Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Antara Riwayat Atopi Dengan Kejadian Rinitis alergika Pada Anak

Abstrak Rinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergika yang terjadi pada anak-anak, tentu akan berdampak pada kualitas kehidupan mereka. Rinitis alergika banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak. Desain penelitian ini adalah analitik observasional potong lintang (cross sectional). Subyek penelitian ini adalah anak usia 6-12 tahun. Jumlah subyek yang diteliti berjumlah 81 anak dengan rinitis alergika dan tanpa rinitis alergika. Penentuan rinitis atau tidak berdasarkan kuesioner dengan konfirmasi uji tusuk kulit, sedangkan riwayat atopi berdasarkan kuesioner. Hasil penelitian ini didapatkan dari hasil uji pearson chi-square dengan nilai p(sig) = 0,574 dengan nilai OR = 0,772 (95 % CI 0,314 1,901), yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian rinitis alergika karena nilai p > 0,05. Untuk faktor-faktor perancu dianalisis menggunakan analisis regresi multivariat (multivariate regression analysis). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa riwayat atopi tidak berhubungan dengan kejadian rinitis alergika pada anak. Kata kunci : Rinitis alergika, Atopy, Genetics

LATAR BELAKANG Rinitis alergika merupakan penyakiti inflamasi pada membran mukosa hidung yang didasari reaksi hipersensitivitas dan dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE) akibat dari paparan alergen tertentu. Pada akhirnya menyebabkan produksi mukus atau lendir yang berlebihan, hidung berair, hidung gatal, kongesti nasal, dan bersin-bersin1. Rinitis alergika sering terjadi pertama kali pada kelompok anak-anak antara usia 5-10 tahun dengan puncaknya pada usia remaja antara 10 dan 20 tahun dan cenderung menurun sesuai dengan pertambahan usia. Rinitis alergika biasanya didapat pada penderita atopi2. Di Amerika, rinitis alergika ini telah mempengaruhi sekitar 35 juta penduduk Amerika, 6 juta darinya adalah anak-anak3. Rinitis alergika yang terjadi pada anak-anak, tentu saja akan berdampak pada kualitas kehidupan mereka. Dari hasil penelitian, anak yang mempunyai alergi penurunan memori jangka pendeknya lebih besar daripada anak yang tidak alergi4. Atopi adalah suatu predisposisi genetik yang mendekati perkembangan reaksi hipersensitivitas segera (tipe I) terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopi). Manifestasi klinis yang paling sering adalah rinitis alergika, asma bronkial, dermatitis atopi, dan alergi makanan yang kurang sering terjadi5. Genetik dan atopi menjadi faktor risiko intrinsik yang mempengaruhi terjadinya rinitis alergika6. Rinitis alergika ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi lainnya7.

Beberapa orang ada yang peka terhadap alergen tertentu dan kebanyakan tidak peka. Mereka yang peka terhadap alergen disebut atopi. Beberapa artikel dan jurnal ilmiah juga telah menyebutkan bahwa kondisi alergi cenderung berkelompok pada keluarga-keluarga yang memiliki riwayat atopi. Di Indonesia sendiri, penelitian tentang hubungan riwayat atopi terhadap penyakit alergi, khususnya rinitis alergika ini masih belum banyak diteliti, sehingga masih belum banyak diketahui riwayat atopi berpengaruh atau tidak terhadap kejadian rinitis alergika. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak.

TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini adalah anak usia 6-12 tahun pada 2 Sekolah Dasar terpilih. Jumlah sampel yang dibutuhkan menurut rumus adalah sebanyak 96 anak, namun karena keterbatasan waktu, sampel yang diperoleh menjadi 81 anak. Kriteria inklusi meliputi usia 6-12 tahun dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi meliputi adanya infeksi berat lain, riwayat anafilaksis dan ada kelainan anatomi dan trauma hidung berat.Variabel bebasnya adalah riwayat atopi, sedangkan variabel tergantungnya adalah kejadian rinitis alergika. Instrumen yang digunakan meliputi kuesioner, dan alat uji tusuk kulit (skin prick test), berupa : alergen (susu sapi, putih telur, kuning telur, ikan, udang, kacang, coklat, kutu campur, kutu P, kedelai, tepung sari, nasi, jamur, kecoa, kucing, anjing, kapas, dan ayam), histamin (kontrol positif), salin (kontrol negatif), lanset, kapas, tisu, alkohol, alat ukur indurasi (penggaris). Penelitian diawali meminta perijinan pada sekolah dasar terpilih lalu meminta kesediaan subyek untuk mengisi informed consent dilanjutkan dengan mempersiapkan alat dan bahan. Pemilihan responden berdasarkan lembar informed consent yang telah disetujui lalu pengisian kuisioner dengan panduan. Selanjutnya dilaksanakan pelaksanan uji tusuk kulit oleh pihak yang terlatih dan diawasi oleh dokter. Pengambilan data sampai mencukupi diteruskan dengan input data, pengolahan dan analisis data. Langkah selanjutnya konsultasi hasil penelitian dan penyusunan laporan. Langkah-langkah uji tusuk kulit (skin prick test) meliputi : membersihkan volar lengan bawah dengan kapas alkohol 70%,

tunggu sampai kering jangan ditiup, memberi tanda angka 1-20 dengan pena dengan jarak yang 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampurnya reagen yang akan diteteskan, meneteskan satu per satu reagen sesuai dengan nomor urut pada volar lengan bawah. Reagen-reagen terdiri dari : kontrol positif, kontrol negatif, dan beberapa alergen makanan. Selanjutnya cukit kulit yang telah ditetesi reagen dengan jarum lanset , dilakukan dengan cepat dan tidak sampai mengeluarkan darah. Mengusap ujung jarum lancet dengan tisu lalu lanjutkan mencukit pada reagen lainnya dengan cara yang sama. Mengeringkan bagian volar dengan menempelkan tisu selebar reagen 1-20 secara perlahan lalu tisu diangkat dan dibuang. Tunggu selama 10-15 menit. Selama menunggu tidak boleh menggaruk bagian yang telah dicukit dan tidak boleh disiram air, dan interpretasi hasil pada tiap cukitan dengan ketentuan positif apabila muncul indurasi dan kemerahan pada cukitan dengan diamterer 3 mm dari kontrol negatif. Data penelitian berupa ada atau tidak rinitis alergika dan ada atau tidak riwayat atopi. Kejadian rinitis diketahui dari kuesioner yang dikonfirmasi dengan uji tusuk kulit, dan riwayat atopi diketahui dari hasil kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik chi-square.

HASIL PENELITIAN Sampel diambil dari dua sekolah dasar yang berada di kota Yogyakarta. Sampel berjumlah 81 anak, dengan karakteristik seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian No 1 Karakteristik Umur : 6 9 tahun 10 12 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Laki laki Riwayat Atopi : Ada Tidak ada Kejadian Rinitis : Rinitis alergika Tidak rinitis alergika Frekuensi Percent (%)

38 43 39 42 50 31 36 45

46,9 53,1 48,1 51,9 61,7 38,3 44,4 55,6

Tabel 4.9 Hasil Uji Hipotesis Hubungan Riwayat Atopi terhadap Kejadian Rinitis Alergi pada Anak Karakteristik Kejadian Rinitis alergika Sig. Rinitis alergika Tidak Rinitis alergika n = 36 (44,4 %) n = 45 (55,6 %) 0,574 Riwayat Atopi : 21 (58,3 %) 29 (64,4%) Ya 15 (41,7 %) 16 (35,6 %) Tidak

OR

0,772

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa responsden yang menderita rinitis alergika dengan riwayat atopi lebih banyak jumlahnya (yaitu 21 anak atau sebesar 58,3 %) daripada responsden yang menderita rinitis alergika tanpa riwayat atopi (yaitu 15 anak atau sebesar 41,7 %). Akan tetapi, jumlah responsden yang tidak menderita rinitis alergika tetapi memiliki riwayat atopi lebih banyak pula jumlahnya (yaitu 29 anak atau sebesar 64,4 %) daripada responsden yang tidak

menderita rinitis alergika tanpa riwayat atopi (yaitu 16 anak atau sebesar 35,6 %). Uji hipotesis hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak, dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p > 0,05) yaitu sebesar 0,574 dengan nilai OR = 0,772 (95 % CI 0,314 1,901). Melihat nilai OR = 0,772 hal ini berarti responsden yang memiliki riwayat atopi, mempunyai kemungkinan 0,772 kali untuk mengalami rinitis alergika dibanding dengan responsden yang tidak memiliki riwayat atopi.

PEMBAHASAN Penelitian terdahulu tentang Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang, menunjukkan hasil bahwa ibu yang mempunyai riwayat alergi tidak berhubungan dengan timbulnya rinitis alergika pada anak, dengan nilai p = 0,73; OR = 0,89 (95% CI 0,47-1,68), dan ayah yang mempunyai riwayat alergi tidak berhubungan dengan timbulnya rinitis alergika pada anak, dengan nilai p = 0,06; OR = 0,43 (95% CI 0,18-1,00)8. Penelitian lain menyebutkan bahwa jika ibu yang menderita asma ada hubungan dengan timbulnya rinitis alergika pada anak (p = 0,01; OR = 1,78 95% CI 1,15-2,77)9. Untuk rinitis alergika risiko tertinggi dengan OR 3,6 (CI 2,9-4,6) bila salah satu orang tua menderita rinitis alergika10. Rinitis alergika dapat terjadi pada 75% penderita asma sedangkan pada penderita rinitis alergika hanya 20% yang menderita asma. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan gambaran polimorfik pada kromosom 5q pada penderita atopi11. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopi dapat alergi terhadap satu atau lebih alergen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.

Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergi) sering disebut sebagai alergen12. Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi hasil penelitian, salah satunya berasal dari jumlah sampel yang tidak sesuai dengan rumus dikarenakan keterbatasan waktu. Dari penelitian-penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya, memang ada beberapa hal yang berbeda dengan penelitian ini, sehingga ini merupakan penelitian awal yang perlu dikaji lebih lanjut dengan penelitian-penelitian lanjutan lainnya.

KESIMPULAN Dari penelitian hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak.

SARAN

Masih terdapat beberapa kekurangan yang harus diperbaiki untuk penelitian selanjutnya, antara lain : Penambahan sampel yang lebih besar pada penelitian hubungan riwayat atopi terhadap kejadian rinitis alergika pada anak dan perlu dilakukan penelitian dengan cakupan tempat yang lebih luas agar hasil penelitian akan lebih mudah untuk digeneralisasikan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Desalu,O.O., Salami, A.K., Iseh, K.R., & Oluboyo, P.O. (2009). Prevalence of Self Reported Allergic Rhinitis and its Relationship With Asthma Among Adult Nigerians. J.Investig Allergol ClinImmunol 2009. 19 (6) : 474-480. Diakses 13 Januari, 2010, dari www.jiaci.org/issues/vol19issue6/8.pdf 2. Siegel, S.C. (1993). Rhinitis In Children In : Mygind N, Naclero R.M. (eds) : Allergic and Non Allergic Rhinitis Clinical Aspects Munksgaard, Copenhagen, 1993 : 174-83. 3. Ismail. (2010). Tentang Alergi. Diakses 17 Oktober, 2010, dari
http://www.totalkesehatananda.com

4. Mahr,T.A., & Sheth,K. (2005). Update on Allergic Rhinitis. Pediatric Review, 26 : 284-289. Diakses 8 April, 2010, dari http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/content/full/26/8/284 5. Dorland, W.A. Newman. (2009). Kamus kedokteran (Ed.29). Jakarta: EGC. 6. Widodo, P. (2004). Hubungan Antara Rinitis alergika dengan FaktorFaktor Risiko Yang Mempengaruhi Pada Siswa SLTP Kota Semarang Usia 13-14 Tahun Dengan Mempergunakan Kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISSAC). Laporan Penelitian Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokBedah Kepala dan Leher, Universitas Diponegoro, Semarang. 7. Fauzi, N.A. (2010). Riwayat Atopi Meningkatkan Resiko Terjadinya Rhinitis Alergi. Diakses 17 Oktober, 2010, dari www.umy-case.com 8. Nency, Y.M. (2005). Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang. Karya Tulis strata dua, Universitas Diponegoro, Semarang. 9. Marinho, S., Simpson, A., Soderstrom, L., Woodcock, A., Ahlstedt, A., Custovic, A. (2007). Quantification of Atopy and The Probability of Rhinitis in Preschool Children : A Population-Based Birth Cohort Study. Journal Compilation 2007 Blackwell Munksgaard, 62: 1379-1386. Diakses 4 November, 2010, darihttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1398-9995.2007.01502.x/pdf 10. Dold, S., Wjst, M., Mutius, E., Reitmeir, P., Stiepel, E. (1992). Genetic Risk for Asthma, Allergic Rhinitis, and Atopic Dermatitis [Abstrak]. Research Centre for Environment and Health Abstract, Vol 67, Issue 8. Diakses 25 Oktober, 2010, dari www.bmj.com 11. Akip, A.A.P. (2001). Perjalanan Alamiah Penyakit Alergi dan Pencegahannya. Dalam Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan IKA XLIV. Pendekatan Imunologi Dalam Alergi dan Infeksi, 117-128. Jakarta : FKUI. 12. Munasir, Z., Suyoko, E.M.D. (2008). Buku Ajar alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua Cetakan Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai