Anda di halaman 1dari 15

Aplikasi integrasi sinergis antara Evidenve-based Medicine,

Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy dalam


satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan
kedokteran (Clinical Governance): suatu tantangan profesi
IDAI di masa mendatang
Dody Firmanda
Pengurus Pusat IDAI

PENDAHULUAN

Dalam pengelolaan suatu sarana kesehatan (rumah sakit maupun klinik) seorang manajer
maupun dokter akan (bahkan harus) membuat suatu ‘keputusan’ dalam penyelenggaraan
rumah sakit/klinik tersebut maupun dalam penatalaksanaan pasien sebagai individu
maupun kelompok. Keputusan tersebut akan mempunyai dampak, terhadap pasien itu
sendiri dan lingkungannya (dalam hal ini keluarga, masyarakat dan penyandang dana atau
asuransi) serta lingkungan dimana pelayanan kesehatan tersebut
diberikan/diselenggarakan (dari segi dimensi tempat: poliklinik rawat jalan, ruang gawat
darurat, rawat inap, ruang perawatan intensif, ruang operasi dan lain lain; sedangkan dari
segi dimensi fungsi: akan menggerakan/utilisasi mulai dari registrasi unit rekam medis,
penunjang laboratorium, farmasi, bank darah, unit gizi, laundri, penyediaan air,
penerangan listrik dan sebagainya sampai proses pasien itu pulang sembuh dan kembali
kontrol atau kembali kepada perujuk asal atau keluar rumah sakit melalui kamar jenazah)
dan penyelesaian administrasi keuangan. Ini adalah satu proses dalam satu sistem sarana
pelayanan kesehatan yang berlangsung secara simultan dan berurutan atas konsekuensi
‘keputusan’ diatas. Biaya atau dana untuk tenaga medis (dokter) hanya sekitar 20% dari
seluruh anggaran yang dikeluarkan oleh satu sarana penyelenggara kesehatan (rumah
sakit), sedangkan 80% lainnya sangat berhubungan dengan ‘keputusan’ dokter tersebut.

‘Kesalahan’ diakibatkan oleh faktor manusia hanya sekitar 10-20%, selebihnya (80%)
dikarenakan oleh sistem, kebijakan (policy) dan prosedur yang tidak jelas serta tidak
konsisten. Oleh karena itu dalam upaya mencapai hasil yang optima dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan terhadap pasien baik secara individu maupun
kelompok serta efisien dan berazas manfaat, maka diperlukan suatu ‘keputusan’ yang
baik dan tepat didalam ‘sistem’ yang jelas dan konsisten. Hal ini akan terwujud bila
mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership) yang visioner, ‘survivalist’ dan konsekuen.
Sistem itu sendiri terdiri dari tiga komponen yakni struktur, proses dan hasil (outcome)
yang sama pentingnya serta saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Menghadapi era globalisasi ini, dalam bidang kedokteran/kesehatan memerlukan dokter


yang mempunyai selain spesialisasi/sub spesialisasi keahlian juga menguasai akan
‘medical management’, ‘medical epidemiology’ dan ‘medical bioengineering’ (termasuk
teknologi kedokteran/kesehatan). Yang mana ketiga bidang tersebut nantinya akan

1
bermuara sebagai salah satu indikator hasil/outcome dari mutu pelayanan dan atau
pendidikan kesehatan/kedokteran yang baik dan konsisten. Oleh karena itu, alangkah
baiknya bila dalam kurikulum Pendidikan Kedokteran Umum dan Spesialis pada tahap
pengayaan diperkenalkan akan ketiga bidang diatas sebagai ‘basic essential elements’
dan diperdalam lagi pada saat tahap komprehensif akhir sebelum selesai menjadi dokter
umum maupun dokter spesialis dalam rangka antisipasi dan untuk mempersiapkan dokter
paripurna dan handal, mempunyai wawasan ‘leadership’ yang baik serta diharapkan
nantinya akan mampu membuat ‘keputusan’ yang tepat tatkala menghadapi tantangan
globalisasi dan tekanan ‘multi-national company’ di masa mendatang. Bukankah
sebagaimana diutarakan diatas, meskipun dokter hanya mempunyai andil 20%, akan
tetapi ‘keputusan’ yang akan diambil dokter tersebut akan mempengaruhi 80% lainnya.

Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu rumah sakit,
wilayah ataupun di negara maju/industri dan dunia ketiga. Akan tetapi ciri dan sifat
masalah tersebut tidak jauh berbeda satu sama lainnya dalam hal yang mendasar yakni
semakin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut (perubahan demografi), tuntutan dan
harapan pasien akan pelayanan, peastnya perkembangan teknologi kedokteran dan
semakin terbatasnya sumber dana.

Evidence-based Decision Making: Evidence-based Medicine,


Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ‘pengambilan keputusan’ sangat penting dan
secara langsung akan mempengaruhi sistem penyelenggaraan sarana kesehatan maupun
penatalaksanaan pasien secara individu maupun kelompok. Adapun pengambilan
keputusan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Gambar 1).

Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

Evidence Values
B
A

Resources

Selama ini banyak para pengambil keputusan hanya berdasarkan kepada kombinasi faktor
mempertimbangkan sumber (resources) dan nilai/harapan dari konsumen/populasi.
Tehnik ini dikenal sebagai ‘Opinian-based decision making’ (posisi A dalam gambar 1).
Sangat sedikit yang memadukannya dengan menggunakan hasil penelitian deskriptif
maupun analtik (untuk pasien maupun populasi), sehingga jerih payah dan biaya yang
dikeluarkan untuk penelitian tersebut mubazir dan tidak tampak manfaatnya kepada

2
masyarakat pengguna jasa kesehatan. Justru yang diharapkan adalah posisi B yang
mengkombinasikan ketiga faktor tersebut (‘Evidence-based decision making/EBDM’).

Salah satu komponen latar belakang dari tujuan dilakukannya suatu penelitian adalah
relevansi penelitian tersebut terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, membuat kebijakan
(policy) klinis dalam penatalaksanaan pasien secara individu ataupun kelompok serta
kebijakan kesehatan secara lebih luas dalam suatu sistem tingkat institusi penyelenggara
kesehatan baik tingkat rumah sakit (standard of procedures) maupun nasional
(guidelines). Secara ringkas, apakah hasil penelitian tersebut dapat mengubah,
memperbaiki dan meningkatkan status derajat kesehatan, tingkat efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan sumber daya secara optima ?

Pada abad 21 ini diharapkan pengambilan keputusan yang tepat dan baik akan bergeser ke
arah ‘Evidence-based decision making’ (Gambar 2) dengan semakin meningkatnya
tekanan dan tuntutan, pesatnya perkembangan teknologi kedokteran/kesehatan dan
semakin terbatasnya sumber dana serta perubahan globalisasi.

Gambar 2. Pergeseran ke arah EBDM

Increasing pressure OBDM - Opinion-based


Limited resources Decision Making
Demography & population changes
Globalisation EBDM - Evidence-based
Political changes Decision Making
Patient & professional
expectations/demands
New knowledge & technology

Bila kita tinjau dari segi paktisi klinis dalam membuat ‘keputusan’, sering dikonotasikan
bahwa meningkatnya mutu dan efektifitas pelayanan akan secara tidak langsung akan
meningkatkan anggaran biaya kesehatan. Mungkin hal itu berlaku bila yang terjadi adalah
keadaan “A” (suatu keadaan “ flat of the curve medicine”) misalnya ‘keputusan’ untuk
memilih krim untuk pasien herpes simpleks labialis (berdasarkan hasil uji klinis tersamar
ganda), dimana biaya yang harus dikeluarkannya tidak sesuai dengan manfaat
kesembuhan yang diperoleh. Pendekatan ‘evidence-based’ dalam penanganan kasus klinis
maupun ‘kebijakan’ dalam pengambilan keputusan adalah posisi “B” (“Lots of bang for
the buck”) yang mempunyai dampak besar, efektifitas tinggi, biaya relatif sedikit dan
wajar, dan bermanfaat untuk pasien (Gambar 3).

3
Gambar 3. Hubungan pendekatan ‘Evidence-based’ dan efektifitas biaya (cost-
effectiveness)

A
“Flat of the curve” medicine
Efektifitas

B Lots of “bang for the buck”

Biaya

Konsep perkembangan evolusi “Evidence-based’ itu sendiri bermula dari perkembangan


ilmu epidemiologi pada abad delapan belas. Akan tetapi terus ‘mandek’, dan baru aplikasi
ilmu tersebut pada tahun 1981 di McMaster University, Kanada dengan publikasi serial
“Readers’ Guides” untuk membantu para praktisi klinisi (yang sering sibuk) dalam
membaca artikel jurnal kedokteran mengenai hal diagnosis, prognosis, etiologi penyakit
dan terapinya. Serial artikel tersebut menjadi salah satu artikel klasik yang sering dikutip,
banyak diminati sehingga telah beberapa kali dicetak ulang serta diterjemahkan kedalam
tujuh bahasa asing. Sesuai perkembangan suatu ilmu, serial tersebut pada Nopember
1993 berubah dari “Readers’ Guides” menjadi “Users’ Guides” yang lebih menitik-
beratkan tidak hanya soal statistik dan metodologi penelitian semata (“not attempt a
course in research methods, but is about using not doing research”) dan menjadi yang
sekarang dikenal sebagai ‘Evidence-based Medicine/EBM’; yang memadukan
pengalaman klinis dan berdasarkan pembuktian hasil penelitian yang sahih (valid) dan
mutakhir serta bermanfaat untuk pasien selaku konsumen pengguna jasa pelayanan.18,19
Pada saat yang tidak terlalu lama, ilmu tersebut berkembang pesat sesuai dengan
spesialisasi bidang termasuk pelayanan kesehatan (‘Evidence-based Health
Care/EBHC’). Akhir akhir ini ada kecenderungan pergeseran dari model pendekatan
tradisional (Traditional EBM) kearah ‘Information Mastery’ 17(Gambar 4).

4
Gambar 4. Evolusi dari Epidemiologi sampai dengan ‘Information Mastery”

Evidence-based
Clinical
Specialities

Evidence-based
Readers’ Users’ Guides Evidence-
Clinical Health Care Information
Guides to to Medical based
Epidemiology (EBHC): Mastery
Medical Literatures Medicine
Policy
Literatures (EBM)
Health
80’s Technology
90’s
Assessment 21st Century
Others

Adapun langkah langkap penerapan hasil penelitian dalam suatu organisasi pelayanan
kesehatan berdasarkan ‘Evidence-based’ sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 4 di
bawah ini.

Gambar 5. Langkah pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan


pelayanan kedokteran dan kesehatan berdasarkan ‘evidence-based”

Research

Knowledge

Health Policy

Cultural System design Audit


change
Organisational
change
Implementation

Monitoring

5
Sedangkan strategi penerapannya dapat dibagi dalam tiga tahap sebagaimana dalam
Gambar 6 yang terdiri dari:
1. Producing evidence
2. Making evidence available
3. Using evidence: getting research into practice
a) For individual patients: Evidence-based
Medicine/Clinical Practice
b) For populations and groups of patients:
Evidence-based public health and health service
management

Gambar 6. Strategi penerapan dan ruang lingkup ‘Evidence-based health care’

1
Producing evidence

2
Making evidence
available

3
Using evidence:
getting research into practice

For individual patients For populations and


groups of patients

Evidence-based Evidence-based
Medicine or Public Health and
Clinical Practice Health Service
Management

6
Dokter sering menganggap bahwa pengamatan klinis sudah cukup sebagai sebagai cara
yang sahih (valid) dalam evaluasi diagnostik, terapi dan pengamatan jangka panjang
perjalanan penyakit/prognosis pasien. Tidak jarang dalam pengambilan keputusan hanya
mengandalkan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan serta tehnik pengumpulan
data dan fakta yang diperoleh/dicontohnya sewaktu dalam pendidikan sebagai mahasiswa
kedokteran maupun residen. Hal yang sama terjadi pula dalam bidang manajemen
pelayanan kesehatan, dimana seorang manajer hanya mengandalkan pengalaman dan
intuisi serta ‘bekal’ dari selama mengikuti pendidikan manajemen dan penjenjangan karir
tanpa memanfaatkan dan memadukan dengan data maupun hasil analisis/penelitian baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam proses pemecahan masalah penatalaksanaan
pasien dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dokter dan manajer tersebut tidak
mampu untuk memecahkan masalah tersebut secara sistematis, akan tetapi selain dengan
cara membaca buku teks dan jurnal (yang kadang kadang publikasinya sudah tidak ‘up to
date’ dan ketinggalan jaman) akan menempuh jalan ‘aman’ dan ‘memotong jalur proses
review sistematis’ dengan cara ‘sering bertanya’ dan merujuk/konsul kepada sejawat
maupun konsulen yang seharusnya bisa diputuskan sendiri. Padahal sebagaimana
diketahui bersama bahwa ‘medicine is a long life study’, berorientasi memecahkan
masalah dan berdasarkan prinsip bahwa pengalaman itu penting akan tetapi setiap
pengamatan (observasi) harus dicatat secara sistematis tanpa ‘bias’ dan penelusuran
referensi dilakukan dari literatur orisinal (bukan hasil sintesis orang lain) serta penelahaan
kritis dilakukan sesuai dengan aturan eviden yang berlaku.

“Evidence-based Medicine (EBM)” dan “Evidence-based Health Care (EBHC)” adalah


cara pendekatan untuk mengambil keputusan dalam penatalaksanaan pasien (dan atau
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ) secara eksplisit dan sistematis berdasarkan bukti
penelitian terakhir yang sahid (valid) dan bermanfaat.

Sedangkan yang dimaksud ‘bermanfaat’ (usefullness) adalah ketepatan memanfaatkan


berbagai sumber informasi yang relevan dalam penulusuran bukti/eviden yang sahih dan
mutakhir dalam waktu yang relatif singkat untuk menegakkan diagnosis dan skrining,
menentukan prognosis dan memberikan terapi dalam penatalaksanaan pasien sebagai
individu maupun kelompok serta penyelenggaraan layanan kesehatan. Secara ringkas
komponen struktur tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

Usefullnes in clinical practice = Relevance X Valid


Easy to access

“Evidence-based Medicine (EBM)” dan “Evidence-based Health Care (EBHC)” bukan


hanya satu set tehnik semata, akan tetapi lebih dari itu yakni sebagai satu paradigma
(model) baru dalam meninjau dunia kedokteran dengan cara yang berbeda dalam praktek
kedokteran sehari hari dengan memadukan pengalaman klinis, didukung dengan bukti
saintifik yang eksplisit serta menerapkan kaidah ilmu epidemiologi klinis, disamping
mempertimbangkan nilai etika dan upaya memenuhi harapan pasien (patients expected
values and preferences) dalam penatalaksanaan penyakit pasien dan atau
penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Gambar 7).

7
Gambar 7. Model ‘Evidence-based Medicine/EBM’

Nilai dan
harapan pasien Penatalaksanaan pasien:
Diagnostik/skrining
Prognosis
Terapi/Rehabilitatif
EBM

Pengalaman Hasil
klinis penelitian

Sistem penatalaksanaan pasien:


Kebijakan penyelenggara institusi
pelayanan, pendidikan dan profesi
(Policy)
Pedoman klinis (Manual)
SOP (Clinical guidelines)
Penatalaksanaan pasien

Secara umum kelima langkah EBM tersebut terdiri dari (Gambar 8):

1. Formulasi Pertanyaan (masalah) yang bisa dicari jawabannya


2. Penelusuran pustaka dalam rangka pencarian bukti
3. Penelahaan bukti hasil penelusuran
4. Penerapan hasil penelahaan
5. Evaluasi penerapan

8
Gambar 8. Siklus EBM

Formulasi
Pertanyaan 1
yang bisa dicari
jawabannya

Penelusuran pustaka
5 Evaluasi Evidence-based
dalam rangka
penerapan Medicine
(EBM) pencarian bukti/eviden

Penerapan hasil Penelahaan bukti


4 penelahaan hasil penelusuran
3

Kelima langkah diatas tersebut sama penting dan saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Akan tetapi ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam langkah tersebut yakni
mendapatkan eviden secepatnya ( getting the evidence straight - that means accesibilty),
membuat kebijakan berdasarkan eviden (developing policy from the evidence) dan
menerapkan kebijakan tersebut pada waktu dan tempat yang sesuai (apply the policy at
the right time and place). Ketiga hal diatas menyangkut dimensi ‘waktu’, sedangkan
sebagaimana diketahui, penelitian yang baik (misalnya uji klinis tersamar ganda)
memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, kemahiran dalam mencari sumber
informasi (langkah kedua) dan melakukan penelahaan kritis (langkah ketiga) memerlukan
waktu khusus. Untuk mengantisipasi ketiga hal tersebut, akhir akhir ini ada
kecenderungan pergeseran dari model pendekatan “Traditional EBM/EBHC” kearah
‘Information Mastery’ (Gambar 9).

9
Gambar 9. Perbedaan dan persamaan langkah dalam pendekatan ‘Traditional
EBM/EBHC’ dan ‘Information Mastery’

Formulasi masalah
klinis/manajerial yang
Traditional bisa dicari jawabannya Information
EBM/EBHC Mastery

Penulusuran sumber
Penulusuran sumber
informasi sekunder:
informasi primer:
Cochrane, POEMs,
Medline dan literatur
Best Evidence,
penelitian original
InfoRetriever
dll

Penelahaan informasi: Apakah relevan ?


Validitas Apakah harus merubah
Hasil cara praktek/manajemen?
Relevansi Validitas ?

Ya Ya Tidak
Tidak

Penerapan terhadap
pasien/penyelenggaraan layanan

Evaluasi dampak
perubahan tersebut

Pada saat ini sering diutarakan tentang istilah ‘Clinical Governance’ yang intinya sebagai
upaya dalam rangka continuous quality improvement (CQI) berdasarkan pendekatan
kombinasi Evidence-based Medicine/EBM, Evidence-based Healthcare dan Evidence-
based Policy yang terdiri dari empat aspek yaitu professional performance, resource use
(efficiency), risk management dan patients’ satisfaction. Penerapan ‘Clinical
Governance’ dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan memerlukan beberapa
persyaratan yakni organisastion-wide transformation, clinical leadership dan positive

10
organizational cultures. Sedangkan sebagaimana telah diketahui bahwa istilah dan
definisi ‘mutu’ itu sendiri mempunyai arti/makna dan perspektif yang berbeda bagi setiap
individu tergantung dari sudut pandang masing masing. Dapat ditinjau dari segi profesi
medis/perawat, manajer, birokrat maupun konsumen pengguna jasa pelayanan sarana
kesehatan. (‘Quality is different things to different people based on their belief and
norms’). Begitu juga mengenai perkembangan akan ‘mutu’ dari cara ‘inspection’, quality
control, quality assurance sampai ke total quality. Jepang menggunakan istilah quality
control untuk seluruhnya, sedangkan di Amerika memakai istilah ‘continuous quality
improvement’ untuk ‘total quality’ dan Inggris memakai istilah quality assurance untuk
‘quality assurance’, ‘continuous quality improvement’ maupun untuk ‘total quality’ dan
tidak membedakannya. Di negara kita dikenal juga akan istilah ‘Gugus Kendali
Mutu/GKM’ dan ‘Akreditasi’.

Bila kita pelajari, evolusi perkembangan mutu berasal dari bidang industri pada awal
akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh di masa perang dunia pertama.
Pada waktu itu industri senjata menerapkan kaidah ‘inspection’ dalam menjaga kualitas
produksi amunisi dan senjata. Shewart mengembangkan dan mengadopsi serta
menerapkan kaidah statistik sebagai ‘quality control’ serta memperkenalkan pendekatan
siklus P-D-S-A (Plan, Do, Study dan Act) yang mana hal ini kemudian dikembangkan
oleh muridnya Deming sebagai P-D-C-A (Plan, Do, Check dan Action). Tatkala Deming
diperbantukan ke Jepang dalam upaya memperbaiki dan mengembangkan industri, beliau
mengembangkan dengan memadukan unsur budaya Jepang ‘kaizen’ dan filosofi Sun Tzu
dalam hal ‘benchmarking’ maupun manajemen dan dikenal sebagai ‘total quality’.
Kaidah PDCA ini menjadi cikal bakal yang kemudian dikenal sebagai ‘generic form of
quality system’ dalam ‘quality assurance’ dari BSI 5751 yang kemudian berubah menjadi
seri EN/ISO 9000 dan 14 000 dengan berbagai variannya seperti ISO 9000: 2000,
MBNQA, EFQM dan sebagainya.

Sedangkan untuk bidang kesehatan, Donabedian dengan ‘structure, process dan outcome’
pada awal tahun 80an memperkenalkan tentang cara penilaian untuk standar, kriteria dan
indikator. Selang beberapa tahun kemudian Maxwell mengembangkan penilaian tersebut
menjadi ‘six dimensions of quality’. Tehnik Donabedian dan Maxwell ini lebih
menitikberatkan tentang hal membuat standar dan penilaiannya (akreditasi) yang
merupakan 2 dari 3 komponen ‘quality assurance’.

Komponen ke tiga (‘continuous quality improvement’) tidak berkembang, sehingga


akibatnya meskipun suatu organisasi pelayanan kesehatan tersebut telah mendapat
akreditasi dan sertifikasi ISO 9000 maupun yang sejenisnya, akan tetapi ‘mutu’nya tetap
tidak bergeming dan tidak meningkat. Apa yang salah?

Karena komponen ke tiga (yakni ‘continuous quality improvement’) tersebut tidak


dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten serta tidak melibatkan seluruh
profesi (medis/paramedis, manajer, birokrat, dan pemilik) yang seharusnya terlibat dan
berpartisipasi aktif melalui transformasi budaya mutu dengan cara membentuk ‘learning
environment dan kaderisasi bidang mutu pelayanan berkesinambungan kepada seluruh
profesi sehingga terbentuk suatu organisasi yang berorientasi kepada pasien
(patient/customer focused oriented). Tanggung jawab akan mutu suatu pelayanan adalah

11
tanggung jawab setiap insan profesi (medis/paramedis, manajer, birokrat, dan pemilik),
bukan organisasi atau unit ataupun individu profesi semata , akan tetapi seluruh anggota.
Untuk mewujudkan ‘mutu pelayanan adalah tanggung jawab setiap insan profesi’ maka
diperlukan awareness, pengetahuan dan ketrampilan tentang mutu dan manajemen secara
umum kepada setiap anggota profesi di seluruh tingkat dalam suatu organisasi agar sudut
pandang/persepsi sama akan visi dan misi serta tujuan dari pelayanan tersebut tercapai
scara optimum.

Proses ini diharapkan berkesinambungan agar terbentuk suatu ‘quality trained


community’ dan terciptanya budaya transformasi ‘quality is everyone’s responsibility’
yang akan menuju kearah Total Quality Service/Management dengan ‘process driven’
dan ‘customer-focused oriented’ melalui pendekatan integrasi sinergis antara Evidence-
based Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy sesuai dengan
individu profesi tersebut berasal dalam saru sistem Clinical Governance.

Peran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam upaya


peningktatan mutu profesi dan cost effectiveness.
Sesuai dengan AD/ART IDAI dan Rapat Kerja IDAI 2003, Pengurus Pusat IDAI telah
mengantisipasi dalam rangka upaya peningkatan mutu profesi sesuai dengan fungsi, peran
dan weweang organisasi profesi IDAI dan telah membuat langkah langkah strategis
sebgaia berikut:

1. Menyusun Standar Pelayanan Medis (SPM) Kesehatan Anak : sebagai pedoman


bagi dokter spesialis anak dalam melaksanakan praktek profesinya. Terdiri dari 97
jenis penyakit dan saat ini dalam proses pencetakan.
2. Menyusun Standar Profesi Dokter Spesialis Anak yang terdiri dari:
1. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Anak
2. Pedoman Penilaian Kompetensi Dokter Spesialis Anak
3. Standar Penyelenggaraan Continuos Professional Development Dokter Spesialis
Anak
4. Pedoman Penilaian Continuos Professional Development Dokter Spesialis Anak
3. Standar Institusi (Pusat) Pendidikan Dokter Spesialis Anak: diserahkan ke Kolegium
IDAI
4. Pedoman Penilaian Standar Institusi (Pusat) Pendidikan Dokter Spesialis Anak:
diserahkan ke kolegium IDAI.
5. Resiko Manajemen Klinis (Pediatric Clinical Risk Management) : dalam proses
penyusunan.
6. Formularium Pediatrik (Pediatrics Formulary): dalam proses penyusunan.

Seluruh standar dan pedoman diatas akan diajukan untuk disahkan sesuai AD/ART IDAI
pada Kongres Ilmu Kesehatan anak (KONIKA) pada bulan Juni ini di
Bandung.Diharapkan seluruh standar dan pedoman ini akan dapat segera
diimplementasikan sebagai pedoman membuat SOP sesuai dengan situasi dan kondisi
setiap profesi dokter spesialis anak dan strata sarana pelayanannya, dan dapat dilakukan
evaluasi berkala secara audit medis dan resiko manajemen klinis dalam rangka

12
meningkatkan mutu dan patient safety melalui antisipasi deteksi dini kemungkinan
terjadinya missed call (near call) ataupun adverse event sesuai dengan sistem pelayanan
yang berlaku di tempat profesi dokter spesialis anak tersebut melaksanakan profesinya
dalam rangka Good Clinical Governance.

Kesimpulan
Dalam implementasi Clinical Governance diperlukan leadership (klinis dan manajerial)
komitment penuh dan partisipasi aktif dari setiap anggota dan pimpinan serta profesi
dalam suatu organisasi yang jelas dari segi struktur, wewenang dan tugasnya masing
masing. Oleh karena itu dalam upaya mencapai hasil yang optima dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan terhadap pasien baik secara individu maupun kelompok serta efisien
dan berazas manfaat, maka diperlukan suatu ‘keputusan’ yang baik dan tepat didalam
‘sistem’ yang jelas dan konsisten. Hal ini akan terwujud bila mempunyai jiwa
kepemimpinan (leadership) yang visioner, ‘survivalist’ dan konsekuen serta mempunyai
wawasan ‘leadership’ yang baik dan diharapkan nantinya akan mampu membuat
‘keputusan’ yang tepat tatkala menghadapi tantangan globalisasi dan tekanan ‘multi-
national company’ di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between managerial
and clinical approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;8:184-190.
2. Crosby PB. Quality without tears. New York:McGraw-Hill, 1985.
3. Christakis DA, Davis R, Rivara FP. Pediatric evidence-based medicine: past, present,
and future. J Pediatr 2000;136:383-9.
4. Deming WE. Out of crisis. Cambridge: MIT, 1986.
5. Donabedian A. The quality of care: how can it be assessed ? JAMA 1988; 260:1743-
8.
6. Firmanda D. Total Quality Management in Healthcare. Nuffield Institute of Health,
University of Leeds, United Kingdom, 1998.
7. Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol
Pediatr 1999; 1(1):43-9.
8. Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of
procedures, clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What
are they? Indones J Hospital Management and Administration 1999; 1(3): 139-144.
9. Firmanda D. Editorial: Professionalism. Medicinal 2000; 1(1):6.
10. Firmanda D. Evidence-based Medicine (Part One): a clinical decision making
approach. Medicinal 2000; 1(1):21-5.
11.
12. Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical
professional. Global Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
13. Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning,
elements, and implementation. Global Health Journal 2000;1(2)
http://www.interloq.com/a39vlis2.htm

13
14. Firmanda D. The relationship of Evidence-based Medicine, Health Technology
Assesssment and Clinical Governance in improving the quality of health care
services. Forum on Evidence-based Medicine and Health Care.
http://yahoogroups.com/group/ebm-f2000
15. Firmanda D. Professional continuous quality improvement: from Evidence-based
Medicine towards Clinical Governance. Presented in 23rd International Congress Of
Pediatrics, Beijing 9th -14th September 2001.
16. Firmanda D,Sackett D O’Rourke K, Angell M et al . How do the outcomes of patients
treated within randomised control trials compare with those of similar patients treated
outside these trials? TROUT Review Group 2001. http://hiru.mcmaster.ca/ebm/trout
17. Firmanda D. Penerapan hasil penelitian dalam praktik kedokteran. Sari Pediatri 2001;
: - .
18. Firmanda D. The concept, structures and implementation of Indonesian Medical
Management. Presented in seminar and discussion on “Medical Management”,
Jakarta 30th May 2001 (in Indonesian).
19. Firmanda D. The evolution and roles of Evidence-based Health Policy in Health
Service Management. Presented in seminar and discussion panel on “Evidence-based
Policy for the era of Indonesian Health Decentralized System in 21st century”. Center
for Public Health Research, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University,
Yogyakarta 1st March 2001 (in Indonesian).
20. Geyman JP, Deyo RA, Ramsey SD. Evidence-based clinical practice. Boston:
Butterworth Heinemann, 2000.
21. Gilbert R, Logan S. Future prospects for evidence-based child health. Arch Dis Child
1997;75:465-8.
22. Guyatt GH. Users’ guides to medical literature. JAMA 1993; 270(17); 1096-7.
23. Guyatt GH, Meade MO, Jaeschke RZ, Cook DJ, Haynes RB. Practitioners of
evidence based care. BMJ 2000;320: 954-955.
24. Juran JM. Juran on leadership for quality: an executive handbook. New York: Free-
Press, 1989.
25. Lipman T, Price D, Greenhalgh T. Decision making, evidence, audit, and education:
case study of antibiotic prescribing in general practice Commentary: What can we
learn from narratives of implementing evidence? BMJ 2000;320 (7242):1114-1118.
26. McColl A, Roderick P, Smith H et al. Clinical governance in primary care groups: the
feasibility of deriving evidence-based performance indicators. Qual Health Care
2000;9:90-7.
27. Moss F, Palmberg M, Plsek P, Schellekens W. Quality improvement around the
world:how much we learn from each other. Qual Health Care 2000;8:63-6.
28. Moyer VA and Elliott EJ. Evidence-based pediatrics: The future is now. J Pediatr
2000;136(3):282-4.
29. Oxman AD, Sackett DL, Guyatt GH. Users’ guides to medical literature I: how to get
started. JAMA 1993; 270(17); 1093-5.
30. Rooney G. TQM/CQI in business and health care. AAOHN Journal 1992; 40:319-25.
31. Sackett DL, Rosenberg WM, Gray JAM, Haynes RB, Richardson WS. Evidence-
based medicine: what it is and what it isn’t. BMJ 1996;312:71-2.
32. Sackett DL, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence-based medicine:
how to practice and teach EBM. 1st ed. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1997.

14
33. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence-based
medicine: how to practice and teach EBM. 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone,
2000.
34. Scally G, Donaldson LJ. Clinical governance and the drive for quality improvement in
the new NHS in England. BMJ 1998; 317(7150):61-5.
35. WHO. The principles of quality assurance. Copenhagen: WHO, 1983.

15

Anda mungkin juga menyukai