Anda di halaman 1dari 16

Obat-obat Hipertensi Obat-obat yang dipakai untuk mengobati hipertensi meliputi simpatolitik, penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE

inhibitor), penghambat reseptor angiotensin, penghambat kanal kalsium, vasodilator, dan diuretic (Tabel 15-1). Sampai tingkatan tertentu, obat-obat ini bereaksi dengan mengganggu mekanisme homeostatic normal. Kemanjuran, toksisitas, dan kombinasi yang tepat dari obat-obat hipertensi ini dapat diprediksi dengan memperhitungkan tempat dan mekanisme obat-obat ini. Efektivitas obat yang diberikan tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa mekanisme aksinya berhubungan dengan patogenesis hipertensi sistemik. Tabel 15-1. Obat-obat yang digunakan untuk menerapi hipertensi sistemik Simpatolitik Penghambat Beta-adrenergik (acebutolol, atenolol, betaxolol, bisoprolol, carteolol, metoprolol, nadolol, penbutolol, pindolol, propanolol, timolol) Labetolol Prazosin Terazosin Doxazosin Clonidine Penghambat enzim pengubah-angiotensin Captopril Enlapril Benazepril Fosinopril Lisinopril Quinapril Ramipril Penghambat reseptor angiotensin Losartan Penghambat saluran kalsium Diltiazem Nicardipine Nifedipine Verpamil Felodipine Isradipine Obat-obat vasodilator Hydralazine Minoxidil Diuretik Thiazides Loop diuretik (bumetanide, ethracrynic acid, furosemide, torsemide) Diuretik penghemat-potassium (amiloride, sprionolactone, triamterene)

Interaksi potensial antara obat antihipertensi dan anestesi terlalu dilebih-lebihkan. Jika interaksi tersebut terjadi, biasanya hal itu dapat diperkirakan dan dengan demikian interaksi tersebut dapat dihindari atau diminimalkan efeknya. Hal khusus yang muncul selama pemberian anestesi kepada pasien yang mendapatkan obat antihipertensi mencakup (a) berkurangnya aktivitas sistem syaraf simpatik, (b) perubahan respon terhadap obat simpatomimetik, dan (c) sedasi. Berkurangnya aktivitas sistem syaraf simpatik terlihat pada hipotensi ortostatik dan turunnya tekanan darah sistemik yang sangat besar selama anestesi karena merespon (a) kehilangan darah yang akut, (b) perubahan posisi tubuh, atau (c) turunnya venous return karena tekanan positif ventilasi paru-paru. Obat antihipertensi mengakibatkan habisnya norephinephrine dari ujung-ujung syaraf atau beraksi pada otot vaskular periferal dengan mengurangi kepekaan terhadap obat simpatomimetik yang beraksi secara tidak langsung (Eger dan Hamilton, 1959). Sebaliknya, terhambatnya sistem syaraf simpatik, yang menghalangi reseptor alfaadrenergik terhadap denyut tonik, akan mengakibatkan berlebihnya respon terhadap obat katekolamin dan simpatomimetik yang beraksi secara langsung. Dipertahankannya terapi obat hipertensi selama perioperasi dikaitkan dengan lebih sedikitnya fluktuasi tekanan darah sistemik dan jantung selama anestesi. Pasien yang menjalani terapi obat antihipertensi selama masa perioperasi juga lebih terhindar dari disritmia kardiak (Prys-Roberts et al., 1971). Adalah kesimpulan yang tak dapat dielakkan bahwa terapi obat antihipertensi yang sebelumnya memang efektif seharusnya dilanjutkan terus selama masa perioperasi. Sehubungan dengan hal ini, dosis biasa dan farmakologi khusus dari tiap obat antihipertensi serta refleks fisiologis yang timbul sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah karena obat harus dipertimbangkan dalam merencanakan dilakukannya anestesi. Simpatolitik Penghambat Beta-adrenergik Penghambat Beta-adrenergik yang dipakai sebagai terapi obat tunggal untuk hipertensi sistemik adalah yang paling efektif bagi pasien-pasien muda dan berusia menengah, juga untuk penderita penyakit arteri koroner. Penggunaan penghambat beta sebagai terapi antihipertensi berbeda, dalam pengertian interval dosis, dengan pemakaiannya sebagai terapi anti angina. Pada pasien-pasien penderita angina, pemberian obat serum yang tidak memadai akan meningkatkan resiko iskemia miokardial. Sebaliknya, penambahan interval dosis pada pasien pengidap hipertensi ringan dan sedang akan meningkatkan penyembuhannya dan relatif aman. Propanolol adalah penghambat beta yang dipakai dalam interval terpanjang, namun sejumlah obat penghambat beta lain memiliki sifat-sifat yang lebih bermanfaat. Mekanisme aksi Penghambat beta dapat diklasifikasikan mengacu pada apakah obat itu menunjukkan sifat-sifat selektif atau non selektif dan apakah obat itu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik. Penghambat beta yang memiliki sifat selektif hanya terbatas pada reseptor beta (kardiak), sementara penghambat beta nonselektif memiliki afinitas yang sama dengan reseptor beta1, dan beta2 (otot vaskular dan otot bronkial, metabolis). Penghambat beta yang memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik cenderung jarang menimbulkan bradikardia sehingga tidak memungkinkan untuk menunjukkan disfungsi

ventrikular kiri. Obat ini juga jarang menimbulkan vasospasme dan dengan demikian memperburuk gejala penyakit vaskular periferal. Efek antihipertensi penghambat beta dapat dikurangi oleh obat-obat nonsteroidal antiinflamasi. Berbeda dengan penghambat beta non selektif, penghambat beta1 selektif (asebutolol, atenolol, metoprolol) yang diberikan dalam dosis rendah tidak akan menimbulkan bronkospasme, penurunan aliran darah periferal, atau tertutupnya hipoglikemia. Karena itulah penghambat beta adalah obat yang lebih banyak digunakan untuk pasien-pasien pengidap penyakit paru-paru, diabetes mellitus yang tergantung insulin, atau penyakit vaskular periferal bergejala. Efek simpatomimetik intrinsik dari asebutolol dan pindolol bermanfaat bagi pasien-pasien yang mengalami bradikardia dan gagal jantung kongestif. Metoprolol, propanolol, dan timolol dianggap memiliki sifat kardioprotektif. Efek Samping Pengobatan hipertensi dengan penghambat beta memungkinkan timbulnya resiko tertentu, mencakup bradikardia, gagal jantung kongestif, bronkospasme, klaudikasi, tertutupnya hipoglikemia, sedasi, impotensi, dan kemungkinan juga munculnya angina pectoris jika pemberian obat tiba-tiba dihentikan. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung kongestif atau bersamaan dengan tertutupnya jantung tidak dapat menerima penghambat beta melebihi dari dosis sedang. Pasien-pasien penderita asma seharusnya tidak diberi penghambat beta. Terapi antihipertensi jangka panjang dengan penghambat beta dapat mengakibatkan terjadinya atau memburuknya intoleransi glukosa (Dornhost et al., 1985; Witchcroft, 1985). Penghambat beta berpotensi meningkatkan resiko hipoglikemi yang serius pada pasien diabetes karena menumpulkan respon sistem syaraf otonom yang dapat memperingatkan terjadinya hipoglikemia. Meskipun demikian, kasus hipoglikemia tidak terlihat meningkat pada pasien diabetes yang mendapat antagonis beta-adrenergik untuk mengontrol hipertensi (Shorr et al., 1997). Labetolol Labetolol memadukan sifat-sifat penghambat dari alfa1-adrenergik dan betaadrenergik serta juga menimbulkan efek vasodilatasi secara langsung. Adanya sifat penghambatan menjadikan alfa-adrenergik jarang mengakibatkan bradikardia dan efek negatif inotropik jika dibandingkan dengan penghambat beta. Sifat alfa ini dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik. Kasus bronkospasme serupa, terlihat juga dalam pengobatan dengan atenolol dan metoprolol. Pengobatan dengan labetolol dapat mengakibatkan naiknya plasma aminotransferase. Tidak adanya komplikasi sehubungan dengan pemberian obat ini lebih sedikit terjadi bila dibandigkan dengan penghambat beta. Metabolit labetolol dalam plasma tersebut dapat mengakibatkan diagnosis keliru terhadap pheokromasitoma (Bouloux et al., 1985). Paresthesis (kulit kepala gatal) dan tersumbatnya urine kemungkinan akan menyertai pemberian obat ini untuk hipertensi. Prazosin Prazosin adalah antagonis reseptor alfa1-adrenergik selektif postsinaptik mengakibatkan efek vasodilatasi terhadap vaskulatur arterial dan vena. Tidak adanya antagonisme reseptor alfa2 prasinaptik menyebabkan hambatan normal dari hambatan lengkap norephinephrine. Obat ini tidak menimbulkan refleks yang meningkatkan

keluaran cardiac output dan pelepasan renin. Jika prazosin dipakai sebagai satu-satunya obat antihipertensi untuk mengobati hipertensi ringan dan sedang, maka hal itu kurang efektif dibandingan dengan thiazida diuretik. Meskipun demikian jika digunakan sebagai obat sekunder yang dikombinasi dengan diuretik, prazosin terbukti cukup efektif untuk pasien muda yang mengidap hipertensi yang cukup berat. Penerimaan pasien terhadap prazosin relatif tinggi. Selain untuk pengobatan hipertensi esensial, prazosin juga bermanfaat untuk mengurangi beban pasien gagal jantung kongestif. Efektivitas prazosin sebagai obat antidisritmik kardiak telah terbukti dengan meningkatnya dosis epinephrine eksogen yang dibutuhkan untuk menimbulkan disritmia kardiak selama anestesi halothane pada hewan (Maze dan Smith, 1983). Hal ini menunjukkan peran reseptor alfa-adrenergik postsinaptik dalam miokardium untuk sensitisasi kardiak yang dipengaruhi halothane. Prazosin juga merupakan obat yang sangat bermanfaat untuk persiapan praoperasi bagi pasien pheoromasitoma. Obat ini digunakan untuk mengurangi vasospasme pada fenomena Raynaud. Indikasi bermanfaat prazosin lainnya adalah untuk pengobatan hipertrofi prostatik ringan pada pria dewasa, karena obat ini mengurangi ukuran kelenjar (Foglar et al., 1995). Farmakokinetik Prazosin nyaris termobilisasi sepenuhnya, dan kurang dari 60 % bioavaibilitas setelah pemberian oral menunjukkan metabolisme hepatis pertama yang penting, waktu paruh sekitar 3 jam dan akan bertambah lama bila terjadi gagal jantung kongestif namun bukan disfungsi ginjal. Kenyataannya obat ini dimetabolisasi dalam hati sehingga memungkinkan penggunaannya pada pasien gagal ginjal tanpa mengubah dosisnya. Efek-efek kardiovaskular Prazosin mengurangi resistensi vaskular sistemik tanpa menyebabkan takikardi yang dipengaruhi refleks atau meningkatkan aktivitas ginjal yang terjadi selama pemberian hydralazine atau minoksidil. Kegagalan mengubah aktivitas plasma ginjal menunjukkan berlanjutnya aktivitas reseptor alfa2 yang secara normal menghambat pelepasan renin. Kemampuan vaskular baik dalam resistensi maupun pembuluh kapasitans turun mengakibatkan turunnya vena balik dan keluaran kardiak. Karena lebih besarnya afinitas reseptor alfa dalam vena daripada arteri, maka prazosin menimbulkan perubahan hemodinamis (hipotensi ortostatik) yang lebij menyerupai nitrogliserin daripada hidralazine. Efek Samping Efek samping prazosin meliputi vertigo, penyimpanan cairan, dan hipotensi ortostatik. Penyimpanan cairan memerlukan pemberian diureyik secara bersamaan. Pada beberapa kasus, setelah dosis pertama prazosin, pasien kemungkinan mengalami sinkop mendadak yang biasanya bersifat postural dan terkait dengan dosisi. Vasodilatasi periferal akut diduga menyebabkan lemahnya respon sinkopal ini. Obat anti peradangan nonsteroidal bisa menghalangi efek anti hipertensif dari prazosin. Mulut kering. Kongesti hidung, mimpi buruk, sering buang air kecil, lesu, dan disfungsi seksual dapat menyertai

pemberian obat ini. Hipotensi selama anestesi epidural dapat melebih-lebihkan keberadaan prazosin, menunjukkan penghmabtan alfa1 karena obat sehingga mencegah kompensasi vasokontriksi dalam bagian tubuh yang tidak terhambat (Lydiatt et al., 1993). Turunnya resistensi vaskular sistemik mengakibatkan hipotensi yang kemungkinan tidak responsif terhadap dosis klinis agonis alfa1-adrenergik seperti phenilephrine. Dalam keadaan ini, pemberian epinephrine diperlukan untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah sistemik. Kombinasi prazosin dan penghambat beta diduga dapat mengakibatkan hipotensi refraktoris selama anestesi regional karena respon terhadap beta1 serta agonis alfa1 yang berpotensi tumpul. Terazosin dan Doxazosin Terazosin dan doxazosin menyerupai prazosin, yakni berlaku sebagai agonis reseptor alfa1. efek sampingnya juga serupa dengan prazosin. Manfaat dari obat ini adalah kemanjurannya jika diberikan sekali dalam sehari. Clonidine Clonidine adalah agonis alfa1-adrenergis parsial selektif (alfa2 dan alfa1 berbanding 220:1) yang berlaku sebagai obat antihipertensif karena kemampuannya mengurangi keluaran sistem syaraf simpatis dari sistem syaraf pusat (SSP). Obat ini terbukti efektif dalam menyembuhkan pasien penderita hipertensi berat atau penyakit yang berhubungan dengan renin. Dosis harian biasa untuk pasien dewasa secara oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan clonidine transdermal yang dirancang untuk pemberian mingguan sangat bermanfaat untuk pasien bedah yang tidak mampu menjalani pengobatan medis secara oral. Manfaat Klinis Lainnya Analgesia Pemberian clonidine tanpa pengawet ke dalam ruang epidural atau subarachnoid (150-450 g) menyebabkan anelgesia tergantung dosis (dose-dependent analgesia) dan, berbeda dengan opioid, tidak menimbulkan depresi ventilasi, pruritus, nausea, dan muntah, atau tertundanya pengosongan gastrik (Asai et al., 1997; Bonnet et al., 1989; Eisenach et al., 1996; Filos et al., 1994). Diaktifkannya reseptor alfa2 postsinaptik dalam gelatinosa substansia tulang belakang dianggap merupakan mekanisme di mana clonidine bisa menyebabkan analgesia. Clonidine dan morfin, jika digunakan secara bersamaan sebagai analgesik neuraksial tidak memperlihatkan toleransi silang (Milne et al., 1985). Hipotensi, sedasi, dan mulut kering dapat menyertai penggunaan clonidine neruaksial sehingga mengakibatkan analgesia. Pengobatan clonidine oral praanestesia (5 g/kg) mendorong timbulnya analgesia pascaoperasi karena morfin intratekal ditambah tetracaine tanpa meningkatkan intensitas efek samping dari morfin (Goyagi dan Nishikawa, 1996). Dosis pengobatan clonidine praanestesi yang sama akan: (a) menumpulkan refleks takikardia yang berhubungan langsung dengan laringoskopi untuk intubasi trakea, (b) turunnya labilitas intraoperasi tekanan darah dan jantung, (c) turunnya konsenstrasi plasma katekolamin, dan (d) secara dramatis menurunkan kebutuhan anestetis akan obat yang dihirup (MAC) dan

disuntikkan (Engleman et al., 1989; Flacke et al., 1987; Ghigone et al., 1987; Quintin et al., 1996). Dosis kecil clonidine secara oral (2 g/kg) mengurangi episode iskemik miokardial perioperasi tanpa mengurangi stabilitas hemodinamis pada pasien yang diduga atau memang menderita penyakit arteri koroner (Stuhmeier et al., 1996). Clonidine secara signifikan tidak berpotensi menimbulkan depresi ventilasi karena morfin (Bailey et al., 1991). Disebutkan bahwa pengobatan praanestetis clonidine secara oral justru menambah dan bukannya mengurangi respon penekanan terhadap ephedrine intravena (IV) (Nishikawa et al., 1991). Respon yang bertambah ini merupakan pertimbangan dalam menentukan dosis ephedrine yang dibutuhkan untuk menyembuhkan hipotensi yang berhubungan dengan pemberian clonidine selama masa praoperasi. Kenyataan bahwa efek clonidine yang paling menonjol adalah menurunkan aktivitas sistem syaraf simpatik, membuka kemungkinan bahwa respon kardiovaskular terhadap hipotensi dapat dikurangi. Meskipun demikian, terdapat bukti bahwa konsentrasi plasma katekolamin dapat meningkatkan respon terhadap hipotensi walau clonidine telah diberikan sebelumnya (Doddo et al., 1997).

Bertambah Lamanya Efek Anestesi Regional Clonidine, 75-105 g, ditambahkan pada larutan yang mengandung tetrakain atau bupivakain dan ditempatkan dalam ruang subarachnoid untuk memperpanjang durasi penghambatan syaraf sensori dan motoris yang terjadi karena anestesi lokal (Bonnet et al., 1989; Goyagi dan Nishikawa, 1996). Perlunya infus cairan dan turunnya tekanan darah diastolik kemungkinan lebih besar terjadi pada pasien-pasien yang menerima larutan anestesi lokal yang mengandung clonidine. Bradikardia janin bisa membatasi manfaat clonidine subarachnoid pada pasien obstetrik (Eisenach dan Dewan, 1990). Pemberian clonidine secara oral 150-200 g, 1-1,5 jam sebelum dilakukannya anestesi spinal dengan tetrakain atau lidokain mengakibatkan bertambah lamanya anestesi sensoris secara significan (Liu et al., 1995; Ota et al., 1994). Dalam hasil riset lain, clonidine oral, 200 g, mempersingkat waktu permulaan penghambatan sensoris dan motoris (Singh et al., 1994). Kendati demikian, premedikasi clonidine meningkatkan resiko bradikardia dan hipotensi yang secara klinis signifikan. Mekanisme untuk clonidine oral yang memperlama anestesi spinal tetap harus ditentukan (Liu et al., 1995). Penambahan clonidine 0,5 g/kg untuk larutan yang mengandung 1 % mepivacane sehingga memperpanjang durasi penghambatan Plexus brakial dilakukan melalui pendekatan aksiler. Diagnosis Pheokromositoma Clonidine oral sebanyak 0,3 mg akan mengurangi konsentrasi plasma katekolamin pada pasien normal namun tidak demikian jika terjadi pheokromositoma (Bravo et al., 1981). Hal ini mencerminkan kemampuan clonidine untuk menekan pelepasan katekolamin secara endogen dari Ujung syaraf, namun bukan mencampurkan kelebihan katekolamin ke dalam sirkulasi pheokromositoma. Pengobatan terhadap Penghentian Opioid

Clonidine efektif untuk menekan tanda dan gejala pengambilan opioide (Gold et al., 1980). Clonidine diduga menggantikan penghambatan dimediasi opioide dengan penghambatan dimediasi alfa2 terhadap aktivitas simpatik SSP. Penghambatan keluaran sistem syaraf simpatik oleh clonidine bisa berguna dalam mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan merokok dan penghentian penggunaan nikotin terkait (Glassman et al., 1988). Pengobatan terhadap Kondisi Menggigil Pemberian clonidine 75 g IV, mengehntikan keadaan menggigil (Delaunay et al., 1993). Efik yang dikehendaki ini menunjukkan kemampuan clonidine, seperti anestesi yang mudah menguap (volatile anesthetics), opioide, dan propofol, sentral termoregulator. Obat-obat yang menghambat vasokontriksi pengatur suhu dapat menyebabkan hipotermia Inti (core hypothermia) dan menghambat keadaan menggigil. Terdapat bukti bahwa clonidine sedikit atau tidak meningkatkan ambang batas berkeringat (the sweating threshold) (memicu suhu Inti). Sebagai bukti kemampuannya dalam menghambat kontrol pengatur suhu, clonidine mengurangi vasokontriksi dan ambang menggigil. Berkurangnya Efek Hemodinamis Ketamine Pemberian premedikasi clonidine oral 5 g 90 menit sebelum induksi anestesi, mengurangi naiknya tekanan darah dan jantung secara normal terjadi setelah pemberian ketamine sebanyak 1 mg/kg IV (Doak dan Duke, 1993). Mekanisme Aksi Clonidine merangsang alfa2-adrenergik untuk menghambat neuron di Inti vasomotor medularis. Sebagai akibatnya terjadi penurunan aliran sistem syaraf simpatik. Turunnya aktivitas sistem syaraf simpatik ditunjukkan dengan turunnya tekanan darag, detak jantung (heart rate) dan cardiac output. Kemampuan clonidine mengubah fungsi kanal potasium dalam SSP (membran sel menjadi terhiperpolarisasi) kemungkinan merupakan mekanisme untuk besarnya penurunan kebutuhan anestesi yang diakibatkan oleh clonidine dan obat lain bahkan oleh agonis alfa2-adrenergik yang lebih selektif seperti dexmedetomidine. Pemberian clonidine secara neuraksial menghambat pelepasan P zat spinal dan pemutusan syaraf nociceptif yang disebabkan oleh stimulasi yang berbahaya. Farmakokinetik Clonidine segera diserap setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu 60-90 menit. Waktu pencernaan clonidine berlangsung antara 9-12 jam. Sekitar 50 % yang termetabolisasi dalam hati sementara sisanya diekskresi tanpa berubah dalam urine. Durasi efek hipotensif setelah dosisi oral tunggal adalah sekitar 8 jam. Jalar transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk menghasilkan konsentrasi plasma terapeutik. Efek Kardiovaskular Turunnya tekanan darah sistolik yang ditimbulkan oleh clonidine lebih menonjol daripada turunnya tekanan darah diastolik. Pada pasien yang menjalani pengobatan

kronis, resistencia vaskular sistemik kurang dipengaruhi, dan keluaran kardiak, yang awalnya turun kembali ke tingkat sebelum dilakukan pemberian obat. Refleks kardiovaskular homeostasis dipertahankan sehingga menghindari masalah hipotensi atau hipertensi ortostatik selama pemberian. Kemampuan clonidine menurunkan tekanan darah sistemik tanpa paralisisi rflex homeostasis pengimbang sangatlah bermanfaat. Aliran darah renal dan angka filtrasi glomerular dipertahankan saat dilakukan terapi clonidine. Efek Samping Efek samping paling umum yang ditimbulkan oleh clonidine adalah sedasi dan xerostomia. Sesuai dengan sedasi, dan barangkali secara lebih khususu, efek agonis terhadap reseptor alfa2 postsinaptik pada SSP mendekati 50 % kebutuhan anestesi akan obat anestetis yang dihirup (MAC) dan obat uang disuntikkan pada pasien prapengobatam yang mendapat clonidine pada pangobatan praanestetis (Engelman et al,m 1989; Flacke et al., 1987; Ghignone et al., 1987). Pasien prapengobatan yang mendapat clonidine sering menunjukkan konsentrasi plasma katekolamin lebih redah karena merespon stimulasi bedah dan biasanya memerlukan pengobatan bradikardia dengan antikolinergis IV. Sebagaimana dengan obat antihipertensif lainnya, penyimpanan sodium dan air sering terjadi sehingga diperlukan kombinasi clonidine dengan diuretik. Sebaliknya, efek diuretik selama anestesi umum telah dipaparkan setelah pemberian clonidine oral 2,5 g/kg, seperti pengobatan praanestetik (Hamaya et al., 1994). Ruam kulit (skin rashes) sering muncul, impotensi kadang terjadi, sementara hipotensi ortostatik jarang timbul. Hipertensi Balik (Rebound Hypertension) Dihentikannya terapi clonidine secara mendadak dapat mengakibatkan hipertensi balik paling cepat 8 jam atau paling cepat 36 jam setelah dosis terakhir (Husserl dan Messerli, 1981). Hipertensi balik paling mungkin muncul pada pasien yang menerima > 1, 2 mg clonidine setiap hari. Meningkatnya tekanan darah sistemik dapat dihubungkan dengan konsentrasi sirkulasi katekolamin yang ditambah > 100 % dan intensifnya vasokonstriksi periferal. Gejala-gejala kegelisahan, diaforesis, pusing, sakit perut, dan takikardia sering mendahului meningkatnya tekanan darah aktual. Penghambatan beta adrenergis dapat melebih-lebihkan besaran hipertensi balik karena efek vasodilatasi penghambatan beta2 dari katekolamin dan membiarkan aksi alfa vasokonstriksi tidak melawan. Terapi antidepresan trisiklik juga dapat melebih-lebihkan hipertensi balik yang berkaitan dengan dihentikannya secara mendadak terapi clonidine (Stiff dan Harris, 1983). Antidepresan trisiklik memang berpotensi memiliki efek penekan norephinephrine. Hipertensi balik baiknya dapat dikontrol dengan mengulangi terapi clonidine atau dengan pemberian obat vasodilatasi seperti hydralazine atau nitroprusside. Obat penghambat beta-adrenergik sangat bermanfaat namun kemungkinan hanya dapat diberikan jika penghambatan alfa-adrenergik menghindari aksi alfa-vasokontriksi yang tidak melawan. Dalam hal ini, labetolol dengan efek antagonis alfa dan beta akan berguna dalam perawatan pasien yang mengalami hipertensi balik. Bila terapi clonidine oral dihentikan karena pembedahan, penggunaan clonidine transdermal akan memberikan tingkat penyembuhan yang berkelanjutan sepanjang 7 hari (White dan Gilbert, 1985).

Untuk penghentian yang terencana (planned withdrawal), dosis clonidine dikurangi secara bertahap setelah 7 hari atau lebih. Hipertensi balik setelah penghentian pengobatan kronis secara mendadak dengan obat antihipertensif tidak hanya bersifat khas pada clonidind (Husserl dan Messerli, 1981). Penghentian mendadak terapi penghambat beta, misalnya dihubungkan dengan bukti klinis aktivitas sistem syaraf simpatik yang berlebihan. Obat antihipertensif yang beraksi secara terpisah terhadap mekanisme sistem syaraf simpatik inti dan periferal (vasodilator langsung, penghambat ACE) tidak berkaitan dengan hipertensi balik setelah penghentian terapi secara tiba-tiba. Dexmedetomidine Dexmedetomidine adalah agonis alfa2-adrenergis potensial, selektif, dan spesifik (alfa2 banding alfa1 1,620:1) (Bloor et al., 1992; Sandler et al., 1996). Obat ini adalah dextrostereoisomer dan secara farmakologis merupakan komponen aktif dari medetomidine, yang telah digunakan bertahun-tahun dalam praktik kedokteran hewan memanfatkan efek hipnotis, sedatif, dan analgesiknya. Dibandingkan dengan clonidine, dexmedetomidine tujuh kali lebih selektif untuk reseptor alfa2 dan durasi aksinya lebih pendek daripada clonidine. Sehubungan dengan hal itu, dexmedetomidine dianggap merupakan agonis lengkap terhadap reseptor alfa2 dan durasi aksinya lebih pendek daripada clonidine. Sehubungan dengan hal itu, dexmedetomidine dianggap merupakan agonis lengkap terhadap reseptor alfa2 sementara clonidine adalah agonis parsial (rasio aktivitas alfa2 terhadap alfa2 untuk clonidine adalah 220:1) (Sandler, 1996). Seperti clonidine, prapengobatan dengan dexmedetomidine mengurangi respon hemodinamis dari intubasi trakeal, menurunkan konsentrasi plasma katekolamin selama anestesi, menurunkan kebutuhan perioperasi akan obat anestesi yang dihirup dan opioid, dan meningkatkan peluang hipotensi (Jalonen et al., 1997). Dexmedetomidine mengurangi MAC untuk anestesi yang mudah menguap pada hewan > 90 % dibandingkan dengan sekitar 50 % untuk clonidine (Segal et al., 1988). Pada pasien, MAC isoflurane berkurang 35 % dan 48 % dengan konsentrasi plasma dexmedetomidine masing-masing sebesar 0,3 ng/ml dan 0,6 ng/ml (Aantaa et al., 1997). Selama analgesia tergantung dosis yang menonjol dan sedasi yang ditimbulkan oleh obat ini, terjadi juga depresi ventilasi ringan. Sebagaimana clonidine. Dexmedetomidine dilaporkan cukup efektif dalam mengurangi efek kardiostimuli dan delirium paska anestesi dengan ketamin (Levanen et al., 1995). Dexmedetomidine menaikkan kisaran sushu yang tidak memicu pertahanan pengatur suhu (thermoregulatory defenses). Karena itulag, dexmedetomidine, seperti clonidine, memungkinkan munculnya hipotermia perioperasi dan terbukti merupakan pengobatan yang efektif untuk keadaan menggigil (Talke et al., 1997).

Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors) Penghambat ACE merupakan kemajuan penting dalam pengobatan terhadap segala jenis hipertensi karena potensinya meningkatkan kesembuhan pasien dan efeknya yang minimal (Croog et al., 1986). Obat ini telah ditetapkan sebagai terapi pertama (first-

line therapy) untuk pasien yang menderita hipertensi sistemik, gagal jantung kongestif, dan regurgitasi mitral. Data menunjukkan bahwa penghambat ACE lebih efektif dan lebih aman daripada obat antihipertensif lainnya dalam pengobatan hipertensi pada penderita diabetes (Hommel et al., 1986). Terdapat bukti lain bahwa penghambat ACE menunda bertambah parahnya penyakit ginjal diabetik (Remuzzi dan Ruggenenti, 1993). Senyawa ini dapat menyebabkan berkurangnya hipertropi ventrikular, sehingga penghambat ACE sangat bermanfaat untuk pasien yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Mekanisme Aksi Penghambat ACE dapat dikelompokkan berdasarkan unsur struktural yang berinteraksi dengan ion zinc dari enzim tersebut serta bentuk pemberian obat itu. Perbedaan utama di antara penghambat ACE yang digunakan secara klinis adalah durasi aksinya (Miranda dan Grissom, 1991). Dengan menghalangi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, penghambat ACE mencegah angiotensin II yang dimediasi vasokontriksi dan stimulasi sistem syaraf simpatik. Penghambat ACE tidak memiliki efek samping SSP yang berkaitan dengan obat antihipertensif, termasuk depresi, insomnia, dan disfungsi seksual. Efek balik lain, seperti gagal jangtung kongestif, bronkospasme, bradikardia, dan bertambah parahnya penyakit vaskular periferal tidak terlihat pada penggunaan penghambat ACE. Tidak dijumpai pula perubahan metabolis yang dipengaruhi oleh terapi diuretik, seperti hipokalemia, hiponatremia, dan hiperglikemia. Hipertensi balik seperti pada pemberian clonidine tidak ditemui pada penghambat ACE. Tabel 15-2. Efek-efek farmakologis dosis tunggal penghambat enzim pengubahangiotensin Obat Dosis (mg) Proobat Waktu Onset Waktu Durasi Efek Berefek Puncak (jam) Captopril 100 Tidak 15-30 1-2 6-10 Elanapril 20 Ya 60-120 4-8 18-30 Lisinopril 10 Tidak 60 2-4 18-30 Ramipril 20 Ya 30-60 3-8 24-60 Efek Samping Batuk, kongesti respiratori atas, rhinorrhea, dan gejala seperti alergi adalah efek samping paling umum penghambat ACE (Israili et al., 1992). Diduga bahwa respon jalan udara ini menunjukkan potensi efek-efek kinin karena terhambatnya aktivitas peptidyldipeptidase karena pengaruh obat. Jika tekanan respiratori bertambah, dianjurkan penyuntikan epinephrine yang tepat (0,3-0,5 ml dari dilusi subkutan 1:1000). Angioderma adalah potensi komplikasi akibat pengobatan dengan penghambat ACE (Brown et al., 1997). Proteinuria muncul pada sekitar 1 % pasien, terutama jika diidap pula penyakit ginjal. Penghambat ACE seharusnya digunakan secara berhati-hati atau dihindari pada pasien yang diduga mengalami stenosis arteri ginjal, karena perfusi renal pada pasien ini sangat tergantung pada angiotensin II. Manajemen Praoperasi Konsensus mengenai terapi penghambat ACE menetapkan masih diperbolehkannya penggunaan semua jenis obat tersebut sampai dilakukannya

pembedahan dan segera melakukannya kembali setelah operasi (Miranda dan Grissom, 1991). Muncul keprihatinan tentang potensi instabilitas hemodinamik dan hipotensi pada pasien-pasien yang menerima penghambat ACE pada masa praoperasi. Bertambah lamanya hipotensi ditemukan pada pasien yang menjalani anestesi umum untuk pembedahan minor dimana terapi penghambat ACE dipertahankan sampai pagi hari sebelum pembedahan. Hipotensi selama dilakukannya anestesi pada pasien hipertensi yang secara kronis mendapat penghambat ACE dilanjutkan sampai pagi hari sebelum pembedahan dibandingkan dengan pasien yang terapinya dihentikan setidaknya 12 jam (captopril) atau 24 jam (elanapril) praoperasi (Coriat et al., 1994). Prosedur bedah yang memerlukan keluarnya banyak cairan tubuh juga dihubungkan dengan hipotensi pada pasien yang diobati dengan penghambat ACE. Pada pasien yang menjalani prosedur bedah ekstensif dengan pembuangan cairan atau darah besar-besaran, adalah pilihan yang baik jika teraoi penghambat ACE dihentikam dan menggantinya dengan obat antihipertensif yang aksinya lebih singkat (Mirenda dan Grissom, 1991). Meskipun demikian, pengobatan dengan penghambat ACE tidak meningkatkan hipotensi setelah dilakukan anestesi pada pasien pengidap disfungsi miokardial yang terpengaruh infarksi (Ryckwaert dan Colson, 1997). Hipotensi berlebihan yang disebabkan oleh dilanjutkannya terapi penghambat ACE ternyata responsif terhadap infus cairan kristaloid dan/atau pemberian simpatomimetik seperti ephedrine atau phenylephrine. Penghambat ACE dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan hipoglikemia, yang terjadi jika obat ini diberikan kepada pasien penderita diabetes mellitus. Kendati demikian tidak ada bukti bahwa hipoglikemia lebih besar pada pasien diabetik yang diberi penghambat ACE untuk mengontrol hipertensi (Shorr et al., 1997). Captopril Captopril adalah obat antihipertensif yang efektif jika diberikan secara oral (12,525,0 mg setiap 8-12 jam) yang beraksi karena inhibisi kompetitif enzim pengubah angiotensin I (peptydil-dipeptidase). Ini adalah enzim yang mengubah angiotensin I tak aktif menjadi angiotensin II aktif. Angiotensin II menyebabkan stimulasi sekresi aldosterone oleh korteks adrenal. Akibat dari penghambatan enzim ini oleh captopril adalah penurunan sirkulasi konsentrasi plasma angiotensin II dan aldosterone yang dapat diprediksi dan disertai dengan peningkatan pengimbang dalam angiotensin I dan tingkat renin. Kenaikan konsentrasi plasma renin memperlihatkan hilangnya kontrol umpan balik negatif yang secara normal diberikan angiotensin II. Penurunan sekresi aldosterone mengakibatkan sedikitnya kenaikan jumlah potasium serum. Farmakokinetik Captopril diserap dengan baik setelah pemberian oral, dimana 25-30 % dari obat itu terikat dengan protein saat sirkulasi. Penghambatan enzim pengubah terjadi selama 15 menit setelah pemberian oral. Ekskresi captopril yang tidak berubah dalam urine ini mencapai 50 %. Singkatnya, waktu pencernaan captopril (sekitar 2 jam) disebabkan; sebagian, oleh oksidasinya menjadi sulfida tunggal (dimer sulfide) dan campuran (mixed sulfide), semuanya diekskresi oleh ginjal. Efek Kardiovaskular

Efek antihipertensi captopril dikarenakan turunnya resistensi vaskular sistemik sebagai akibat dari turunnya penyimpanan sodium dan air. Turunnya resistensi vaskular sistemik terutama tampak menonjol pada ginjal, sementara aliran darah serebral dan aliran darah koroner masih tetap diatur sendiri (autoregulated). Biasanya captopril mengurangi tekanan darah sistemik tanpa perubahan keluaran kardiak dan detak jantung yang terjadi bersamaan, hipotensi ortostatik tidak terjadi karena obat ini tidak mengganggu aktivitas sistem saraf simpatik. Tidak adanya peningkatan deta jantung yang dipengaruhi refleks pengimbang saat tekanan darah turun, menunjukkan bahwa captopril dapat menyebabkan perubahan kepekaan baroreseptor (William, 1988). Captopril dapat meningkatkan kemanjuran vasodilator dalam pengobatan terhadap gagal jantung kongestif, diduga karena kenaikan yang dipengaruhi penghambatan vasodilator terhadap keluaran renin. Pembalikan efek vaskular dan renal yang dramatis dari scleroderma akan menyertai pemberian captopril. Efek Samping Ruam atau pruritus muncul pada sekitar 10 % pasien dan perubahan atau hilangnya selera (dysgeusia) terjadi pada 2-4 % kasus. Obat antiradang nonstereoidal dapat melawan efek antihipertensif captopril, menunjukkan peran sintetis prostaglandin dalam efek penurunan tekanan darah obat ini. Captopril dapat menaikkan konsentrasi serum potasium dan menyebabkan hiperkalemia, khususnya pada pasien dengan fungsi ginjal tidak atau jika diuretik dengan sedikit potasium (potassium-sparing diuretic) diberikan secara bersamaan (Williams, 1988). Efek ini terhadap konsentrasi serum potasium menunjukkan gangguan karena obat dengan stimulus besar terhadap pelepasan aldosterone. Granulositopenia ditemukan pada 0,3 % pasien, paling sering muncul pada pasien pengidap penyakit gagal ginjal berat. Efek paling penting namun juga paling jarang dari captopril adalah angiedema yang boleh jadi disebabkan oleh penghambatan karena obat metabolisme bradikinin. Elanapril Elanapril adalah penghambat ACE yang mirip captopril karena memiliki efek farmakologis. Obat ini terikat dengan enzim sehingga dosis oral harian sudah cukup efektif. Elanapril dapat beruba pro-obat yang dicerna dalam hepar sampai obat bentuk aktif, elanaprilat. Bentuk aktif ini mengandung sedikit gugus sulfihidril yang dianggap menyebabkan beberapa efek balik captopril. Ruam, granulositopenia, dan ketidakmampuan ginjal lebih jarang terjadi saat pemberian elanapril daripada captopril. Pasien kronis yang mendapat penghambat ACE dan tidak mampu menjalani penyembuhan oral dapat meneruskan terapi antihipertensif tanpa dihentikan dengan pemberian elanapril IV. Manfaat preparasi IV ini dalam manajemen hipertensi perioperasi sebagaimana dibandingkan dengan obat lain belum dapat ditentukan.

Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin Receptor Blockers) Losartan Losartan adalah kelompok baru agen antihipertensif efektif yang secara oral efektif sebagai antagonis pada reseptor angiotensin II (jenis AT1). Angiotensin II

terbentuk dari angiotensin I karena aksi ACE dan berfungsi sebagai hormon vasoaktif primer dalam sistem angiotensin renin. Losartan dan metabolit asam karbosiklik aktif menghalangi efek vasokonstriktor dan efek sekresi-aldosterone angiotensin II dengan menghambat secara selektif ikatan angiotensin II dan reseptor AT1 yang ditemukan dalam otot vaskular. Metabolit aktif dari Losartan, 10-40 kali lebih kuat daripada obat induk dalam menghambat efek penekan angiotensin II. Metabolisme hepatik pertama yang penting terjadi setelah pemberian obat ini secara oral. Dosis sekali sehari (20-50 mg) cukup memadai. Tidak adanya umpan balik negatif angiotensin II menyebabkan kenaikan aktivitas plasma renin 2-3 kali lipat dan kenaikan konsentrasi plasma angiotensin II. Konsentrasi plasma aldosterone berkurang pada pasien yang mendapat obat ini, tapi tampaknya terdapat sedikit efek terhadap konsentrasi plasma potasium. Obat yang beraksi secara langsung terhadap sistem renin-angiotensin ini dapat menyebabkan kematian janin dan neonatal jika diberikan selama masa kehamilan; menekankan perlunya menghentikan obat ini jika kehamilan sudah terdeteksi. Reaksi balik yang berhubungan dengan pengobatan losartan ini jarang timbul. Efek sampingnya sama dengan penghambat ACE, kecuali kasus batuk yang lebih rendah pada pasien yang diobati dengan losartan. Penghambat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blockers) Kendati penghambat kanal kalsium pada awalnya diperkenalkan sebagai terapi kedua untuk penyembuhan angina pectoris; dan dalam kasus verapamil, dipakai dalam pengobatan tachydysarhytmias supraventricular, efek hipotensifnya dimanfaatkan secara klinis sebagai obat antihipertensi. Untuk pengobatan terhadap hipertensi esensial, obat ini dapat dianggap sebagai vasodilator. Penghambat kanal kalsium berhasil dalam menyembuhkan hipertensi pada pasien dewasa, berkulit hitam, dan peka terhadap garam. Munculnya iskemia miokardial dapat meningkat pada pasien yang mendapat nifedipine dengan aksi singkat, verapamil, dan diltiazem dosis tinggi (Furberg et al., 1995; Psaty et al., 1995). Resiko serupa tidak ditemukan dalam pasien yang mendapat penghambat kanal kalsium dengan aksi lama. Penggunaan penghambat kanal kalsium tidak membutuhkan pembatasan sodium secara bersamaan, yang menjadikan obat antihipertensi ini unik dan menjadi pilihan bagi pasien yang beranggapan bahwa pembatasan sodium tidak dapat diterima. Obat Vasodilatasi Hydralazine Hydralazine adalah derivatif dari phtalazine yang menurunkan tekanan darah sistemik dengan efek relaksan langsungnya terhadap otot vaskular, efek dilatasi terhadap arteriol lebih besar daripada terhadap otot vaskular, efek dilatasi terhadap arteriol lebih besar daripada terhadap vena. Efek vasodilatoris lebih menonjol pada sirkulasi koroner, serebral, renal, dan splanchnic. Vasodilatasi menunjukkan gangguan yang terkait dengan hydralazine terhadap perpindahan ion kalsium dalam otot vaskular. Bila digunakan dalam pengobatan hipertensi sistemik kronis, hydralazine paling sering diberikan berupa kombinasi dengan penghambat beta dan diuretik. Pemberian

penghambat beta secara bersamaan membatasi peningkatan refleks aktivitas sistem syaraf simpatik yang dipengaruhi hydralazine. Penghambat beta secara efektif mencegah takikardia dan menaikkan sekresi renin. Efek sampingnya minimal jika diberikan sebagai bagian dari terapi gabungan. Pengobatan pada suatu krisis hipertensi dapat dilakukan dengan hydralazine sebanyak 2,5-10,00 mg IV. Efek antihipertensi akan mulai terasa 10-20 menit setelah pemberian IV dan selesai 3-6 jam kemudian. Meskipun demikian respon tekanan darah sistemik terhadap hydralazine tidak diprediksi dan bisa terjadi pula hipotensi yang bertambah lama (Abe, 1993). Farmakokinetik Metabolik pertama hepatik ekstensif membatasi ketersediaan hydralazine setelah pemberian secara oral. Asetilasi merupakan jalur utama pencernaan hydralazine. Asetilator cepat memiliki bioavaibilitas lebih rendah (sekitar 30 %) daripada asetilator lambat (sekitar 50 %) setelah pemberian hydralazine secara oral. Selama pemberian dosis ganda, asetilator lambat mencapai konsentrasi plasma hydralazine yang lebih tinggi daripada mereka yang mengasitelat (to acetylate) secara cepat. Waktu pencernaan ratarata 3 jam. Setelah pemberian IV, < 15 % obat tidak berubah dalam urin. Efek Kardiovaskular Hydralazine lebih sering menurunkan tekanan darah diastolik daripada tekanan darah sistolik. Resistensi vaskular sistemik juga turun. Detak jantung, stroke volume, dan cardiac output naik, memperlihatkan kenaikan refleks dimediasi baroreseptor dalam aktivitas sistem syaraf simpatik karena penurunan tekanan darah sistemik. Walaupun demikian, takikardia yang dipengaruhi hydralazine lebih besar daripada yang diperkirakan berdasarkan refleks dan kurang berkorelasi dengan perubahan-perubahan dalam tekanan darah. Kenaikan detak jantung yang berlebihan ini memperlihatkan efek langsung hydralazine terhadap jantung dan CNS, selain respon yang dimediasi baroreseptor. Dilasi pada arteriol dibandingkan pada vena tersebut meminimalkan hipotensi ortostatik dan mendorong kenaikan keluaran kardiak. Efek ydralazine berkembang secara bertahap sekitar 15 menit, bahkan setelah pemberian IV. Aliran darah splanchnic, koroner, serebral, dan renal biasanya bertambah. Angka flitrasi glomerular, fungsi tubular renal, dan volume urine tidak dipengaruhi. Aktivitas renin juga bertambah dalam aktivitas sistem syaraf simpatik mengakibatkan naiknya sekresi renin oleh sel-sel juxtaglomerulal renal. Efek Samping Seperti vasodilator lain, hydralazine menyebabkan penyimpanan sodium dan air, jika diuretik tidak diberikan secara bersamaan. Efek samping umum lain dari hydralazine mencakup vertigo, diaphoresis, nausea, dan takikardia. Stimulasi miokardial yang terkait dengan terapi hydralazine dapat menimbulkan angina pectoris dan perubahan dalam karakteristik elektrokardiogram iskemia miokardial. Efek samping akan berkurang secara perlahan-lahan dan toleransi akan tercipta jika pemberian diteruskan. Demam, urtikaria, polineuritis, anemia, dan pansitopenia jarang terjadi namun memerlukan dihentikannya terapi hydralazine. Neuropathi periferal bisa diobati dengan pyridoxine. Senyawa yang

mengandung hydrazine, seperti hydralazine, dapat mengakibatkan defluorinasi terhadap enflurane (Mazze et al., 1982). Sindrom seperti erythematosus lupus sistemik terjadi pada 10-20 % pasien yang diobati secara kronis (> 6 bulan) dengan hydralazine, khususnya jika dosis harian > 200 mg. Sindrom itu terjadi secara mencolok pada pasien yang merupakan asetilator lambat. Gejala-gejala hilang jika obat dihentikan, membedakannya dari penyakit sesungguhnya. Minoxidil Minoxidil adalah obat antihipertensif aktif, diberikan secara oral yang menurunkan tekanan darah sistemik melalui relaksasi langsung otot arterioral (Gb. 15-8). Memiliki efek lemah terhadap pembuluh kapasitans vena. Digunakan dengan diuretik dan penghambat beta lainnya atau minoxidil simpatolitik manjur lainnya yang efektif dalam pengobatan hipertensi paling berat (gagal ginjal, penolakan transplantasi, penyakit renovaskular). Penggunaan obat ini berkurang karena penghambat ACE dan penghambat kalsium juga efektif dengan efek samping lebih sedikit. Farmakokinetik Sekitar 90 % minoxidil dosis oral diserap sistem gastrointestinal, dan angka plasma puncak dicapai dalam waktu 1 jam. Metabolisme glucoronide minoxidil tak aktif cukup ekstensif dan hanya 10 % dari obat ini yang tak berubah dalam urin. Waktu pencernaan sekitar 4 jam. Efek Kardiovaskular Efek hipotensif minoxidil disertai dengan kenaikan heart rate dan kardiak yang mencolok. Stimulasi refleks yang sama dari sistem syaraf simpatik juga disertai dengan kenaikan konsentrasi plasma norepinefrin dan renin, dengan penyimpanan sodium dan air terkait. Hipotensi ortostatik tidak menonjol pada pasien yang mendapat minoxidil. Efek Samping Penyimpanan cairan, ditunjukkan dengan kenaikan berat badan dan edema, adalah efek samping umum terapi minoxidil. Furosemide atau bahkan dialisis diperlukan jika penyimpanan cairan tidak responsif terhadap diuretik yang kurang manjur. Hipertensi pulmonal yang terkait dengan minoxidil lebih mungkin muncul karena penyimpanan air daripada efek khas obat ini terhadap kardiovaskular pulmonal. Efek samping yang serius dari terapi minoxidil dan diduga mencerminkan akumulasi cairan dalam rongga serous adalah terjadinya efusi perikardial dan kompresi jantung akut (cardiac tamponade), khususnya jika disfungsi ginjal berat terjadi (Husserl dan Messerli, 1981). Penelitianpenelitian echocardiographic sangat membantu jika diduga terjadi efusi perikardial. Kelaianan-kelaianan pada elektrokardiogram diciran dengan datar atau terbaliknya gelombang T dan naiknya tegangan kompleks QRS. Selama terapi jangka panjang, kelainan gelombang T biasanya hilang dan tegangan QRS turun. Hipertrikosis, yang paling banyak ditemukan di sekitar wajah dan lengan, adalah efek samping buruk yang muncul namun tidak berbahaya, yang sampai derajat tertentu muncul pada hampir semua pasien yang menjalani pengobatan > 1 bulan. Efek samping ini tidak disebabkan oleh kelainan endokrin.

DIURETIK Diuretik saat ini jarang digunakan untuk mengawali dan mempertahankan terapi antihipertensi dibandingkan dulu. Untuk meningkatkan kesembuhan pasien, dipilihlah diuretik yang relatif tidak mahal dan mereka yang hanya perlu mengkonsumsinya sehari. Karena biayanya yang lebih mahal, durasi aksinya yang lebih singkat dan terbatasnya bukti bahwa obat itu adalah obat antihipertensif yang efektif, maka diuretik yang manjur (furosemide, asam ethacrynic, bumetanide) biasanya dianjurkan untuk pasien yang terbukti mengalami ketidakmampuan ginjal, jika diuretik thiazide tidak efektif. Untuk pasien yang alergi terhadap thiazide, maka diuretik yang dipilih adalah asam ethacrynic. Hipokalemia yang dipengaruhi diuretik adalah efek samping yang cukup sering muncul. Durasi aksi diuretik adalah determinan penting kecenderungannya yang menyebabkan hipokalemia dengan aksi obat lebih lama yang menimbulkan kaliuresis lebih lama. Hipokalemia berkepanjangan akan mengganggu metabolisme glukosa dan meningkatkan terjadinya iritabilitas ventrikular. Hipokalemia yang dipengaruhi obat penting untuk dihindari oleh pasien pengidap penyakit arteri koroner dan mereka yang diobati dengan digitalis. Diuretik yang kurang mengandung potasium kurang manjur dibadingkan diuretik lainnya. Obat ini memiliki manfaat khusus untuk pengobatan pada pasien yang beresiko jika terjadi hipokalemia. Sebaliknya karena terdapat resiko hiperkalemia yang dipengaruhi obat, obat ini sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien yang fungsi ginjalnya tidak lengkap dan mereka yang diobati dengan penghambat ACE.

Anda mungkin juga menyukai