Anda di halaman 1dari 3

Studi Biologi Ayam Hutan Hijau (Gallus varius) dan Strategi Konservasinya Melalui Teknologi Produksi Semen Beku

dan Inseminasi Buatan Abstrak

Ayam hutan hijau jantan akhir-akhir ini banyak diburu orang untuk disilangkan dengan ayam kampung betina guna menghasilkan hibrida jantan yang disebut bekisar yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi, karena selain ornamen bulunya yang indah, memiliki pula suara yang merdu. Bekisar jantannya fertil namun betinanya menelurkan telur yang kecil-kecil yang seringkali infertil. Hal ini dapat merupakan ancaman bagi populasi ayam hutan hijau yang sudah menurun. Ayam hutan hijau yang masih liar telurnya sedikit, hanya sekitar 40 butir semusim. Sifatnya yang sulit dijinakkan dan mudah sekali tercekam dalam pemeliharaan di kandang (in captivity) sering berakibat kematian. Konservasi merupakan salah satu cara utama dalam pengelolaan spesies yang terancam itu dengan jalan meningkatkan penampilan reproduksinya. Cekaman juga mengganggu aktivitas reproduksi, dan bukti-bukti telah dilaporkan bahwa cekaman dapat menghambat perilaku seksual, produktivitas serta immunitas. Penelitian tentang endokrinologi reproduksi pada ayam hutan hijau baru mulai dirintis oleh peneliti. Mengingat bahwa salah satu aspek penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup ayam hutan hijau yang terancam dan tercekam ini adalah peningkatan aktivitas sistem reproduksinya yang tercermin pada profil hormon reproduksinya, maka penelitian ini dilaksanakan untuk mempelajari fisiologi dan khususnya profil hormon reproduksi, respons cekaman dan beberapa parameter hematologis yang berkaitan dengan produktivitas, maka nantinya dapat dijadikan dasar ilmiah dalam meningkatkan penangkaran ayam hutan hijau secara ex situ. Hasil penelitian bahwa pada ayam hutan hijau jantan, kadar progesteronnya menurun secara nyata (P < 0.01) setelah diberi 100 dan 200 mg serbuk pinang, sedangkan testosteron dan estradiol berturut-turut meningkat dan menurun pada yang diberi 200 mg serbuk pinang. Pada ayam hutan hijau betina kadar kadar progesteron menurun dari 0.82 +0.43 ng/ml menjadi 0.61 +- 0.24 ng/ml pada yang diberi serbuk pinang sedangkan kadar estradiol meningkat pada yang diberi 100 mg dan menurun dari 20.51 +- 6.89 pg/ml menjadi 17.77 +- 2.19 pg/ml pada yang diberi 200 mg serbuk pinang. Nilai H/L meningkat pada betina yang diberi 100 maupun 200 mg serbuk pinang. Pengaruh pemberian vitamin C sebanyak 120 mg perhari selama perlakuan ternyata dapat memperbaiki respons hematologis dan kinerja reproduksi yang ternyata antara lain telah berhasil merangsang keluarnya 2 butir telur pada seekor ayam hutan hijau betina. Dari hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian serbuk pinang dan vitamin C nampaknya dapat menanggulangi cekaman sehingga

secara tidak langsung meningkatkan kinerja reproduksi dan produktivitas ayam hutan hijau. Untuk kajian keragaman genetik DNA mitokondria (mtDNA), fragment DNA yang digunakan adalah Cytochorome b yang diseleksi dengan menggunakan 2 primer. Amplifikasi cytochrome b dengan primer yang dipakai oleh Kocher et al., menghasilkan fragment yang berukuran 385 bp padahal pada manusia hasil amplifikasi tersebut besarnya hanya 307 bp. Hasil amplifikasi cytochrome b kemudian dipotong dengan enzim restriksi (RE) pemotong empat basa (four cutter) yaitu Alu I, Msp I, Rsa I dan Hpa II. Namun Alu I tidak berhasil memotong. Msp I dan Hpa II menghasilkan fragment yang sama berukuran 235 bp dan 150 bp, sedangkan Rsa I menghasilkan potongan berukuran 215 bp dan 170 bp. Hasil pemotongan enzim restriksi tersebut belum dapat membedakan asal-usul ayam hutan tersebut secara jelas karena masih mirip pola pitanya dengan ukuran yang hampir sama. Analisa keragaman genetik ayam hutan dilakukan dengan menggunakan penanda Random Amplipied polimorphic DNA atau dikenal dengan RAPD memakai 6 macam primer sepuluh basa (10 mer) yaitu RP 1 = 5 ACCACCCACC 3 ; RP 2 = 5 TGGTGGACCA 3 ; RP 3 = 5 ACTGAACGCC 3 ; RP 4 = 5 ACAACTGGGG 3 ; RP 5 = 5 CAAAGCGCTC 3 dan RP 6 = GTGGAGTCAG 3 belum memberikan pola pita yang spesifik untuk kedua lokasi. Penelitian tahun ketiga ditujukan untuk meningkatkan kembali populasi ayam hutan hijau di habitat alamnya melalui penangkaran. Untuk mengamati siklus bertelur dan produktivitas ayam hutan hijau yang ditangkarkan dipergunakan 2 ekor ayan hutan hijau adaptasi panjang (8 bulan) dan 8 ekor yang adaptasi pendek (2 bulan). Sedangkan untuk induksi ovulasi dipergunakan masing-masing 24 ekor betina dan 5 ekor jantan. Ayam hutan hijau dan ayam kampung betina dibagi dalam 4 kelompok yang diberi perlakuan penyuntikan NaCl fisiologis, 200 U (baca ,miu) g FSH, 25 IU PMSG dan kombinasi 200 U (baca miu) g FSH + 25 IU PMSG. Hasil yang diperoleh dari pengamatan siklus bertelur menunjukkan bahwa produksi telur terbanyak selama setahun dihasilkan oleh ayam-ayam yang adaptasi panjang yaitu antara 28 dan 44 butir, sedangkan bagi ayam-ayam yang adaptasi pendek kisaran jumlah telurnya antara 3 dan 21 butir. Induksi ovulasi pada ayam kampung yang anovulatoris dengan 200 U (baca miu)g FSH, meningkatkan dengan nyata folikelfolikel (P < 0.01) yang berukuran besar (10-40 mm) dan adanya hierarki folikel. PMSG juga memacu pertumbuhan folikel akan tetapi hierarkinya tidak baik seperti yang diinduksi dengan FSH. Seiring dengan tersebut di atas, produksi telur pun meningkat. Induksi ovulasi dengan FSH, PMSG dan kombinasi FSH + PMSG pada ayam hutan hijau meningkatkan kadar estradiol berturut-turut menjadi 113.345; 71.429; dan 75.930 pg/ml, dibandingkan dengan kontrol (48.259 pg/ml). Penelitian tahun IV ini ditujukan untuk mengkaji kualitas dan kuantitas semen ayam hutan hijau yang diperlukan untuk produksi semen beku dan aplikasinya melalui IB. Hasilnya menunjukkan bahwa volume ejakulat ayam hutan hijau (0.0214 +- 0.0025 ml) jauh lebih sedikit dari ayam kampung (0.156 +- 0.014 ml). Demikian pula konsentrasi sperma ayam hutan hijau (58 +- 10.29 x 10 pangkat 7 /ml). Sedangkan

gerakan progresif (4.16 +- 0.11), persentase normal (80.14 +- 1.92) dan persentase hidup (85.71 +- 1.49) pada ayam hutan hijau berturut-turut hampir sama dengan pada ayam kampung (4.3 +- 0.14), (85.70 +- 1.42), (85.14 +- 3.19). Penyimpanan sperma ayam hutan hijau pada 5 derajat Celcius selama 24 jam pada pengencer tris fosfat, ternyata menurunkan motilitas dan persen hidup berturut-turut dari 5 -3 dan 81.4% - 52.2%. Sperma beku pada ayam hutan hijau maupun ayam kampung yang dicairkan (thawing) ternyata dengan sangat nyata menurunkan motilitas dan persentase hidup sampai 25 - 30% (P < 0.01). Fertilitas telur ayam hutan hijau hasil IB rata-rata 83.3%, sedangkan kawin alam 44.53%, sebaliknya pada ayam kampung, fertilitas telur yang di IB 42.23% sedangkan yang kawin alam 74.17%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas sperma ayam hutan hijau lebih rendah dari ayam kampung, daya tahan hidup (% hidup) dan motilitas hampir sama sedangkan fertilitas ayam hutan hijau lebih baik pada IB daripada kawin alam dan pada ayam kampung lebih fertil kawin alam daripada IB.

Keywords Ayam hutan, gallus varius, inseminasi buatan, bekisar, ternak

Anda mungkin juga menyukai