kelompok identitas tersebut. Satu hal yang harus diingat, bahwa
identitas tidak lah bersifat tetap, namun lebih pada persoalan konstruksi (lihat Castells
2004). Hal ini tentu saja membawa pada suatu konsekuensi, di mana untuk melihat
suatu fenomena harus dilihat pula aspek sosio-kultural yang ada di balik fenomena
tersebut. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan ketika melihat persoalan kaos dan
dinamika globalisasi yang terjadi di Indonesia.
Sebagai sebuah produk budaya, kaos tentu saja terkait erat dengan dimensi sosio-
kultural orang yang menciptakan kaos itu sendiri, dan ketika seseorang menciptakan
sebuah produk, ia tidak dapat melepaskan diri dari kondisi sosial budaya yang
melingkupi dirinya. Hal ini lah mengapa kaos sebagai produk budaya dapat berubah
dengan signifikan dalam waktu yang relatif singkat, di mana keberadaan dan desain
kaos sangat ditentukan oleh kondisi si pembuat kaos.
Sebagai medium kritik, kaos terus mengalami perubahan bergantung pada situasi
politik yang terjadi; hal yang berbeda ketika kaos berfungsi sebagai media
representasi diri yang dapat berubah tanpa mempertimbangkan kondisi politik yang
terjadi. Sebagai sebuah pakaian, media representasi diri dan identitas kelompok,
maupun sebagai medium kritik, kaos menjadi sangat multifungsi, di mana hal ini
menjadi keuntungan tersendiri bagi kaos itu sendiri maupun penggunanya. Fluiditas
fungsi kaos dapat terjadi dengan sangat cepat tanpa melihat aspek waktu dan tempat.
Transformasi fungsi kaos ini lah yang menjadikan kaos sebagai produk budaya
dengan kondisi yang sangat dinamis.
Sebagai wadah penjualan produk fashion yang berbeda dengan produk fashion
mainstream lainnya, distro menyediakan berbagai jenis kaos yang secara signifikan
berbeda dan memiliki pesan tertentu yang hendak disampaikan. Pesan ini lah yang
secara nyata terlihat dalam desain grafis kaos tersebut. Sebuah desain yang
menyampaikan pesan mengenai identitas, afiliasi, maupun posisi pemakainya.
Sebuah desain yang menggambarkan dengan sangat baik gejala glokalisasi bahasa
dalam setiap desainnya. Sebuah gejala dari fenomena globalisasi yang terjadi, di
mana pencampuran bahasa global (bahasa Inggris) dan bahasa lokal menciptakan
sebuah varian baru dalam bahasa: bahasa global dalam konteks global. Semua hal ini
tentu saja terlihat, entah disadari atau tidak, pada kaos yang kita pakai sehari-hari.
Kepustakaan
Bell, Allan. 2007. “Style and Dialogue: Bakhtin and Sociolinguistic Theory” dalam
Robert Bayley dan Ceil Lucas (eds.) Sociolinguistic Variation: Theories,
Methods, and Applications. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm.
90-109
Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity. Malden, MA: Blackwell Publishing
van Dijk, Kees. 2005. “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana
Pembedaan dan Diskriminasi” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.) Outward
Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 57-120
Keating, Elizabeth dan Maria Egbert. 2004. “Conversation as cultural activity” dalam
Alessandro Duranti (ed.) A Companion to Linguistic Anthropology. Malden,
MA: Blackwell. Hlm 169-196
Kenny, Michael. 2004. The Politics of Identity. Cambridge: Polity
Kompas. 2008a. “Berdemokrasi dalam Kaos” dalam Kompas 12 Oktober, hlm. 17