Anda di halaman 1dari 8

KH Abdurrahman Wahid

Mantan Presiden RI, Tokoh Agama dan Kemasyarakatan

Ada empat misteri Tuhan di dunia ini yaitu: Jodoh, rezeki, umur dan Gus Dur

Itulah sebuah ungkapan yang melukiskan sikap KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sulit ditebak. Gus Dur adalah politisi dan tokoh masyarakat yang memberikan nuansa baru, bukan saja dari sudut pandang Islam tetapi juga demokrasi. Titip aspirasi lewat orang lain saja bisa kenapa kita harus membuat wadah sendiri untuk menyalurkan, katanya setelah Nahdlatul Ulama dalam muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. Namun pada hari Rabu, 20 Oktober 1999, cucu KH Hasyim Asyari ini terpilih menjadi presiden. Artinya, ia kembali ke kancah politik praktis. Padahal matanya sudah mengalami kebutaan setelah ia terserang stroke pada 1998. Ada cerita menarik setelah Gus Dur terpilih sebagai Kepala Negara. Ketua PKB Jawa Timur saat itu, Drs. Choirul Anam, menuturkan bahwa sejak Juli 1999 Gus Dur sudah tahu kalau dirinya akan menjadi presiden.

Pada suatu hari bulan tersebut, kata Anam, Gus Dur mengatakan kepada dirinya: Nanti yang jadi presiden itu saya, perintahnya datang Subuh tadi. Anam lalu bertanya, siapa yang datang memberi perintah? Menurut Anam, Gus Dur menyebut raja-raja Jawa yang telah lama meninggal, kemudian juga menyebut Bung Karno dan KH Hasyim Asyari. Apaapaan ini? Saya pusing mendengar penuturan Gus Dur, kata Anam. Tetapi ternyata Gus Dur memang terpilih presiden. 53 Namun yang lebih aneh lagi adalah tulisan Nico Schulte Nordholt, associate professor antropologi politik di Universitas Twente, Negeri Belanda. Dalam tulisannya di Majalah Times Edisi 1 November 1999, Prof Nordholt mengatakan bahwa Gus Dur pada tahun 1982 sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa dirinya akan jadi presiden. His Dream Came True: Now the spiritual leader needs diving guidance to help his rule, begitu judul tulisan sang profesor itu di majalah mingguan Amerika tersebut. Aneh bin ajaib. Tetapi itulah salah satu sisi kehidupan Gus Dur. Lahir di Denanyar, Jombang, Jatim pada 4 Agustus 1940. Pernah belajar di Universitas Al Azhar, Mesir, dan Universitas Baghdad. Nama Gus Dur mulai mencuat setelah terpilih sebagai Ketua Umum PB NU pada awal 1980-an. Putra sulung dari enam bersaudara KH Abdul Wahid Hasyim ini sebelumnya banyak memegang jabatan sebagai penasihat tim di berbagai departemen, antara lain Departemen Koperasi, Departemen Agama dan Departemen Hankam. Tokoh yang gemar mengoleksi kaset Michael Jackson dan lagu-lagu klasik ini juga pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1984-1985. Dalam Festival Film Indonesia tahun 1985 di Bandung, ia

menjadi ketua dewan juri. Ia fasih beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Arab, Inggris, Jerman, dan Prancis. Esai-esainya tersebar di berbagai media massa, antara lain Kompas dan Tempo. Kiprahnya di dunia politik bagi sebagian orang terasa membingungkan saja, cenderung kelihatan plin-plan dan terlalu kompromistis. Misalnya ketika Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di akhir 1990, ia menolak bergabung. Gus Dur terkesan mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Tapi pendulum Gus Dur mengarah lagi ke arah pemerintah pada Pemilu 1997. Walaupun bisa bergaul dengan Megawati, saat itu ia justru membuka jalan bagi Golkar berkampanye di depan massa NU. Saat orang-orang menghujati para pelaku Orde Baru, Gus Dur justru menemui Habibie, Wiranto bahkan Soeharto. Alasannya masuk akal, walau sulit dipahami sebagian orang, yaitu untuk membangun dialog dan mencairkan kebekuan. Langkah kompromis Gus Dur, walau terkesan menentang arus, tak berpengaruh negatif pada perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikannya dalam naungan NU. Dalam Pemilu 7 Juni 54 1999, PKB menduduki urutan ketiga (di bawah PDIP dan Golkar) dengan meraih suara 12 %. Berdasarkan hasil itu, di atas kertas PDIP dan Golkar paling berpeluang mendudukkan jagoannya sebagai presiden. Tapi dalam Sidang Umum MPR, koalisi Poros Tengah (PAN, PPP dan partai-partai Islam) yang dipelopori Amien Rais mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden, yang akhirnya terpilih secara demokratis mengalahkan Megawati. Gus Dur menduduki kursi presiden hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sebelum ia dipaksa mundur terkait dengan

beberapa kontroversi. Buloggate hanyalah pemicunya saja, namun faktor utama yang menyebabkan Gus Dur kehilangan dukungan adalah sikapnya yang sering kontroversial. Namun Gus Dur tetap memiliki karakter unik yang beperan besar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Semangatnya dalam mengkampanyekan inklusivisme, pluralisme dan toleransi patut diteladani. Energinya yang tak pernah habis untuk menjaga kebersamaan dalam kehidupan yang plural layak kita catat dalam sejarah. Dan humorhumornya selalu mampu memberi inspirasi. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika ditelisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Kendati pendapatnya tidak selalu benar untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapat yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakininya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepertinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat 55

presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya sekaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pertanyaan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam. Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai meloncat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kebinetnya dengan berdasarkan pentingnya tugas yang sifatnya sangat pribadi dan berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung. DPR menginterpelasi Gus Dur dan mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir. Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat

rendah. Di sini Gus Dur tampaknya lupa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai). Celakanya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur. Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan 56 mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) pada 23 Juli 2001. Gus Dur akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggungjawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001. Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian popular disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung. Bapak Bangsa Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke

kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Ia masih popular sebagai tokoh yang membela pihak yang dinilai benar, apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dipandang sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini hingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim. Padahal sebagian pengagumnya menganggapnya sebagai seorang waliullah. Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qotrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina. Dalam Pemilu Presiden 2004, Gus Dur sempat dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai 57 Cawapres. Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan Gus Dur tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat ganti rugi Rp 1 triliun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya

tidak berhasil. Namun beberapa pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang Bapak Bangsa. Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 WIB akibat berbagai komplikasi penyakit, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Janazah Gus Dur dimakamkan secara kenegaraan yang dipimpin langsung oleh Presiden RI di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng pada tanggal 31 Desember 2009. Pondok pesantren tempat Gus Dur dimakamkan menjadi maskot Kabupaten Jombang sebagai tempat ziarah yang memiliki daya tarik tak tertandingi. Bahkan orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan Gus Dur akan cenderung mengagungkan Gus Dur bukan karena prestasi politiknya melainkan karena berkahnya yang diyakini mampu memberikan perlindungan dan rasa aman.[]

Anda mungkin juga menyukai