Anda di halaman 1dari 47

1

REFERAT

STRESS, PTSD AND DEMENTIA
SPIRITUALLY AND RELIGIOUSLY INTEGRATED GROUP
PSYCHOTHERAPY: A SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW



Oleh:
Handayani Putri C G99122055
Calista Giovani G99122027
Devina Noviani Pramono G99122031
Ichsanul Amy Himawan G99122059
Della Kusumaning P G99122030

Diena Ashlihati G99122035
Anisa Febrina Damastuti G99122015
M. Abdul Basith G99122068
Syamsudduha G99122006
Qonita Sakinatul Janani G99122097
Pembimbing:
I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
dengan judul: Stress, Ptsd And Dementia dan Spiritually And Religiously
Integrated Group Psychotherapy: A Systematic Literature Review. Penulis
menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra, MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr., M.Si
13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. RH. Budhi M, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini I. dr., Sp.KJ
16. Adriesti H, dr., Sp.KJ
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ
3

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.

4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................4
STRES, PTSD DAN DEMENSIA
Abstrak.......................................................................................................... 5
Pengantar..................................................................................................... 6
Kajian Studi Epidemiologi ............................................................................ 7
Penyalahgunaan Zat............................................................................ 16
Stress, PTSD, dan Demensia secara biologis ............................................. 16
Kesimpulan ............................................................... 24
LampiranJurnal
Spiritually and Religiously Integrated Group Psychotherapy: A Systematic
Literature Review
Pendahuluan.................................................................................................. 26
Perspektif Teori............................................................ 28
Tujuan.......................................32
Metode............................................................................ 32
Temuan ....................................................... 34
Diskusi ........................................................ 43
Kesimpulan......................................................................... 45
LampiranJurnal
5

STRES, PTSD DAN DEMENSIA
Mark S. Greenberg*, Kaloyan Tanev, Marie-France Marin, Roger K. Pitman
Department of Psychiatry, Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School,
Boston, MA, USA
Abstrak
Efek stres akut dan kronik pada berbagai sistem organ telah lama
didokumentasikan semenjak adanya penelitian yang dilakukan oleh seorang pioner
dalam bidang psikiatri yaitu Hans Seyle lebih dari 70 tahun yang lalu. Kemudian dari
situ mulai banyak dikembangkan studi untuk melihat hubungan antara paparan stres
dalam kehidupan sehari-hari dengan berkembangnya gangguan disfungsi kognitif
pada usia lanjut. Beberapa penemuan mengenai kemungkinan jalur neurohormonal
dan mekanisme genetik telah terbukti mendukung studi tersebut. Meskipun demikian,
masih banyak permasalahan logistik dan metodologi yang harus diatasi untuk dapat
menetapkan hubungan antara keduanya. Melalui studi ini, peneliti ingin mengkaji
berbagai studi terkini mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan akibat paparan
stres jangka panjang dalam kehidupan sehari-hari dan juga kejadian traumatik yang
dapat menimbulkan munculnya suatu posttraumatic stress disorder. Telah dilakukan
pengamatan mengenai peran suatu stresor secara umum dan secara khusus pada
posttraumatic stress disorder termasuk perannya didalam proses penuaan, penyakit
Alzheimer dan demensia vaskular. Meskipun demikian penelitian-penelitian
mengenai hal ini masih sedikit jumlahnya dan efek-efek yang dikaji masi terlalu
sederhana dan tidak bisa diaplikasikan secara umum karena sampel yang digunakan
pun masih terbatas. Oleh sebab itu masih diperlukan studi-studi lain untuk
menetepakan hubungan antara stres dan demensia, penyebabnya, pengembangan
penanda antemortem yang valid dan pola faktor resiko pada tingkat individu.



6

1. Pengantar
Studi mengenai akibat fisiologis dari stress akut dan kronis pada berbagai
organ telah dilakukan lebih dari 70 tahun yang lalu oleh Hans, Seyle, yang
menggunakan istilah " stres" dari bidang fisika dan mengaplikasikannya pada bidang
fisiologi. Semenjak itu, telah banyak dilakukan penelitian yang mengupas mengenai
hubungan antara sistem saraf pusat dan autonom, sistem endokrin dan sistem
imunitas. Penelitian- penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara tubuh
dan pikiran apakah dapat mempengaruhi baik secara patologis maupun memberikan
efek terapi pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gangguan mental , demikian
halnya dengan pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan pada organ tubuh
pada sistem saraf. Telah dilakukan penelitian lain yang lebih baru, dengan fokus pada
kemungkinan jangka panjang efek neurotoksik dari hidup dengan tingkat paparan
stress yang tinggi.
Akibat potensial dari stress pada perkembangan dari demensia dan berbagai
bentuk lain dari disfungsi kognitif dapat ditinjau dari segi individu, stresor dan respon
stres. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda mengenai cara menghadapi
stresor. Faktor yang mempengaruhi ketahanan seseorang terhadap stres yaitu daya
kognitif, tahap perkembangan seseorang, penggunaan zat-zat tertentu, kesehatan
mental dan fisik dan ada tidaknya dukungan sosial dan juga gen-gen tertentu yang
dimiliki seseorang seperti alel apoe 4 dan juga pola sekresi kortisol. Stesor dapat
dikategorikan dalam berbagai dimensi, termasuk dari intensitas, durasi, dan tipenya.
Beberapa contoh dari stresor antara lain penyakit, kematian dari anggota keluarga,
perpisahan, relokasi pekerjaan. Beragamnya respen seseorang dalam menghadapi
stresor dipengaruhi oleh penilaian sesorang terhadap suatu masalah, kemampuan
kontrol diri dan kecenderungan berkembangnya suatu psikopatalogi.
Pada tahun 1980 , pemahaman mengenai efek psikopatologi pada kejadian
traumatik dalam hidup seperti misalnya peperangan dan pelecehan seksual
menghasilkan suatu cara diagnosis baru dalam nomenklatur psikiatri yaitu post
tarumatic disorder atau PTSD. Meskipun kondisi psikiatri ini masih menggunakan
7

istilah "stres", melalui penelitian bertahun tahun yang dilakukan oleh Yehuda telah
menghasilkan suatu permasalahan yaitu apakah PTSD merupakan memang
merupakan suatu gangguan stress . Keraguan ini disebabkan karena pola hormonal
dalam suatu PTSD tidak mrngikuti model stress Selye, yang menekankan adanya
suatu hipereaktivitas dari axis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan produksi berlebih
dari hormon stres glukokortikoid yaitu kortisol. Penemuan ini memicu adadnya
berbagai penelitian lain mengenai efek negatif dari stres dan kortisol pada sistem
saraf.
Dalam review ini, peneliti membahas dan menyimpulkan dari dua skenario
yang berbeda mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan paparan stres jangka
panjang berdasarkan literatur-literatur yang ada. Tahap pertama, peneliti menilai
kemungkinan peran dari penambahan secara kumulatif stresor dari kehidupan sehari-
hari pada disfungsi kognitif seiring bertambahnya usia. Peneliti menyimpulkan bahwa
stres berperan dalam timbulnya suatu disfungsi kognitif. Peneliti kemudian mengkaji
penelitian-penelitian lain mengenai hubungan antara PTSD dengan Alzheimer yang
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya.
Peneliti kenudian mengkaji dasar neurofisiologi dari stress antara lain sistem
hormonal, neuroimaging, neuroimunologik dan neuro patologis. Kemudian peneliti
juga mengkaji lebih lanjut mengenai pentingnya studi dalam segi ilmiah dan bidang
kesehatan.
2. Kajian Studi Epidemiologi
2.1 Stres kronis dan demensia
Studi cross-sectional yang membandingkan dan membahas subyek yang
dijadikan sampel dipandang lebih memungkinkan untuk dilakukan , tetapi pendekatan
ini tidak dapat digunakan untuk pengukuran yang berkelanjutan. Studi longitudinal
jangka panjang memiliki keterbatasan akan pemilihan carapengukuran. Banyak studi
gagal melakukan analisa jaringan otak postmortem, padahal hal ini merupakan gold
standar diagnosis dari demensia terutama alzheimer. Wilson melakukan studi kohort
pada lebih dari 800 suster katolik dan pendeta yang berusia rata-rata 75 tahun dengan
8

menggunakan model studi longitudinal, dengan kisaran lama penilaian fungsi kognitif
selama 5 tahun. Peneliti berfokus pada subjek yang memiliki kecenderungan sifat
neurotik terutama kerentanan subjek terhadap stres yang dinilai menggunakan
Neuroticism-Extroversion-Openness (NEO) Five-Factor Inventory yaitu suatu tes
penilaian fungsi neurokognitif. Subjek yang didalam penialian berada di ambang
neurotik ( yang biasanya memiliki tingkat stres yang tinggi) memiliki faktor resiko
dua kali lipat untuk terkena alzheimer. Selain itu terjadi penurunan memori sebanyak
10 kali lipat pada subjek yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Namun, hal ini
tidak berlaku pada memori kerja, memori semantik, kecepatan berpikir, kemampuan
visuospasial atau kemampuan kognitif secara umum. Lebih lanjut, melalui hasil
otopsi, ditemukan bahwa kerentanan seseorang terhadap stres tidak memiliki
hubungan dengan neuropatologi alzeimer. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai
hasil temuan ini, mengapa hanya ada kemampuan kognitif tertentu yang terkena
efeknya.
Wilson kemudian meneliti, 650 subjek yang rata-rata berusia 80 tahun yang
telah diskrening dengan menggunakan NEO Five-Factor Inventory dan juga telah
dilakukan tes kognitif battery serta pemeriksaan kesehatan. Studi kohort ini dilakukan
selama 3 tahun. Terdapat 55 subjek terdiagnosis dengan alzeimer. Lebih jauh lagi,
peningkatan stres memiliki korelasi dengan penurunan kognitif secara cepat.
Meskipun demikian, saat dilakukan otopsi kembali ditemukan bahwa stres tidak
memiliki hubungan denga nuropatologi terjadinya alzeimer. Pada akhirnya hubungan
antara stres dengan diagnosis demensia tetaplah ada bahkan setelah dilakukan
pengendalian depresi, tingkat aktivitas sosial dan fisik dan gejala kognitif.
Berdasarkan hal inilah kemudian para peneliti menympulkan bahwa stres psikologi
berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif, tapi tidak spesifik pada alzeimer.
Peavy melakukan studi longitudianl selama 3 tahun pada 52 individu yang
baik mengalami gangguan kognitif maupun yang tidak. Subjek yang telah terdiagnosa
dengan demensia dieksklusikan dalam studi ini. Tingkat stres dinilai selama 6 bulan
dengan menggunakan 12 kategori. Dikatakan stres tingkat tinggi bila subjek
9

mengalami satu peristiwa dengan intensitas stres yang tinggi yang dinyatakan oleh
peneliti dalam jangka waktu 6 bulan tersebut. Subjek juga menjalani penilaian
neurologis dan neuropsikologis, termasuk Mattis Dementia Ratting Scale dilakukan
pada setiap individu dengan perubahan kognitif sebagai variabel terikatnya. Usia,
tingkat pendidikan, jenis kelamin dan status mood tidak dimasukkan sebagai variabel
dalam studi ini. Diantara subjek penelitian yang mengalami gangguan kognitif ringan,
tingkat stres yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan penurunan fungsi kognitif
yang dinilai dengan menggunakan skala demensia mattis ( Mattis Dementia Rating
Scale) tetapi hal ini tidak berlaku untuk fungsi memori yang lain. Berlawanan
dengan hal ini, tingkat sters yang tinggi pada individu normal tidak berkaitan dengan
terjanidnya penurunan fungsi kognitif. Studi ini dilakukan dengan fokus pada efek
sinergis antara tingkat stress yang tinggi dan terjadinya penurunan fungsi kognitif dan
menggarisbawahi pentingnya dilakukan tes secara mendasar untuk mencegah
terjadfinya bias. Sangat dimungkinkan bahwa pengukuran selama 3 tahun belumlah
cukup untuk melihat suatu stres bermanifestasi pada subjek. Model studi ini tidak
mengeksklusikan kemampuan koping suatu individu dan terjadinya penurunan fungsi
kognitif pada kelompok yang pengalami gangguan fungsi kognitif ringan sangat
berkaitan dengan stresor yang dialami masing-masing subjek. Sebagai contoh,
peningkatan penururan fungsi kognitif secara hipotesa dapat memicu terjadinya
gangguan finansial yang dapat dikategorikan sebagai stres berat.
Johansson melakukan penelitian pada 1462 wanita yang berasal dari
Swedia pada studi longitudinal jangka panjang yaitu selama 35 tahun. Tingkat stres
dinilai dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dikategorikan
menjadi tidak stres apabila skor yang didapat sebesar 0 dan stres berkepanjangan
apabiala total skor sebesar 5. Diagnosa demensia ditegakkan melalui anamnesa,
pemeriksaan klinis, review dari rekam medis dan pengukuran neuropsikologis yang
kemudian dilakukan follow up pada 7, 13, 25 dan 35 tahun setelahnya. Selama
pengukuran, 11% dari total sampel terdiagnosa dengan demensia. Hubungan antara
stres psikologis dan insidensi berbagai jenis demensia dianalisa dengan menggunakan
10

model regresi Cox dengan variabel perancu antara lain faktor demografis, perilaku
dan berbagai faktor resiko lain seperti rasio lingkar panggul. Terdapat peningkatan
resiko terjadinya demensis seperti yang terlihat pada data penelitian dengan Hazzard
Ratio (HR) sebesar 1,6. Subjek yang mengalami stres berkepanjangan pada 2 dari 3
penilaian awal memiliki pengikatan resiko untuk terkena alzeimer dibandingan
dengan kelompok yang tidak mengalami periode stres. Subjek yang mengalami stres
berkepanjangan baika pada penilaian pertama, kedua maupun ketiga mengalami
peningkatan resiko terkane demensia (HR= 1.1, 1.7 dan 2.7). Peneliti kemudian
menyimpulkan bahwa terdapaat asosiasi antara stres psikologis pada wanita tengah
baya dan kecenderungan untuk berkembangnya demensia dan alzeimer secara
khusus. Peniliti menekankan bahwa karena perubahan otak pada individu yang
mengidap alzeimer telah terjadi sebelum munculnya tanda dan gejala, maka sangatlah
mungkin bahwa demensia dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap stres
dibandingkan dengan sebaliknya. Hasil ini dabat digeneralisasikan secara umun
dengan mengeksklusikan pasien laki-laki.
Johansson kemudian melakukan penelitian kohort pada 684 subjek untuk
dilakukan CT scan otak. Dari 684 partisipan ini, 344 diantaranya memiliki riwayat
stres psikologis pada tahun 1968. Setelah itu seorang neurologis menilai hasil CT
scan secara visual dan mengfkategorikan hasilnya sebagai ringan, sedang, berat untuk
lesi pada substansia alba, atrofi regio korteks dan ukuran ventrikel. Wanita yang
dilaporkan mengalami stres selama 5 tahun sebelum dilakukan pengukuran pada
tahun 1968, 1974 dan 1980 cenderung memiliki lesi sedang-berat pada substansia
alba bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami stres dengan odds rasio
(OR) sebesar 2.4 demikian halnya dengan terjadinya atrofi lobus temporalis dengan
OR sebesar 2.5. Peneliti menyimpulkan bahwa paparan stres psikologis jangka
panjanng pada usia paruh baya akan meningkatkan resiko terjadinya atrofi serebral
dan substansia alba di usia lanjut. Namun peneliti menekankan bahwa hubungan
antara peningkatan stres dan perubahan otak tidak dapat begitu saja ditentukan
11

saecara pasti. Sebagai contoh, wanita dengan kecenderungan mengalami perubahan
otak secara biologis akan juga mudah mengalami stres.
Comijs melakukan penelitian dengan menggunakan 1936 sampel individu
dari Belanda yang berasal dari kelompok Longitudinal Aging Study Amsterdam
dalma jangka waktu 3 tahun. Studi ini menggunakan tes kognitif The Folstein Mini-
Mental State Examination (MMSE). Tes ini merupakan versi Belanda dari tes Rey
Auditory Verbal Learning dan The Alphabet Coding Test-15, Akumulasi paparan
stres selama 3 tahun pengukuran semuanya dinilai melalui wawancara terstruktur.
Akumulasi paparan stres tidak dikaitkan dengan kualitas pengukuran keampuan
kognitif yang dilakukan dalam studi ini. Subjek yang memiliki skor inisial rendah
pada MMSE memiliki performa yang lebih baik dalam menghadapi peningkatan
paparan stresor yang dihadapi. Dalam penilaian macam-macam stresor secara
spesifik, ditemukan hasil yang kontradiktif bahwa stresor-stresor tertentu ( misalnya
kematian dari anak atau cucu) berkaitan dengan penurunan skor MMSE sedangkan
stresor lainnya sebagai contoh sakitnya pasangan hidup memiliki kaitan dengan
penurunan skor MMSE yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak
mengalami stesor tersebut. Terdapat hasil kontradiktif lainnya sebagai contoh pada
subjek yang mengalami konflik interpersonal biasanya memiliki perbaikan skor yang
terlihat pada saat follow up. Oleh sebab itu studi ini menghasilkan kesulitan didalam
menetapkan efek yang pasti dari stres sesuai dengan kondisi diatas.
Andel melakukan studi mengenai hubungan antara stres yang berkaitan
dengan pekerjaan dalam hubungannya dengan resiko demensia. Studi ini
menggunakan sampel 10.106 individu yang berasal dari Swedia yang merupakan
kembar baik mono maupun dizygot. Stres yang dikaitkan dengan pekerjaan dinilai
dengan menggunakan pendekatan Karasek-Theorell, yaitu merupakan prosedur
tervalidasi yang menilai secara psikologis seberapa menuntutnya setiap pekerjaan dan
seberapa banyak kontrol yang dimiliki suatu pekerja atas pekerjaannya. Variabel
tekanan pekerjaan berasal dari rasio tuntutan pekerjaan dengan kontrol pekerjaan.
Permasalahan kognitif dinilai melalui skrining via telepon dan wawancara secara
12

langsung menggunakan konsensus kriteria diagnosis. Peneliti juga menilai dukungan
sosial sebagai variabel pendukung. Diagnosis demensia ditegakkan pada 167 subjwek
dan demensia vaskuler pada 46 subjek. Rata-rata usia munculnya demensia adalah
pada 76.8 tahun. 9849 subjek yang lain dimasukkan dalam kelompok kontrol. Analisa
pada seluruh kelompok sample menunjukkan bahwa tekanan pekerjaan tidak dapat
untuk memprediksi keseluruhan kejadian demensia. Walaupun terdapat asosiasi
lemah antara kontrol pekerjaan (OR=1,2) dengan demensia vaskuler (OR=1,4).
Kombinasi dari tingginya tekanan pekerjaan dengan lemahnya dukungan sosial juga
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingginya resiko berkembangnya
demensia vaskuler (OR=1,4). Efek ini didapatkan setelah memperhitungkan usia,
tingkat pendidikan, jenis kelamin dan tingkat kesulitan pekerjaan. Studi ini
mendukung model studi Karasek-Theorell terkait stress yang berhubungan dengan
pekerjaan serta memberikan tambahan data yang menghubungkan stress terkait
pekerjaan dengan resiko berkembangnya salah satu jennis demensia terutama
demensia vaskuler. Peneliti berpendapat bahawa stres berkaitan dengan demensia
vaskuler melalui jalur kardiovaskuler dimana percepatan penuaan sistem
kardiovaskuler merupakan hasil dari adanya stres kronis yang mempercepat
timbulnya demensia. Manfaat dari pendekatan untuk dapat mendefinisikan stres yang
berkaitan dengan pekerjaan adalah bahwa pendekatan ini dapat mengeliminasi
subjektifitas dari penilaian secara retrospektif. Keterbatasan studi ini termasuk tidak
adanya pengukuran yang objektif dari data dan terbatasnya generalisasi yang dapat
dilakukan karena subjek penelitian merupakan pasangan kembar.
Deng melakukan studi dengan menggunakan sampel sebanyak 5262
individu yang berasal dari Cina yang berusia lebih dari 55 tahun. Subjek ini kemudian
menjalani skrining untuk gangguan neurologis, medis, psikiatri dan sensorik selama 5
tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan MMSE; bila didapatkan skor yang
rendah maka kemudian dilakukan tes neuropsikologis tambahan. Selain itu dilakukan
juga analisa tambahan untuk mengeksklusikan kemungkinan adannya positif palsu
dan faktor resiko perancu yaitu gangguan vaskuler dan depresi. Follow up dilakukan
13

tiap tahun dengan melakukan pengukuran MMSE ulang dan penilaian aktivitas
sehari-hari. Melalui studi ini maka dapat diketahui bahwa kematian pasangan hidup
ataupun krisis finansial dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kognitif.
Hasil ini didapatkan setelah dilakukan pengendalian terhadap sejumlah variabel
perancu dengan HR sebesar 1,5. Meskipun demikian tidak didapatkan adanya efek
yang signifikan untuk stresor lain seperti kematian sahabat, munculnya suatu
penyakit, terjadinya suatu kecelakaan ataupun timbulnya suatu masalah hukum
Leng melakukan pengukuran terhadap stresor pada masa kanak-kanak,
akumulasi stresor selama masa kehidupan, dan timbulnya stresor baru demikian
halnya dengan mekanisme koping dan dukungan sosial dalam sebuah studi kohort
dengan menggunakan 5129 sampel individu yang berasal dari Inggris yang berusia
49-90 tahun. Studi ini merupakan studi epidemiologi secara prospektif untuk
memonitor faktor resiko terjadinya kanker. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan kuesioner Health and Life Experiences. Kuesioner ini juga menilai
mengenai adanya kejadian-kejadian traumatis selama 5 tahun terakhir, kejadian-
kejadian ini meliputi diantaranya kematian/kehilangan, kondisi adaptasi, kondisi stres
secara subjektif dan dukungan sosial. Fungsi kognitif dinilai selama follow up
dengan menggunakan MMSE yang dimodifikasi. Setelah dilakukan penyesuaian
antara jenis kelamin dengan usia, didapatkan bahwa skor MMSE berkaitan dengan
kejadian kehilangan/kematian yang dialami subjek. Subjek dengan tingkat stres yang
tinggi cenderung memiliki skor MMSE yang rendah dengan peningkatan OR
sebanyak 1,1 untuk setiap kenaikan paparan stresor. Namun, hal ini hanya terbatas
pada paparan stres secara subjektif dan pada subjek yang memiliki tingkat pendidikan
rendah. BErkebalikan dengan hasil ini, hasil pengukuran paparan stresor secara
objektik tidak berkaitan dengan skor MMSE karena setiap subjek memiliki
kemampuan adaptasi/koping terhadap stres yang berlainan. Studi ini mengggaris
bawahi peran dari persepsi subjektif sesorang terhadap stres dan hal ini
menggambarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan
adaptasi/koping seseorang dalam menghadapi stres.
14

Secara singkat, walaupun banyak uji yang menemukan hasil yang positif
terkait meningkatnya stress hidup dengan outcome kognitif negatif, banyak keberatan
yang menyatakan kasus hidup yang tidak sesuai harapan menyebabkan penurunan
fungsi kognitif. Khususnya pengaruh ukuran, walaupun secara statistik signifikan,
memiliki pengaruh yang kecil,dengan sedikit peningkatan dari risiko relatif. Terlebih
lagi pengaruh ini sering ditemukan hanya pada subsampel dari suatu subjek dan/atau
hanya pada pengukuran kognitif tertentu. Penemuan yang berbeda, dengan beberapa
penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan VD bukan AD, dan beberapa
penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan penurunan fungsi kognitif
bukan AD atau VD, dimasukan ke dalam penilaian pernyataan penyakit spesifik kami
kali ini. Penelitian lanjutan pada bidang ini, bagaimanapun, didukung dengan
penemuan sugestif yang muncul pada literatur. Pendekatan yang menggunakan
kriteria konsensus dan menangkap multipel akses pada stress kehidupan, termasuk
contoh parameter pemaparan, reaktivitas individual, dan peran dari stress buffer akan
meningkatkan usaha ini. Ketika biomarker terpercaya dari sindrom penurunan fungsi
kognitif dapat ditetapkan lebih baik, penjelasan yang lebih baik akan tampak dari
penelitian yang berlangsung lama terhadap risiko kumulatif stress psikologis.
2.2 PTSD dan Demensia
Qureshi dkk menganalisis database dari veteran berumur 65 tahun atau lebih
yang sedikitnya dilihat dua kali di fasilitas kesehatan U.S Department of Veteran
Affairs (VA) antara bulan Oktober 1997 dan September 1999, baik yang didiagnosa
PTSD atau menerima purple heart (PH). Status PH yang digunakan sebagai proxy
untuk kasus trauma terkait perkelahian. Pasien ini dibandingkan dengan umur dan
jenis kelamin pasien VA non PTSD dan non PH. Pasien yang ditemui antara Oktober
1997 dan September 2008 dicari yang memiliki diagnose PTSD, Demensia, dan
komorbiditas fisik lainnya yang memiliki hubungan dengan demensia. Insidensi
diagnosis demensia 6.2% pada semua kelompok: 6.8% pada PTSD +/PH+ kelompok
9.5% PTSD +/PH-, 5.6% PTSD-/PH+, dan 4% PTSD-/PH-. Insidensi diagnosis
demensia 2 kali lebih tinggi pada PTSD +/PH- dibandingkan keduanya PTSD -.
15

Penulis menggabungkan bahwa veteran dengan PTSD memiliki risiko insidensi
demensia lebih tinggi dibandingkan veteran tanpa PTSD. Bagaimanapun mereka
secara hati-hati menunjuk hubungan yang mengobservasi antara PTSD dan
perkembangan subsequent demensia yang tidak perlu dihubungkan pada hubungan
manapun, Hal ini disebabkan oleh faktor risiko umum yang biasa mendasari baik
PTSD ataupun demensia. Faktor risiko umum ini salah satunya intelegensi rendah.
Hambatan yang terjadi adalah demensia tidak dipisahkan ke dalam beberapa subtipe,
meninggalkan kemungkinan hubungan antara PTSD dan kondisi patofisiologi tertentu
yang secara potensial berlanjut berkembang menjadi demensia. Insidensi penyakit
yang tinggi termasuk hipertensi dan diabetes pada PTSD dapat menjadi faktor
predisposisi berkembangnya VD. Hal ini lebih sulit dijelaskan secara patofisiologi
antara PTSD dan penyakit neurodegeneratif seperti AD atau Picks disease.
Yaffe dan koleganya menganalisis VA national patient care database pada
desain cohort retrospective. Peserta impresif berupa 181.093 berusia 55 tahun ke atas
tanpa diagnosis demensia antara tahun 1997-2000.53.155 dari 127.938 tidak memiliki
diagnosis PTSD. Hampir semua pasien 96.5% adalah laki-laki. Selama follow up
antara Oktober 2000 dan Desember 2007 31.107 (17.2%) ditemukan kasus baru
demensia sesuai dengan kriteria international classification of disease ninth version,
clinical modification codes. Pasien diklasifikasikan dengan demensia apabila
memiliki diagnosis: senile demensia (n=3450) VD (n=2698) AD (n=3882), fronto
temporal demensia (n=139), lewy body demensia (n=356) dan demensia yang tak
terspesifikasi (n=10,291). Pasien yang telah mengalami PTSD memiliki risiko 2 kali
lebih besar untuk terkena demensia dibandingkan tanpa PTSD, HR=2.3. Setelah
penyesuaian faktor multiple, termasuk komorbiditas medikal dan neuropsikiatrik,
pasien dengan PTSD lebih mungkin terkena demensia, HR=1.8. Hasil yang sama
didapatkan setelah mengekslusi pasien dengan riwayat trauma kepala,
penyalahgunaan zat, atau depresi secara klinis. Menariknya, PTSD memiliki
hubungan dengan semua tipe demensia, dimana hubungan paling tinggi adalah
dengan demensia frontotemporal dan paling lemah yaitu VD. (Informasi yang
16

signifikan secara statistik mengenai perbedaan risiko relatif antara sub tipe demensia
tidak tersedia). Penulis menyimpulkan bahwa di dalam kelompok studi, yang
didiagnosis PTSD memiliki risiko 2 kali lebih besar dibandingkan tanpa PTSD. Data
dari penelitian sebelumnya mengilustrasikan poin penting yang umum pada semua
penelitian mengenai stress atau PTSD dan demensia yang di review pada bagian ini,
hasil dari perkiraan statistik sendiri turun untuk menggambarkan keseluruhannya.
Pada penelitian sebelumnya, kurang lebih 90% dari pasien PTSD tidak berkembang
menjadi demensia, dan kurang lebih 7% dari non PTSD pasien mengalami demensia.
Persentase ini menggambarkan walaupun PTSD mungkin berhubungan dengan risiko
lebih besar, namun bukan kondisi utama untuk berkembangnya demensia.
3. Penyalahgunaan zat
Baik pemaparan stressor hidup kronik maupun PTSD diketahui memiliki
hubungan dengan peningkatan resiko penyalahgunaan zat. Hal ini sering diduga turut
berperan pada cara yang salah terhadap pengobatan sendiri. Walaupun data genetik
juga mendukung perkembangan menjadi PTSD dan ketergantungan zat.
Bagaimanapun, penggunaan zat kronik termasuk alkohol, marijuana, opioid, kokain,
dan methamphetamine berhubungan dengan perkembangan penurunan fungsi
kognitif. Proses ini memperlihatkan mekanisme indirek terhadap pengaruh stress dan
PTSD, pada integritas kognitif yang diperhitungkan pada model etiologis yang
mengarah kepada hubungan sederhana antara stress dan PTSD, dan risiko demensia.
4. Stress, PTSD, dan demensia secara biologis
4.1 Neuroimaging
Pada studi longitudinal terhadap proses penuaan normal ditemukan hubungan
antara stress kronik dan penurunan volume subtansia grasia orbitofrontal dan
hippocampus. Struktur neuroimaging telah memperlihatkan penurunan volume
hippocampus pada pasien PTSD. Pada penelitian lebih lanjut menggunakan MRI
resolusi tinggi telah ditemukan CA3 dan pendangkalan gyrus pada hippocampus.
Apakah volume hippocampus merupakan akibat dari PTSD, risiko dari PTSD atau
keduanya masih belum jelas. Area lain yang memiliki volume yang lebih rendah pada
17

PTSD telah ditemukan, dengan konsistensi lebih sedikit dari hippocampus adalah
amygdala dan kortex cingula. Pada penelitian baru-baru ini 42 orang yang telah
menjalani MRI sebelum gempa bumi difoto ulang setelah bencana tersebut. Volume
subtansi abu-abu pada korteks cingula di ventral anterior kanan yang rendah sebelum
gempa bumi memiliki hubungan dengan gejala PTSD setelah bencana tersebut, dan
penurunan yang lebih hebat sesudah bencana tersebut di korteks orbitofrontal cortex
dihubungkan dengan gejala PTSD.
Pada AD, neuroimaging telah digunakan untuk melacak perkembangan penyakit dari
impresimptomatik hingga stadium akhir dengan cara yang spesifik ataupun non
spesifik. Pembesaran ventrikel, yang merupakan ciri khas radiologis AD yang paling
menonjol, adalah penemuan yang non spesifik. Pada orang tua dengan fungsi kognitif
baik, volume CA1 yang lebih rendah dan region subiculum dari hippocampus, dan
juga pembesaran ventrikel lateral yang diukur dengan MRI, memprediksi penurunan
fungsi kognitif pada MCI. Penurunan volume CA1, subiculum, dan (secara hipotesis
atrofi) pada area CA2-3 dari hippocampus pada pasien amnestic MCI
memprediksikan diagnosis AD. Sebagai tambahan, penurunan volume dari nucleus
caudatus sebelah kanan memprediksikan konversi dari MCI ke AD. Regio medial
temporal termasuk korteks enthorinal dan amygdala juga menurun pada pasien MCI
yang akan mengalami AD. Hal yang sama terjadi, atrofi dari lobus temporal dan
frontal, korteks temporoparietal, gyrus cingulate , precuneus, juga berhubungan
dengan progresi tiga tahun dari MCI ke AD. Di antara pasien AD, atrofi hippocampus
muncul terlebih dahulu diikuti dengan atrofi cingulum bundle dan uncinate fasiculus.
Atrofi lobus temporal, parietal, dan frontal dapat memburuk seiring progresi dari
penyakit. Pentingnya, tidak ada progresi yang telah dilaporkan pada literatur PTSD
masa kini.
4.2 Respon endokrin
Saat mengalami rasa kecewa dan ancaman, sistem stres tubuh teraktivasi untuk
memberikan tubuh sumber yang penting untuk respon fight or flight. Dua axis utama
stress terlibat dalam respon terhadap stressor. Pertama, aktivasi dari sympathetic-
18

adrenal-medulary axis menghasilkan sekresi cepat epinefrin. Kedua, aktivasi HPA
axis melalui sistem hormon menghasilkan glukokortikoid, terutama kortikosteron
pada hewan dan kortisol pada manusia. Glukokortikoid bersifat larut dalam lemak
dan dapat melewati sawar darah otak untuk berikatan dengan reseptor
mineralkortikoid (tipe I) dan glukokortikoid (tipe II). Reseptor tipe I sebagian
didistribusikan di sistem limbik, sedangkan tipe II dipresentasikan di struktur kortikal
termasuk korteks prefrontal. Aktivitas HPA axis diatur oleh feedback negatif, dimana
beberapa bagian disebabkan oleh pengikatan glukokortikoid ke reseptor tipe II yang
terletak di hippocampus dan kelenjar pituitari. Tiga struktur otak telah diidentifikasi
sebagai pengatur HPA axis : amygdala, yang memiliki pengaruh untuk merangsang
kerja HPA axis, hippocampus, dan korteks prefrontal yang menyebabkan inhibisi dari
HPA axis. Karena struktur otak ini memiliki reseptor glukokortikoid dengan densitas
yang tinggi, fungsi yang mereka kerjakan dapat dipengaruhi oleh stress. Saat respon
stress meningkat, hasil yang negatif dapat muncul, seperti desensitisasi reseptor dan
kerusakan jaringan. Dampak jangka panjang ini disebut allostatic load. Tingginya
allostatic load dihubungkan dengan penurunan fungsi kognitif pada orang tua.
Dampak stress terhadap fungsi kognitif telah dipelajari di berbagai paradigma
dan populasi. Pasien yang lebih tua menunjukkan variabilitas volume dan fungsi
hippocampus, sekresi kortisol, dan performa kognitif. Banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel ini dari normal hingga
patologis. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa tikus yang lebih tua mengalami
penurunan memori memiliki aktivitas HPA axis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tikus dengan performa memori yang normal. Pada tikus tua aktivitas HPA
axis memiliki hubungan negatif baik performa spasial dan neurogenesis hippocampal.
Injeksi tikus tua dengan kortisol dalam periode lama akan menyebabkan penurunan
fungsi yang sama. Penurunan kadar kortisol telah ditemukan untuk mempromosikan
neurogenesis dan menghambat gangguan memori spasial biasanya diobservasi pada
tikus tua. Manusia yang menunjukkan peningkatan kortisol 24 jam selama 3-6 tahun
hingga tingkat yang tinggi ditemukan mengalami gangguan memori dan volum
19

hippocampal yang lebih rendah. Penelitian pada hewan coba menghasilkan hipotesis
kaskade glukokortikoid , yang dikenal juga dengan istilah hipotesis neurotoksisitas.
Teori ini menduga bahwa peningkatan kadar kortisol yang terjadi secara kronik
mengganggu regulasi aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal), dan kemudian
mengganggu regulasi sistem stres yang menyebabkan penurunan volume hipokampus
dan kurangnya daya ingat. Peningkatan kadar glukokortikoid yang terjadi secara
kronik telah terbukti menyebabkan menurunnya percabangan dendritik pada
hipokampus, menghasilkan atrofi pada regio CA3, dan degenerasi neuron piramidal.
Penelitian lain juga menyatakan bahwa paparan kronis terhadap kadar glukokortikoid
yang tinggi setelah cedera otak, seperti trauma atau iskemia, dapat menyebabkan
penurunan jumlah neuron lebih lanjut. AD (Alzheimers Disease) juga dihubungkan
dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dan volume hipokampus yang lebih kecil.
Perlu diketahui bahwa belum ada penelitian yang menjelaskan apakah profil
hiperkortisolemia menyebabkan penurunan volume hipokampus, atau apakah volume
hipokampus yang kecil memberikan kecenderungan sekresi kortisol yang lebih tinggi.
4.3. Stres oksidatif
Di luar stres aksis HPA, gagasan mengenai stres oksidatif telah diteliti dalam
usaha untuk menjelaskan mekanisme progresi dari proses penuaan normal menuju
patologik. Mitokondria menghasilkan reactive oxygen species, yang dapat
memberikan efek merusakn pada jaringan tubuh. Stres oksidatif muncul ketika
aktivitas antioksidan tidak cukup kuat untuk menetralkan pro-oksidan tersebut.
Penelitian pada sekelompok spesies hewan dari hewan pengerat sampai primata
melaporkan terdapat hubungan antara stres hidup yang berat dan marker stres
oksidatif. Diduga stresor yang lebih berat dapat meningkatkan stres oksidatif, yang
dapat mengganggu integritas aksis HPA. Stres oksidatif yang tinggi dihubungkan
dengan gangguan kognitif dan AD. Stres oksidatif diketahui berhubungan dengan
penurunan neurogenesis pada girus dentatus, meningkatkan permeabilitas sawar
darah otak, neuroinflamasi (dijelaskan pada bagian berikutnya), kematian neuron, dan
secara umum peningkatan kemungkinan kerusakan jaringan otak. Neuroinflamasi
20

dapat meningkatkan stres oksidatif lebih lanjut, berpotensi memunculkan lingkaran
setan. Penelitian menunjukkan bahwa amiloid-beta (A), suatu penanda
neuropatologis dari AD, dapat dihasilkan melalui interaksi antara stres oksidatif
dengan neuroinflamasi. Baik stres oksidatif maupun neuroinflamasi berhubungan
dengan aktivitas telomer yang menurun, yang kemudian dapat mempercepat
pemendekan telomer. Pemendekan telomer adalah proses yang normal terjadi pada
penuaan, namun pemendekan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
kognitif, peningkatan risiko mortalitas, dan kondisi patologik termasuk AD. Selain
itu, stres oksidatif meningkatkan aktivitas dari neurotransmiter eksitatorik, terutama
glutamat. Tingginya kadar stres oksidatif secara terus menerus dalam periode yang
lama dapat menyebabkan disregulasi proses signalling yang dapat menyebabkan
hilangnya neuron, suatu proses yang disebut eksitotoksisitas. Proses ini telah
dilaporkan pada penyakit degeneratif multipel, termasuk AD. Akhirnya, tetap penting
untuk diperhatikan bahwa stres kronis dapat meningkatkan asupan kalori, resistensi
insulin, dan risiko obesitas, dengan konsekuensi efek yang merusak pada gangguan
mental selain menyebabkan sindroma metabolik, yang berhubungan dengan
peningkatan risiko inflamasi dan AD. Meskipun peran stres oksidatif telah diusulkan
dan model hewan coba pada PTSD, penanda peningkatan stres oksidatif belum
dianggap berhubungan dengan gangguan yang sebenarnya pada manusia.
4.4. Neuroinflamasi dan sitokin
Neuroinflamasi adalah proses yang diawali untuk memperbaiki cedera otak.
Proses ini dicirikan dengan aktivasi mikroglia dan astrosit, yang berhubungan dengan
pelepasan mediator inflamasi, terutama sitokin. Sitokin memediasi komunikasi antara
sistem imun dan sistem neuroendokrin. Terdapat dua kelas sitokin: sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi. Stres meningkatkan produksi dari sitokin
proinflamasi di sistem saraf sentral dan perifer. Individu dengan stres kronis sering
memiliki fungsi imun yang terganggu dan menunjukkan kadar sitokin proinflamasi
21

yang tinggi dalam serum. Peningkatan sitokin proinflamasi juga dilaporkan pada
PTSD.
Peran stres kronis dalam menginduksi neuroinflamasi dapat dimediasi melalui
pelepasan glukokortikoid. Di otak, glukokortikoid meningkatkan stimulasi untuk
migrasi leukosit. Neuroinflamasi berkontribusi terhadap gangguan proses proliferasi
normal, migrasi, dan diferensiasi dari stem sel neural, menyebabkan penurunan
neurogenesis dengan gangguan ingatan dan mempelajari hal baru. Penemuan
mengenai mikroglia yang teraktivasi di sekitar plak amiloid mendukung peran
neuroinflamasi pada patofisiologi AD. Pada penelitian epidemiologi, terapi dengan
obat-obatan AINS diketahui menurunkan risiko AD. Obat-obatan AINS telah
diselidiki sebagai terapi potensial untuk menghambat onset AD.
Bertambahnya usia dihubungkan dengan perubahan respon imun, dengan
upregulation mediator proinflamasi dan downregulation mediator antiinflamasi.
Terdapat korelasi negatif antara derajat inflamasi dengan onset usia AD (semakin
tinggi derajat inflamasi, onset semakin cepat). Individu dengan derajat inflamasi yang
lebih tinggi diketahui kehilangan banyak poin dalam MMSE dalam periode 3 tahun.
4.5. Neuropatologi
Dalam mempertimbangkan efek akibat stres pada jaringan neural, perlu
ditekankan bahwa tidak setiap perubahan berefek pada proses degeneratif.
Sebagaimana organ lain dalam tubuh, otak mampu berubah secara morfologis sebagai
respon terhadap lingkungan. Perubahan ini dapat muncul pada tingkat molekuler,
seluler, sinaps, jaringan, dan bahkan pada tingkat anatomis yang lebih besar, tidak
hanya di neuron namun juga di neuroglia. Perubahan otak sebagai respon terhadap
stres sangat bervariasi tergantung pada regio otak yang terkena. Regio yang paling
sering dipelajari adalah hipokampus. Kesesuaian dengan hipotesis kaskade
glukokortikoid adalah peningkatan kadar kortisol yang kronis dapat menyebabkan
atrofi dendrit pada struktur tersebut. Perubahan seperti ini telah dilaporkan pada
hewan pengerat dan kera yang dipapar dengan situasi penuh tekanan secara kronis
serta diberikan kortikoid eksogen. Hal yang penting di sini, setidaknya pada suatu
22

tingkat, atrofi dendrit hipokampus bersifat reversibel dengan penghentian paparan
stres. Area otak lain, terutama amigdala, dapat memberikan respon terhadap stres ke
arah yang berlawanan (dengan peningkatan proliferasi dan hipertrofi dendrit). Semua
respon ini dapat bersifat adaptif. Di bawah kondisi lingkungan yang penuh tekanan
(munculnya bahaya secara terus-menerus), memiliki amigdala yang hiperfungsi dapat
bermanfaat, memberikan peran sentral organ ini dalam mengenali ancaman dan
mengkoordinasikan respon takut. Sebaliknya, dalam kondisi bahaya, fungsi
hipokampus (mempelajari lingkungan di bawah kondisi aman dan fleksibilitas
perilaku) bisa jadi tidak bermanfaat.
Pengamatan variasi neuron regional pada respon terhadap stres, dengan atrofi
pada beberapa area dan hipertrofi di area lain, menghalangi kenyataan sederhana
bahwa stres merusak otak. Bahkan, stres muncul untuk memahat otak sesuai
lingkungan darurat. Jika stres berlangsung lama, dapat muncul kematian neuron,
meskipun penelitian terbaru membantah efek ini. Sebaliknya, tinjauan penelitian MRI
volumetrik menunjukkan penurunan volume amigdala dan hipokampus yang
sebanding pada AD. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan kualitatif pada proses
neuropatologis yang mendasari stres dan AD, dengan klasifikasi yang lebih tepat
sebagai plastik untuk yang awal, dan degeneratif untuk yang akhir.
Neuropatologi dari AD dicirikan dengan plak A ekstraseluler dan ikatan
neurofibril intraseluler. A diproduksi dari protein prekursor amiloid (APP). Protein
tau adalah bahan penting dari ikatan neurofibril. Pada AD, protein tau mengalami
hiperfosforilasi, yang kemudian mengganggu fungsinya. Kelompok astrosit dan
mikroglia di sekitar neuron dan plak teraktivasi, berinteraksi dengan molekul
proinflamasi dan mengacaukan keseimbangan antara molekul proinflamasi dan
antiinflamasi.
Bukti yang ditunjukkan pada hewan coba tidak mendukung bahwa stres dapat
mempercepat atau memperburuk proses neuropatologis yang berhubungan dengan
AD. Suatu pendekatan digunakan untuk hewan coba yang telah dimodifikasi secara
23

genetik untuk meningkatkan gambaran patofisiologis yang berhubungan dengan AD
dan kemudian untuk memeriksa efek dari stres dan hormon stres pada mereka. Mencit
transgenik yang mengalami overekspresi suatu mutasi pada APP menunjukkan
penurunan kapasitas proliferasi sel pada girus dentatus. Stres yang terisolasi diketahui
dapat mempercepat proses yang mendasari deposisi plak A pada mencit ini. Pada
model tikus transgenik AD yang lain, stres jangka panjang dihubungkan dengan
peningkatan jumlah dan densitas dari deposit vaskuler dan ekstraseluler, terutama di
hipokampus, mengandung A dan fragmen carboxyl-terminal dari APP. Pemberian
glukokortikoid eksogen dengan kadar stres terhadap mencit ransgenik juga diketahui
dapat meningkatkan pembentukan A dengan meningkatkan kadar tetap dari APP
dan -APP cleaving enzyme dan untuk menambah akumulasi protein tau. Pada tikus
Wistar nontransgenic, baik stres maupun glukokortikoid diketahui dapat mencetuskan
gangguan proses APP pada hipokampus dan korteks prefontal tikus. Pada tikus
Wistar sehat usia pertengahan, stres kronis dan glukokortikoid diketahui dapat
menginduksi hiperfosforilasi yang abnormal dari protein tau pada hipokampus dan
korteks prefrontal, dengan gangguan yang sepadan pada perilaku tergantung
hipokampus dan korteks prefrontal. Untuk tinjauan terbaru dan lebih detail mengenai
neuropatologi dari stres, lihat [61].
Lompatan dari PTSD ke AD mungkin lebih lebar dibanding lompatan dari stres
ke AD. Sesuai dengan hipotesis kaskade glukokortikoid, pada AD, sebagaimana pada
depresi, kadar kortisol cenderung tinggi dan resisten terhadap umpan balik negatif.
Banyak penelitian menyebutkan bahwa bukan ini yang terjadi pada PTSD;
gambarannya cenderung berlawanan. Bukti bahwa stres terlibat dalam patogenesis
AD bergantung pada pean mediasi dari glukokortikoid yang berlebihan, sulit
menerapka suatu model pada suatu kondisi (PTSD) di mana glukokortikoid tidak
berlebihan. Pada tingkat ini, mekanisme non-glucocorticoid-mediated di mana PTSD
dapat mempengaruhi AD tidak digambarkan dengan baik.
24

Penyusutan volume hipokampus adalah penemuan yang konstan pada PTSD.
Awalnya, penemuan ini digembar-gemborkan sebagai bukti yang dapat
dikembangkan bahwa stres dapat merusak struktur otak manusia. Interpretasi ini
mengalami keunduran pada penelitian kembar identik yang mendukung kesimpulan
bahwa penyusutan hipokampus pada PTSD adalah abnormalitas konstitusional yang
dimiliki bersama oleh kembar yang merupakan veteran pejuang. Hasil meta-analisis
menunjukkan bahwa riwayat terpapar kejadian traumatik, bahkan tanpa adanya
PTSD, berhubungan dengan pengurangan volume hipokampus (walaupun tidak
seluas pada PTSD), menunjukkan peran kausatif untuk paparan trauma pada
penyusutan hipokampus. Bahkan paparan yang sangat berisiko sekalipun memiliki
faktor genetik. Bukti bahwa terapi psikofarmakologis dapat meningkatkan volume
hipokampus pada PTSD diajukan namun tidak terbukti sumber penyusutannya.
Bahkan jika suatu bagian penyusutan volume yang ditemukan pada PTSD di
hipokampus, dan struktur otak lain yang mungkin, nantinya akan menunjukkan
gambaran didapat daripada konstitusional, tidak jelas hubungan apa yang bisa didapat
dengan AD dan demensia lain, dengan kenyataan bahwa PTSD dan demensia benar-
benar berbeda secara psikiatris dan biologis. Pertanyaannya mungkin diperjelas
dengan pemeriksaan postmortem dari jaringan otak pada PTSD dalam pencarian
perubahan seperti AD, namun hanya sedikit penelitian yang telah dilaporkan. Sampai
saat itu, hubungan neuropatologis antara PTSD dan AD masih spekulatif.
5. Kesimpulan
Studi epidemiologi mengenai stres kronik dan PTSD telah menunjukkan
bahwa keduanya berkaitan secara statistik terhadap berkembangnya berbagai bentuk
demensia. Meskipun demikian hubungan tersebut tidaklah kuat. Stres kronis dan
PTSD tidak secara langsung menimbulkan demensia. Stres kronik dan PTSD hanya
merupakan faktor tambahan yang terlibat dalam patogenesis suatu demensia,
termasuk alzeimer. Hubungan langsung antara stres kronik dan PTSD dapat
menimbulkan suatu demensia masih belum dapat diitegakkan. Dalam tingkat biologi,
beberapa jalur dari stres ke demensia telah dapat digambarkan dalam berbagai studi,
25

dimana studi-studi tersebut berdasarkan percobaan dengan menggunakan binatang.
Sehingga studi-studi ini hanya berupa suatu analogi atau homologi bila diaplikasikan
pada manusia. Penyakit alzeimer memiliki profil neuropatologi yang tidak ditemukan
pada stres maupun PTSD. Meskipun belum ada anti stres maupun anti PTSD spesifik
yang telah terbukti manfaatnya, studi lebih lanjut masih perlu untuk dilakukan.
Sementara itu, intervensi kesehatan masyarakat yang bertujuan mengurangi stres
kronik dan PTSD terbukti memiliki efek yang menguntungkan terhadap pencegahan
munculnya suatu demensia.

26

REVIEW ARTICLE

SPIRITUALLY AND RELIGIOUSLY INTEGRATED GROUP
PSYCHOTHERAPY: A SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW

Dorte Toudal Viftrup, Niels Christian Hvidt, and Niels Buus

1. PENDAHULUAN
Masalah spiritual dan agama mendapat perhatian dalam penelitian kesehatan,
dan sepertinya kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan kualitas hidup dan
peningkatan kesehatan [1,2]. Peran spiritualitas dan agama dalam kesehatan jiwa dan
raga telah disebutkan dalam jurnal medis, psikiatri, psikologi, dan kedokteran
behavior, dan bukti menunjukkan hubungan antara peningkatan kesehatan,
spiritualitas dan keagamaan [3]. Contohnya, penelitian kohort dari Danish pada
10800 pembaptis dan adven menunjukkan penurunan resiko kanker, COLD, penyakit
jantung koroner, dan beberapa gangguan psikiatri [4]. Terlebih, spiritualitas dan
agama telah dianggap sebagai komponen yang penting dalam hidup manusia yang
menyertai terapi kesehatan mental [5]. Beberapa penelitian menyatakan bahwa orang
dengan spiritual dan religius mendapat keuntungan dari intervensi spiritual dan
keagamaan yang terintegrasi [5], dan ada substansi dalam literatur mengenai
bagaimana mengintegrasikan spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi [6,7].
Contohnya, Rye dkk [8] meneliti efektivitas intervensi pengampunan yang sekuler
dan religius. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan saat secara langsung
membandingkan partisipan sekuler dan religius pada outcome primer dan sekunder.
Telah dikemukakan pendekatan terapi yang berbeda dengan integrasi spiritualitas dan
keagamaan [3,9] dan psikoterapi dengan kelompok agama tertentu [10]. Integrasi
faktor spiritual dan faktor religius tidak sepenuhnya dipahami. Sampai sekarang,
kebanyakan penelitian empirik pada psikoterapi spiritual dan religius yang
terintegrasi telah mengevaluasi efektivitas intervensi yang komplit, namun klarifikasi
27

faktor-faktor spiritual dan religius, memisahkan psikoterapi spiritual dan religius
terintegrasi dari tipe grup psikoterapi yang lain, masih belum terjawab.
Integrasi spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi grup merupakan area
yang masih kurang diteliti dibandingkan psikoterapi dengan individu [6,7,11].
Beberapa penelitian empiris tentang psikoterapi grup yang mengintegrasi spiritual
dan keagamaan berfokus pada efektivitas dari keseluruhan intervensi [5]. Namun,
carapenelitian-penelitian ini mengintegrasi faktor spiritual dan religius ke dalam
psikoterapi grup dan yang mendasari hasilnya masih belum jelas.
Kurangnya penelitian pada grup intervensi dengan integrasi spiritual dan
agama cukup mengejutkan karena spiritualitas dan agama sering dikembangkan dan
dipraktekkan dalam komunitas-komunitas orang yang memiliki keyakinan dan
pemahaman yang sama dan karena agama adalah fenomena kelompok, salah satu
bentuk paling awal dari sebuah kelompok yang besar [12]. Intervensi grup secara
psikologis, yang menyatukan spiritualitas dan agama, mungkin lebih bermanfaat dari
segi dinamika psikologi spiritualitas dan agama daripada intervensi individu.
Penelitian mengindikasikan bahwa intervensi psikoterapi dalam bentuk grup lebih
efisien dalam waktu, ekonomi, dan efektif meningkatankan kemampuan koping
(coping skill)dan kualitas hidup dan menurunkan distres psikologis dan fisik [13,14].
Pengetahuan berdasarkan penelitian mengenai faktor spiritual dan religius
dan efeknya pada psikoterapi grup yang mengintegrasikan spiritualitas dan
keagamaan dapat bermanfaat untuk kesehatan. Untuk itu kami melakukan penelitian
sistematik dari literatur untuk menyelidiki penelitian psikoterapi grup berintegrasi
spiritual dan keagamaan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi secara kritis dan
merangkum pengetahuan mengenai kompleksitas faktor spiritual dan faktor religius
diintegrasikan ke dalam psikoterapi grup dan kemudian menyoroti isu-isu penting
mengenai faktor spiritual dan religius yang masih belum dipecahkan dalam
penelitian.


28

2. PERSPEKTIF TEORI
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas seseorang dan atau
keyakinan dan praktek agama akan meningkat saat mengalami krisis personal seperti
sakit atau masalah yang lain [15-17]. Penelitian juga telah mengungkapkan
bagaimana spiritual dan agama sebagai suatu meaning-system, dibedakan dari
meaning-system yang lain, mempunyai peran penting bagi orang yang mempunyai
masalah [18-21]. Arti fungsi spiritual dan agama bagi orang dalam krisis mungkin
lebih penting dibandingkan sumber yang lain karena spritual dan agama membawa
kepercayaan ke prinsip atau kekuatan yang lebih tinggi yang melampaui kehidupan
manusia dan dapat memberikan pertolongan dan kenyamanan selama krisis. Arti-
fungsi spiritual dan agama menawarkan arti dalam semua aspek kehidupan manusia
dari lahir sampai mati dan terutama kehidupan setelah mati [18, 19]. Namun, bahkan
di antara orang-orang spiritual dan religius, terdapat variasi antara pentingnya
spiritual dan agama sebagai meaning-system. Bagi beberapa orang, spritualitas dan
agama adalah pusat kehidupan mereka, dan bagi sebagian yang lain, spiritual dan
agama memiliki peran kecil dalam kesejahteraan psikologisnya [3]. Untuk itu,
pentingnya spiritual dan agama pada individu dapat mempengaruhi psikoterapi
spiritual dan religius terintegrasi sebagai motivasi klien untuk terapi dan kepercayaan
dalam terapi merupakan faktor penting untuk menentukan outcome terapi [22]. Kami
akan menguraikan hal ini dengan mempresentasikan model faktor-faktor yang umum
setelah mendefinisikan spiritualitas dan agama seperti yang diaplikasikan dalam
jurnal.
Merupakan hal yang menantang untuk menjelaskan spiritualitas dan agama
dan untuk membedakan kedua konsep tersebut [23]. Definisi dan operasionalisasi
konsep ini dalam penelitian empirik akan mempengaruhi fokus dan outcome
penelitian, dan konsep yang kurang jelas akan menjadi sumber error.
Terdapat perbedaan pendekatan untuk mempelajari spiritualitas dan agama,
dan Zinnbauer dkk [24] membaginya dalam pendekatan tradisional dan modern.
Pendekatan tradisional melihat agama sebagai konstruksi yang luas, dimana
29

spiritualitas tidak terlepas dari agama namun lebih terintegrasi padanya dan
dikarakteristikkan sebagai agama yang hidup atau ketakwaan [25]. Dalam pendekatan
tradisional, keimanan personal dipertegas, dan agama dapat bersifat positif dan
negatif. Sedangkan pendekatan modern melihat agama sebagai konstruksi yang
sempit, bertentangan dengan spiritualitas. Pendekatan modern menganggap agama
sebagai eksternal, instrumental, dan buruk, dimana spiritualitas dianggap personal,
relasional dan baik [26]. Zinnbauer dkk [24] dan Pargament [26] mengkritik
pendekatan tradisional yang tidak membedakan antara spiritualitas dan agama, dan
mengkritik pendekatan modern karena mempertentangkan kedua konsep tersebut.
Pargament [26] membahas problem pertentangan spiritualitas dan agama ini.
Pargament mengkritik tiga hal. Pertama, mengenai tekanan antara kedua
konsep tersebut, dimana banyak teori mempertegasnya namun kebanyakan penganut
tidak mengalaminya. Survey di Amerika yang dilakukan oleh Zinnbauer dkk [27]
menunjukkan bahwa saat dipaksa untuk memilih, 74% menganggap diri mereka
sendiri sebagai orang religius dan spiritual, 19% merasa spiritual namun tidak
religius, 4% merasa religius namun bukan spiritual, dan 3% tidak keduanya.
Penelitian lintas budaya yang dilakukan Keller dkk [28] menunjukkan bahwa pola
yang sama juga terlihat di Eropa. Oleh karena itu, perbedaan ini sebagai tanda bahwa
penurunan agama lebih lazim terjadi pada akademisi daripada penganut [29].
Kritik kedua Pargament mengenai dekontekstualisasi dari spiritualitas.
Menurut definisi spiritualitas, kebanyakan pembuat teori menganggap bahwa dimensi
spiritual dalam hidup masih hampa. Pargament berpendapat bahwa spiritualitas
individu meningkat, berkembang, dan terbuka dalam konteks religius yang lebih
besar, bahkan bila konteksnya telah ditolak. Banyak peneliti yang menyetujuinya.
Sehingga, Moberg [30] mengkritisi kemungkinan evaluasi spiritualitas di dalam diri
dan meminta peneliti untuk sadar-konteks dan menerapkan instrumen pengukuran
yang bertarget pada kekhususan grup religius orang yang dibawah pengawasan.
Kritik ketiga Pargament berhubungan dengan spiritualitas romantisasi
sebagai hal positif, personal, dan berhubungan dengan perangai manusia. Menentang
30

gagasan tersebut, Pargament menekankan bahwa dimensi spiritual dalam kehidupan
dapat bersifat konstruktif dan destruktif [9]. Sependapat dengan hal itu, Koenig [31]
berpendapat bahwa pemahaman positif dari spiritualitas ini mempengaruhi instrumen
yang digunakan untuk mengukur spiritualitas; ukuran spiritualitas mengandung sifat
psikologis positif atau pengalaman manusia. Spiritualitas akan selalu berkorelasi
dengan kesehatan mental jika kesehatan mental positif dan nilai manusia menjadi
definisi dari spiritualitas. Spiritualitas, diukur dengan pengukuran kesehatan mental
yang baik, akan selalu berhubungan secara tautologi dengan kesehatan mental yang
baik [31].
Pentingnya definisi yang jelas dan konsep tersebut juga terlihat dalam
penelitian empirik dan praktek klinik. Definisi yang kabur membuat ketidakjelasan
tentang apa yang sebenarnya dipelajari dan diintegrasi dalam psikoterapi. Masalah
tautologi akan mempengaruhi outcome dan dapat menjadi sumber error dalam
penelitian. Selanjutnya, tanpa definisi yang jelas, psikologis dan terapis dalam
praktek klinik bekerja tanpa guideline saat mereka berusaha menggabungkan
spiritualitas dan religiusitas.
Untuk penelitian ini, kami menerapkan definisi agama dan spiritual yang
dikemukakan Pargament. Dia mendefinisikan agama sebagai pencarian signifikansi
melalui cara yang berhubungan dengan hal-hal suci, dan spiritualitas sebagai
pencarian hal suci. Definisi ini bersifat dinamis karena mereka menyatukan kekuatan
motivasi dalam diri semua orang terhadap spiritualitas dan mereka memperhitungkan
aspek positif dan negatifnya. Pargament percaya bahwa fungsi yang paling penting
dari agama adalah spiritual di dalam alam. Terlepas dari banyaknya tujuan suatu
agama, fungsinya yang paling penting adalah keinginan untuk membentuk hubungan
dengan sesuatu atau seseorang yang dianggap suci.
Pada artikel ini, perbedaan antara pendekatan tradisional dan modern, tiga
poin kritik Pargament terhadap pendekatan modern dan kritik Koenig terhadap
pengukuran tautologi akan digunakan untuk mengevaluasi definisi yang digunakan
dalam penelitian dan outcome spiritual atau religius yang tersaji dalam penelitian.
31

Untuk mengevaluasi secara kritis efek dari integrasi spiritualitas dan/atau
religiusitas dalam grup psikoterapi, kami merasa adanya kebutuhan untuk
memasukkan faktor psikologi yang lain, seperti faktor umum [22] psikoterapi, yang
dapat berefek kepada outcome dari intervensi.
Model medis telah mendominasi penelitian tentang psikoterapi. Model medis
menekankan bahwa tujuan utama penelitian psikoterapi adalah untuk memeriksa efek
terapi spesifik pada gangguan jiwa spesifik [32]. Model medis berasumsi bahwa ada
penjelasan psikologis untuk gangguan mental pasien, dan ada mekanisme perubahan
konsisten dengan penjelasan teori ini. Mekanisme perubahan ini kemudian memicu
aksi terapi tertentu, dan aksi ini bertanggung jawab terhadap keuntungan psikoterapi.
[33]
Sebagai respon terhadap model medis, Duncan dkk [22] memperkenalkan
the common factors models. Model ini menekankan adanya kerja kolaboratif dari
terapis. Mereka berfokus pada terapis, klien, dan transaksi di antara mereka, dan
struktur dari pengobatan yang ditawarkan [33]. Hubble dkk [34] membagi faktor
umum ke dalam empat elemen. (1) Faktor klien dan ekstra terapetik, meliputi semua
yang mempengaruhi peningkatan pengobatan, contohnya, kesiapan klien terhadap
perubahan, kekuatan, sumber daya, level fungsi sebelum pengobatan, dukungan sosial
network, status sosio-ekonomi, motivasi personal, dan peristiwa hidup. (2) Model dan
teknik, meliputi keyakinan klien dan terapis dalam kekuatan restorasi dan kredibilitas
terapi. (3) Faktor terapis, berhubungan dengan efektifitas orang yang menjadi terapis.
Bukti menunjukkan bahwa terapis yang efektif menggunakan faktor-faktor umum
untuk meraih outcome yang lebih baik. (4) Hubungan atau aliansi terapetik,
berhubungan dengan kerjasama antara klien dan terapis untuk mencapai tujuan klien.
Aliansi yang positif adalah salah satu prediktor outcome terbaik [34]. Berkebalikan
dengan model medik, model faktor umum menganggap mekanisme perubahan adalah
kompleks, sehingga suatu aksi terapetik sendiri tidak dapat menghasilkan outcome
dari psikoterapi.
32

Pada review ini, model medik dan model faktor umum dengan empat elemen
yang disajikan Hubble dkk [34] akan digunakan untuk mengevaluasi dan membahas
outcome, definisi, dan faktor spiritual atau religius pada psikoterapi grup.
3. TUJUAN
Untuk secara sistematis meninjau literatur penelitian untuk menjawab
pertanyan-pertanyaan berikut:
(1) Bagaimana spiritualitas dan religiusitas didefinisikan?
(2) Bagaimana faktor spiritual dan religius membentuk karakter dan berintegrasi
dalam psikoterapi grup?
(3) Bagaimana mengukur outcome dari psikoterapi grup dan apa hasilnya?
4. METODE
Penelitian ini dirancang sebagai tinjauan literatur sistematis.
4.1. Strategi pencarian. Pada proses mencari literatur bertema spiritual dan
agama dalam kelompok psikoterapi, digunakan dua strategi pencarian menyeluruh,
yaitu : (1) kombinasi strategi pencarian "Singkat" dan "building block" (mencari
database) serta (2) "citation pearl growing strategy" (meninjau secara sistematis
daftar referensi untuk literatur yang lebih relevan) [35]. Penulis pertama telah
melakukan pencarian literatur, yang telah diselesaikan pada bulan April 2013.Dua
database dicermati, PsycINFO dan PubMed, karena di dalamnya terdapat jurnal-
jurnal yang berpotensi relevan dengan psikologi dan kesehatan telah dibuat indeksnya
dalam database tersebut.
Perbedaan metode pencarian "singkat" dan "building blocks" telah
dieksplorasi dalam rangka untuk mendapatkan banyak referensi sebanyak mungkin
dan menciptakan pencarian sejenis dalam dua database. Judul yang diatur pada
PsycINFO (Index istilah) termasuk "Agama," "Religiusitas," "Keyakinan Agama,"
dan "Spiritualitas," dan pencarian singkat dari indeks keempat istilah ini dikombinasi
dengan istilah Index "kelompok psikoterapi "dan" Grup Intervensi "diidentifikasi oleh
95 referensi.
33

Sementara judul yang diatur pada PubMed "Agama," "Keyakinan, agama,"
dan "spiritualitas" digabungkan dengan istilah MESH "kelompok psikoterapi," dan
dari pencarian terindentifikasi 221 referensi.Program perangkat lunak
EndNotedigunakan untuk menangani referensi yang telah ditemukan. Tujuh
referensi tumpang tindih, dan total dari 309 referensi diambil dari database pencarian
diperiksa berdasarkan judul dan abstrak untuk melihat apakah mereka
memenuhikriteria inklusi.Sembilan puluh sembilan artikel dianggap memenuhi syarat
untuk pemeriksaan teks lengkap, yang menunjukkan tingkat yang relatif "presisi"
tinggi untuk pencarian database [35].selanjutnya, daftar referensi yang berisi 99
artikel teks diperiksa sebagai bagian dari "citation pearl growing strategy" [35].
Hanya tiga artikel tambahan ditemukan sebagai bagian dari "citation pearl growing
strategy ", yang menunjukkan tingkat " recall " tinggi[35]. Sejumlah 102 artikel teks
lengkap telah diperiksa untuk memenuhi kriteria pengecualian untuk penelitian
4.2. Kriteria inklusi. Artikel mengenai penelitian empiris berbahasa inggris
dan skandinavia pada spiritual atau agama terintegrasi dengan kelompok intervensi
psikologis.
4.3. Kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi untuk tinjauan adalah sebagai
berikut.
1) Penelitian pada intervensi di mana elemen spiritual atau agama hanya
bagian kecil dari budaya atau pemahaman sosial.
2) Penelitian pada integrasi spesifik teknik "spiritual" ke intervensi
(misalnya, yoga, meditasi, dan pengampunan) di mana intervensi
keseluruhan tidak didasari oleh pertimbangan spiritual atau agama.
3) Penelitian di mana fokusnya adalah pada jenis intervensi tertentu
(misalnya, berbasis seni atau psikososial) dan elemen spiritual hanyalah
pelengkap.
4) Penelitian pada kelompok intervensi psikoedukasional.
5) Penelitian pada intervensi pasangan dan keluarga.
34

6) Penelitian pada kelompok intervensi eksistensial dan kelompok meaning-
centered yang tidak spesifik termasuk agama atau unsur-unsur spiritual.
4.4. Penilaian kualitas. Secara total, 10 artikel memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi untuk review.Penulis pertama mengevaluasi penelitian berdasarkan
checklist dari alat penilaian standar.Tujuan dari menggunakan daftar adalah untuk
menilai kualitas kekuatanmetodologis dari sepuluh penelitian dengan tujuan dari jenis
penelitian yang dipresentasikan dan untuk menghilangkan bias metodologis.
Penelitian kualitatif ( = 2) ditujukan pada penilaian kualitas menggunakan
pendekatan Critical Appraisal [36]. Penelitian Kuantitatif ( = 8) ditujukan pada
checklist yang dikembangkan oleh Regan et al. [37]. Lihat Tabel 1 untuk daftar
penilaian kualitas.
Dalam penilaian kualitas tiga jenis evaluasi yang digunakan: 0 untuk item
yang tidak dilaporkan, 1 untuk item dengan pelaporan seadanya (misalnya, informasi
tersirat), dan 2 untuk item dengan pelaporan yang cukup (mis., informasi eksplisit).
Penilaian Kualitas makalah menghasilkanpengecualian pada 2 penelitian[38, 39].
Lihat Gambar 1 untuk strategi pencarian dan pengecualian.
4.5. Evaluasi Intervensi. Dalam rangka untuk mengevaluasi
kelompokpsikoterapi terintegrasi rohani atauagama, tiga pertanyaan khusus
ditambahkan ke dalam proses pemeriksaan.
1) Bagaimana spiritualitas atau agama digolongkan untuk grup psikoterapi?
2) Bagaimana faktor spiritual atau agama diintegrasikan ke dalam kelompok
psikoterapi?
3) Apa hasil dari kelompok psikoterapi terintegrasi spiritual atau agama?
Evaluasi disajikan pada Tabel 2.
5. TEMUAN
Delapan artikel dalam sampel dianggap transparan secara metodologis dan
karena itu memenuhi syarat untuk review.Terdapat beberapa kelemahan secara umum
dalam semua penelitian, termasuk kurangnya sebuah diskusi tentang isu-isu etika, dan
35

sebagian besar penelitian kuantitatif hanya secara samar-samar menangani masalah-
masalah pada sampling probabilitas dan tingkat respons. Namun, delapan artikel lain
mencetak penilaian tinggi pada metode, langkah-langkah, analisis, temuan, dan nilai
penemuan. Hal ini memberi dampak positif dalam penafsiran temuan mereka.Lihat
Tabel 2 untuk skor penilaian.
Pada bagian berikut, setelah dimasukkannya gambaran umum singkat
penelitian, kita akan meninjau penelitian dalam hal (1) definisi spiritualitas dan
agama, (2) deskripsi faktor spiritual dan keagamaan dalam penelitian, dan (3) hasil
dari terapi kelompok.
5.1. Deskripsi Grup psikoterapi.Beberapa jenis psikoterapi kelompok yang
disajikan dalam delapan penelitian.Durasi sesi bervariasi dari 45 menit sampai dua
jam.Empat kelompok psikoterapi yang dipresentasikan merupakan kelompok dengan
intervensi waktu terbatas dalam 6-14 sesi.Dua penelitian yang dilaporkan pada
kelompok psikoterapi memiliki jumlah sesi tanpa batas.Satu penelitian tidak
melaporkan durasi atau jumlah sesi [40].Satu penelitian melaporkan model
pengobatan secara intensif dengan dua belas minggu pengobatan harian [41].
Tujuh dari kelompok psikoterapi ditujukan pada kelompok pasien spesifik:
orang dewasa dengan penyakit mental berat[42]; Pengguna narkoba dengan HIV
positif [40]; Pasien HIV [43]; perfeksionisme di antara kalangan mahasiswamormon
[44]; Pasien diabetes Buddha dengan gejala depresi [45]; pasien skizofrenia yang
telah pulih [46]; wanita dengan kanker payudara primer [47]. Hanya Austad dan
Folleso [41] yang melaporkan pada pengobatan berdasarkan grup, pasien dengan
pengalaman religius dan eksistensial berperan penting bagi penyakit mental mereka.
Tiga kelompok psikoterapi menargetkan intervensi mereka pada orang-orang
dengan minat dalam spiritualitas atau agama: Vita-prosjektet [41] hanya untuk orang-
orang dengan ketertarikan dalam isu-isu agama; kelompok terapi Buddha[45] hanya
menerima yang beragama Buddha; kelompok perfeksionisme Mormon [44] secara
khusus dirancang untuk Mormon; grup intervensi berbasis spiritual untuk penderita
HIV-positif dewasa [43] hanya untuk pasien HIV dengan ketertarikan tertentu dalam
36

spiritualitas. Empat kelomopok intervensi lain yang ditujukan khusus kelompok
pasien yang tidak selalu memiliki minat spiritualitas atau religiusitas.
5.2. Definisi Spiritualitas dan Agama.Definisi spiritualitas atau agama
sepenuhnya tidak ada pada tiga dari delapan penelitian [40, 41, 44], dan tidak adanya
konseptualisasi menimbulkan ketidakpastian tentang bagaimana faktor spiritual atau
agama yang diintegrasikan ke dalam kelompok psikoterapi disajikan.O'Rourke [42]
menggunakan pendekatan modern mendefinisikan kedua konsep ini (lihat perbedaan
Pargament di atas).Agama didefinisikan sebagai agama individu atau latar belakang
denominasi, sedangkan spiritualitas yang bersangkutan dengan nilai-nilai individu,
hubungan, dan persepsi dari suci; agama didefinisikan sebagai konstruk kelembagaan,
sedangkan spiritualitas fokus pada individu dan pengalaman spiritualnya.Namun,
terapi kelompok O'Rourke hanya menangani masalah-masalah spiritual.Dia
mendefinisikan spiritualitas sebagai konstruksi individual dan personal semata-mata
dan tidak menggunakan definisinya untuk agama dalam penelitian ini.
Penelitian oleh Rungreangkulkij et al. [45] menggunakan pendekatan
tradisional untuk mendefinisikan (lihat perbedaan yang Pargament di atas), di mana
agama adalah membangun suatu koneksi, dan spiritualitas tidak secara eksplisit
dibedakan dari agama [24].
Rungreangkulkij mendefinisikan Buddhisme merupakan ajaran di mana
spiritualitas secara bersamaan dan terpadu sebagai bagian dari agama Buddha.
Penelitian oleh Revheimet al. [46], Garlick et al. [47], dan Tarakeshwar et al.
[43] semua menggunakan pendekatan modern untuk mendefinisikan, dan mereka
menganggap spiritualitas hanya sebagai hal positif, pribadi, dan terkait dengan
lingkungan [26]. kerohanian didefinisikan sebagai keyakinan pribadi, praktik, dan
nilai-nilai dan ini berkaitan dengan makna, tujuan, dan kesempatan memulai
kehidupan baru. Spiritualitas juga bisa berasal dari denominasi tertentu biasanya
terkait dengan agama atau tujuan iman yang lebih tinggi atau kekuasaan.
Hanya penelitian oleh Tarakeshwar et al. [43] spiritualitas didefinisikan
mungkin juga menjadi hubungan dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, dan,
37

sebagai satu-satunya penelitian yang menggunakan pendekatan modern, mereka
mengerti spiritualitas sebagai konstruksi dengan dua aspek baik secara positif dan
negatif. Eksplisit teoritis dan empiris dasar untuk kelompok intervensi adalah konsep
Pargament dalam hal agama dan mendalami agama [15].Tarakeshwar et al. [43]
menekankan bahwa setiap pasien harus mendefinisikan spiritualitas mereka dalam
sesi kelompok pertama.Dengan demikian, spiritualitas adalah semata-mata
membangun individual dan personal.
Mereka juga menekankan bahwa penelitian telah menunjukkan bahwa
individu dengan HIV lebih mungkin untuk mendefinisikan diri mereka secara
spiritual daripada religius dan karena itu mereka fokus pada spiritualitas dan agama
dihilangkan dari fokus kelompok terapi.ini bertentangan [26] kritik pertama
Pargament tentang pasien tidak membuat perbedaan antara agama dan spiritualitas,
dan tidak koheren dengan definisi dan pemahaman coping agama disajikan oleh
Pargament [15].
Menyimpulkan: Definisi spiritualitas dan agama di delapan penelitian yang
ditandai dengan penekanan kuat pada spiritualitas agama sementara sebagian besar
penelitian dikesampingkan.Tiga penelitian tidak melaporkan setiap konseptualisasi
spiritualitas dan agama sama sekali. Spiritualitas diartikan secara individu dengan
konstruksi positif dan luas. Dalam nada yang sama, beberapa penelitian sengaja
menghindari definisi yang jelas, karena mereka ingin klien untuk mengisi konsep
dengan makna masing-masing.
5.3. Faktor Spiritual dan Religius.Tujuan dari kelompok masalah spiritual
untuk dewasa dengan gangguan mental [42] adalah untuk menawarkan klien suatu
tempat yang aman untuk menumpahkan masalah spiritual mereka. Faktor spiritual
dalam kelompok terapi ini akan menjadi tempat spiritual yang aman. Meskipun
demikian, karena pengertian individu yang berbeda mengenai spiritualitas sebagai
intervensi, suatu tempat spiritual yang aman dapat menjadi hampir segalanya yang
terasa baik untuk pasien dalam kelompok terapi. Dengan demikian, faktor spiritual
38

tidak lagi menjadi jelas, dan dapat dipertanyakan jika kelompok terapi terpisah dari
kelompok psikoterapi jenis lain yang tanpa disertai spiritualitas.
Margolin et al. [40] menyatakan bahwa tidak ada definisi spiritualitas atau
agama dalam terapi spiritual yang diatur sendiri (spiritual self-schema).Setiap
individu harus menciptakan, menguatkan, dan mengaktifkan suatu spiritualitas
individu untuk dirinya sendiri.Spiritual self-schemadapat menjadi faktor spiritual
pada kelompok terapi ini.Namun, faktor spiritual jadi digelapkan karena spiritual
self-schemaharus diciptakan oleh individu untuk memberikan arti individual.Dengan
demikian, faktor spiritual bisa saja merupakan segala hal personal dan berarti yang
ada pada kelompok terapi, dan hasil dari kelompok terapi tidak boleh dihubungkan
secara langsung pada faktor spiritual.
Richards dan Owen [44] telah mengimplementasikan suatu kelompok
intervensi yang dikembangkan oleh King [48] dan menambahkan komponen religius-
spiritual.Mereka tidak mendefinisikan spiritualitas atau agama.Meskipun tidak
disertai definisi, gambaran religius, diskusi dari artikel bibliotherapy religius,
hubungan antar kepercayaan religius, serta perfeksionisme telah diintegrasikan dalam
kelompok terapi.Namun, faktor spiritual/religius pada kelompok terapi sangat sulit
untuk dinilai, karena kelompok terapi menyebutkan kepercayaan Mormon tanpa
medefinisikan kepercayaan tersebut.Intervensi dipustakan pada penggunaan
perangkat religius untuk mengenali kepercayaan religius yang memperburuk
perfeksionisme.Namun, karena kepercayaan religius tidak didefinisikan, maka tetap
tidak jelas jika perangkat religius menyebut mereka. Lebih lanjut, dipertanyakan
apakah sikap pasrah mereka untuk Mormons dapat dipisahkan dari sikap pasrah
kelompok lain.
Rungreangkulkij et al. [45] mendefinisikan Budha untuk terapi sebagaimana
3 aturan utama dari Budha dan mengintegrasikan definisi tersebut; mereka
menunjukkan definisi religius dan menciptakan intervensi religius.Tujuan dari
kelompok terapi adalah sebagai pengikut untuk hidup sebagai penganut Budha yang
39

baik.Faktor religius dapat dengan mudah diidentifikasi karena keseluruhan intervensi
bersifat religius.Seluruh intervensi kelompok penganut Budha adalah faktor religius.
Penelitian oleh Revheim et al. [46] dan Garlick et al. [47] mendefinisikan
spiritualitas sebagai konstruksi personal yang positif.Fokusnya adalah pada
pengertian personal masing-masing orang.Faktor spiritual yang bekerja pada
kelompok terapi mereka tidak jelas dan sulit dinilai.Tidak jelas apakah intervensinya
bersifat spiritual atau positif karena spiritualitas itu sendiri adalah sesuatu yang positif
dalam definisi mereka. Dengan demikian, faktor spiritual pada kelompok terapi dapat
menjadi apa saja yang dialami pasien sebagai suatu hal yang positif dalam konteks
kelompok terapi. Perlu dipertanyakan apakah kelompok psikoterapi ini dipisahkan
dari kelompok psikoterapi jenis lain tanpa penggabungan spiritualitas.
Vita-prosjektet disampaikan oleh Austad dan Folleso [41] berdasarkan
teori obyek-relasional.Intinya adalah representasi pasien terhadap Tuhan dan
bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan dan fungsi psikis dari
pasien.Spiritualitas maupun agama tidak didefinisikan dalam penelitian ini.Meski
demikian, penggabungan spiritualitas dan religius melalui representasi Tuhan dapat
dimengerti dan didefinisikan secara teori dan empirik.Faktor spiritual/religius dalam
kelompok terapi ini adalah representasi Tuhan.Mereka menjelaskan pembatasan yang
jelas tentang faktor spiritual/religius untuk kelompok terapi.
Tarakeshwar et al. [43] memaparkan deskripsi mendetail tentang kandungan
intervensi spiritual coping group untuk pasien HIV.Spiritual coping yang positif
adalah fokus dari kelompok terapi, dan pasien harus melakukan refleksi diri terhadap
bagaimana spiritualitas membantu atau menghalangi coping dengan
HIV.Tarakeshwar et al. memfokuskan pada spiritualitas dan menghilangkan agama,
dan mengutamakan definisi individual terhadap spiritualitas.Namun demikian,
memeriksa intervensi kelompok tentang teori yang mendasari menjadi nyata.Dasar
teori dan empiris dari intervensi kelompok adalah konsep Pargament tentang agama
dan religius coping [15]. Di luar fakta bahwa teori Pargament adalah religius coping
dan Tarakeshwar et al. menyatukan teori mereka menjadi suatu intervensi spiritual
40

tersendiri bergantung pada definisi pribadi masing-masing klien terhadap
spiritualitas, tujuan dari kelompok terapi agar partisipan meningkatkan coping
spiritual mereka. Faktor spiritual lebih mudah diidentifikasi karena seluruh kelompok
terapi adalah spiritual.
Kesimpulannya, deskripsi faktor spiritual atau religius tidak jelas pada lima
penelitian. Hasil dari intervensi kelompok mungkin dihubungkan secara langsung
pada faktor spiritual atau religius pada kelompok terapi yang dibicarakan, dan tetap
tidak jelas apakah kelompok terapi ini dipisahkan dari jenis kelompok terapi lain
tanpa penggabungan spiritualitas atau religiusitas. Hanya penelitian oleh
Rungreangkulkij et al. [45], tarakeshwar et al. [43], dan Austad dan Folleso [41]
memiliki faktor spiritual atau religius yang terintegrasi dalam kelompok intervensi
yang dapat diharapkan berhubungan langsung dengan hasil intervensi. Berdasarkan
kejelasan dan pembatasan faktor spiritual/religius pada ketiga kelompok terapi ini,
maka mungkin untuk memisahkan mereka dari kelompok terapi jenis lain tapa
integrasi dari faktor spiritual atau religius.
5.4. Hasil dari Kelompok Terapi. ORourke [42] melaporkan penemuan
kualitatif dari kelompok spiritual dengan 12 orang dewasa dengan gangguan
mental.Dia memaparkan tema yang berbeda yang muncul pada data. Data penelitian
menunjukkan bahwa menyebutkan masalah spiritual dalam kelompok psikoterapi
memfasilitasi integrasi dari spiritualitas individual dengan seluruh dimensi lain dari
kepribadian seseorang. Penelitian ORourkes memiliki kelemahan yaitu tidak
menghitung bagaimana konsep awal peneliti mempengaruhi data dan penemuan
penelitian.
Margolin et al. [40] menggunakan desain penelitian pretes-postest untuk
meneliti kelompok terapi yang fokus dalam spiritualitas selama 8 minggu. Empat
puluh pengguna obat yang menderita HIV menerima terapi akupunktur dan 15 dari
mereka juga menerima terapi spiritual self-schema.Pengukurannya meliputi depresi
(BDI), kecemasan (STAI), tes obat dalam urin, dan tingkatan umum mengenai efek
akupunktur.Kedua kelompok dilaporkan mengalami pengurangan depresi (BDI) dan
41

kecemasan (STAI).Periode follow-up tidak dilaporkan.Kelompok spiritual self-
schema melaporkan pengurangan yang lebih tinggi daripada kelompok yang hanya
diakupunktur, namun perbedaan antar kelompoknya tidak signifikan.Tes urin
mengindikasikan bahwa kelompok spiritual self-schema menahan diri dari
menggunakan heroin dan kokain dalam beberapa minggu lebih lama dibanding
kelompok yang hanya diakupunktur.
Richards dan Owen [44] menggunakan desain pretes-postest, di mana
mereka melengkapi pengukuran hasil pada 8 minggu setelah mengakhiri terapi
kelompok. Lima belas Mormons menerima intervensi kelompok untuk self-defeating
perfectionism.Pengukurannya meliputi depresi (BDI), perfeksionisme (PS), harga diri
(CSE), dan skala religius dan eksistensial SWBS.Peserta memperoleh skor yang
cukup rendah untuk BDI, PS, lebih tinggi untuk CSE dan SWBS pada kesimpulan
kelompok.Tidak ditemukan peningkatan yang signifikan dari kesejahteraan religius
(SWBS), yang mengindikasikan bahwa efek depresi dan perfeksionisme tidak
disebabkan oleh perilaku religius yang baik. Terlebih, pengukuran yang melibatkan
poin yang sama atau mirip akan menyebabkan pemaksaan terhadap diri sendiri, efek
tautologis.
Rungeangkulkij et al. [45] menjelaskan desain pretes-postest dengan
kelompok kontrol berpasangan dari 32 pasien dan 32 pasien menghadiri terapi
kelompok penganut Budha. Pengukuran yang digunakan dirubah dalam gejala depresi
(PHQ-9).Pengukuran ini dimasukkan sebelum intervensi dan 6 bulan setelah
intervensi. Skor PHQ-9 yang terus menerus (antara 0 sampai 27) mengindikasikan
bahwa kedua kelompok mengalami pengurangan depresi: kelompok penganut Budha
mendapat nilai 11,8 (pretes) dan 1,0 (postest) dan kelompok kontrol 11,5 (pretes) dan
5,9 (postest), namun tidak ada tes signifikan yang dilakukan untuk membedakan
kedua kelompok ini. Selanjutnya untuk analisis terapi, PHQ-9 dikategorikan sebagai
normal (skor < 7) dan depresi (> 7) dan hal ini mengindikasikan bahwa peserta dalam
kelompok intervensi memiliki kesempatan yang lebih besar (6,6 kali) untuk kembali
normal dibandingkan dengan kelompok kontrol.
42

Revheim et al. [46] membuat suatu penelitian follow-up, di mana mereka
membandingkan kelompok yang hadir (n = 20) dengan kelompok kontrol
berpasangan (n = 20) setelah intervensi berakhir. Pengukuran meliputi spiritual status
(SSQ), self-efficacy (SES), quality of life (QOL), hopefulness (HHI),dan profil
religius/demografik. Mereka menemukan bahwa status spiritual kelompok yang hadir
berkorelasi signifikan terhadap SES dan HHI, dan kelompok yang hadir memiliki
status spiritual serta HHI yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak hadir.
Namun, mereka menggunakan instrumen di mana konstruksi diukur dengan poin
yang sama atau mirip (pengukuran SSQ memiliki poin yang sama atau mirip seperti
HHI), yang dapat menyebabkan efek tautologis, dan terdapat relatif sedikit hasil
signifikan dengan adanya penggunaan banyak pengukuran.
Garlick et al. [47] menggunakan desain penelitian pretes-postest, di mana
mereka memasukkan instrumen pengukuran dalam tiga periode waktu yang berbeda:
penilaian awal, penilaian dalam satu minggu setelah menyelesaikan intervensi, dan
penilaian follow-up empat minggu kemudian. Instrumen dipilih untuk mengukur
kualitas hidup (FACT-B), gangguan mood (POMS), posttraumatic growth (PTGI),
dan perilaku spiritual (FACIT-Sp-Ex).Mereka melaporkan 24 wanita dengan kanker
payudara menyelesaikan terapi integratif psikospiritual dan 20 wanita menyelesaikan
follow-up.Peserta mengalami perbaikan pada perilaku psikologis dan fisik (POMS
dan FACT-B), perilaku spiritual (FACIT-Sp-Ex), dan posttraumatic growth (PTGI).
Efek yang signifikan dengan perkembangan yang signifikan ditemukan antara pretes
dan postest serta antra pretes dan follow-up. Namun periode follow-up lebih pendek
untuk menetukan perubahan di antara peserta, dan mereka juga memasukkan
instrumen penilaian tautologis.
Austad dan Folleso [41] menggunakan desain pretes dan postest. Penilaian
meliputi gejala umum (SCL-90), depresi (BDI), dan problem interpersonal (IIP).Dua
puluh tiga pasien menyelesaikan intervensi, dan seluruhnya menunjukkan penurunan
gejala yang signifikan. Skor rata-rata untuk SCL-90 menurun menjadi 0,7 dari 1,2;
dan skor rata-rata untuk depresi (BDI) menurun menjadi 8,8 dari 19,8. Hanya dua
43

pasien yang memenuhi kriteria preintervensi problem interpersonal (IIP), namun hal
ini juga menunjukkan perubahan positif yang signifikan. Jangka waktu antara pretes
dan postest tidak dilaporkan.
Tarakeshwar et al. [43] mengevaluasi efektivitas dari intervensi kelompok
spiritual coping untuk 13 orang dewasa yang hidup dengan HIV/AIDS menggunakan
desain pretes dan postest. Mereka memasukkan instrumen penilaian pada
kepercayaan dan praktik religius (skala dari BMMRS), distres psikologis (CES-D),
dan karakteristik demografik sebelum intervensi dan tiga minggu setelah
intervensi.Mereka menemukan bahwa setelah intervensi peserta mengalami
peningkatan religiusitas (BMMRS), penggunaan spiritual coping negatif yang
semakin menurun (BMMRS), dan penurunan depresi (CES-D).Peserta juga
mengalami peningkatan penggunaan spiritual coping positif (BMMRS) meskipun
tidak signifikan.Namun periode follow-up relatif singkat, dan ada keterbatasan
penemuan signifikan relatif terhadap jumlah variabel yang diukur.
Kedelapan penelitian melaporkan beberapa hasil positif dari kelompok
psikoterapi dengan penggabungan unsur religius/spiritual. Namun, tidak satupun dari
penelitian di atas menggunakan desain random, jumlah sampel relatif kecil, instrumen
yang digunakan untuk mengukur hasil pada setengah dari penelitian tersebut
memiliki konstruksi yang sama, dan tidak ada penelitian yang berusaha
meminimalisir efek Hawthorne. Di luar laporan tentang hasil yang positif, desain
penelitian yang ditampilkan pada delapan penelitian ini tidak sehat, dan tidak ada
bukti solid mengenai hasil positif atau langsung dari penggabungan faktor religius
dan spiritual dalam kelompok terapi.Namun, ketiadaan bukti bukan bukti dari
ketiadaan dan penelitian lebih lanjut dengan desain yang lebih sehat diperlukan dalam
bidang penelitian yang belum berkembang ini.
6. DISKUSI
Untuk sebagian orang, spiritualitas dan agama merupakan pusat dari
kehidupannya dan untuk sebagian orang lainnya, spiritualitas dan agama memiliki
peran yang kecil di dalam kebahagiaan psikologis mereka [3].Perbedaan dan
44

pentingnya mengenai spiritualitas atau ketaatan beragama pada pasien dapat
diharapkan pengaruhnya oleh kedua faktor itu yaitu baik faktor spiritualitasnya dan
atau faktor ketaatannya beragama di dalam kaitannya dengan psikoterapi kelompok
sesuai dengan hasil yang diperoleh.Hanya pada intervensi kelompok yang dipaparkan
oleh Austad dan Folleso [41], Tarakeshwar et.al [43], Richards and Owen [44], dan
Rungreangkulkij et.al [45] mengusulkan sebuah terapi kelompok unutk pasien dengan
sebuah ketertarikan yang spesifik pada agama dan spiritualitas.Hal ini mengejutkan
ketika empat penelitian sisanya tidak membahas satu atau beberapa perhatian
eksplisit mengenai hal ini, sebagai motivasi klien sebelum memulai psikoterapi
menurut sebuah faktor ekstraterapetik yang dapat menjadi hal yang krusial dalam
psikoterapi [34].
Seluruh delapan penelitian menggunakan model yang berhubungan dengan
medis untuk mengukur efek intervensi total, dan tidak ada satupun dari mereka
menunjukkan faktor yang biasa saat bekerja.Demikian juga hal ini mengejutkan,
sebagai penggabungan antara agama dan spiritualitas ke dalam psikoterapi kelompok
dapat dikatakan menjadi model atau faktor teknis yang menstimulasi harapan
harapan positif dan bantuan guna partisipasi klien dalam terapi [34].Lagipula,
evaluasi menunjukkan bahwa untuk sebagian besar penelitian mengenai faktor
spiritual atau agama yang tergabung ke dalam terapi kelompok tidak dapat terhubung
langsung ke dalam hasil dari terapi kelompok tersebut. Jika penelitiannya
menggunakan sebuah model faktor yang biasa daripada model yang berkaitan dengan
medis untuk mengukur hasil dari terapi kelompok, ini dapat membuka batasan
batasan yang jelas antara psikoterapi psikoterapi kelompok yang menggabungkan
delapan spiritualitas dan ketaatan beragama dengan psikoterapi psikoterapi yang
tidak menggabungkan faktor spiritualitas dan ketaatan beragama.
Hasil hasil dari delapan terapi kelompok menyisakan keraguan karena
definisi definisi dan penggabungan secara sadar dari faktor spiritual dan agama
dalam terapi terapi kelompok untuk mayoritas penelitian hal ini dipaparkan
dengan tidak jelas dan tidak seharusnya terhubung kepada hasil hasil penelitian dan
45

juga dalam hal kegunaan mereka dalam desain studi yang klemah, sampel yang
terbatas, dan alat alat peniliaian yang berulang kali telah disebutkan.
Kekurangan identifikasi yang jelas dari faktor spiritualitas dan keagamaan
dan hubungannya terhadap hasil psikoterapi mungkin mengesankan bahwa hasil dari
penelitian penelitian tersebut disebabkan oleh commonfactors [22]. Empat elemen
faktor yang biasa (common factors) ini dipaparkan oleh Hubble et al. [34], klien dan
faktor faktor ekstraterapetik, model model dan teknik teknik, faktor terapis, dan
hubungan terapetik atau aliansi, semuanya dapat ditunjukkan dalam semua terapi
terapi kelompok, dan faktor faktor ini dapat mencukupi langsung atau tidak
langsung untuk mempengaruhi hasil penelitian penelitian tersebut.
Akhirnya, beberapa penelitian menunjukkan definisi modern untuk
spiritualitas dan agama, di mana spiritualitas merupakan konstruksi atau bangunan
yang bersifat positif dan pribadi [26].Dengan demikian, faktor spiritual mungkin
menjadi pengalaman positif apapun juga pada klien dalam terapi kelompok.Untuk
penelitian penelitian ini, faktor spiritual menjadi diragukan karena konsep
spiritualitas sendiri yang kurang jelas.
Berdasarkan pembatasan review sistematis yang sekarang, hal ini menjadi
catatan yang hanya satu peneliti (penulis pertama) selenggarakan penelitian
literaturnya, mengingat ketiga penulis telah melakukan evaluasi yang komplit.
Bagaimanapun, strategi penelitian sudah dipaparkan dengan jelas, transparansi yang
sudah dipastikan, dan standarisasi evaluasi, dan berdasarkan instrumen evaluasi yang
dasar dan terstruktur.
7. KESIMPULAN
Kejelasan dan batasan konsep dari faktor spiritualitas / ketaatan beragama
merupakan hal yang krusial untuk dapat menyimpulkan secara langsung pengaruh
dari faktor spiritual / ketaan beragama terhadap hasil penelitian. Penelitian yang
dilakukan oleh Rungreangkulkij et al. [45], Trakeshwar et al. [43], dan Austad dan
Folleso [41] sukses menggabungkan faktor spiritual / ketaatan beragama dalam
psikoterapi kelompok dan dapat membatasi faktor spiritual / ketaatan beragama
46

dalam psikoterapi kelompok, jadi hal hal ini menjadi jelas dan spesifik. Meskipun
keterbatasan desain penelitian dan kebutuhan metode penelitian yang lebih tepat,
faktor spiritualitas / ketaatan beragama, pada penelitian dipertimbangkan terhubung
langsung pada hasil terapi kelompok.Psikoterapi kelompok yang terintegrasi dengan
spiritualitas atau agama berbeda dari tipe lainpsikoterapi kelompok tanpa faktor
spiritualitas / agama. Ini berarti bahwa spiritualitas, sebagai bangunan yang positif
dan pribadi, akan mengaburkan faktor spiritual terapi kelompok. Bagaimanapun,
kekurangan definisi agama dan spiritualitas akan menjadi masalah jika faktor
ketaatan beragama dan spiritualitas juga tidak diterangkan dengan jelas. Lagipula,
penelitian penelitian ini ditujukan pada kelompok pasien dengan ketertarikan yang
biasa saja pada isu isu agama dan spiritualitas dan ini nampak untuk menggugah
motivasi pasien dan commonfactors, yang mempengaruhi terapi kelompok dan hasil
yang positif.
Evaluasi di atas berimplikasi dengan psikoterapi kelompok yang terintegrasi
dengan spiritualitas dan ketaatan beragama. Berdasarkan review penelitian yang
sistematis, kejelasan dan batasan konsep faktor spiritual atau ketaatan
beragamasebagai bentuk dasar untuk terapi kelompok yang terhubung dengan faktor
spiritualitas dan ketaatan beragama. Lagipula, tujuan pengintegrasian terapi
kelompok dengan faktor spiritualitas dan ketaatan beragama adalah untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk diterapi.
Selanjutnya evaluasi memiliki implikasi untuk penelitian pada terapi
kelompok terintegrasi spiritualitas dan agama. Penelitian ini masih belum dilakukan
penyelidikan yang mendalam dan artikel review ini memiliki desain penelitian yang
lemah. Penelitain selanjutnya di masa mendatang harus lebih baik dan dengan desain
penelitaian yang acak dan kuat.Terkhusus penelitian perlu memiliki kelompok
kontrol yang tidak memiliki faktor spiritual. Hal ini akan membuat perbandingan
yang terbaik dan membolehkan satu sampel untuk diuji efek dari faktor
spiritualitasnya. Guna mendapatkan bukti yang kuat untuk efek penggabungan faktor
agama dan spiritualitas ke dalam terapi kelompok, konsensus dalam kehidupan
47

beragama, spiritualitas, dan kesehatan tentang tindakan spiritualitas dan keagamaan
yang tidak terkontaminasi dengan item untuk kesehatan jiwa dapat terjamin.

Anda mungkin juga menyukai