Melalui utopia arsitektur berhenti sebagai proyek rancangan pesanan individual. Ia ingin berpikir menyempurnakan masa depan semua. Ia menjadi pemikiran. Ia menjadi alat kolektif membincangkan ideal bersama. Karena kota menjadi obyek yang tepat. Pada ruang kota, arsitektur berhenti menjadi alat pesanan pribadi, sebab ia harus menjadi alat kolektif (Marco Kusumawijaya, 2009)
Setidaknya kalimat diatas berulang kali dikutip, mulai dari undangan hingga pada saat pembukaanPameran Workshop Arsitek Muda Indonesia yang bertajuk Ruang Tinggal dalam Kota. Pemikiran utopis inilah yang menjadi dasar materi pameran yang mempertanyakan ruang tinggal. Di saat ruang tinggal ditempatkan dalam kota, maka arti kata ruang tinggal tersebut bisa terdekonstruksi, berevolusi dan memiliki makna lain menjadi lebih dari sekadar bangunan di alamat KTP. Ada banyak hal yang tersirat dan tersurat dalam 14 hasil workshop. Mereka berangkat dari fenomena, derita, kekinian, peluang, persepsi, definisi akan tinggal didalam kota. Tema akan kota dan ruang tinggal begitu dekat dalam keseharian. Di tangan para arsitek muda dan mahasiswa arsitektur, 14 proposal itu menjadi usulan yang unik, berani, sedikit naf, penuh mimpi, idealis dan bersemangat. Namun bukankah itu yang diharapkan dari generasi penerus bangsa?
Kenyataan bahwa Jakarta adalah kota kontemporer menjadikan Jakarta sebagai isu favorit dalam workshop ini. Kekontemporeran Jakarta menjadi kota dan warganya yang selalu bergerak. Jakarta seakan meradikalkan mobilitas warganya, entah secara visual maupun fisik. Itulah yang menjadi isu proposal seperti: Mobile House, diDedikasikan untuk Komuter, metabolism of
Berlawanan dengan gugatan terhadap gaya hidup nomad, proposal ruang kembali justru memperlihatkan konsep kota dan ruang tinggal di masa lampau. Ruang tinggal kembali menjadi kediaman dalam arti sesungguhnya, yaitu sebagai rumah, tempat untuk berhenti total dari pergerakan menjadi tempat untuk pulang. Isu-isu populer seperti keberlanjutan (sustainability) pun muncul dalam beberapa proposal, sepertiTropical Capsule Bungalow, Linear City dan nenek moyangku seorang pelaut. Tropical Capsule Bungalow berangkat dari isu pembangunan di Bali yang cenderung merusak alam, maka dari situ lahirlah ide bungalow dengan bahan sampah daur ulang dan kemudian ditempatkan di lokasi terbengkalai sudut kota. Sementara Linear City berangkat dari konsep abad 19 akhir dengan nama yang sama. Proposal tersebut berusaha untuk mengkompakkan area Kuningan disepanjang jalan, dan lalu merelokasikan area-area lain di belakangan jalan Kuningan hingga berubah menjadi area konservasi dan preservasi. Tentu pembentukan dan luasan bangunan disepanjang Kuningan serta perbandingan lahan memakai perhitungan jejak kaki ekologis. Kenyataan akan perubahan iklim, buruknya lingkungan dan kerap rutinnya banjir melanda Jakarta, mendasari proposal nenek moyangku seorang pelaut. Dengan demikian, diharapkan warga Jakarta di masa mendatang mampu adaptif terhadap bencana yang kini menjadi rutinitas. Kota Bandung turut menjadi inspirasi, terutama bagi 2 proposal yang berasal dari Bandung yaitu kota skala kita dan fashion, Bandung, arsitektur. Keduanya mengambil lokasi sama yaitu di Dago, namun berangkat dari pemahaman yang berbeda. Proposal pertama berupaya mengembalikan skala kota di sepanjang jalan Dago kepada manusia, dengan memberikan kekayaan dan kuasa ruang terhadap pejalan kaki. Kota skala kita melakukan pemisahan yang jelas dan mutlak antara pejalan kaki dan bukan. Sementara proposal kedua: fashion, Bandung, arsitektur, mencoba menarik benang merah antara mode dan arsitektur dengan mempertanyakan kemungkinan deskripsi ruang tinggal sebagai elemen (aksesoris) dalam kota. Aksesoris dalam busana terkadang bisa menjadi pelengkap pakaian bahkan penyatu, seperti halnya dengan menempatkan ruang-ruang kecil dengan tepat pada titik-titik kota tertentu. Mungkin sejalan dengan idealisme Coco Chanel: Fashion is no something that exists in dresses only. Fashion is in the sky, in th street, fashion has to do with ideas, the way we live, what is happening. Dua proposal lain membahas keintiman antara tubuh dalam ruang. Blackout Architecture menggali akan kemungkinan jika perencanaan ruang tidak bergantung pada indera penglihatan. Bagaimana jika para perencana kota dan arsitek mulai juga memperhatikan indera-indera lain dalam merencanakan ruang. Blackout Architecture hadir dengan instalasi yang diharapkan mampu memberikan stimuli dan kepekaan indera. Rumah ini tidak untuk dijual, berangkat dari personalisasi rumah berdasar pemiliknya. Proposal ini seakan menjadi kritik terhadap tendensi komersialisasi, standarisasi dan industrialisasi rumah lewat produk developer. Dan ruang tinggal pun beragam dan menggelitik. Ada beberapa hal yang menarik dari 14 proposal ini. Waktu menjadi krusial, karena dalam ruang tinggal unsur waktu sangat erat.
Penolakan akan ruang-ruang yang steril dan tidak unik pun terjadi. Ada yang memperhatikan kaum marjinal kota dan ada pula yang bermimpi hijau lestari. Lalu bagaimana pemahaman anda terhadap ruang tinggal? Apa arti ruang tinggal bagi anda? Pameran Workshop AMI 9-19 September 2009 Galeri Komunitas Salihara Jalan Salihara No. 16 Pasar Minggu Jakarta Selatan Foto oleh Dita Wisnuwardani dan Kezia Paramita