Anda di halaman 1dari 7

Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang

terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling
bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan
terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada kebaikan yang
didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi.

Untuk itu dalam edisi kali ini kami nukilkan keterangan para ulama tentang masalah ini
dari buku Al Qaulul Mubin fi Akhth’ail Mushallin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman
halaman 290-296. Mudah-mudahan keterangan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian bertemu dengan saudaranya maka ucapkanlah salam
padanya. (Kemudian) jika pohon, tembok, atau batu menghalangi keduanya dan
kemudian bertemu lagi maka salamlah juga padanya.” (HR. Abu Dawud dalam As Sunan
nomor 5200 sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah.

Lihat Silsilah Al Ahadits As Shahihah nomor 186)


Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan seorang Muslim
mengucapkan salam kepada saudaranya yang Muslim jika menjumpainya. Karena salam
dapat menggalang persatuan, menghilangkan rasa benci, dan mendatangkan cinta.
Perintah di dalam hadits ini bersifat istihbaab yang maknanya anjuran dan ajakan, bukan
wajib (lihat dalil-dalil yang memalingkan dari hukum wajib ke hukum istihbaab dalam
kitab Aqdu Az Zabarjad fi Tahiyyati Ummati Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).

Tidak dibedakan dalam mengucapkan salam tersebut antara orang yang berada di dalam
ataupun di luar masjid. Bahkan sunnah yang shahihah (terang) menunjukkan
disyariatkannya mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam masjid baik
ketika shalat ataupun tidak.
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam keluar menuju Quba dan shalat di sana. Lalu datang orang-orang Anshar
kemudian mereka mengucapkan salam kepadanya sedangkan beliau sedang shalat. Dia
(Ibnu Umar) berkata : Lalu saya bertanya kepada Bilal : “Bagaimana kamu lihat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab salam mereka ketika mereka
mengucapkan salam kepadanya padahal dia sedang shalat?” Ibnu Umar berkata : Bilal
berkata : “Begini, sambil membentangkan telapak tangannya.” Begitu pula Ja’far bin
‘Aun membentangkan tangannya dan menjadikan telapak tangannya di bawah sedangkan
punggungnya di atas.” (HR. Abu Dawud dalam As Sunan nomor 927 dan Ahmad dalam
Al Musnad 2/30 dengan sanad shahih atas syarat Bukhari dan Muslim. Lihat Silsilah Al
Ahadits As Shahihah nomor 185).

Dua Imam, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuwiyah berpegang pada hadits ini. Al
Marwazi berkata : [ Saya bertanya kepada Ahmad : “Apakah salam diucapkan kepada
kaum yang sedang shalat?” Dia menjawab : “Ya.” Lalu beliau menyebutkan kisah Bilal
ketika ditanya oleh Ibnu Umar : “Bagaimana beliau menjawab (salam)?” Dia berkata :
“Dia memberi isyarat.” Ishaq juga berkata sebagaimana yang dia katakan. ] (Masa’il Al
Marwazi halaman 22).

Riwayat ini dipilih oleh Al Qadli Ibnul Arabi, dia berkata : “Isyarat dalam shalat bisa jadi
untuk menjawab salam atau karena suatu perkara yang tiba-tiba terjadi saat shalat juga
karena kebutuhan yang mendesak bagi orang shalat. Jika untuk menjawab salam maka
dalam hal ini terdapat atsar-atsar shahih seperti perbuatan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam di Quba dan selainnya. (Lihat ‘Aridlah Al Ahwadzi 2/162)

Dalil tentang disyariatkannya mengucapkan salam setelah shalat di masjid adalah hadits
tentang orang yang jelek shalatnya, hadits yang terkenal (masyhur) dari Abu Hurairah :

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke masjid. Lalu seseorang masuk dan
shalat. Kemudian dia datang lalu mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab salamnya
seraya berkata : “Kembalilah shalat karena sesungguhnya kamu belum shalat!” Maka
orang itu kembali lalu shalat sebagaimana dia telah shalat sebelumnya. Kemudian dia
datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Hal itu dia lakukan tiga kali. (HR.
Bukhari, Muslim, dan selainnya)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata : “Dengan hadits ini, Shadiq Hasan
Khan berdalil di dalam kitabnya Nuzul Al Abrar halaman 350-351 bahwa : “Jika
seseorang diucapkan salam kepadanya kemudian dia mendatanginya dari dekat maka
disunnahkan untuk mengucapkan salam untuk kedua dan ketiga kali padanya.”
Beliau juga berkata : “Hadits ini juga menjadi dalil disyariatkannya mengucapkan salam
kepada orang di dalam masjid sebagaimana juga hadits tentang ucapan salam orang-
orang Anshar kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di Masjid Quba sebagaimana
yang telah diterangkan sebelumnya. Akan tetapi kita temukan orang-orang tidak
menghiraukan sunnah ini. Salah seorang mereka masuk Masjid tanpa mengucapkan
salam pada orang yang berada di dalamnya karena mereka mengira bahwa hal itu makruh.

Semoga apa yang kami tulis menjadi peringatan bagi mereka dan selainnya. Sedangkan
peringatan itu bemanfaat bagi orang-orang yang beriman. (Silsilah Al Ahadits As
Shahihah)

Jadi salam dan berjabat tangan dilakukan ketika datang atau hendak berpisah walaupun
hanya sebentar. Sama saja apakah di dalam Masjid atau di luar masjid.
Akan tetapi sayang sekali, tatkala Anda mengucapkan salam kepada seseorang saat
berjumpa dengan Anda setelah shalat dengan ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi
maka dengan segera dia menjawab taqabbalallah. Dia mengira telah menegakkan apa
yang telah Allah wajibkan atasnya berupa kewajiban membalas salam, seolah-olah dia
tidak mendengar firman Allah Ta’ala :

Apabila kamu diberi penghormatan dengan salam penghormatan maka balaslah dengan
yang lebih baik atau balaslah dengan yang sebanding. Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An Nisa’ : 86)
Dan sebagian mereka bersegera mengucapkan pada Anda sebagai ganti dari salam
dengan ucapan taqabbalallah (semoga Allah menerima amal kita) padahal Allah telah
berfirman :

Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya ialah : “Salam.” (QS. Al
Ahzab : 44)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sebarkanlah salam di antara kalian. (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 54 dan
Ahmad dalam Al Musnad 2/391, 441, dan 495 serta yang selainnya)

Beliau tidak menyatakan : “Katakanlah Taqabbalallah !!” Kita tidak mengetahui dari
salah seorang sahabat pun atau salafush shalih Radliyallahu 'anhum bahwa apabila
mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat tangan orang di
sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat. Seandainya salah seorang dari mereka
melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita meskipun dengan sanad yang
lemah dan ulama akan menyampaikan pada kita karena mereka terjun di semua lautan
ilmu lalu menyelam pada bagian yang terdalam dan mengeluarkan hukum-hukum darinya.
Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau
Sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau sifat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
[ Tamamu Al Kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam halaman 24-25 dan Al
Masjid fi Al Islam halaman 225 ]

Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin berkata : “Mayoritas orang yang shalat
mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah
salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’.
Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf.” (Majalah Al Mujtama’
nomor 855).

Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah
menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah
bid’ah?

Al ‘Izzu bin Abdussalam berkata : “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar
termasuk bid’ah kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat
tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang
disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau
berdzikir :
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.”
(HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad dalam Musnad 4/290)

Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul (Fatawa Al ‘Izzi bin Abdussalam
halaman 46-47 dan lihat Al Majmu’ 3/488). Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas
setelah shalat yang dua rakaat, maka sungguh di jaman kita ini hal itu telah terjadi pada
seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.

Al Luknawi berkata : [ Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada
mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah
dan fitnah, yaitu :

1. Mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan
mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka
mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah
perkara yang jelek karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu
sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah
duduk.

2. Mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta
shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua. ] (As
Sa’ayah fi Al Kasyfi Amma fi Syarh Al Wiqayah halaman 264).
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih
yang belum bersua sebelumnya tidak ada masalah. Syaikh Al Albani berkata di dalam As
Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak
ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum bersua sebelumnya. Maka
hal itu adalah sunnah.”

Al Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat tentang jabat tangan setelah
shalat : “Di antara yang melarang perbuatan itu ialah Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’i,
Quthbuddin bin ‘Ala’addin Al Makki Al Hanafi, dan Al Fadlil Ar Rumi dalam Majalis
Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beiau berkata :
“Berjabat tangan adalah baik saat bertemu.

Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya
sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil!
Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak
boleh taklid padanya.” (Sumber yang sama dan Ad Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal
2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at halaman 72 dan 87).

Beliau juga berkata : “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata
dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala
hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan
itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidlah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah
berkata : “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima
waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalanya dalam syariat.”

Dan alangkah fasihnya perkataan beliau Rahimahullah Ta’ala dari ijtihad dan ikhtiarnya.
Beliau berkata : [ Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan
(setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang
makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus
difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama daripada menarik
maslahah.

Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?
Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai
perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya, dan
mereka terus-menerus dalam perkara itu.

Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan


menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah
yang tidak ada asalnya dalam syariat?!
Berdasarkan atas hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang
yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang
yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka
riwayat-riwayat penulis Jami’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin
misalnya, tidaklah mampu menyamainya karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti
riwayat-riwayat telah terbukti. Dan telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka
mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar).

Dan yang lebih mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia
berkata : (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata : “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh
niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan).” Dan berkata Rasul
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar niscaya
kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan.”

Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu
yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. ] (As Sa’aayah fi Al Kasyfi Amma fi Syarh Al Wiqayah halaman 265)

Akhirnya sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim
memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim kecuali dengan sebab syar’i. Yang
kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan
dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian dengan tiba-tiba mereka mengulurkan
tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya yang memaksa mereka
tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena
memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah karena jabat
tangan ini, padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.

Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika Anda
menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda dan menolak tangan yang
terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal
dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan
kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia.

Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati.
Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi
seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran tetapi tidak tepat
memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar
daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian akan
menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang
penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan
kekerasan. (Tamam Al Kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam halaman 23)

(Dikutip dari Kitab Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin karya Syaikh Masyhur
Hasan Salman oleh Ma’mar Al Marasi, ditulis dalam majalah SALAFY
XIV/SYAWWAL/1417/1997/AHKAM])

Anda mungkin juga menyukai