Anda di halaman 1dari 5

LADY

Oleh : Annisa Rahma Miiaw...! Suara lembut itu mengejutkanku yang sedang asyik mengetik karya tulisku di komputer. aku menghentikan kesibukanku. Menoleh ke kiri dan ke kanan mencari asal suara itu. Tiba-tiba, kakiku yang terjulur di kolong meja komputer terasa geli tersentuh bulu-bulu lembut, lebat seekor kucing! Miaaaw! aku terpana menatap kucing itu. Makhluk itu cantik sekali. Mungkin ini yang disebut kucing anggora. Bulunya panjang-panjang dan lebat sekali. Bulu ekornya juga panjang-panjang dan lebat. Warna bulunya indah, kuning keemasan mulai dari kepala, tengkuk, punggung, hingga ujung ekornya. Begitu juga sisi luar keempat kakinya. Sementara, wajah, leher, dada, dan perut, serta sisi dalam kaki-kakinya ditumbuhi oleh bulu berwarna putih bersih. Cantik sekali! Begitu sempurna! Ragu aku mengelus kepala kucing itu, takut kucing itu mengamuk. Tapi tidak, kucing itu malah tampaknya senang dielus-elus. Bahkan, ia mengusap-usap kepala dan tubuhnya ke kakiku. Aku terkikik kegelian. Pus, kamu cakep banget. Pasti kamu ada yang punya, ya? Kucing liar mana mungkin cakep begini? . kuraih tubuh kucing itu. kudekap dan kugendong. Aku memang tidak canggung menyentuh kucing, karena binatang favoritku adalah kucing. Entah mengapa tingkah manja kucing membuatku senang dan terhibur. Dan suara kucing yang imut itu miaaaw... ih, bikin Aku gemes! Semasa SMP dulu, Aku pernah memelihara kucing. Dinamai Pinky karena hidungnya berwarna merah muda. Selama satu setengah tahun, Pinky menjadi sahabat terbaik Ku, yang selalu melipur laraku di kala kesedihan melanda. Tingkah lucu Pinky selalu mampu membuatku tertawa. Namun, akibat keteledoranku, terlambat menyadari Pinky sakit, kucing kesayanganku itu pun sekarat selama tiga hari dan akhirnya mati. Lama aku berduka dan merasa sangat bersalah. Dan Bunda tak pernah lagi mengijinkan aku memelihara kucing karena aku menunjukkan sikap tak bisa bertanggung jawab terhadap binatang peliharaanku. Miaaaw. Kucing itu mengeong lagi. Matanya terpejam menikmati gelitik jemari aku di lehernya. Aku tersenyum. Pus, Cakep. Kamu aku panggil si Lady , deh. Karena kamu anggun banget. Lantas, aku menyibukkan dirinku mengajak si Lady bermain-main. Karya tulis pun terlupakan! Miaaaw! Si Lady datang lagi! Mataku berbinar-binar menyambut kedatangannya. Si Lady terbiasa datang setiap jam dua siang. Dia muncul dari pintu ruang belajar di lantai atas rumahku yang selalu terbuka, apabila aku sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Rumahku memang berhimpitan dengan rumah tetangga kanan-kirinya. Memudahkan si Lady melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Setelah tiga hari pertemuannya dengan si Lady, aku masih belum tahu siapa pemilik

kucing itu. Dan aku memang tak ingin tahu. Biar saja, pokoknya aku bisa memiliki si Lady selama dua jam karena biasanya setiap jam empat sore, si Lady akan berlari pulang. Selama ini pula, Lady hanya diijinkan bermain-main di ruang belajarku. Oh, jangan sampai turun ke lantai bawah dan ditemukan Bunda! Karena pasti akan diusir Bunda! Si Lady semakin akrab denganku Dia tak takut-takut lagi mengusap-usap tubuhnya ke kakiku. Bahkan, berani menghampiri jemariku yang menjentik memanggilnya. Si Lady juga semakin sering mengeong. Kadang membuatku khawatir suaranya akan terdengar sampai lantai bawah. Hush! Pus.... Lady, jangan kenceng-kenceng, ya, ngeongnya, nanti kedengeran Bunda. Cup... cup diem diem, bujukku. Tapi, si Lady tak jua mengerti. Tetap saja mengeong semakin kencang dan semakin sering. Sambil matanya tak lepas memandangku, seperti ingin mengatakan sesuatu. Aduh, pus... jangan berisik dong, Sayang, seruku sambil mengelus-elus kepala si Lady. Tapi, terlambat... terdengar suara Bunda. Icha! aku sedikit panik. Tuh, kan? Pus, sih, ujarku dengan nada sangat menyesal. Tapi, si Lady seperti tak peduli. Ia tetap mengeong, semakin sering dan melengking. aku terpaksa membopongnya dan membawanya keluar menuju balkon. Meletakkannya di lantai, tapi belum sempat menutup pintu, si Lady sudah melesat mendahuluiku masuk ke ruang belajar. Menatapku dan mengeong keras! Hhhh! Aku menarik napas, tak menyangka si Lady akan membuatku kesal. icha....! Terdengar lagi panggilan bunda. Terpaksa aku membuat trik untuk menipu si Lady. Kulemparkan ke lantai balkon bola ping-pong berwarna oranye yang biasa digunakannya. Benar saja! Si Lady segera mengejar bola itu. Pada saat itulah, Aku lekas-lekas menutup pintu. Terdengar suara Lady yang mengeong-ngeong memilukan sungguh tak tega Aku mendengarnya. Tapi, Aku harus segera turun menemui Bunda. Secepatnya Aku berlari turun. Ya, Bundaaa, sahutnya. cha, dipanggil bunda kok lama banget nyahutnya, kata Bunda setelahku berada di hadapannya. Maaf deh Bunda. tadi lagi tanggung. Bunda menatapku penuh selidik. Tanggung ngapain hayoo? aku terlihat agak gugup, Eh, lagi ngetik tugas.Tapi, gak ada apa-apa kok Bunda. Bener, deh. Bunda gak denger apa-apa, kan? jawabku dengan pandangan khawatir. Bunda tersenyum, Makanya Bunda khawatir. Bunda nggak denger apa-apa. Kirain kamu tidur atau sakit? Kok nggak menyahuti panggilan Bunda, kata bunda lembut. aku menarik napas lega. Tadi temenmu nelepon. Kamu kelamaan turun, jadi teleponnya Bunda tutup. Nanti katanya mau nelepon lagi. Dia cuma nanya, kok kamu belum dateng ke rumahnya katanya kamu udah janji mau mengerjakan tugas bersama? tanya Bunda. Ha? Iya, aku lupa! pekikku dalam hati. aku terlalu asyik bermain dengan si Lady sampai lupa dengan janjiku pada temantemannya. aku menatap jam dinding. Wah, sudah pukul setengah empat sore! Sudah terlambat sekali karena rencananya kami akan mulai mengerjakan tugas pada pukul dua siang. Segera aku mengangkat telepon untuk menghubungi temenku, semoga aku masih

diterima walau datang terlambat. Keseriusanku menyelesaikan tugas sejak sepulang sekolah terganggu oleh sebuah suara lembut. Miaaaw. Miaaaw. Ah, si Lady sudah datang. Seperti biasa, tepat pukul dua siang. Tapi kali ini aku tak ingin bermain. Banyak tugas yang harus diselesaikan. Apalagi kemarin aku terlambat ikut menyelesaikan tugas kelompok ini bersama teman-teman. Maka, beban tugasku pun menjadi semakin banyak. Belum lagi aku harus menghapal banyak istilah-istilah Biologi untuk ujian besok. Hhh! Seperti biasa, sistem kebut semalam, deh! Tapi, manalah si Lady dapat mengerti? Si Laddy langsung menubruk kakiku dan mengusap-usapkan kepalanya, seperti biasa. Namun, kali ini ia terdengar semakin cerewet, semakin sering mengeong. Miaaaw miaaaw miaaaw, celoteh kucing itu. Ih, Aku benar-benar merasa terganggu! Pus please jangan ganggu aku, dong aku lagi belajar nih,. dia malah mengira aku mau mengajaknya bermain. Dia melompat-lompat kegirangan sambil menatapku penuh harap. Dan suara mengeongnya. Hiiih!! Miaaaw miaaaw miaaaw! Aduh, Pus! Udah deh, Pus.... Keluar aja, ya? ujarku sambil membopong kucing itu dan membawanya keluar. Segera setelah kuturunkan kucing itu di lantai balkon, lekas-lekas aku berniat menutup pintu. Tapi, hup! Si lady lebih gesit. Dia sudah melesat ke dalam ruang belajar, menatapku tajam seperti menantangku! Miaaaw! aku mendengus, Hhh! Sepertinya mesti dikibulin lagi nih, . Seperti kemarin, aku melempar keluar bola ping-pong berwarna oranye. Secepat kilat ia mengejarnya. Pada saat itulah segera aku menutup pintu! Dan hatiku pun merasa lega! Namun, suara mengeong si Lady masih terdengar, memilukan penuh harap. Ah, aku tak ingin peduli. Kali ini tugasku lebih penting. Tak ada waktu buat si Lady! Benarlah tindakanku kali ini, menyingkirkan si Lady! Siang menjelang sore itu, tiba-tiba tampak mendung menggantung di langit. Kumpulan air hujan yang membentuk awan kelabu, berarak-arak di angkasa dan tampaknya sebentar lagi siap untuk ditumpahkan. Tak lama, benarlah! Hujan deras tumpah dari langit. Aku tak peduli. aku masih sibuk menyelesaikan tugas. Baru setengah jam kemudian aku tersadar. Hujan begitu deras. Dan si Lady? Si Lady telah aku tinggalkan diluar! Aku menuju pintu dan membukanya perlahan. Oh, air hujan telah membasahi seluruh lantai balkon sampai ke setiap sudut-sudutnya. Pandangan mataku menyapu lantai balkon yang basah digenangi air. Si Lady tak ada! Jangan-jangan si lady kehujanan di tengah jalan. Di manakah rumahnya? Jauhkah dari sini? Ah, lady maafkan aku. Pukul dua siang. aku menghempaskan tubuh lelahku ke atas karpet yang tergelar di lantai ruang belajar. Meletakkan kepala di bantal-bantal besar nan empuk. Ah, lega rasanya. Tak sia-sia aku begadang semalaman menyelesaikan tugas-tugas dan menghapal istilahistilah Biologi yang sulit dan banyak sekali. aku merasa puas karena aku tahu sebagian besar jawaban soal-soal ujian tadi. Perkiraan kasarnya, sembilan puluh persen soal berhasil dijawabnya dengan benar! Setidak-tidaknya, aku yakin akan meraih nilai delapan

puluh lima. Selain itu, teman-teman puas sekali dengan sisa tugas yang telah kuselesaikan. Wow, perfect! Hari ini benar-benar sempurna. aku baru ingat, biasanya jam-jam segini si Klady datang. Jam dinding di ruang belajar itu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aneh, si lady tidak datang. aku menjadi gelisah. Kenapa ya si lady? Kenapa hari ini tidak muncul? aku menjadi cemas. Jangan-jangan kucing itu celaka karena kehujanan dalam perjalanan pulang kemarin. aku bertanya kepada Bunda apakah pernah melihat kucing cantik berbulu lebat berwarna kuning keemasan. Tapi, Bunda menjawab tak pernah melihat kucing seperti itu. Begitu juga ketikaku bertanya kepada Mbok Nar. Mbok nggak pernah liat, Neng! jawab Mbok Nar. Tapi, Mbok Nar pasti pernah denger suaranya, kan? Suaranya nyaring banget dan cerewet banget gak bisa berhenti mengeong. aku masih bertanya. Dan lagi-lagi Mbok Nar menggeleng. Bener deh, Neng. Mbok nggak pernah denger suara kucing. Ibu kan nggak suka ada kucing di dalam rumah. Jadi kalo Mbok denger suara kucing di rumah, pasti langsung Mbok cari dan kucingnya Mbok usir, jawab Mbok Nar. aku mengernyit, tak habis pikir. Masa, iya sih hanya aku yang melihat dan mendengar si lady? Suaranya aja berisik begitu. Rumah ini tak terlalu besar. Suara si lady yang melengking itu seharusnya dapat didengar oleh orang yang berada di lantai bawah. Dan anehnya, si lady seperti punya jadwal pasti, jam dua datang dan pulang tepat jam empat. Kucing aneh. Milik siapakah ia? Dan mengapa hari ini tidak datang? Mmm, positive thinking aja, deh. Semoga hari ini ia memang sedang senang di rumahnya. Lagi diajak main-main sama yang punya, harap ku. Tiga hari sudah si lady tidak tampak batang hidungnya. aku masih merasa bersalah. Jangan-jangan si lady kapok bermain denganku lagi gara-gara aku tega membiarkannya kedinginan dalam cuaca hujan di luar rumah, pikirku Tiba-tiba, datang Mbok Nar yang baru pulang dari warung dengan tergopoh-gopoh. Membuatku dan Bunda yang sedang asyik menonton televisi terkejut. Bu, Bu! seru Mbok Nar dengan pandangan nanar. Ada apa, Mbok? Kok kelihatan panik begitu? tanya Bunda. Ibu inget Oma Nancy? Yang tinggal di belakang rumah? Mbok Nar malah balik bertanya. Bunda mengangguk. Iya, ingat. Nenek tua yang hanya tinggal dengan seorang pembantu itu, kan? Yang rumahnya besar? jawaban Bunda malah berbentuk pertanyaan. Kali ini gantian Mbok Nar yang mengangguk. Sekarang lagi rame di rumahnya, Bu. Ada polisi segala. Katanya, Oma Nancy mati dibunuh perampok! jawab Mbok Nar benar-benar mengejutkan Bunda dan aku. Apa??!! Ah, yang bener? tanya Bunda tak percaya. Mbok Nar mengangguk keras. Bener, Bu! jawabnya tegas. Bunda dan aku saling tatap, masih tak percaya. Oma Nancy. Kasihan sekali nenek tua itu. Hidup sendiri hanya ditemani oleh seorang pembantu. Anak-anaknya telah hidup sukses, kaya-raya dan sangat sibuk sehingga tak sempat sering-sering mengunjungi Oma Nancy. Walaupun mereka tinggal di kota yang

sama, tiga orang anak Oma Nancy yang semuanya telah berkeluarga, belum tentu mengunjunginya tiga bulan sekali. Dan kini, Oma Nancy mati dibunuh perampok? Betapa mengerikan! Apakah tak ada yang tahu kejadiannya? Mendengar teriakannya? Rumahnya terletak di blok yang membelakangi rumahku. Aku merinding. Tak adakah yang melihat perampok-perampok itu? Malamnya, ayah melengkapi kisah Oma Nancy. Karena sepulang dari kantor, ayah mengikuti perkembangan kisahnya secara langsung dan mendapat penjelasan dari Pak RT. Diduga keras yang membunuh Oma Nancy adalah pembantunya yang baru sebulan bekerja di rumahnya itu, kata ayah. Ih, kejam banget! pikir ku sambil meringis. Karena tak ada tanda-tanda pintu dirusak paksa. Pintu terkunci dari luar. Sang pembantu menghilang berikut pakaiannya dan barang berharga Oma Nancy. Kata anaknya, Oma Nancy menyimpan sebuah kotak perhiasan berisi emas permata bernilai puluhan juta rupiah. Kotak itulah yang hilang. Kematian Oma Nancy karena dicekik dengan seutas kawat. Si pembantu tahu, keluarga Oma Nancy jarang menghubunginya sehingga si pembantu yakin dia pasti sempat pergi jauh sebelum perbuatannya itu diketahui orang lain. Seandainya anak-anak Oma Nancy lebih memperhatikannya, menelepon setiap hari untuk mengecek keadaan Oma Nancy, pasti kejadian itu dapat lebih cepat diketahui lanjut ayah lagi. Lho, memangnya kejadiannya kapan, Yah? tanya Bunda. Oma Nancy telah meninggal sejak seminggu yang lalu. Tak sengaja kejadian itu diketahui setelah pembantu sebelah rumahnya curiga mengapa pembantu Oma Nancy lama tak terlihat membeli sayur di tukang sayur keliling langganan mereka. Malah, tak pernah terlihat keluar untuk menyapu halaman rumahnya, jawab ayah. Oooh, Bunda dan aku sama-sama terkejut dan terenyuh mendengar nasib Oma Nancy. Anehnya, di atas mayat Oma Nancy tergeletak seekor kucing berbulu kuning. Sepertinya kucing itu adalah kucing anggora kesayangan Oma Nancy yang setia menunggui mayat majikannya. Ayah meneruskan ceritanya. aku langsung pucat pasi mendengarnya! Kucing? Anggora berbulu kuning? Si Lady? tanyanya dalam hati.

Anda mungkin juga menyukai