Anda di halaman 1dari 22

- 1 -

Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 H U K U M
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
PASCA PUTUSAN MK: KEWENANGAN SIAPA?
Inosentius Samsul*)
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan ketentuan
Pasal 236C Undang_Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditanggapi berbeda oleh
berbagai pakar dan aparatur penegak hukum. Pembatalan ketentuan tersebut berarti
kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah tidak berada pada lembaga
Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, kewenangan siapakah untuk menyelesaikan
sengketa pemilihan kepala daerah tersebut? Terdapat beberapa pemikiran alternatif
antara lain kewengangan tersebut ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara atau
membentuk lembaga penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang bersifat ad
hoc. Namun keputusannya akan tetap ditentukan oleh DPR dan Pemerintah yang akan
dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK)
merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan
keadilan dan lembaga peradilan tertinggi
yang berperan sebagai penjaga utama
konstitusi (Guardian of The Constitution).
Sebagai penjaga konstitusi, MK mempunyai
empat kewenangan yang diatur dalam
UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa:
MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya
bersIIuL hnuI unLuk mengujI undung-undung
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Ketika pemilihan kepala daerah
(pilkada) ditempatkan sebagai bagian dari
rezim pemilihan umum (pemilu) yang
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU), implikasinya adalah sengketa
pilkada menjadi bagian perkara Perselisihan
*) Peneliti Madya Hukum Ekonomi pada bidang Hukum, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. E-mail: ino.samsul@yahoo.com
- 2 -
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang
menjadi kewenangan MK. Melalui UU No.
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, terminologi pemilihan
kepala daerah diubah menjadi pemilihan
umum kepala daerah (pemilukada).
Ketentuan dalam UU No. 22 Tahun
2007 kemudian diperkuat dalam Pasal
263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 236 C yang
menyatakan bahwa: Penanganan sengketa
hasil penghitungan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah
oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan. Dengan demikian,
kewenangan MK yang semula hanya
memutus perselisihan hasil pemilihan umum
Presiden, DPR, DPRD, dan DPD menjadi
bertambah dengan memutus perselisihan
hasil pemilukada.
Dengan melihat volume jumlah
perkara yang ada, MK cenderung menjadi
Mahkamah Sengketa Pemilu (Election
Court) karena jumlah perkara sengketa
pemilu yang ditangani lebih banyak
volumenya dibandingkan pengujian undang-
undang (Judicial Review) yang merupakan
kewenangan utama sebuah MK. Kewenangan
baru ini ternyata juga mengubah irama
kehidupan dan suasana kerja di MK.
Sengketa Pemilukada mendominasi sidang-
sidang di MK. Kemudian dengan banyaknya
perkara sengketa pemilukada yang harus
diselesaikan sembilan hakim MK dalam
waktu 14 hari tersebut, dikhawatirkan
bisa mempengaruhi kualitas putusan MK
terhadap sengketa tersebut dan mengurangi
kualitas putusan MK dalam menangani
perkara sengketa hasil pemilukada dan
mengganggu peran MK dalam memutus
permohonan judicial review yang sejatinya
merupakan domain utama kewenangannya.
Dengan kata lain, MK bergeser dari
Constitutional Court menjadi seolah-
olah Election Court karena lebih banyak
menangani perkara sengketa pemilukada
daripada pengujian undang-undang. Lebih
mengkuatirkan ketika kasus yang menimpa
mantan Ketua MK Akil Mochtar justru
tersangkut pada tindak pidana korupsi di
bidang sengketa pilkada. Kasus ini sungguh
mencoreng dan merusak citra MK sampai
pada titik nadir. Namun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya
MK berperan penting dalam penyelesaian
sengketa hasil pemilukada. MK mampu
memIusIIILusI konIk poIILIk yung merupukun
hasil pemilukada dengan membawanya
durI konIk yung LerjudI, yung bIsu memIcu
konIk IorIzonLuI unLur pendukung ke
gedung MK. Di tingkat tertentu MK telah
memiliki prestasi dalam mendorong
pelaksanaan pemilukada yang demokratis.
Putusan MK Nomor 97/PUU XI
2013: Sengketa Pilkada Bukan
Wewenang MK
Melalui Putusan No. 97/PUU-
XI/2013, MK membatalkan kewenangannya
dalam memeriksa dan memutus sengketa
pemilukada. Permohonan pengujian
diajukan oleh oleh Forum Kajian Hukum
dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas
Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum
Jakarta (GMHJ).
Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844) dan
Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah berpendapat, dalam memahami
kewenangan MK yang ditentukan dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali
melihat makna teks, original intent, makna
gramatika yang komprehensif terhadap
UUD 1945. Oleh karena itu, pemilihan
umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus
dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan
umum yang diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden serta DPRD dan dilaksanakan
setiap lima tahun sekali. Berdasarkan
putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan
umum setiap lima tahun sekali pada Pasal
- 3 -
22E UUD 1945 adalah pemilihan umum
anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden
dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap
lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak
suara.
MK berpendapat jika memasukkan
Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan
umum sehingga menjadi kewenangan MK
untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya,
bukan saja tidak sesuai dengan makna
original intent dari pemilihan umum
sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi
juga akan menjadikan Pemilu tidak saja
setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali,
karena pemilihan kepala daerah sangat
banyak dilakukan dalam setiap lima tahun
dengan waktu yang berbeda-beda.
Di samping itu, sebagaimana telah
menjadi pendirian MK dalam pertimbangan
putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014
Tentang Pengujian Undang-Undang No. 4
Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu No.
1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 13
Februari 2014, kewenangan lembaga negara
yang secara limitatif ditentukan oleh UUD
1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi
oleh Undang-Undang maupun putusan
Mahkamah karena akan mengambil peran
sebagai pembentuk UUD 1945. Dengan
demikian, menurut MK, penambahan
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
mengadili perkara perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah dengan memperluas
makna pemilihan umum yang diatur Pasal
22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.
Untuk menghindari keragu-raguan,
ketidakpastian hukum serta kevakuman
lembaga yang berwenang menyelesaikan
perselisihan hasil pemilihan umum kepala
daerah karena belum adanya Undang-
Undang yang mengatur mengenai hal
tersebut maka penyelesaian perselisihan
hasil pemilihan umum kepala daerah tetap
menjadi kewenangan Mahkamah.
Dalam putusan tersebut, tiga hakim
konstitusi memiliki pendapat berbeda,
yakni Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Hakim
Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan
Anwar Usman, Arief mengungkapkan tugas
dan kewenangan MK, seharusnya bukan
hanya berusaha menemukan maksud dari
pembentuk konstitusi, tetapi berusaha pula
untuk menemukan makna yang dikehendaki
oleh teks norma konstitusi itu sendiri untuk
menyelesaikan persoalan hukum yang
dihadapi di masa kini dan masa depan.
Selain itu, MK juga mempunyai kewenangan
untuk bisa menghidupkan konstitusi dari
masa ke masa (the living constitution)
untuk menghadapi berbagai tantangan yang
tentunya akan berbeda pada tiap zamannya.
Sementara Anwar berpendapat apabila
MK menyatakan diri tidak berwenang
mengadili sengketa Pemilukada dengan
pertimbangan tidak diatur dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945, seharusnya hal
tersebut dinyatakan sejak pertama kali
menerima permohonan penyelesaian
sengketa Pemilukada pada tahun 2008.
Sebab hal tersebut menyangkut kewenangan
mutlak yang dapat membawa akibat hukum
tersendiri.
Demikian pula hakim konstitusi
Fadlil menjelaskan, oleh karena sistem dan
mekanisme rekrutmen pengisian kepala
daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian
di atas adalah perselisihan hasil pemilu
(PHPU). Perselisihan hasil merupakan
bagian daripada sistem. Perselisihan hasil
sebagai sesuatu permasalahan sistem harus
dapat diselesaikan. Untuk itu haruslah
ada forum yang menyelesaikannya. PHPU
adalah perselisihan hukum konstitusi
terkait dengan pemilu sebagai mekanisme
dalam pelaksanaan hak konstitusional
di bidang politik, khusunya hak untuk
memilih (right to vote) dan hak untuk
dipilih (right to be voted or to be candidate).
MK merupakan penyelenggara peradilan
sebagai forum penyelesaian perselisihan
dengan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka MK
berwenang mengadili PHPU kepala daerah
dan dengan demikian maka permohonan
Pemohon seharusnya ditolak.
Fadlil berpendapat bahwa kententuan
Pasal 236C UU No 12 Tahun 2008 berkaitan
dengan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyebutkan: MK berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yung puLusunnyu bersIIuL hnuI unLuk:
e. kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Penulis berpandangan bahwa Pemilu
- 4 -
yang dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah
pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif.
Oleh karena itu, Pilkada bukan merupakan
kewenangan MK, tetapi menjadi kewenangan
MA dan lembaga peradilan di bawahnya.
Karena sengketa Pilkada terkait putusan
lembaga negara, yaitu Komisi Pemilihan
Umum, maka sengketa Pilkada masuk
dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Sedangkan penanganannya
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT TUN). Hal ini dimaksudkan
untuk mempermudah pengawasan atau
kontrol serta rentang kewenangan yang
mencakup pemilihan Gubernur dan Bupati/
Wali Kota. Kekhawatiran terhadap tindakan
anarkis yang dilakukan oleh pendukung
bukan merupakan persoalan substantif dalam
hukum, sebab tindakan anarkis dipengaruhi
banyak faktor yang dapat juga terjadi dalam
sidang di MK. Terkait dengan kemungkinan
Pilkada oleh DPRD, penulis berpendapat
pilihan tersebut tidak berpengaruh terhadap
kewenangan penyelesaian sengketa, sebab
pemilihan oleh DPRD maupun langsung oleh
rakyat tetap bukan merupakan rezim Pemilu
yang dimaksudkan oleh UUD 1945.
Kesimpulan
Putusan ini melahirkan tugas legislasi
bagi DPR dan Pemerintah untuk mengatur
mengenai kewenangan penanganan
sengketa pilkada. Secara teknis, tidak
ada batas waktu pembentukan Undang-
Undang tersebut. Namun, pilihan yang
tepat adalah memasukannya dalam dalam
Undang-Undang tentang Pemilihan
Kepala Daerah yang sedang dibahas oleh
DPR dan Pemerintah. Persoalan dari sisi
substansi, pihak MA menilai MK melempar
tanggungjawab, sebab MK sesungguhnya
banyak menangani sengketa Pilkada berarti
konstitusional. Alternatif yang mungkin
dituangkan dalam Undang-undang yang
baru adalah sengketa Pilkada menjadi
kewenangan PT TUN, karena yang digugat
adalah keputusan KPUD, sehingga lebih
administratif. Dalam hal ini PT TUN
mengadilinya dengan pemeriksaan langsung
seperti PTUN pada tingkat pertama. PT TUN
harus diberi batas waktu tertentu untuk
memutus sengketa Pilkada agar cepat selesai.
Pemikiran lain dapat dalam bentuk badan
khusus untuk penyelesaian sengketa Pilkada.
Referensi:
1. Jimly Asshiddiqie, "Pemilihan Langsung
Presiden dan Wakil Presiden", Jurnal
Unisia No 51/XXVII/I/2004.
z. Hurun Rey (zo1q), "MK KeIIru Hupus
Kewenangan Mengadili Sengketa
Pilkada", http://www.tempo.co/read/
news/2014/05/20/078578958/MK-
Kel i ru-Hapus-Kewenangan-Adi l i -
Sengketa-Pilkada, diakses tanggal 23 Mei
2014.
3. Yusril Ihsa Mahendra, Setuju MK
Hapus Kewenangan Sidangkan Sengketa
Pilkada, http://politik.news.viva.co.id/
news/read/505650-yusril-setuju-mk-
hapus-kewenangan-sidangkan-sengketa-
pilkada, diakses tanggal 25 Mei 2014
4. MA Tuding MK Lempar Tanggung
Jawab, http://www.tribunnews.com/
pemilu-2014/2014/05/22/ma-tuding-
mk-lempar-tanggung-jawab, diakses
tanggal 23 Mei 2014.
5. MK Tak Lagi Tangani Sengketa
Pilkada, http://www.tempo.co/read/
news/2014/05/19/078578811/MK-Tak-
Lagi-Tangani-Sengketa-Pilkada, diakses
tanggal 23 Mei 2014.
6. Iwan Satriawan dkk. 2012. Studi
Efektivitas Penyelesaian Sengketa Hasil
pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi,
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi
dan Komunikasi, Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
- 5 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 HUBUNGAN INTERNASIONAL
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
PELUANG INDONESIA DALAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
Humphrey Wangke*)
Abstrak
Pemberlakuan MEA tahun 2015 menyebabkan lalulintas perdagangan bebas di kawasan
Asia Tenggara menjadi tanpa kendala. MEA merupakan wujud kesepakatan dari
negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam
rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan dengan menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi kurang lebih 500 juta
penduduknya. Perdagangan bebas dapat diartikan tidak ada hambatan tarif (bea masuk
0-5%) maupun hambatan nontarif bagi negara-negara anggota ASEAN. Sebenarnya
AFTA dibentuk sudah sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura
tahun 1992. Tetapi, pada akhir tahun 2015 negara-negara ASEAN akan merasakan
dampaknya.
Latar Belakang
Indonesia kini tengah berpacu dengan
waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar
bebas Asia Tenggara atau biasa disebut
dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang akan dimulai pada tahunn 2015. ASEAN
telah menyepakati sektor-sektor prioritas
menuju momen tersebut. Ketika berlangsung
ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan
11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun
pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan
berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam
dua bagian yaitu tujuh sektor barang
industri dan lima sektor jasa. Ke-7 sektor
barang industri terdiri atas produk berbasis
pertanian, elektronik, perikanan, produk
berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk
berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa
tersebut adalah transportasi udara, e-asean,
pelayanan kesehatan, turisme dan jasa
logistik.
Keinginan ASEAN membentuk MEA
didorong oleh perkembangan eksternal dan
internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia
diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi
baru, dengan disokong oleh India, Tiongkok,
dan negara-negara ASEAN. Sedangkan
secara internal, kekuatan ekonomi ASEAN
sampai tahun 2013 telah menghasilkan
GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan
*) Peneliti Utama Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: dhanny_2000@yahoo.com.
- 6 -
laju pertumbuhan sebesar 5,6 persen dan
memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68
juta orang. Tulisan ini secara ringkas akan
menganalisis peluang Indonesia menghadapi
persaingan dalam MEA.
Konsep Masyarakat Ekonomi
ASEAN
Sejalan dengan pesatnya dinamika
hubungan antar-bangsa di berbagai
kawasan, ASEAN menyadari pentingnya
integrasi negara-negara di Asia Tenggara.
Pada pertemuan informal para Kepala
Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15
Desember 1997 disepakati ASEAN Vision
2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan
pertemuan di Hanoi yang menghasilkan
Hanoi Plan of Action (HPA). Visi 2020
termasuk HPA berisi antara lain: kondisi
yang ingin diwujudkan di beberapa bidang,
seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan
secara damai dan menciptakan perdamian
internasional.
Beberapa agenda kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk merealisasikan Visi
2020 adalah dengan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan
hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual,
keamanan dan perdamaian, serta turisme
melalui serangkaian aksi bersama dalam
bentuk hubungan kerjasama yang baik dan
saling menguntungkan diantara negara-
negara anggota ASEAN.
Selanjutnya pada KTT ASEAN ke 9
di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali
Concord II, yang menyepakati pembentukan
ASEAN Community untuk mempererat
integrasi ASEAN. Terdapat tiga komunitas
dalam ASEAN Community yang disesuaikan
dengan tiga pilar didalam ASEAN Vision
2020, yaitu pada bidang keamanan politik
(ASEAN Political-Security Community),
ekonomi (ASEAN Economic Community),
dan sosial budaya (ASEAN Socio-Culture
Community). MEA adalah tujuan akhir
integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan
dalam ASEAN Vision 2020, adalah :
"To create a stable, prosperous and
highly competitive ASEAN economic
reion in uhich there is jree jou oj
goods, services, investment, skill labor
cnd jreer jou oj ccpitcl, equitcble
economic development and reduced
poverty and socio-economic disparities
in year 2020."
Untuk membantu tercapainya integrasi
ekonomi ASEAN melalui AEC, maka
dibuatlah AEC Blueprint yang memuat
empat pilar utama yaitu (1) ASEAN sebagai
pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal
yang didukung dengan elemen aliran bebas
barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik
dan aliran modal yang lebih bebas; (2)
ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing
ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan
kompetisi, perlindungan konsumen, hak
atas kekayaan intelektual, pengembangan
infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce;
(3) ASEAN sebagai kawasan dengan
pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil dan
menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN
untuk negara-negara Kamboja, Myanmar,
Laos, dan Vietnam; dan (4) ASEAN sebagai
kawasan yang terintegrasi secara penuh
dengan perekonomian global dengan elemen
pendekatan yang koheren dalam hubungan
ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan
peran serta dalam jejaring produksi global.
Dengan berlakunya MEA 2015,
berarti negara-negara ASEAN menyepakati
perwujudan integrasi ekonomi kawasan
yang penerapannya mengacu pada ASEAN
Economic Community (AEC) Blueprint. AEC
Blueprint merupakan pedoman bagi negara-
negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan
AEC 2015.
Posisi Indonesia
Guna menyambut era perdagangan
bebas ASEAN di ke-12 sektor yang telah
disepakati, Indonesia telah melahirkan
regulasi penting yaitu UU No 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan yang telah
diperkenalkan ke masyarakat sebagai
salah satu strategi Indonesia membendung
membanjirnya produk impor masuk ke
Indonesia. UU ini antara lain mengatur
ketentuan umum tentang perijinan
bagi pelaku usaha yang terlibat dalam
kegiatan perdagangan agar menggunakan
bahasa Indonesia didalam pelabelan, dan
peningkatan penggunaan produk dalam
negeri. Melalui UU ini pula pemerintah
diwajibkan mengendalikan ketersediaan
bahan kebutuhan pokok bagi seluruh
wilayah Indonesia. Kemudian menentukan
larangan atau pembatasan barang dan jasa
- 7 -
untuk kepentingan nasional misalnya untuk
melindungi keamanan nasional.
Regulasi tersebut terasa penting bila
mempertimbangkan kondisi perdagangan
Indonesia selama ini belum optimal
memanfaatkan potensi pasar ASEAN. Pada
periode Januari-Agustus 2013 misalnya,
ekspor Indonesia ke pasar ASEAN baru
mencapai 23% dari nilai total ekspor Hal ini
antara lain karena tujuan ekspor Indonesia
masih terfokus pada pasar tradisional seperti
Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang.
Tingkat utilitisasi preferensi tarif ASEAN
yang digunakan eksportir Indonesia untuk
penetrasi ke pasar ASEAN baru mencapai
34,4%. Peringkat Indonesia menurut global
competitivenes index masih berada pada
posisi ke-38 dari 148 negara. Sementara
Singapura menempati posisi ke 2, Malaysia
di posisi ke 24, Thailand di posisi 37,
Vietnam ke 70 dan Filipina di posisi 59.
Ketatnya persaingan di pasar ASEAN
lebih jauh dapat disimak dari kinerja
perdagangan Indonesia di tahun 2014.
Sampai bulan Maret 2014, transaksi
perdagangan Indonesia surplus hingga 673,2
juta dolar AS. Surplus didapat dari selisih
antara nilai ekspor yang mencapai 15,21
miliar dengan impor 14,54 miliar dolar AS.
Surplus Maret ini adalah yang kedua setelah
bulan Februari sebesar 843,4 juta dolar AS.
Namun demikian, Indonesia perlu memberi
perhatian khusus terhadap transaksi dagang
dengan Thailand yang akan bersama-sama
terlibat dalam MEA 2015. Pada Maret 2014
InI, ndonesIu menguIumI dehsIL dugung
dengan Thailand sampai 1,048 miliar dolar
AS.
Lebih jauh lagi, surplus perdagangan
Indonesia pada bulan 2014 ini belum
mencerminkan kekuatan struktur ekspor
Indonesia. Industri pengolahan produk
ekspor masih bergantung pada bahan baku
impor. Kondisi ini sangat rentan karena
berarti Indonesia sangat bergantung pada
ketersediaan baku dunia. Karena itu arah
kebijakan ekonomi Indonesia mulai tahun
2015 harus lebih jelas seiring dengan
berlakunya pasar bebas ASEAN.
Karenanya, menghadapi MEA 2015,
Indonesia masih mempunyai berbagai
pekerjaan rumah yang harus ditingkatkan
agar tetap mempunyai daya saing. Untuk
pilar sosial budaya, Indonesia masih perlu
kerja keras mengingat masih banyak
warga Indonesia yang belum mengetahui
tentang ASEAN. Padahal salah satu kunci
keberhasilan MEA adalah konektivitas atau
kontak antara satu warga negara dengan
warga negara ASEAN lainnya. Pemahaman
warga negara di Asia Tenggara terhadap
MEA belum sampai 80 persen. Karena itu,
sosialisasi MEA menjadi sangat penting
terhadap seluruh warga negara Indonesia
yang memiliki jumlah penduduk terbesar
di ASEAN. Kekuatiran yang muncul adalah,
Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi
produk sejenis dari negara ASEAN lainnya.
Untuk pilar ekonomi, Indonesia
juga masih harus meningkatkan daya
produk Indonesia. Indonesia masih harus
mengembangkan industri yang berbasis nilai
tambah. Oleh karena itu Indonesia perlu
kerja keras melakukan hilirisasi produk.
Dari sisi hulu, Indonesia sudah menjadi
produsen yang dapat diandalkan mulai dari
pertanian, kelautan dan perkebunan. Tetapi
semua produk tersebut belum sampai ke hilir
untuk mengurangi inpor barang jadi, sebab
Indonesia telah memiliki bahan baku yang
cukup.
Dari sisi liberalisasi perdagangan,
produk Indonesia praktis tidak terlalu
menghadapi masalah sebab hampir 80
persen perdagangan Indonesia sudah bebas
hambatan. Bahkan ekonomi yang berbasis
kerakyatan (UMKM) berpeluang menembus
pasar negara ASEAN. Pemerintah telah
melakukan upaya percepatan pemerataan
pembangunan sebagai bagian dari penguatan
ekonomi kerakyatan. Antara tahun 2011-
2013, investasi Indonesia banyak diarahkan
pada wilayah-wilayah di luar pulau Jawa
dengan memberikan rangsangan tax holiday.
Dengan demikian, pusat pertumbuhan
ekonomi di masa depan bukan hanya
terpusat di Jawa saja tetapi juga di luar
Jawa. Usaha lain yang dilakukan pemerintah
adalah dengan membentuk kluster untuk
pembinaan UMKM agar memiliki daya
saing.
Bukan hanya tantangan yang akan
dihadapi tetapi juga peluang. Sektor-sektor
yang akan menjadi unggulan Indonesia
dalam MEA 2015 adalah Sumber Daya Alam
(SDA), Informasi Teknologi, dan Ekonomi
Kreatif. Ketiga sektor ini merupakan sektor
terkuat Indonesia jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN yang lain. Selain
itu, dampak masuknya Tenaga Kerja Asing
(TKA) ke Indonesia harus dipastikan bisa
berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
- 8 -
Menurut Direktur Eksekutif Center
of Reform on Economics (CORE) Hendri
Saparini, kesiapan Indonesia dalam
menghadapi MEA 2015 baru mencapai 82
persen. Hal itu ditengarai dari empat (4)
isu penting yang perlu segera diantisipasi
pemerintah dalam menghadapi MEA 2015,
yaitu: 1) Indonesia berpotensi sekedar
pemasok energi dan bahan baku bagi
industrilasasi di kawasan ASEAN, sehingga
manfaat yang diperoleh dari kekayaan
sumber duyu uIum mInInuI, LeLupI dehsIL
neraca perdagangan barang Indonesia yang
saat ini paling besar di antara negara-negara
ASEAN semakin bertambah, 2) melebarkan
dehsIL perdugungun jusu seIrIng penIngkuLun
perdagangan barang, 3) membebaskan
aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus
mengantisipasi dengan menyiapkan strategi
karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja
Asing (TKA), dan 4) masuknya investasi ke
Indonesia dari dalam dan luar ASEAN.
Dengan demikian didalam perdagangan
bebas akan ada hal positif dan negatif yang
akan dialami setiap negara yang terlibat
didalamnya. Tantangan bagi Indonesia
kedepan adalah memwujudkan perubahan
bagi masyarakatnya agar siap menghadapi
perdagangan bebas di maksud.
Kesimpulan
Menghadapi perdagangan bebas
ASEAN, langkah pertama yang harus
dilakukan pemerintah adalah meningkatkan
daya saing produk Indonesia mengingat
jumlah penduduk Indoonesia yang sangat
besar berpotensi menjadi pasar bagi produk
sejenis dari negara tetangga. Peningkatan
daya saing ini mencakup baik produk
unggulan maupun yang bukan unggulan.
Di samping itu, parlemen Indonesia dapat
membantu tugas pemerintah dimaksud
dengan mempersiapkan berbagai regulasi
yang bertujuan melindungi pasar Indonesia
dari serbuan barang produk negara-negara
ASEAN. Langkah semacam ini bukan
dimaksudkan sebagai langkah proteksi
terhadap pasar Indonesia tetapi semata-
mata untuk mencari keseimbangan antara
ekspor dan impor.

Referensi
1. Cegah Serangan Menjelang MEA,
Media Indonesia, 21 Mei 2014, hal. 18.
2. Departemen Perdagangan Republik
Indonesia, Menuju ASEAN Economic
Community 2015, 2009.
3. Helen E.S.Nesadurai, Globalisation,
Domestic Politics and Regionalism: the
ASEAN Free Trade Area, Routledge,
London, 2005.
4. Kerja Sama ASEAN Harus Diperluas,
Media Indonesia, 11 Mei 2014.
5. Mida Saragih, Pertanian Jelang
Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kompas,
19 Mei 2014, hal. 6.
6. Pelaksanaan MEA Jadikan Peluang,
Kompas, 6 Mei 2014.
7. Perkuat Pilar Budaya dan Sosial,
Kompas, 3 Mei 2014, hal. 19.
8. Transaksi Ekspor Dorong Surplus,
Kompas, 3 Mei 2013, hal. 18.
- 9 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
PENURUNAN KETERWAKILAN PEREMPUAN
DALAM PEMILU 2014
Sali Susiana*)
Abstrak
Pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan yang bertujuan untuk
meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif telah diatur dalam
beberapa undang-undang yang terkait dengan pemilu, bahkan bila dibandingkan
dengan beberapa pemilu sebelumnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur
hal tersebut pada Pemilu 2014 lebih banyak dan rinci. Meskipun demikian, jumlah
perempuan yang pada akhirnya menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019 justru
menurun dari 101 orang atau 17,86% menjadi hanya 79 orang atau 14% dari total
560 anggota terpilih. Hal ini perlu dicermati secara kritis karena hasil yang diperoleh
berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan caleg perempuan yang mengalami
peningkatan pada Pemilu 2014 ini.
Pendahuluan
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
telah menetapkan perolehan jumlah kursi
serta calon anggota legislatif (caleg) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014
pada tanggal 14 Mei 2014. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) memimpin
perolehan kursi di DPR, sebesar 109 kursi
(19,5%), diikuti oleh Partai Golongan Karya
(Golkar) dengan 91 kursi (16,3%), Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi
(13,0%), Partai Demokrat 61 kursi (10,9%),
Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi
(8,8%), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
47 kursi (8,4%), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) 40 kursi (7,1%), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) 39 kursi (7,0%), Partai
Nasional Demokrat (Nasdem) 35 kursi
(6,3%), dan Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura) 16 kursi (2,9%).
Dari 560 orang caleg terpilih, 79,1% di
antaranya adalah mereka yang menduduki
nomor urut satu dan dua dalam Daftar
Calon Tetap (DCT). Bila dilihat dari jumlah
perolehan suara setiap caleg, posisi 10 caleg
dengan suara terbanyak diduduki oleh caleg
petahana. Empat orang caleg dengan suara
terbanyak berasal dari PDI-P, yaitu: Karolin
Margret Natasa, dari daerah Pemilihan
(Dapil) Kalimantan Barat dengan 397.481
suara; Puan Maharani dari Dapil Jawa
Tengah V dengan 369.927 suara; I Wayan
Koster dari Dapil Bali dengan 260.342 suara;
dan Rieke Diah Pitaloka dari Dapil Jawa
Barat VII dengan 255.064 suara.

*) Peneliti Madya Studi Kemasyarakatan pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: sali_susiana@yahoo.com.
- 10 -
Meskipun 3 dari 4 orang caleg dengan
suara terbanyak adalah caleg perempuan,
namun secara keseluruhan jumlah caleg
perempuan yang terpilih mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan hasil
pemilu sebelumnya. Jumlah perempuan
yang menjadi Anggota DPR RI periode
2014-2019 diperkirakan hanya sekitar 79
orang atau 14% dari total Anggota DPR RI
yang berjumlah 560 orang. Jumlah ini lebih
sedikit dibandingkan dengan DPR periode
2009-2014, yaitu 101 orang atau 17,86%.
Penurunan ini perlu disikapi secara kritis
karena berbanding terbalik dengan tingkat
pencalonan. Pada Pemilu 2009 tingkat
pencalonan hanya 33,6%, sementara pada
Pemilu 2014 tingkat pencalonan mencapai
37%.
Tabel 1
Jumlah Perempuan di DPR
Hasil Pemilu 1999-2009
Pemilu
Total
Anggota DPR
Jumlah
Perempuan
%
1999 500 45 9,00
2004 550 61 11,09
2009 560 101 17,86
Sumber: Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2011.
Jumlah anggota legislatif perempuan
terus mengalami peningkatan dari 1999
hingga periode 2009 sebagaimana yang
ditampilkan dalam tabel 1. Oleh karena itu,
penurunan secara kuantitatif keterwakilan
perempuan hasil Pemilu 2014 harus dilihat
secara holistik terhadap praktek pemilu
legislatif 2014 ini yang menggunakan sistem
proporsional terbuka berdasarkan urutan
suara terbanyak. Seperti yang dinyatakan
salah seorang Anggota DPR RI periode
2009-2014 dari Fraksi Partai Golkar,
NuruI ArIhn buIwu PemIIu zo1q InI seperLI
perang saudara di Suriah karena persaingan
antarcalon separtai di satu daerah pemilihan
sangat terbuka. Di sinilah pentingnya sistem
pemilu dalam mewujudkan keterwakilan
perempuan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif (substantif).
Pentingnya Keterwakilan
Perempuan di DPR RI
Sistem pemilu merupakan salah
suLu IukLor uLumu yung sIgnIhkun duIum
menentukan tingkat keterwakilan perempuan
di lembaga legislatif. Oleh karena itu pasca-
pemerintahan Presiden Soeharto atau
lebih dikenal dengan era reformasi, diatur
ketentuan mengenai cjjrmctite cction
atau tindakan khusus sementara dalam
bentuk kuota 30% keterwakilan perempuan
dalam daftar caleg. Upaya cjjrmctite
action yang diakomodasi ke dalam undang-
undang bidang politik terbukti telah berhasil
meningkatkan jumlah perempuan yang
duduk di lembaga legislatif, terutama di
DPR. Pada Pemilu Tahun 2004, kuota 30%
keterwakilan perempuan diatur melalui
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum. Sedangkan pada Pemilu Tahun
2009, kebijakan tersebut diatur melalui
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dibandingkan dengan beberapa pemilu
sebelumnya, pengaturan tentang kuota 30%
keterwakilan perempuan dalam beberapa
undang-undang yang terkait dengan Pemilu
2014 lebih banyak dan rinci. Terlebih
setelah dikeluarkannya Peraturan KPU
yang memasukkan kuota 30% keterwakilan
perempuan sebagai salah satu syarat yang
harus dipenuhi oleh partai politik (parpol)
peserta pemilu. Kuota 30% keterwakilan
perempuan antara lain diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik (UU Parpol). Pasal
2 ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwa
pendirian dan pembentukan partai politik
menyertakan 30% keterwakilan perempuan.
Selain itu, keterwakilan paling sedikit 30%
untuk perempuan juga menjadi salah satu
syarat dalam penyusunan kepengurusan
parpol untuk tingkat pusat. Hal itu diatur
dalam Pasal 2 ayat (5) UU Parpol. Pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota,
kepengurusan parpol tingkat provinsi dan
kabupaten/kota juga harus disusun dengan
- 11 -
memperhatikan keterwakilan perempuan
paling rendah 30% yang diatur dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga parpol masing-masing (Pasal 20 UU
Parpol).
Selain menjadi salah satu syarat dalam
pendirian dan pembentukan parpol, kuota
30% keterwakilan perempuan juga menjadi
salah satu pertimbangan dalam proses
rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik
untuk menjadi anggota parpol, bakal calon
Anggota DPR dan DPRD, bakal calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah, maupun
bakal calon presiden dan wakil presiden
(Pasal 29 ayat (1a)).
Secara khusus, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(UU Pemilu) sebagai salah satu dasar
hukum penyelenggaraan Pemilu 2014
juga telah mencantumkan beberapa pasal
yang mengatur mengenai kuota 30%
keterwakilan perempuan. Ketentuan yang
mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan
perempuan tersebut terkait dengan beberapa
substansi, yaitu:
1. persyaratan parpol yang dapat menjadi
peserta pemilu, diatur dalam Pasal 8 ayat
(2) huruf e dan Pasal 15 huruf d;
2. pencalonan Anggota DPR, DPD, dan
DPRD provinsi dan kabupaten/kota,
diatur dalam Pasal 55, Pasal 56 ayat (2),
Pasal 58, Pasal 59 ayat (2), Pasal 62 ayat
(6), dan Pasal 67 ayat (2);
3. penetapan calon terpilih, diatur dalam
Pasal 215 huruf b.
SebuguI LInduk IunjuL kebIjukun uhrmusI
tersebut, KPU menerbitkan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun
2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya
disebut Peraturan KPU). Pasal 27 ayat (1)
Huruf b Peraturan KPU menyatakan jika
ketentuan 30% keterwakilan perempuan
tidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidak
memenuhi syarat pengajuan daftar bakal
calon pada daerah pemilihan bersangkutan.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
bahwa parpol peserta pemilu akan mematuhi
ketentuan 30% keterwakilan perempuan
sehingga angka keterwakilan perempuan
di lembaga legislatif diharapkan akan
meningkat dibanding dengan hasil pemilu
sebelumnya.
Keterwakilan Deskriptif vs
Keterwakilan Substantif
Ajjrmctite cction melalui kuota
30% keterwakilan hanyalah salah satu
upaya untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan secara kuantitatif. Keterwakilan
secara kuantitatif ini tidak akan berarti
banyak jika perempuan yang duduk di
lembaga legislatif tidak dapat mewakili dan
mengartikulasikan kepentingan perempuan
dengan baik. Oleh karena itu keterwakilan
secara kuantitatif juga perlu diimbangi
dengan kualitas perempuan yang duduk
dalam lembaga tersebut.
Menurut Hanna Pitkin sebagaimana
dikutip Nuri Soeseno ada empat pandangan
yang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu:
(1) keterwakilan formal; (2) keterwakilan
simbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4)
keterwakilan substantif. Keterwakilan formal
merupakan keterwakilan yang terbentuk
sebagai hasil pengaturan institusional
yang dilakukan sebelum keterwakilan ada.
Keterwakilan deskriptif merupakan sebuah
bentuk keterwakilan yang berdasarkan pada
persamaan atau kemiripan antara wakil dan
yang diwakili (konstituen atau pemilih).
Adapun keterwakilan substantif merupakan
konsep keterwakilan yang menunjukkan
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang
wakil adalah untuk kepentingan yang
diwakilinya.
Terkait dengan keterwakilan
perempuan dalam politik dilihat dari 30%
keberadaan perempuan dalam parpol
dan dalam daftar caleg Pemilu 2014,
Nuri Soeseno menyatakan bahwa sebagai
konsekuensi kuota, cara-cara parpol
merekrut caleg pada Pemilu 2014 dan posisi
perempuan dalam struktur kepengurusan
partai, maka dapat dikatakan bahwa
keterwakilan perempuan dalam politik
masih bersifat deskriptif. Apabila berbagai
ketentuan mengenai kuota 30% untuk
perempuan membawa hasil dan angka 30%
tersebut dapat tercapai maka ada harapan
bahwa keterwakilan deskriptif tersebut dapat
memunculkan keterwakilan substantif. Akan
tetapi hasil Pemilu 2014 menunjukkan bahwa
keterwakilan perempuan tidak mencapai
30%, bahkan menurun jika dibandingkan
dengan pemilu sebelumnya (2009). Oleh
karena itu, kita tidak dapat berharap banyak
akan munculnya keterwakilan substantif
perempuan dalam politik.
Sejumlah kajian menunjukkan bahwa
- 12 -
keterwakilan deskriptif (standing for) tidak
menjadi jaminan munculnya keterwakilan
substantif (acting for). Sistem kepartaian
yang ada saat ini dan pilihan serta cara-cara
rekrutmen caleg perempuan oleh parpol
semakin menguatkan pesimisme terhadap
munculnya keterwakilan substantif dari
kuota 30% untuk perempuan.
Fakta dalam Pemilu 2014, perwakilan
deskriptif masih menjadi fokus perhatian
ketika melihat keterwakilan perempuan
di parlemen yang persentasenya menurun
menjadi hanya 14% dari sebelumnya 17,86%.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab
hal itu adalah sistem pemilu yang tidak
ramah terhadap hadirnya keterwakilan
perempuan. Ketika pemilu menggunakan
sistem proporsional terbuka didasarkan
atas urutan suara terbanyak, maka calon
perempuan membutuhkan energi ekstra,
tidak hanya modal sosial berupa pengaruh,
cara kampanye, popularitas, tetapi juga
faktor modal materi, baik uang maupun
benda lainnya yang tidak kecil jumlahnya.
Dengan sistem suara terbanyak tersebut,
kebijakan cjjrmctite cction 30% dalam
hal pencalonan melalui aturan 1 di antara 3
calon harus perempuan tetap tidak cukup
membantu keterpilihan calon perempuan.
Selain faktor tersebut, yang harus
diperhatikan adalah bagaimana perempuan
menghadapi persaingan secara kualitatif
dengan calon laki-laki. Hal itulah yang tidak
mudah diwujudkan dan membutuhkan
perhatian khusus dari parpol serta
lembaga nonpemerintah dalam mendorong
perempuan agar mau terjun ke dunia politik
praktis disertai bekal pengetahuan dan
energi yang cukup. Dengan demikian ke
depan akan terwujud cita-cita keterwakilan
perempuan minimal 30% atau bahkan lebih
di parlemen.

Penutup
Kemunculan keterwakilan deskriptif
yang tidak diikuti dengan keterwakilan
substantif dengan diterapkannya kebijakan
cjjrmctij cction melalui kuota 30% untuk
perempuan telah dikaji oleh sejumlah
ilmuwan sosial politik. Kajian tersebut pada
umumnya berusaha menjawab 2 pertanyaan
utama, yaitu: (1) apakah kehadiran
perempuan dalam politik membawa
perbedaan; dan (2) apakah perempuan
melakukan tindakan untuk perempuan.
Kajian terhadap dua pertanyaan tersebut
kemudian memunculkan fokus baru sebagai
pendekatan alternatif dalam melihat
keterwakilan perempuan dalam politik, yaitu:
(1) bukan kapan perempuan membawa
perbedaan, tetapi bagaimana keterwakilan
substantif perempuan dapat terjadi; dan (2)
tidak pada apa yang dilakukan perempuan
tetapi apa yang dilakukan oleh aktor-aktor
tertentu atau critical actors.
Dengan demikian, dua agenda penting
pasca Pemilu 2014 terkait dengan upaya
untuk meningkatkan derajat keterwakilan
dari yang bersifat deskriptif menjadi
keterwakilan substantif adalah bagaimana
mengubah konsep stand for menjadi
acting for dun mengIdenLIhkusI sIupu suju
yang dapat menjadi critical actors dalam
memperjuangkan kepentingan perempuan.
Peran sebagai critical actors yang dapat
memotori perubahan keterwakilan
perempuan yang deskriptif menjadi
substantif ini tidak hanya dapat diambil oleh
perempuan, melainkan juga laki-laki.
Rujukan:
1. Jumlah Perempuan di DPR 2014-2019
Berkurang, Kompas, 13 Mei 2014.
2. Caleg Perempuan Hanya 79 Orang, Media
Indonesia, 13 Mei 2014.
3. Jumlah Kursi Perempuan Turun,
Republika, 13 Mei 2014.
4. Caleg No 1 dan 2 Mendominasi, Anggota
DPR Baru Diprediksi Lebih Individualis,
Kompas, 16 Mei 2014.
5. Suara Terbanyak Didominasi Wajah Lama,
Republika, 16 Mei 2014.
6. Dahlerup, Drude. 2002. Menggunakan
Kuota untuk Meningkatkan Representasi
Politik Perempuan dalam Perempuan di
Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta:
IDEA.
7. IFES. (tanpa tahun). Keterwakilan
Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional
yang Anggotanya dipilih melalui Pemilu:
Perbedaan-perbedaan dalam Praktek
Internasional dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: IFES.
8. Kemitraan. 2011. Meningkatkan
Keterwakilan Perempuan, Penguatan
Kebijclcn Ajrmcsi. Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan.
9. Soeseno, Nuri. Perempuan Politisi dalam
Partai Politik Pemilu 2014: Keterwakilan
Deskriptif vs Substantif, dalam Jurnal
Perempuan No. 81: Perempuan Politisi, Mei
2014. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
1o. GuguI ke Senuyun NuruI ArIhn: PIIeg SeperLI
Perang Saudara di Suriah, http://news.
detik.com/pemilu2014/, diakses tanggal 28
Mei 2014.
- 13 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
RAPBN-P TAHUN 2014
MINIM FUNGSI STIMULUS
Nidya Waras Sayekti*)
Abstrak
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tampaknya selalu menjadi persoalan yang tidak
pernah terselesaikan di Indonesia. Saat ini persoalan tersebut merupakan agenda
terbescr cn dicncp membebcni jslcl, terlebih produlsi mincl bumi Indonesic
semakin merosot dan masuk menjadi negara pengimpor minyak. Resiko domestik
berupc pembenlclcn subsidi M clcn mendoron pelebcrcn dejsit jslcl sehinc
dapat mengganggu perekonomian nasional. Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN
juga mempersempit porsi belanja produktif seperti, misalnya infrastruktur. Meskipun
ada beberapa dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM seperti naiknya harga
komoditas pokok, pengurangan tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah.
Pendahuluan
Sejak ditetapkannya UU No. 23 tahun
2013 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2014,
kondisi perekonomian nasional menunjukkan
perkembangan yang berbeda dengan asumsi
dasar ekonomi makro yang digunakan dalam
APBN tahun 2014, terutama pertumbuhan
ekonomi, tingkat bunga Surat Perbendaharaan
Negara (SPN) tiga bulan, lifting minyak,
dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Sebelumnya, realisasi pertumbuhan ekonomi
tahun 2013 hanya mencapai 5,8 persen (yoy),
lebih rendah bila dibandingkan dengan target
APBN Perubahannya sebesar 6,3 persen.
Tekanan pada pertumbuhan ekonomi tersebut
terus berlanjut pada triwulan I tahun 2014,
sehingga mengubah asumsi dasar ekonomi
makro pada tahun 2014 sebagaimana rincian
dalam Tabel 1.
Perbedaan asumsi dasar ekonomi makro
tersebut diperkirakan memberikan tekanan
yang sangat berat terhadap pelaksanaan APBN
tahun 2014, baik dari sisi pendapatan maupun
belanja negara. Selain itu, tekanan terhadap
belanja negara juga berasal dari beberapa
kewajiban atas kegiatan tahun 2013 yang
harus dibayar pada tahun 2014, seperti subsidi
BBM dan subsidi listrik, dana bagi hasil, serta
kewajiban lainnya.
Oleh karenanya, dalam rangka
mengendalikan dan mengamankan
pelaksanaan APBN tahun 2014 dan menjaga
dehsIL APBN duIum buLus yung umun, perIu
dIIukukun IungkuI-IungkuI konsoIIdusI hskuI,
pada komponen-komponen utama APBN.
Langkah tersebut meliputi optimalisasi
penerimaan, baik pajak maupun bukan pajak;
efesiensi dan pengendalian belanja negara;
*) Peneliti Muda Ekonomi Terapan pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: nidya_ws@yahoo.com
- 14 -
serta peningkatan kapasitas pembiayaan anggaran.
Hal ini diharapkan lebih menjamin terlaksananya
APBN tahun 2014 secara lebih aman, dan
menjugu kesInumbungun hskuI duIum jungku
panjang. Langkah-langkah pengamanan APBN
tersebut dituangkan dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(RAPBN-P) tahun 2014 oleh pemerintah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Mei
2014. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) Askolani sangat
mengharapkan pembahasan APBN-P 2014 dapat
selesai pada 18 20 Juni 2014.
RAPBN-P Tahun 2014
Postur RAPBN-P tahun 2014 ditandai
dengan koreksi turunnya target pendapatan
senilai Rp 69,4 triliun dari target APBN tahun
2014 sebesar Rp1.667,1 triliun menjadi Rp1.597,7
triliun. Penurunan tersebut berasal dari turunnya
penerimaan perpajakan sebesar Rp48.267,6 miliar
dan PNBP sebesar Rp22.109,1 miliar dari target
APBN tahun 2014 untuk penerimaan pajak sebesar
Rp1.280,4 triliun dan PNBP sebesar Rp385,4
triliun. Sedangkan penerimaan hibah diperkirakan
meningkat sebesar Rp965 miliar dari target APBN
tahun 2014 sebesar Rp1.360,1 miliar.
Sementara itu, anggaran belanja negara
dalam RAPBN-P tahun 2014 diperkirakan naik
sebesar Rp6,952 triliun dari pagu semula Rp1.842,5
triliun dalam APBN tahun 2014 menjadi Rp1.849,4
triliun. Besaran belanja negara tersebut,
selain dipengaruhi perkembangan asumsi
dasar ekonomi makro, juga dipengaruhi oleh
kebijakan yang ditempuh, antara lain: (1) upaya
pengendalian subsidi energi; (2) pemotongan
belanja Kementerian dan Lembaga (K/L)
yang bersumber dari rupiah murni, di luar
anggaran pendidikan dan belanja operasional;
serta (3) penurunan dana bagi hasil seiring
dengan penurunan pendapatan negara yang
dibagihasilkan. Ilustrasi yang lebih rinci dari
komposisi belanja negara tersebut disajikan
dalam Tabel 2.
Perubahan anggaran belanja negara
dalam RAPBN-P tahun 2014 terdiri atas
kenaikan anggaran belanja pemerintah pusat
dan penurunan dana transfer ke daerah untuk
perimbangan sebagai akibat dari penurunan
dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam
seiring dengan penurunan target penerimaan
minyak bumi dan gas alam. Peningkatan
besaran belanja pemerintah pusat sebesar
Rp15.8 triliun, disebabkan oleh kenaikan
anggaran untuk porsi belanja non K/L
sebesar Rp114,3 triliun yang semula Rp612,1
triliun menjadi Rp726,4 triliun, utamanya
terkait dengan peningkatan besaran subsidi
energi yang membengkak Rp110 triliun, dari
pagu Rp282,1 triliun diproyeksikan menjadi
Rp392,1 triliun. Subsidi tersebut terdiri dari
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), Liquejed
Tabel 1. Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2014
Indikator Ekonomi
2013 2014
Realisasi APBN APBN-P
a. Pertumbuhan Ekonomi (% yoy) 5,8 6,0 5,5
b. nusI (% yoy) 8,4 5,5 5,3
c. Nilai tukar (Rp/USD) 10.460 10.500 11.700
d. Tingkat Bunga SPN 3 bulan rata-rata (%) 4,5 5,5 6,0
e. Harga Minyak Mentah Indonesia (USD/barel) 106 105 105
f. Lifting Minyak Bumi (ribu barel per hari) 825 870 818
g. Lifting Gas Bumi (ribu barel setara minyak per hari) 1.213 1.240 1.224
Sumber: Nota Keuangan RAPBN-P 2014.
Tabel 2. Belanja Negara 2013 2014 (triliun rupiah)
Indikator Ekonomi
2013 2014
LKP
Unaudited
APBN RAPBN-P
Perubahan
Nominal %
I. Belanja Pemerintah Pusat 1.126,9 1.249,9 1.265,8 15,8 1,3
1. Belanja K/L 573,7 637,8 539,3 (98,5) (15,4)
2. Belanja Non K/L 553,2 612,1 726,4 114,3 18,7
II. Transfer ke Daerah 513,3 592,6 583,7 (8,7) (1,5)
1. Dana Perimbangan 430,4 487,9 479,1 (8,7) (1,8)
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 82,9 104,6 104,6 0,0 0,0
1.639,8 1.842,5 1.849,4 6,95 0,4
Sumber: Nota Keuangan RAPBN-P 2014.
- 15 -
Petroleum Gas (LPG) dan Bahan Bakar Nabati
(BBN) yang mengalami kenaikan dari Rp210,7
triliun menjadi Rp285 triliun (naik 74,3 triliun)
dan subsidi listrik dari semula Rp71,4 triliun
menjadi Rp107,1 triliun (naik 35,7 triliun).
Disamping itu, pemerintah juga
menambahkan rencana utang dari Rp175,4
triliun menjadi Rp251,7 triliun. Atas tekanan
subsidi tersebut, pemerintah melakukan
penghematan anggaran belanja dari dua mata
anggaran, yaitu mata anggaran untuk belanja
K/L yang semula Rp637,8 triliun menjadi
Rp539,32 triliun dan mata anggaran dana
transfer ke daerah yakni porsi untuk dana
perimbangan yang semula sebesar Rp487,9
triliun menjadi Rp479,1 triliun.
Melihat postur RAPBN-P tahun 2014,
ekonom Faisal Basri berpendapat bahwa
RAPBN-P tahun 2014 kehilangan fungsi
stimulus. RAPBN-P menciptakan banyak
variabel yang tidak bisa dikendalikan,
seharusnya pos-pos dalam APBN semakin
tidak bergantung pada asumsi-asumsi yang
sensitif, terutama subsidi BBM.
Direktur Eksekutif Center of Reform
on Economic (CORE) Hendri Saparini
menyatakan, RAPBN-P tahun 2014 sebatas
otak-atik postur anggaran. Namun, di
dalamnya tidak ada perubahan kebijakan
esensial. Pemerintah semestinya mengubah
politik anggaran. Sejauh tidak ada perubahan
politik anggaran, APBN adalah instrumen
yang tak memiliki stimulus berarti terhadap
perekonomian nasional.
Sebelumnya, postur APBN tahun 2014
juga memprihatinkan. Anggaran pembangunan
infrastruktur secara riil anjlok Rp8,8 triliun
dibandingkan pagu tahun 2013. Padahal,
pendapatan negara ditargetkan bertambah
Rp165 triliun dan utang baru direncanakan
Rp175,4 triliun. Anggaran belanja modal adalah
anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
Alokasi dalam APBN-P tahun 2013 adalah
Rp192,6 triliun. Pada APBN-P tahun 2014,
alokasinya turun menjadi Rp184,2 triliun,
artinya anggaran belanja modal turun Rp8,4
triliun.
Kebijakan yang diambil dalam RAPBN-P
tahun 2014, juga dikhawatirkan dapat
menghambat pelaksanaan proyek investasi
Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
tahun 2014 yang diperkirakan mencapai
Rp2.000 triliun dan perwujudan ASEAN
Economy Community 2015 yang salah
satu pilarnya adalah mewujudkan ASEAN
sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi
tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi,
perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur,
perpajakan, dan e-commerse.
Efisiensi Anggaran K/L
Dalam RAPBNP tahun 2014, pemerintah
meIukukun ehsIensI unggurun beIunju sebesur
Rp98,5 triliun dari mata anggaran belanja K/L.
Efesiensi anggaran belanja tersebut sebagai
bentuk tindak lanjut dari Instruksi Presiden
(Inpres) No. 4 tahun 2014 tentang Langkah-
Langkah Penghematan dan Pemotongan
Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Rangka
Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2014.
Dalam Inpres tertanggal 19 Mei 2014 tersebut,
menginstruksikan kepada 86 K/L untuk
meIukukun IndenLIhkusI securu mundIrI (self
blocking) terhadap program/kegiatan di Tahun
Anggaran 2014 seperti belanja honorarium,
perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering,
iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan
kendaraan operasional, belanja bantuan sosial,
sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran
dari kegiatan yang belum terikat kontrak.
Penghematan dan pemotongan tidak
dapat dilakukan terhadap anggaran pendidikan,
anggaran yang bersumber dari pinjaman
dan hibah, dan anggaran yang bersumber
dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan
Layanan Umum. Besaran target efesiensi
anggaran dari 86 K/L adalah Rp100 triliun. K/L
yang mendapatkan nilai pemotongan anggaran
terbesar adalah Kementerian Pekerjaan Umum
(PU) sebesar Rp22,746 triliun dari anggaran
Rp84,148 triliun. Sedangkan yang terkecil
adalah Ombudsman RI sebesar Rp11,536 miliar
dari anggaran Rp66,968 miliar. Sedangkan
DPR mendapatkan pemotongan sebesar Rp864
miliar dari 3,3 triliun.
Adapun K/L yang tidak mengalami
pemotongan anggaran adalah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
yang memiliki anggaran Rp80,661 triliun,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki
anggaran Rp15,410 triliun, dan Badan
Pengawas Pemilu (Banwaslu) dengan anggaran
Rp3,3261 triliun.
Menteri Keuangan Chatib Basri
menyatakan, pengambilan langkah efesiensi
tersebut agar transisi ke pemerintahan baru
berjalan dengan baik. Langkah ini juga harus
diambil untuk menghentikan pembengkakan
subsIdI neguru dun menjugu dehsIL unggurun
berada di level 2,5 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB). Chatib mengharapkan
K/L dapat memotong pos-pos anggaran yang
tidak terlalu penting atau memilah proyek-
proyek yang bisa diundur untuk dilaksanakan
tahun depan.
Menteri Perdagangan Muhammad
uLh menjeIuskun, pengurungun unggurun
di Kementerian Perdagangan (Kemendag)
dilakukan pada mata anggaran yang tidak
menggunggu upuyu pengenduIIun InusI.
- 16 -
Sejumlah mata anggaran yang langsung terkait
dengan distribusi barang dan kontrol harga tak
dikurangi Kemendag.
Penghematan anggaran tersebut juga
sejalan dengan gebrakan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian yang baru dilantik 19
Mei 2014, Chairul Tanjung yang melakukan
efesiensi anggaran melalui penghilangan pos
pembangunan gedung, pengadaan kendaraan
dinas, serta biaya perjalanan dinas yang
tidak mendesak. Pemangkasan anggaran
akan dilakukan terhadap belanja pemerintah
yang tidak mendesak dan tidak memiliki
dampak pada pertumbuhan ekonomi serta
kesejahteraan rakyat. Selain itu, ia juga
mengharapkan agar Menkeu terus melakukan
optimalisasi penerimaan pajak dengan
mengkaji kembali sumber-sumber penerimaan
potensial yang masih dapat diupayakan secara
maksimal.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW
Martowardojo menilai, penghematan anggaran
sejumlah K/L merupakan langkah yang tepat
bagi pemerintah dalam mengatasi besarnya
subsidi energi. Jika subsidi energi tinggi
sedangkan penerimaan negara tidak besar,
akibatnya belanja negara harus dikurangi.
Menurutnya, jika penerimaan negara tidak
bisa diupayakan lagi, maka setidaknya ada tiga
opsi yang bisa dilakukan, yaitu pemotongan
belanja negara, penyesuaian harga BBM, atau
mengurangi jumlah subsidi BBM dan listrik.
BI terus mewaspadai langkah yang
diambil pemerintah tersebut. Realisasi
subsidi BBM bisa lebih dari plafon yang telah
ditetapkan pemerintah dalam RAPBN-P
tahun 2014, dan harapannya pemerintah
dapat mengatasi serta mengelola dengan baik
perkiraan BI ini. Selain itu, BI juga berharap
ke depan neraca perdagangan Indonesia bisa
terus dipertahankan.
Sedangkan, Ekonom Bank Pembangunan
Asia (ADB) Priasto Aji berpendapat, langkah
efesiensi tersebut positif dan dana yang bisa
dIIemuL durI ehsIensI LersebuL bIsu dIuIIIkun ke
sektor lain, semisal infrastruktur, pendidikan,
dan lainnya yang produktif.
Penutup
Dalam rangka mengendalikan dan
mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2014
dun menjugu dehsIL APBN duIum buLus yung
aman, perlu perubahan atas APBN tahun
2014. Sangat disayangkan postur RAPBN-P
tahun 2014 dinilai minim fungsi stimulus
dan tidak ada perubahan kebijakan esensial.
Membengkaknya subsidi energi sebesar
Rp110 triliun merupakan salah satu alasan
APBN tahun 2014 perlu dilakukan perubahan
dengun ehsIensI unggurun 86 KJ sebesur
Rp1oo LrIIIun. SemesLInyu, dunu ehsIensI
tersebut dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur atau belanja produktif yang
akan menjadi stimulus peningkatan ekonomi,
LIduk dIgunukun unLuk subsIdI BBM. EhsensI
anggaran belanja K/L tersebut tidak dapat
dIjudIkun soIusI jungku punjung bugI dehsIL
APBN.
Pengajuan RAPBN-P tahun 2014
kembali mengindikasikan kurang matangnya
perencanaan anggaran nasional sehingga perlu
melakukan perubahan anggaran sebelum
pelaksanaan APBN tahun 2014 semester I
seIesuI dIIuksunukun. DIsumpIng ILu, ehsIensI
anggaran terhadap seluruh K/L terutama
K/L yang memiliki tugas untuk membangun
infrastruktur dan mendorong pertumbuhan
ekonomi masyarakat dikhawatirkan dapat
mengganggu percepatan pembangunan
nusIonuI. SemenLuru ILu, IusII ehsIensI
anggaran ini akan dialokasikan untuk
menutupi subsidi BBM yang membengkak
bukan dialokasikan untuk belanja modal untuk
pembangunan.
Oleh karenanya, DPR bersama
pemerintah perlu membahas lebih lanjut
kebijakan-kebijakan dalam mengatasi
permasalahan tersebut. Beberapa alternatif
solusi yang telah banyak disuarakan terkait
besarnya beban subsidi BBM terhadap APBN
antara lain penggunaan energi alternatif,
kebijakan larangan penjualan BBM subsidi
ukIIr pekun, kebIjukun dIsInsenLII hskuI bugI
produsen, atau kebijakan penaikan harga BBM.
Referensi
1. Anggaran K/L Dipotong, Republika, 21 Mei
2014.
2. Gebrakan Ekonomi CT Dinilai Positif,
Republika, 21 Mei 2014.
3. APBN-P 2014: Anggaran untuk Hajat Hidup
Orang Banyak Tidak Dipangkas, Kompas, 22 Mei
2014.
4. Anggaran Nonstimulus: RAPBN-P 2014 Tanpa
Perubahan Kebijakan Esensial, Kompas, 23 Mei
2014.
5. Penaikan Harga Tetap Terefektif, Media
Indonesia, 23 Mei 2014.
6. Nota Keuangan dan RAPBNP 2014, http://
www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-
view.asp?id=980, diakses 23 Mei 2014.
7. BI Nilai Tepat Penghematan Anggaran di
RAPBNP 2014, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt538037450c56f/bi-nilai-tepat-
penghematan-anggaran-di-rapbnp-2014, diakses
23 Mei 2014.
8. Menuju ASEAN Economic Community 2015,
http://ditjenkpi. kemendag. go. id/website_
kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20
ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%20
2015.pdf, diakses 26 Mei 2014.
9. Investasi MP3EI 2014 Capai Rp 2.000 Triliun,
BPN Siap Lakukan Terobosan, http://www.
setkab. go. id/mp3ei-8557-investasi-mp3ei-
2014-capai-rp-2000-triliun-bpn-siap-lakukan-
terobosan.html, diakses 26 Mei 2014.
- 17 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KEBERPIHAKAN TELEVISI
PADA PEMILU PRESIDEN 2014
Handrini Ardiyanti*)
Abstrak
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat stasiun televisi milik petinggi partai
politik menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon-calon presiden tertentu.
Televisi memiliki kekuatan konstruksi sosial yang lebih besar dari media lainnya.
Karenanya jurnalistik televisi terkait berita pemilu presiden termasuk didalamnya
memasukan regulasi terkait dengan pengawasan kegiatan jurnalistik televisi termasuk
didalamnya pengaturan tentang pemberian peringatan dan saksi perlu diatur lebih
ketat lagi baik dalam undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu
maupun dalam UU Penyiaran. Selain itu Komisi I DPR RI perlu mengagas pentingnya
mengembalikan peran media sebagai pengawas atau watchdog dalam proses
kehidupan bernegara dalam pembahasan RUU Penyiaran.
Pendahuluan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
mencatat stasiun televisi milik petinggi partai
politik menunjukkan keberpihakan kepada
pasangan calon-calon presiden (capres)
tertentu. Data KPI, sebagaimana dilansir Koran
Tempo pada berita utamanya Senin, 26 Mei
2014 menyebutkan Metro TV menayangkan
berita soal Jokowi sebanyak 62 kali pada 6-15
Mei. Pada periode yang sama iklan kampanye
di Metro TV mencapai 96 kali. Bahkan usai
deklarasi pemberitaan soal Jokowi di Metro
TV bisa mencapai 15 kali tiap hari. Hal tersebut
melanggar aturan maksimal 10 kali setiap hari
dengan durasi masing-masing paling lama 30
detik. Sebaliknya, pemberitaan soal Prabowo di
Metro TV hanya 22 kali dan penayangan iklan
kampanye Prabowo di Metro TV nihil.
Di sisi lain, TV One juga memperlihatkan
keberpihakannya dengan menyiarkan secara
langsung deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa
dari Taman Makan Pahlawan Kalibata pada
Senin, 19 Mei lalu. Sementara pemberitaan
Jokowi, TV One sebagaimana diungkap
koordinator divisi penelitian Remotivi
Muhammad Heychael Jokowi merupakan
tokoh politik dengan berita negatif terbanyak
di TV One, yaitu 30.7 persen.
Tabel 1. Dukungan Media Televisi pada
Pemilu 2014
Pasangan Dukungan Media Televisi
Jokowi-Jusuf Kalla Metro TV
Prabowo-Hatta MNC Group (MNV TV,
RCTI, Global TV, Sindo TV)
Diolah dari berita Koran Tempo Senin, 26 Mei 2014
Keberpihakan televisi tersebut
*) Peneliti Muda Komunikasi/ Opini Publik pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: : handrini@gmail.com dan handrini.ardiyanti@dpr.go.id
- 18 -
disebabkan karena adanya kesadaran bahwa
televisi memiliki kemampuan yang sangat
besar sekali untuk membentuk opini publik,
sehingga dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk membentuk citra positif pasangan
capres dan cawapres guna mendapatkan suara
para pemilih.
Keberpihakan di Jurnalistik Televisi
Jurnalistik televisi adalah kegiatan
komunikasi yang dilakukan dengan cara
menyiarkan berita ataupun ulasan berita
tentang berbagai peristiwa atau kejadian
sehari-hari yang aktual dan faktual dalam
waktu yang secepat-cepatnya terkait dengan
capres dan cawapres pada pemilu 2014.
Dalam dunia penyiaran, jurnalistik
televisi merupakan salah satu bagian dari
suatu struktur besar manajemen penyiaran
yang ada di stasiun televisi tersebut. Karena itu
kerja jurnalistik televisi tidak bisa melepaskan
diri dari sembilan kelompok yang saling
berinteraksi, yaitu: investor/pemilik stasiun
televisi, holding company, perusahaan televisi,
departemen berita, budaya organisasi, jurnalis
atau wartawan, khalayak umum, sumber berita,
dan pemasang iklan
Kekuatan konstruksi sosial media televisi
sebagaimana dipaparkan Burhan Bungin,
Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi
Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks
di Media Massa terletak pada : (1) kekuatan
media massa untuk menyuntik jarum
pemberitaan ke dalam pikiran masyarakat,
sehingga objek pemberitaan menjadi sesuatu
yang selamanya benar melalui proses
pembenaran virtual yang dilakukan oleh
media televisi; (2) sifat pemberitaan media
televisi yang tiba-tiba (suddenly) dan diulang-
ulang (repetition) merupakan metode yang
cepat untuk mengkonstruksikan masyarakat
sesuai dengan kekuatan media massa
itu sendiri; (3)karakter masyarakat yang
kurang kritis terhadap pemberitaan media
televisi, menjadikan apa saja yang dikatakan
media sebagai ikon pembenaran publik, (4)
mitos media televisi sebagai ikon publik
mereeksIkun objek pemberILuun (LeruLumu)
objek pemberitaan positif atau semalin baik
bahkan tak jarang mampu mengkontruksikan
objek pemberitaan menjadi tokoh dalam
waktu singkat, demikian juga sebaliknya.
Pengaturan dari pemberitaan di
televisi terkait dengan aktivitas pemilu perlu
mencakup sembilan elemen penting yang
wajib diatur dalam jurnalisme sebagaimana
dijelaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
pada bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme,
yaitu (1) kewajiban pertama jurnalisme
adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama
jurnalisme adalah kepada masyarakat;
(3) intisari dari jurnalisme adalah disiplin
verIhkusI; (q) prukLIsI jurnuIIsme Iurus
menjaga independensi terhadap sumber
berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau
kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan
forum kritik maupun dukungan masyarakat;
(7) jurnalisme harus berupaya keras untuk
membuat hal yang penting menarik dan
relevan; (8) jurnalisme harus menyiarkan
berita komprehensif dan proporsional; dan
(9) praktisi jurnalisme harus diperbolehkan
mengikuti nurani mereka.
Keberpihakan televisi dalam melakukan
kegiatan jurnalistiknya terkait pemberitaan
pemilu presiden 2014 belum beranjak dari
keberpihakan yang dilakukan pada pemilu
sebelumnya. Menurut Masduki dalam
Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media
dalam Pemilu 2004 menjelaskan, pelaksanaan
pemilihan umum yang bertepatan dengan
era komersialisasi media (age of media
commercialism) memperlihatkan berlakunya
teori ekonomi pasar dalam jurnalistik (market
theory of journalism). Peristiwa atau isu sosial
dan politik dapat atau layak diproduksi menjadi
berita hanya apabila (1) tidak menganggu calon
investor atau sponsor yang memasang iklan di
media, (2)memenuhi biaya peliputan minimal
yang bisa dikeluarkannya, (3) memenuhi
harapan mayoritas khalayak yang menjadi
sasaran pemasang iklan ketika membayar iklan
ke media (Macmanus, 1994). Karenanya dalam
pembahasan RUU Penyiaran, Komisi I DPR RI
perlu menekankan pentingnya mengembalikan
peran media sebagai pengawas atau watchdog
dalam proses kehidupan bernegara.
Regulasi Jurnalistik Televisi terkait
Pemberitaan Pemilu Presiden
KPI telah menetapkan sejumlah regulasi
untuk kegiatan jurnalistik televisi dalam
melakukan aktivitas pemberitaannya terkait
pelaksanaan pemilu presiden 2014. Regulasi
tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan
Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/
KPI/03/2012 Tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran pada Bab XXIX tentang Siaran
Pemilihan Umum Dan Pemilihan Umum
Kepala Daerah pasal 50 menyebutkan
diantaranya bahwa lembaga penyiaran wajib
menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan
Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum
Kepala Daerah, lembaga penyiaran wajib
bersikap adil dan proporsional terhadap para
peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan
Umum Kepala Daerah, lembaga penyiaran
- 19 -
tidak boleh bersikap partisan terhadap salah
satu peserta Pemilihan Umum dan/atau
Pemilihan Umum Kepala Daerah. Selain itu
pada Bab yang mengatur tentang Prinsip-
Prinsip Jurnalistik pada Pasal 22 dengan jelas
ditegaskan bahwa:
(1) Lembaga penyiaran wajib menjalankan dan
menjunjung tinggi idealisme jurnalistik
yang menyajikan informasi untuk
kepentingan publik dan pemberdayaan
masyarakat, membangun dan menegakkan
demokrasi, mencari kebenaran, melakukan
koreksi dan kontrol sosial, dan bersikap
independen.
(2) Lembaga penyiaran wajib menjunjung
tinggi prinsip-prinsip jurnalistik, antara
lain: akurat, berimbang, adil, tidak
beritikad buruk, tidak menghasut dan
menyesatkan, tidak mencampuradukkan
fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan
unsur sadistis, tidak mempertentangkan
suku, agama, ras dan antargolongan, serta
LIduk membuuL berILu boIong, hLnuI, dun
cabul.
(3) Lembaga penyiaran dalam melaksanakan
kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
(4) Lembaga penyiaran wajib menerapkan
prinsip praduga tak bersalah dalam
peliputan dan/atau menyiarkan program
siaran jurnalistik.
(5) Lembaga penyiaran wajib menjaga
independensi dalam proses produksi
program siaran jurnalistik untuk tidak
dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun
internal termasuk pemodal atau pemilik
lembaga penyiaran.

Terkait dengan regulasi kegiatan
jurnalistik televisi dalam pemberitaan pemilu
presiden 2014, lebih lanjut pada Keputusan KPI
No.45Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksaan
Terkait denga Perlindungan Kepentingan
Publik, Siaran Jurnalistik, Iklan dan Pemilihan
Umum, pada pasal 5 ayat (2) menyebutkan
bahwa program siaran jurnalistik yang
melibatkan pemilik dan/atau kelompoknya
harus memperhatikan prinsip adil, berimbang,
tidak berpihak, tidak beritikad buruk dan
berpedoman pada kode etik jurnalistik.
Dalam hal pengaturan tentang netralitas
isi program siaran jurnalistik, pada pasal 6
ditegaskan bahwa isi siaran jurnalistik dinilai
berlaku adil antara lain apabila memberikan
kesempatan yang sama secara proporsional
kepada semua pihak yang menjadi obyek
pemberitaan, memberikan ruang atau waktu
pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
Pada Pasal 47 UU No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden ditegaskan pemberitaan, penyiaran,
dan iklan Kampanye dapat dilakukan melalui
media massa cetak dan lembaga penyiaran
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dalam pasal 49 ditegaskan bahwa
media massa cetak dan lembaga penyiaran yang
menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan
Kampanye harus berlaku adil dan berimbang
kepada seluruh Pasangan Calon.
Melihat berbagai regulasi terkait dengan
pemberitaan pemilu dapat disimpulkan bahwa
di atas kertas, regulasi yang diatur sudah sangat
memadai. Namun dalam prakteknya, regulasi
yang telah diatur ideal tersebut tidak mampu
memberikan efek perlindungan apapun kepada
masyarakat dari terpaan pemberitaan yang tidak
berkesesuaian dengan kaidah-kaidah yang telah
diatur oleh peraturan perundangan.
Namun kenyataannya, menjaga
objektivitas dan netralitas dalam melakukan
pemberitaan bagi televisi tidaklah mudah.
Hal tersebut antara lain disebabkan karena
kurang kuatnya posisi tawar yang dimiliki KPI
sehingga peringatan dan sanksi yang diberikan
KPI seolah hanya sebagai gigitan semut kecil
bagi industri televisi yang jauh lebih memiliki
kekuatan politis bila dibanding dengan KPI
sebagai regulator body.
Penyebab lainnya adalah posisi Dewan
Pers dalam memberikan peringatan maupun
sanksi terhadap kegiatan jurnalistik yang
dilakukan oleh stasiun televisi seolah masih
diperdebatkan kewenangannya dalam
mengawasi kegiatan pemberitaan yang
dilakukan dalam dunia penyiaran. Padahal salah
satu organisasi yang berhimpun dalam Dewan
Pers, yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI), telah mewakili dari keberadaan insan
pers dari stasiun televisi. Jika memang terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip jurnalistik yang
dilakukan televisi maka KPI ataukah Dewan
Pers yang berwenang untuk memberikan
peringatan dan sanksi masih diperdebatkan
sejumlah kalangan.
Hal tersebut disebabkan karena kurang
jelasnya pengaturan terkait dengan pengawasan
kegiatan jurnalistik dalam penyiaran termasuk
didalamnya regulasi pemberian peringatan
dan sanksi dalam UU Penyiaran. Karenanya
perlu diatur secara khusus terkait pelaksanaan,
pengawasan, pemberian peringatan dan sanksi
terkait pelaksanaan kegiatan jurnalistik yang
dilakukan oleh industri penyiaran.
Padahal sebagai sebuah instrumen,
televisi bukanlah sebuah instrumen yang netral
- 20 -
dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan
dari berbagai kelompok akan mendapatkan
perlakuan yang sama dan seimbang.
Televisi justru dapat konstruksikan realitas
berdusurkun penuIsIrun dun dehnIsInyu sendIrI
untuk disebarkan kepada masyarakat.
Sementara di sisi lain, dalam proses
memproduksi isi, televisi tak pernah terlepas
dari tekanan beragam kepentingan mulai
dari kepentingan dari jurnalis, kepentingan
pengiklan hingga kepentingan pemilik modal.
Berita yang keluar dari redaksi merupakan titik
keseimbangan dari berbagai kepentingan yang
terakomodir dalam ruang redaksi. Akibatnya
bias dalam pemberitaan dapat terjadi. Bias
berita kerap terjadi pada masa kampanye.
Mulai dari tataran yang terendah, distorsi
informasi hingga dramatisasi fakta. Mulai dari
framing berita hingga pada propaganda politik.
Suyungnyu dengun beruhIIusInyu puru pemIIIk
televisi kepada partai politik tertentu telah
menjadikan televisi yang diharapkan mampu
menjadi wacthdog dalam pertarungan pilpres
justru terjebak menjadi bagian dari politik
kekuatan tertentu.
Penutup
Di negara demokratis manapun,
televisi senantiasa diatur oleh hukum lebih
ketat daripada media lainnya karena televisi
memiliki kekuatan konstruksi sosial yang lebih
besar dari media lainnya. Karenanya kegiatan
jurnalistik atau pemberitaan di televisi perlu
diatur lebih ketat lagi baik dalam undang-
undang yang mengatur tentang pelaksanaan
pemilu maupun dalam undang-undang yang
mengatur tentang televisi sebagai salah satu
kegiatan penyiaran.
Proses kerja profesional juga memiliki
landasan ideologis dan etis. Karena itu dalam
melakukan kegiatan jurnalistiknya, stasiun
televisi tetap harus berdasarkan landasan nilai-
nilai tersendiri yang menenyukan bagaimana
berita itu diliput dan ditayangkan. Jurnalistik
televisi juga memiliki prinsip profesionalisme
dan aturan kerja tersendiri khususnya tentang
apa tidak boleh, apa yang dilarang dan apa
yang tidak boleh dilakukan dalam kegiatan
jurnalistiknya. Kebebasan wartawan dalam
meliput dan menayangan sebuah peristiwa
sesungguhya dibatasi oleh berbagai aturan dan
konsep tentang profesionalisme dan prinsip-
prinsip etis dari jurnalistik diantara kode etik
jurnalistik. Untuk itu perlu diberikan sanksi
yang lebih tegas dari pelanggaran berupa
keberpihakan jurnalistik yang dilakukan
stasiun televisi.
Kekuatan televisi dalam melakukan
kontruksi sosial telah mendorong para
pasangan calon, khususnya tim sukses selalu
berusaha memanfaatkan televisi semaksimal
mungkin untuk mendapatkan suara pemilih.
Kondisi tersebut telah mengeser eksistensi
media sebagai watchdog atau pengawas
dalam pelaksanaan pemilu. Untuk itu Komisi
I DPR RI perlu memberikan dorongan
kepada KPI agar bertindak lebih tegas dalam
memberikan peringatan maupun sanksi
kepada stasiun televisi yang melanggar
berbagai regulasi yang telah ditetapkan KPI.
Selain itu Komisi I DPR RI perlu terus
mendorong arti penting penguatan KPI
sebagai regulator body penyiaran dalam
RUU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR,
mengatur secara khusus terkait pelaksanaan,
pengawasan, pemberian peringatan
dan sanksi terkait pelaksanaan kegiatan
jurnalistik yang dilakukan oleh industri
penyiaran serta mengagas pentingnya
mengembalikan peran media sebagai
pengawas atau watchdog dalam proses
kehidupan bernegara.
Referensi
1. Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan
Elemen Jurnalisme, New York : Crown
Publisher, 2001.
2. Burhan Bungin, Pornomedia, Sosiologi
Media, Kontsruksi Sosial Teknologi
Telematika dan Perayaan Seks di Media
Massa, Jakarta : Prenada Media, 2005
3. Prabowo-Jokowi, Perang Lewat Televisi,
Koran Tempo, 26 Mei 2014.
4. Masduki, "Jurnalisme Politik:
Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004",
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Volume 8, Nomor 1, Juli 2004
5. "Aburizal Bakrie Banyak Diberitakan
Positif di TV One", republika.co.id/berita/
nasi onal /pol i ti k/14/04/07/n3maer-
aburizal-bakrie-banyak-diberitakan-
positif-di-tv-one, diakses tanggal 26 Mei
2014.
6. "KPI, Dewan Pers, dan Penyelamatan
Jurnalisme", http://www.tempo.co/read/
kolom/2010/08/05/219/KPI-Dewan-
Pers-dan-Penyelamatan-Jurnalisme ,
diakses tanggal 26 Mei 2014.

Anda mungkin juga menyukai