Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Secara demografi, Indonesia terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, budaya, dan latar belakang sosial. Keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi menjadi negara yang rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara serta tidak jarang terjadi konflik dalam masyarakat. Bencana merupakan suatu kejadian yang mendadak yang tidak terduga, dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Bencana mengakibatkan kerusakan dan kerugian harta benda. Bencana juga sering memakan korban manusia dan dapat menimbulkan cidera maupun meninggal dunia. Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana baik bencana alam maupun akibat ulah manusia yang dipengaruhi oleh letak geografis, jumlah penduduk, keterbatasan sarana dan sebagainya. Setiap bencana pasti menimbulkan korban baik korban hidup yang mengalami luka-luka atau korban mati, secara teknis penanganan korban hidup telah mendapatkan perhatian yang cukup baik dengan melibatkan baik pemerintah, LSM maupun masyarakat. Penanganan korban mati juga harus mendapat perhatian yang lebih optimal. Disamping bencana alam, kecelakaan alat transportasi juga akan membawa dampak besar baik jumlah korban meninggal atau korban masih hidup. Korban-korban dalam kasus tersebut di atas perlu kita identifikasi. Oleh karena itu, identifikasi ini penting sekali karena akan menjelaskan secara hukum masih hidup atau sudah matinya seseorang dan merupakan hak dari ahli waris korban. Disamping itu identifikasi korban juga berkaitan dengan klaim asuransi, pensiunan dan lain-lain. Tuntutan masyarakat terhadap kepastian hukum dan hak asasi manusia sekarang semakin tinggi. Di sisi lain, makin meningkatnya bencana dan ancaman teror bom yang pada saat ini dapat terjadi setiap saat merupakan tantangan yang akan dihadapi Polri dan seluruh masyarakat di masa mendatang. Dalam mengantisipasi hal tersebut di atas Polri sebagai pelindung masyarakat

dituntut mempunyai kemampuan yang memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan tehnologi dari berbagai disiplin ilmu Kedokteran. Seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah merupakan upaya penerapan ilmu pengetahuan dan tehnologi kedokteran untuk kepentingan pelaksanaan tugas operasional kepolisian yang perlu dikembangkan secara optimal dalam mengantisipasi tuntutan masyarakat yang semakin tinggi. Salah satu bentuk kemampuan dari Kedokteran Kepolisian dalam kepentingan

pelaksanaan terhadap tugas-tugas operasional kepolisian adalah Disaster Victim Identification (DVI). Dalam penanganan identifikasi korban mati tersebut hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal, serta dibutuhkannya profesionalisme dari petugas yang menangani hal tersebut. DVI diperlukan agar korban bisa diidentifikasi dan dikenali identitasnya sehingga bisa diberikan kepada keluarganya dan korban dapat dikuburkan dengan layak sesuai agama yang dianutnya. Dalam pemeriksaan DVI ada berbagai macam hal yang diuji untuk mendapatkan informasi mengenai identitas korban yaitu kapan korban itu meninggal, bagaimana dan dengan cara apa korban meninggal. Dalam identifikasi juga diperlukan data korban sesudah meninggal dan data korban sebelum meninggal sebagai pembanding.

BAB II ISI

1. Identifikasi Korban Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang

berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia. Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran antropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahanperubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis. Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 16141712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding. Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.

2. Disaster Victim Identification (DVI) DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari The Scene, The Mortuary, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation and Debriefing. Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.

3. Metodologi Identifikasi Prinsipnya dari identifikasi adalah pemeriksaan identitas seseorang

memerlukan berbagai metode dari yang sederhana sampai yang rumit. a. Metode sederhana 1) Cara visual, bermanfaat bagi kondisi mayat yang masih baik. Tidak berlaku bagi mayat yang telah busuk, terbakar, dan mutilasi. 2) Melalui kepemilikan (property), identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban. 3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya. b. Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari 2) Serologi

3) Odontologi 4) Antropologi 5) Biologi Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan

membandingkan data data tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. Identifikasi pada gigi dapat mengenali dua hal, yaitu (1) memperoleh informasi seperti umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah, dan DNA. (2) tanda khusus tentang korban seperti adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah dan lubang pada gigi. c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya. 2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya. 3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi. 4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.

Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu: a. Primer/utama

1) Gigi geligi Identifikasi dengan cara gigi bukanlah teknik baru. Gigi adalah organ yang paling tahan lama di tubuh vertebra. Gigi dpat bertahan lama setelah struktur kerangka lainnya telah menyerah pada pembusukan organik atau kehancuran oleh beberapa instansi lain, seperti kebakaran. Identifikasi gigi telah dianggap sebagai salah satu pengidentifikasian utama dalam korban bencana oleh Interpol. Struktur gigi mungkin satu-satunya bagian tubuh yang tidak hancur, dan mereka dapat digunakan bahkan meskipun mereka mungkin tersebar di daerah yang luas, seperti terjadi dalam kecelakaan pesawat terbang, serangan teroris, kebakaran, fragmentasi, dan

dekomposisi parah. Catatan Post Mortem pada gigi dapat memberikan informasi tentang usia, latar belakang keturunan, seks, dan status sosioekonomi almarhum. Dalam keadaan langka, juga mungkin untuk diketahui pekerjaan, kebiasaan diet, dan penyakit sistemik yang diderita. Peran dari identifikasi gigi antara lain: Rekonstruksi dan Superimposisi Wajah. Jika hasil visum Post Mortem tidak bisa untuk memunculkan identitas almarhum, maka perlu untuk melakukan rekonstruksi wajah. Ini adalah tanggung jawab seniman forensik yang memanfaatkan gigi untuk membantu rekonstruksi. Wajah Ante Mortem dicocokkan dengan bentuk gigi untuk melakukan superimposisi dan rekonstruksi. DNA dalam Forensik Gigi. Sifat jaringan yang keras dan tidak hancur saat bencana menjadikan gigi sebagai lahan DNA. Hal ini dipermudah dengan adanya alat PCR (Polimerase Chain Reaction). DNA korban bisa dicocokkan dengan DNA yang didapat dari Ante Mortem seperti darah yang disimpan, sisir rambut, pakaian, atau pap smear. Selain itu bisa juga dicocokkan dengan DNA yang diduga orang tua atau saudara korban. Penilaian Umur. Usia anak dapat ditentukan oleh analisis perkembangan gigi dan selanjutnya sibandingkan dengan grafik perkembangan. Hal ini biasanya mempunyai akurasi 1,6 tahun.

Untuk memperkirakan umur orang dewasa, sekarang digunakan rasemisasi asam aspartat dan translusen dentine dalam menilai usia korban dewasa. Mengetahui Adanya Bekas Gigitan. Tanda gigitan biasanya menyertai perkelahian antara orang dewasa maupun anak-anak sebagai bagian atas penyerangan fisik atau seksual. Sebagai contoh dalam perkosaan mungkin ditemukan bekas gigitan di payudara. Dokter forensik harus dengan cekatan memeriksa adanya bekas gigitan karena tanda tersebut cepat hilang dalam hitungan jam. Keterlambatan dalam pemeriksaan mengakibatkan hilangnya barang bukti yang berharga. 2) Sidik jari Sidik jari dari tubuh yang sangat membusuk, yang hampir selalu menunjukkan post mortem kulit yang mengalami deskuamasi atau mengelupas, memberikan tantangan yang cukup berat kepada petugas polisi yang ditugaskan untuk identifikasi. Dalam penelusuran sidik jari, dikenal adanya teknik bubuk, yang memerlukan aplikasi hati-hati dan lembut dalam menempelkan debu kering dengan kuas. 3) DNA Di berbagai kasus, terdapat kesulitan untu mengidentifikasi identitas korban/maya secara fisik ataupun bimetri, yang disebabkan oleh kondisi tubuh korban yang telah rusak atau hancur. Untuk itu,identifikasi dengan metode tes DNA mungkin pilhan yang tepat. Tes DNA memiliki tujuan hukum yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali korban diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan orang yang diduga keluarga korban. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada buccal, dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur, atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel untuk tes DNA.

b. Sekunder/pendukung: visual, property, dan medik Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan). Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan

membandingkan data-data tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti. Proses identifikasi korban bencana tidaklah selalu berjalan mulus, seperti contoh studi kasus mengenai penanganan korban bencana yang terjadi di Indonesia, Srilanka dan Thailand. Petugas identifikasi mempertimbangkan beberapa parameter, yaitu: penemuan dan penyimpanan, identifikasi, pembuangan dan risiko kesehatan dari mayat/korban. Pengidentifikasian mayat tidak bisa dilakukan dengan segera. Di Thailand, pengidentifikasian mayat meggunakan struktur gigi dan sidik jari. Untuk beberapa korban menggunakan DNA. Lemahnya penanganan baik dari lokal maupun nasional mengakibatkn terbatasnya kualitas dan kecepatan dari diperolehnya hasil identifikasi.

4. Kronologis Proses Identifikasi Korban Bencana Massal Untuk mengetahui kronologis proses DVI itu sendiri, kita ambil saja contoh penanganan korban bencana gempa dan tsunami di Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004. Pada saat itu, tim forensik Belgia diturunkan untuk melakukan proses identifikasi korban. Tim DVI Belgia dibagi menjadi tiga subtim utama, yaitu Post Mortem (PM) tim, Ante Mortem (AM) tim dan tim dukungan logistik. PM tim sendiri bertugas untuk memeriksa dan menemukan segala tandatanda, ciri-ciri, dan lain-lain yang melekat pada korban. Sedangkan tim AM

bertugas untuk menelusuri identitas korban semasa hidupnya, seperti mencari tahu nama, keluarga, tanda-tanda fisik yang khas semasa korban hidup, dan lain-lain pada daftar pencarian orang hilang. Pada akhirnya, informasi dari tim PM maupun tim AM dapat dibandingkan untuk mengetahui kecocokan dari kedua data tersebut. Untuk pemeriksaan post mortem yang tepat, disarankan bahwa sebuah tim DVI dapat beroperasi mandiri. Ini tidak hanya menuntut kehadiran khusus ahli forensik pada tim yang kuat tetapi juga ditambahkan jumlah personil tambahan. Tim DVI Belgia terdiri dari: a. Polisi khusus dalam pemulihan/penggalian, menyediakan logistik dan/atau administrasi, serta polisi petugas laboratorium ilmiah dan fotografi. b. Forensik pemeriksa medis (idealnya dengan spesialisasi antropologi forensik). c. Odontologists forensik. d. Anggota perlindungan sipil untuk perawatan tubuh dan transportasi, dan untuk membantu penggunaan peralatan berat atau mesin. e. Seorang psikolog terlatih dalam stres pasca-traumadisorder (PTSD) dan tersedia untuk tim setiap saat. f. Seorang dokter medis dan perawat terdaftar untuk menghadiri semua anggota tim kebutuhan medis. Rekonstruksi identifikasi merupakan prasyarat untuk dilakukan

perbandingan identifikasi. Selama proses identifikasi rekonstruktif informasi yang dibutuhkan adalah atribut fisik, petunjuk medis, gigi, DNA, dan sidik jari yang dikumpulkan dari tubuh korban yang tidak diketahui identitasnya yang telah dikumpulkan oleh tim PM. Dalam tahapan pemeriksaan tubuh oleh tim PM, semua elemen yang berguna untuk identifikasi secara sistematis diindeks pada formulir PM Interpol (tim multidisiplin yang melakukan otopsi). Identitas (AM) direkonstruksi kemudian dapat dicocokkan dengan informasi korban (PM) untuk identifikasi komparatif. Tim AM mengumpulkan identitas dari setiap korban yang memiliki keluarga. Informasi ini dapat dikumpulkan di rumah mereka atau di tempat di mana para anggota keluarga

berkumpul, dekat dengan bencana atau di lokasi yang jauh menurut jenis bencana atau keinginan dari keluarganya. Informasi lebih lanjut kemudian akan dikumpulkan dari teman dan kenalan, majikan orang yang hilang, dokter atau dokter gigi. Hal ini juga penting untuk mendapatkan gambar dari korban dan untuk mengumpulkan sidik jari mereka. Sampel rambut, sikat gigi atau barangbarang pribadi lainnya juga dapat berguna untuk menentukan identitas DNA yang akan dicari dan dikumpulkan. Bentuk identitas lain diselesaikan oleh tim dengan menghubungi keluarga korban dan mengumpulkan : a. b. Karakteristik morfologi Deskripsi pakaian, perhiasan, dan benda pribadi lainnya yang dikenakan oleh orang hilang tersebut. c. Gambar korban yang hilang. Dalam tahap selanjutnya, informasi dari tim AM dan tim PM yang didapatkan dari hasil pemeriksaan dicocokan untuk mengarah ke hasil akhir identifikasi. Semua data korban yang dikumpulkan ditransmisikan ke bagian Identifikasi dan ditranskrip ke dalam komputer file data. Tim komputer bekerja dengan program perangkat lunak "DVI Internasional" yang dikembangkan oleh PlassData dan digunakan oleh Interpol DVI Masyarakat di seluruh dunia. Program perangkat lunak ini yang akan menjadi pembanding penelitian dan

otomatis antara AM dan PM basis data dari kedua arah: PM untuk AM atau sebaliknya. Komputer diharapkan memfasilitasi kecocokan antara tubuh tak dikenal dan orang hilang secara lebih spesifik daripada kontrol. Tim komputer ini menginformasikan Kepala Tim Identifikasi tentang keputusan akhir tentang identitas manusia tak dikenal. Bentuk interpol yang sebenarnya mengandung dokumen DNA penting, menunjukkan metode dan penanda yang akan digunakan dalam rangka untuk memungkinkan perbandingan aplikasi yang seragam di

tingkat internasional. Setelah semua data yang didapatkan tim AM dan PM dimasukkan ke dalam PlassData , sistem melakukan pencarian otomatis setiap hari untuk mengidentifikasi kemungkinan yang cocok. Semua proses informasi yang digunakan kemudian disusun dan disajikan untuk Rekonsiliasi Dewan, yang

10

terdiri dari semua konfirmasi akhir.

spesialis dari bidang forensik dan ahli investigasi, untuk Setelah identifikasi dikonfirmasi, sertifikat kematian

dikeluarkan dan dirilis. Negara mempunyai kewenangan untuk menghubungi keluarga korban sehingga keluarga korban dapat diberitahu tentang hasil identifikasi.

5. Setelah Korban Teridentifikasi Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi antara lain: a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan) c. Perawatan sesuai agama korban d. Memasukkan dalam peti jenazah Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain: a. Tanggal dan jamnya b. Nomor registrasi jenazah c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban. d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur

Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga penting agar pihak lain (misalnya Interpol) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian. Identifikasi pada korban bencana massal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat beberapa hal yang sering dijumpai, seperti di bawah ini: a. Jumlah korban banyak dan kondisi buruk

11

b. Lokasi kejadian sulit dicapai c. Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar d. Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik Sehingga yang sangat dibutuhkan pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi.

12

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan akurasi indentifikasi korban mati atau hidup. Tantangan yang dihadapi para pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila ada bencana massal, karena kuantitas korban makin meningkat. Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam prosesnya. Selain itu, mereka yg selamat pasti ingin melihat adanya penanganan yang dilakukan dengan baik dan penuh hormat, dan ini membutuhkan pedoman dan dukungan teknis. Penanganan ini harus diinformasikan kepada instansi terkait dan pihak forensik regional maupun internasional.

13

DAFTAR PUSTAKA

Beauthier, Jean-pol et all. 2009. Mass Disaster Victim Identification-The Tsunami Experience. Belgium: The Open Forensic Science Journal. Available from: http://www.bethamscience.com (Accessed 14 Desember 2011) Budowle, Bruce et al. 2005. Forensic aspect of mass disasters: Strategic considerations for DNA-based human identification. Available from: http://nitro.biosci.arizona.edu/courses/eeb320-2006/honors/article.pdf (Accesed 17 Desember 2011) Lau, G et al. 2005. After the Indian Ocean Tsunami: Singapores Contribute to the International Disaster Victim Identification Effort in Thailand. Annals Academy of Medicine, vol. 34, no. 5, Juni. Available from:

http://www.annals.edu.sg/pdf/34volno5200507/v34n5p341.pdf (Accessed 17 Desember 2011) Leung, Carl KK. 2008. Forensic Odontology. The Hongkong Medical Diary, vol. 13, no. 11, November. Available from:

http://www.fmshk.org/database/hkmd/md112008fullpage40pp.pdf (Accessed 17 Desember 2011) Morgan, O.W et al. 2006. Penanganan terhadap korban bencana alam pada bencana tsunami di asia tenggara: studi kasus di Thailand , Indonesia dan Srilanka.
30195 (Accessed 15 Desember 2011)

Available

from:

http://www.plosmedicine.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pmed.00

Singh, S. 2008. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Majalah Kedokteran Nusantara, vol. 41, no. 4, Desember, pp 254-258. Available from:

http://www.repository.usu.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des-200841(11).pdf (Accessed 14 Desember 2011)

14

Anda mungkin juga menyukai