Anda di halaman 1dari 24

- 1 -

Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 20/II/P3DI/Oktober/2014
H U K U M
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KONTROVERSI PERPPU PILKADA
DAN PERPPU PEMDA
Monika Suhayati*)
Abstrak
Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan
Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2014. Kedua
Perppu ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan yang berikut,
yaitu Masa Persidangan II Tahun Sidang 2014-2015. DPR diuji dalam penetapan
Perppu yang nilai politisnya sangat tinggi ini menjadi UU sesuai dengan rambu-rambu
konstitusional.
Pendahuluan
Pada tanggal 2 Oktober 2014,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menandatangani Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota (Perppu Pilkada) dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Perppu Pemda). Perppu
Pilkada menolak pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang (UU Pilkada) yang mengatur mekanisme
pemilihan kepala daerah oleh DPRD, sedangkan
Perppu Pemda mengubah ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang
memberi kewenangan kepada DPRD untuk
memilih kepala daerah.
Perppu Pilkada mengubah mekanisme
pemilihan kepala daerah menjadi secara
langsung oleh rakyat. Menurut mantan Wakil
Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana,
penerbitan Perppu Pilkada dan Perppu Pemda
dilakukan karena Presiden SBY menghendaki
pelaksanaan pilkada yang lebih baik dari
sebelumnya. Sejak awal pembahasan UU
Pilkada, Presiden menginginkan pelaksanaan
pilkada secara langsung dengan sejumlah
perbaikan.
Menurut Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri,
Djohermansyah Johan, isi Perppu Pilkada
*) Peneliti Muda Hukum, pada Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. E-mail: monika.suhayati@dpr.go.id.
- 2 -
tidak sepenuhnya sama dengan draf RUU
Pilkada Langsung yang pernah dibahas DPR
dan Pemerintah. Materi Perppu Pilkada 95%
sama dengan RUU Pilkada Langsung yang
pernah dibahas DPR dan Pemerintah, yaitu
menyempurnakan materi di RUU dengan
menambahkan atau menghilangkan pasal. Salah
satu pasal yang dihilangkan dari draf RUU
terkait dengan sanksi denda yang harus dibayar
calon kepala daerah jika terbukti memberikan
uang kepada partai politik untuk mengusungnya
jadi kepala daerah.
Pasca-penetapan Perppu Pilkada dan
Perppu Pemda, Mahkamah Konstitusi (MK)
menerima beberapa permohonan judicial
review terhadap UU Pilkada. Pada tanggal 23
Oktober 2014, MK menyatakan tidak dapat
menerima lima permohonan terkait pengujian
UU Pilkada, yakni Putusan No. 97-98-101-
105-111/PUU-XII/2014. Menurut MK dalam
putusannya, Presiden pada tanggal 2 Oktober
2014 telah menetapkan Perppu Pilkada, yang
di dalam Pasal 205 Perppu Pilkada menyatakan
bahwa pada saat Perppu Pilkada ini berlaku,
UU Pilkada dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. Dengan demikian UU Pilkada yang
menjadi objek permohonan sudah tidak ada
maka kedudukan hukum (legal standing) para
pemohon dan pokok permohonan para pemohon
judicial review tidak dipertimbangkan.
Dasar Hukum Penetapan Perppu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) ditetapkan oleh Presiden
tanpa didahului oleh persetujuan bersama DPR.
Perppu diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD Tahun 1945) yang menyatakan:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang;
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut; dan
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto,
Perppu merupakan peraturan yang setingkat
dengan undang-undang, dibuat dalam
kegentingan yang memaksa, dibentuk oleh
Presiden, dan mempunyai fungsi yang sama
dengan undang-undang. Oleh karenanya, materi
muatan Perppu sama dengan materi muatan
undang-undang. Menurut Bagir Manan, materi
muatan Perppu semestinya hanya mengenai
hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan (administrasi negara). Jadi
tidak boleh dikeluarkan Perppu yang bersifat
ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan
pelindungan dan jaminan hak dasar rakyat.
Hal-hal yang berkaitan dengan isu ini misalnya,
lembaga negara, kewarganegaraan, teritorial
negara, dan hak dasar rakyat.
Dalam hierarki peraturan perundang-
undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU No. 12 Tahun 2011), Perppu ditempatkan
sebagai peraturan perundang-undangan yang
sejajar dengan undang-undang. Pasal 11 UU
No. 12 Tahun 2011 menyatakan materi muatan
Perppu sama dengan materi muatan undang-
undang. Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014
tanggal 11 Februari 2014 menyatakan materi
muatan Perppu adalah materi muatan undang-
undang, mempunyai daya-berlaku seperti
undang-undang dan mengikat umum sejak
diundangkan.
Penerbitan Perppu Pilkada dan Perppu
Pemda harus memenuhi ketentuan dalam Pasal
22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yaitu dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa Presiden
berhak menetapkan Perppu. UUD Tahun 1945
tidak memberikan pengertian keadaan yang
termasuk dalam kegentingan yang memaksa.
MK dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009
tanggal 8 Februari 2010 memberikan tiga
syarat adanya kegentingan yang memaksa
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1)
UUD Tahun 1945 tersebut, yaitu:
1. adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. undang-undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau undang-undang terkait yang
ada tetapi tidak memadai; dan
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat undang-
undang dengan prosedur biasa karena
akan memerlukan waktu yang cukup lama,
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut
perlu kepastian untuk diselesaikan.
MK dalam Putusan No. 1-2/PUU-
XII/2014 menyatakan Presiden berwenang
untuk mengeluarkan Perppu hanya dalam
keadaan kegentingan yang memaksa. Syarat
- 3 -
ini ditetapkan oleh konstitusi sehingga bersifat
mengikat. Presiden tidak berwenang untuk
membuat Perppu tanpa adanya kegentingan
yang memaksa. Perppu yang sama materi dan
kekuatannya dengan Undang-Undang tidak
dibentuk oleh Presiden bersama DPR [vide Pasal
20 UUD Tahun 1945], tetapi hanya dibentuk
oleh Presiden seorang diri. Oleh karenanya,
sangat beralasan jika UUD Tahun 1945
memberi syarat kapan Perppu dapat dibentuk
oleh Presiden, yaitu keadaan kegentingan yang
memaksa.
Kontroversi Perppu Pilkada dan Perppu
Pemda
Penerbitan Perppu Pilkada dan Perppu
Pemda mengundang reaksi banyak pihak.
Menurut calon presiden terpilih, Joko Widodo
(sebelum dilantik), semangat saling menjegal
yang terjadi saat ini cenderung mengabaikan
aspirasi rakyat. Menurutnya, elit politik
seharusnya mendengarkan suara rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi ketika akan
membuat suatu keputusan. Wakil Ketua Umum
Partai Golkar, Agung Laksono, menilai dua
Perppu yang dikeluarkan Presiden SBY akan
mendapatkan dukungan dari DPR, termasuk
partai yang bergabung dalam Koalisi Merah
Putih yang menginginkan pemilihan kepala
daerah melalui DPRD.
Pakar hukum tata negara, Saldi Isra,
berpendapat Perppu yang dikeluarkan Presiden
SBY otomatis menggantikan UU Pilkada
dan merevisi UU Pemda. Namun demikian,
Perppu itu nantinya akan disahkan menjadi
UU tergantung pertarungan politik di DPR.
Pakar hukum UNS Surakarta, Agust Riewanto,
menyatakan pranata ketatanegaraan telah
mengakomodasi presiden untuk mengeluarkan
Perppu, yakni Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945
yang menegaskan dalam situasi darurat presiden
diberi kewenangan untuk mengeluarkan
Perppu. UUD Tahun 1945 tidak menyediakan
tafsir secara eksplisit mengenai situasi darurat
tersebut sehingga tafsiran situasi darurat sangat
bergantung pada subjektivitas presiden.
Sementara itu, pakar hukum tata negara
lain, Faisal Akbar Nasution, mengatakan
pembentukan Perppu harus dalam kondisi
kegentingan dan kekisruhan dalam negeri yang
tidak bisa ditoleransi lagi sehingga Perppu
yang ditandatangani Presiden SBY tentang UU
Pilkada dinilai tidak memenuhi syarat. Perppu
harus lahir karena ada beberapa kondisi,
yakni pertama, tindakan yang mengatur
tentang Perppu itu belum ada pengaturannya
dalam berbagai UU atau belum ada UU yang
mengaturnya. Artinya, penerbitan Perppu
dapat dilakukan apabila misalnya UU Pilkada
belum disahkan dan masih menggunakan
UU lama (UU No 22 Tahun 2004). Dengan
demikian, karena UU Pilkada sudah disahkan
sehingga Perppu menjadi tidak diperlukan lagi.
Alasan lain, isi UU Pilkada belum
dilaksanakan sehingga belum terlihat
dampaknya terutama secara politis dan
sosiologis. Kedua, munculnya Perppu haruslah
diakibatkan adanya kerugian yang dialami
seluruh warga negara atas UU yang sudah
ada. Atas dasar itu, kita dapat menarik
kesimpulan, penerbitan Perppu Pilkada dan
Perppu Pemda belum memenuhi persyaratan
pembentukannya, yakni kondisi keterdesakkan
dan/atau kedaruratan. Penolakan masyarakat
secara meluas terhadap UU Pilkada
yang mengatur pemilihan kepala daerah
melalui DPRD belum dapat disebut sebagai
kegentingan yang memaksa. Demikian pula, isu
kekosongan hukum pun tidak memenuhi syarat
karena masih ada kerangka hukum terkait. UU
Pilkada baru disahkan beberapa hari sebelum
dikeluarkan Perppu sehingga tidak dapat
dikatakan UU Pilkada tersebut tidak memadai
dan memerlukan suatu Perppu.
Persetujuan DPR terhadap Perppu
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD
Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU No.
12 Tahun 2011, proses selanjutnya setelah
suatu Perppu ditetapkan adalah mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut. Pada saat dikeluarkan Perppu UU
Pilkada dan Perppu UU Pemda tanggal 2
Oktober 2014, DPR sedang dalam Masa
Persidangan I Tahun Sidang 2014-2015
sehingga pengambilan keputusan terhadap
Perppu UU Pilkada dan Perppu UU Pemda
dilakukan pada masa persidangan berikutnya
yaitu Masa Persidangan II Tahun Sidang
2014-2015 yang akan dimulai pada tanggal 12
Januari 2015.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (3) UU No.
12 Tahun 2011, DPR hanya memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap Perppu. Artinya, persetujuan atau
tidak persetujuan dilakukan terhadap Perppu
secara keseluruhan. UU No. 12 Tahun 2011
tidak memberikan kemungkinan memberikan
- 4 -
persetujuan atau tidak persetujuan terhadap
sebagian atau pasal-pasal tertentu dalam
Perppu. Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal
52 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur bahwa
dalam hal Perppu mendapat persetujuan DPR
dalam rapat paripurna, maka Perppu tersebut
ditetapkan menjadi Undang-Undang. Namun,
dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan
DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut
harus dicabut dan harus dinyatakan tidak
berlaku. DPR atau Presiden kemudian
mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu.
RUU ini harus mengatur segala akibat hukum
dari pencabutan Perppu. Penetapan RUU
Pencabutan Perppu dilakukan dalam rapat
paripurna yang sama dengan rapat paripurna
pemberian tidak persetujuan DPR terhadap
Perppu.
Proses persetujuan DPR atas Perppu
menjadi suatu proses politik karena
memerlukan persetujuan fraksi-fraksi partai
politik di DPR. Proses persetujuan DPR atas
Perppu Pilkada dan Perppu Pemda akan
sulit dikarenakan komposisi koalisi fraksi
di DPR saat ini yaitu Koalisi Indonesia
Hebat pendukung pilkada langsung hanya
mendapatkan 268 suara, sedangkan Koalisi
Merah Putih pendukung pilkada melalui DPRD
mendapatkan 292 suara. DPR diharapkan
mempertimbangkan ketentuan Pasal 22 ayat
(1) UUD Tahun 1945 sebagai dasar hukum
penetapan suatu Perppu dan mendengarkan
aspirasi suara rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi berdasarkan Pasal 1 ayat
(2) UUD Tahun 1945 dalam pengambilan
keputusan tesebut.
Penutup
Secara konsitusional, penerbitan Perppu
dilakukan pada saat negara dalam keadaan
kegentingan yang memaksa meskipun UUD
Tahun 1945 tidak memberikan pengertian
yang dimaksud sebagai kegentingan yang
memaksa. Pada saat dikeluarkannya Perppu
Pilkada dan Perppu Pemda tidak terdapat
keadaan kegentingan yang memaksa dan tidak
terdapat kebutuhan yang mendesak untuk
penerbitan suatu Perppu. Oleh karena itu, demi
kepastian hukum penetapan suatu Perppu
diperlukan pengaturan yang memberikan
pengertian frasa kegentingan yang memaksa
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1)
UUD Tahun 1945. Hal ini untuk mencegah
Perppu digunakan oleh presiden secara
subjektif sebagai jalan untuk membentuk
peraturan yang berlaku sebagai undang-undang
tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu.
Perppu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan yang berikutnya. Dengan
demikian, pengambilan keputusan terhadap
Perppu Pilkada dan Perppu Pemda harus
dilakukan pada Masa Persidangan II Tahun
Sidang 2014-2015 yang dimulai pada tanggal
12 Januari 2015. Perppu Pilkada dan Perppu
Pemda ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2014
pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2014-
2015. DPR dituntut untuk dapat mengambil
keputusan politis yang benar-benar sejalan
dengan ketentuan konstitusi dalam rangka
menegakkan kedaulatan rakyat.
Referensi
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang--undangan (1) Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2007.
Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Dasar-Dasar dan
Teknis Penyusunannya, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 138/
PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 1-2/
PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 97-
98-101-105-111/PUU-XII/2014 tanggal 23
Oktober 2014.
Perppu Pilkada Disambut Luas, Kompas, 4
Oktober 2014.
Elite Politik Jangan Jegal Perppu Pilkada,
Media Indonesia, 4 Oktober 2014,
Perppu Pilkada dan Nurani Koalisi Merah
Putih, Media Indonesia, 7 Oktober 2014.
Perppu Pilkada Jadi Pertaruhan Demokrat dan
SBY, Media Indonesia, 6 Oktober 2014.
Pakar Hukum Tata Negara di Medan: Perpu
atas UU Pilkada Dapat Timbulkan Banyak
Pokimek, http://hariansib.co/view/
Hukum/31536/Pakar-Hukum-Tata-Negara-
-di-Medan--Perpu-atas-UU-Pilkada-Dapat-
Timbulkan-Banyak-Pokimek.html#.VEce-
8lIO0o, diakses 22 Oktober 2014.
Ini Isi Perppu Pilkada yang Dikeluarkan
Presiden SBY, http://nasional.kompas.
com/read/2014/10/03/09190651/Ini.Isi.
Perppu.Pilkada.yang.Dikeluarkan.Presiden.
SBY, diakses 24 Oktober 2014.
Objek Permohonan Sudah Tidak Ada, MK
Putus Uji UU Pilkada Tidak Diterima,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
index.php?page=web.Berita&id=10319#.
VE7968lIO0o, diakses 28 Oktober 2014.
- 5 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 20/II/P3DI/Oktober/2014
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KEGAGALAN INDONESIA
DI PEMILIHAN PRESIDEN IPU
Poltak Partogi Nainggolan*
Abstrak
Delegasi DPR RI telah tiga kali mengalami kekalahan dalam pemilihan Presiden IPU.
Kekalahan terakhir kali terjadi pada SU ke-131 pada 17 Oktober 2014 di Jenewa, Swiss.
Kejadian ini mengulangi SU ke-125 tahun 2011 di Bern dan ke-118 di Jenewa, dan
luput dari upaya untuk mempelajari sumber masalah dan menemukan solusi untuk
tidak mengulanginya di masa depan. Esai ini menganalisis penyebab kekalahan dari
berbagai perspektif ilmiah objektif, yang bersifat saling melengkapi. Diharapkan,
dengan antisipasi masalah di lapangan dan persiapan yang lebih baik, momentum yang
mendukung dapat diciptakan, sekaligus dapat memenangkan kandidat dari delegasi
parlemen Indonesia.
Pendahuluan
Pada 16 Oktober 2014 hasil pemilihan
Presiden Uni Parlemen Dunia (IPU)
akhirnya dikabarkan dari Jenewa (Geneve),
Swiss. Berita yang ditunggu penuh harap
dan antusiasme mengalami anti-klimaks.
Kandidat Presiden IPU dari DPR RI
Nurhayati Ali Assegaf, bersama kandidat
dari Australia, Bronwyn Bishop, diberitakan
mengalami kekalahan dalam dua putaran
pemungutan suara dari rivalnya Saber
Chowdury asal Bangladesh. Di putaran
pertama, dari 340 anggota delegasi IPU
yang memberikan suara mereka, Nurhayati
memperoleh tempat ketiga dengan 76 suara,
sedangkan Chowdhury di tempat pertama
dengan 108 suara, diikuti oleh Bishop
sebanyak 99 suara, sementara Abdulla Shahid
dari Maladewa menjadi juru kunci dengan
57 suara. Tidak adanya calon yang meraih
minimum single mayority, pemungutan
suara di putaran kedua dilakukan, diikuti 3
kandidat peraih suara terbanyak, termasuk
Nurhayati. Hasilnya, pemilihan putaran
kedua ini tetap dimenangkan Chowdhury
dengan perolehan suara jauh lebih banyak,
yakni 169 suara, sedangkan Bishop dan
Nurhayati dengan masing-masing perolehan
suara sebanyak 95 dan 57 suara.
Dari hasil putaran pemungutan suara
nal ini, tampak penurunan suara untuk
kandidat dari Indonesia. Kegagalan ini
menjadi kegagalan yang ketiga kalinya bagi
kandidat asal Indonesia, setelah sebelumnya,
kandidat yang sama, Nurhayati, pada tahun
2011, dalam Siang Umum (SU) IPU ke-125
*) Research professor untuk masalah-masalah hubungan internasional, senior specialist untuk isu politik, demokrasi, keamanan dan non-traditional
security threats pada bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). E-mail pptogin@yahoo.com.
- 6 -
di Bern, Swiss, mengalami kekalahan tipis,
selisih 7 suara dalam pemilihan Presiden
IPU, dari lawannya, Abdelwahad Radi, asal
Maroko. Sedangkan kandidat Indonesia
sebelum itu, Agung Laksono, yang pernah
mencalonkan diri, tidak terpilih, akibat
kekalahan telak, 113 suara berbanding 200,
dari pesaingannya, Theo Ben Gurirap, asal
Namibia, Afrika, dalam SU ke-118 IPU.
Kekalahan ini memunculkan
pertanyaan, mengapa kandidat dari
Asia, apalagi Indonesia, begitu sulit
memenangkan perebutan kursi Presiden
IPU? Sejak berdirinya IPU 125 tahun yang
lalu, Asia baru kebagian memimpin IPU
sebanyak 2 kali saja, sedangkan Afrika sudah
5 kali, Amerika Latin lebih banyak lagi, yaitu
6 kali, dan selebihnya, silih berganti dikuasai
negara-negara asal Eropa yang berperan
besar dalam merintis pendirian IPU, seperti
Perancis, Inggris, Jerman, dan Belgia.
Kandidat dari Indonesia selama ini belum
ada yang berhasil terpilih, setelah maju
dalam 3 kali pemilihan, walaupun Indonesia
sejak tahun 1976 sudah mengirimkan secara
teratur anggotanya ke Sidang Umum IPU
dan sidang-sidang terkait lainnya.
Masalah Persiapan
Pertama-tama harus dikatakan bahwa
persiapan memegang peran penting, karena
persiapan yang optimal adalah setengah
pencapaian tujuan. Posisi Presiden IPU
bukan sebagai simbol, tetapi mempunyai
peran nyata sebagai Presiden Governing
Council, yang sebelumnya disebut Inter-
Parliamentary Council, atau badan pleno
pembuat dan penentu kebijakan IPU. Dia
memegang tanggung jawab atas efektivitas
kerja komisi-komisi tetap dan kelompok
kerja IPU, seperti Komisi Perdamaian dan
Keamanan Internasional dan berbagai
Masalah-masalah terkait PBB seperti
masalah-masalah Timur Tengah. Karena
itu, Presiden IPU memiliki makna strategis
sebagai mitra kerja setara PBB, yang
merepresentasikan aspirasi dan kepentingan
rakyat sejagad. Buat Indonesia, posisi ini
tidak kalah prestise dan manfaatnya sebagai
wahana perjuangan kepentingan di dunia
internasional.
Persiapan menjadi bertambah penting
ketika kita mengetahui bahwa mereka
yang maju sebagai kandidat Presiden IPU
memiliki pengalaman yang dapat diandalkan
dan dijual ke perwakilan rakyat sedunia,
terutama yang berskala internasional.
Sebagai konsekuensinya, setiap kandidat
membutuhkan tim sukses dan asistensi yang
cakap untuk mendukung proses pencalonan
sampai pada tingkat pemilihannya.
Kemampuan individual anggota tim sukses
dan asistensi menjadi vital, terutama
pengalaman di lapangan dalam melakukan
praktek diplomasi, negosiasi, komunikasi,
dan memahami dengan baik dinamika
perkembangan politik nasional dan
internasional yang berkembang cepat dan
dengan segala komplikasnya.
Latar belakang studi dan penguasaan
bahasa menjadi sangat penting karena
bersifat mendasar dan sangat menentukan
keberhasilan diplomasi internasional dalam
proses pemilihan seorang Presiden IPU.
Kandidat sudah harus menguasai mekanisme
kerja, khususnya pemilihan, Presiden
IPU, peta permasalahan, serta konstelasi
kekuasaan dan politik di dalamnya. Terkait
ini, tim sukses dan asistensi yang ada di
delegasi grup nasional Indonesia ke IPU,
apalagi ke SU pemilihan Presiden IPU,
tentu harus disiapkan jauh lebih baik,
pembentukan, cara kerja, komposisi, dan
kecakapan individualnya, jika ingin meraih
target. Pembentukannya harus dilakukan
lebih dini dan waktu kerja mereka tidak
bisa instan, tetapi jauh lebih lama. Sebab,
begitu banyak pekerjaan untuk melakukan
pendekatan dan lobi, selain pembuatan
materi kampanye kandidat yang tidak bisa
lagi bersifat biasa-biasa saja, atau sebaliknya,
berlebihan dan tidak realistis. Membuat
materi kampanye tidak mudah, karena
begitu sulit dan kompleksnya permasalahan
umat manusia sejagad.
Dapat dinilai, selama ini, kandidat asal
Indonesia belum didukung tim sukses dan
tim asistensi yang memadai, dan bahkan
mungkin, patut diakui, memang belum
ada. Yang baru tampak selama ini adalah
upaya pimpinan grup nasional secara resmi
mengumumkan pencaloan anggotanya yang
akan maju dalam pemilihan Presiden IPU.
Pengumuman itu, seperti yang dilakukan
melalui sidang AIPA terdekat, sayangnya
belum ditindaklanjuti secara optimal.
Hal ini bisa disebabkan karena belum
adanya pembiayaan yang memadai dan
belum munculnya komitmen yang kuat
untuk memenangkan seorang anggota
grup nasional parlemen Indonesia untuk
tampil di forum dunia dan memimpin. Jika
- 7 -
antusiasme dan kebanggaan nasional sudah
muncul, hal ini akan sangat membantu
proses persiapan, apalagi jika pengumuman
pencalonan itu sudah dilakukan sejak awal,
beberapa tahun sebelum waktu pemilihan,
dan di-sounding berulang-ulang dalam
berbagai forum inrternasional, mulai dari
event yang terdekat di kawasan.
Jika dievaluasi, selama ini persiapannya
bersifat dadakan, tanpa kehadiran dan kerja
tim sukses dan asistensi yang kuat dan andal.
Tidak heran, upaya men-sounding lewat
SU AIPA di Laos, September lalu, kurang
bergema ke mana-mana, padahal di sana
hadir mitra dialog non-ASEAN, yang juga
anggota IPU, dan diplomat lintas-negara.
Setali tiga uang, membuka ajang diplomasi
melalui gala dinner dengan mengundang
diplomat mancanegara di Jakarta, tidak
bisa optimal. Karena, cenderung mendadak
dan waktunya tidak intensif, sehingga tidak
sebanding cost and benet-nya. Secara
kritis, perlu dipahami, bahwa diplomasi
parlemen berbeda dengan diplomasi
melalui jalur pemerintah. Sebab, di negara
demokrasi maju, anggota grup nasional
parlemen yang mengikuti IPU beragam
dan bisa lebih dominan komposisinya yang
berasal dari kalangan opisisi. Sehingga, perlu
digarisbawahi, menyiapkan penerjemah
Bahasa Inggris sebagai bagain dari tim
sukses dan asistensi tersebut, tidaklah cukup.
Pada era globalisasi dewasa ini, dengan
dunia yang semakin terbuka, dibutuhkan
orang-orang dengan kemampuan bilingual,
dan, bahkan, multilingual. Dapat menyapa
delegasi negara lain dengan bahasa nasional
mereka akan sangat membantu dalam
membangun simpati, dan lebih jauh lagi,
meminta dukungan suara. Terlebih, bahasa
yang digunakan dalam kegiatan sidang-
sidang forum IPU bukan hanya Bahasa
Inggris.
Strategi di Lapangan
Absennya para ahli yang menguasai
berbagai masalah internasional, serta
memiliki kecakapan dan menguasai praktek
diplomasi di lapangan, sebagai bagian dari
tim sukses dan asistensi, turut berkontribusi
pada kegagalan dalam merebut dukungan.
Kemudian, perlu jujur dipertanyakan, dan
diselidiki, apakah IPU telah menjadi forum
yang dianggap penting, dan telah menuntut
perhatian tinggi para diplomat KBRI di
mancanegara, terutama Jenewa, dan para
petinggi Kemlu? Padahal, di luar perlunya
kehadiran persepsi dan komitmen yang sama
dan kuat itu, perlu diketahui bahwa peran
diplomat RI di Kedubes untuk mendukung
sukses dalam terpilihnya seorang kandidat
sebagai Presiden IPU saja, tidak cukup.
Sekali lagi, dibutuhkan para ahli di lapangan,
termasuk politisi dan staf, dengan kapasitas
individual yang tinggi, untuk melakukan
berbagai pendekatan dan diplomasi secara
total. Demikian pula, diperlukan kehadiran
gur mitra Kemlu serta anggota DPR RI dan
staf pendukungnya yang memiliki semangat
dan idealisme yang tinggi sebagai diplomat
pejuang, semata-mata untuk mendukung
pencapaian kepentingan nasional, yang
harus menjadi basis kepentingan negara di
fora internasional.
Jadi, sangat dibutuhkan kehadiran
tim sukses dan asistensi yang mudah
beradaptasi dengan perubahan yang cepat
secara langsung di lapangan. Untuk sukses
dalam pemilihan Presiden IPU, dibutuhkan
para diplomat dan anggota delegasi DPRRI
yang memiliki kecakapan mengantisipasi
perubahan di kawasan dan dunia
internasional, khususnya di SU IPU. Selain
itu, dibutuhkan eksistensi anggota delegasi
yang memiliki kemampuan memberikan
berbagai alternatif untuk memenangkan
kandidat dari negaranya. Upaya mencari
dukungan suara bisa sulit dan berlangsung
sengit, apalagi dalam pemilihan yang bersifat
head to head.
Soliditas Dukungan
Beberapa pertanyaan berikut dapat
membantu dalam mencari jawaban dari
kekalahan para kandidat Indonesia di
lapangan. Apakah konik di negara asal
calon, antara parlemen dan pemerintah,
dalam perkembangan politik kontemporer
mereka, sudah selesai? Demikian juga,
apakah persoalan perbedaan pendapat dan
kepentingan yang hebat di antara individu
anggota parlemen delegasi negara mereka
sudah dapat didamaikan, sebelum berangkat
menuju arena SU IPU dan pemungutan
suara? Harus sudah dapat dipastikan bahwa
tidak ada lagi sentimen prbadi yang bisa
tiba-tiba muncul kembali dan berimbas
pada tidak solidnya dukungan dari sesama
anggota delegasi DPRRI terhadap kandidat
asal Indonesia.
Selanjutnya, patut pula dipertanyakan,
- 8 -
apakah bias jender sudah tidak ada lagi,
tereliminasi secara sadar di antara para
anggota delegasi DPR RI sehingga siapa
pun kandidat yang maju, perempuan
atau lelaki, tidak menjadi masalah? Dari
perspektif non-Indonesia, juga perlu
dipertanyakan, apakah memang sudah tidak
ada lagi pengaruh solidaritas primordial
(etnik, ras, bahasa, dan keagamaan) dalam
pemilihan pemimpin di tingkat dunia?
Apakah memang negara-negara dari
kelompok geogras Arab, Timur-Tengah,
dan Afrika, sudah berpikir demikian liberal
dan majunya dalam berpolitik sehingga telah
meninggalkan sikap konservatisme mereka
dan sangat bersemangat memperjuangkan
dan memberikan dukungan suara secara
bulat bagi terpilihnya seorang kandidat yang
berlatar belakang perempuan? Harus sudah
dapat dijawab tim sukses dan asistensi,
apakah semua pertanyaan di atas itu
telah dipetakan untuk dicarikan solusinya
sehingga dukungan suara lebih besar dapat
diraih Indonesia?
Penutup
Bagaimanapun, latar belakang,
pendidikan, dan aktivitas politik terkini,
serta pengalaman lebih luas kandidat turut
berpengaruh atas peluang dukungan yang
dapat diraihnya. Dalam kondisi dunia yang
sudah sangat terbuka, rekam jejak terkini
para kandidat di parlemen asal mudah diikuti
oleh rekan mereka para anggota parlemen
anggota IPU lintas-negara, khususnya untuk
menilai sejauh mana komitmen mereka
terhadap implementasi demokrasi dan HAM,
serta berbagai hasil kesepakatan serta visi
dan misi IPU. Posisi kandidat di parlemen
selama ini mempunyai pengaruh terhadap
peluang yang dimiliki untuk memenangkan
pemilihan.
Dalam kenyataannya, para rival
kandidat dari Indonesia mempunyai posisi
sangat penting di pemerintahan, seperti
mantan menteri, PM, Ketua DPR, dan lain-
lain. Rival Agung Laksono, Gurirap adalah
mantan PM Namibia. Sementara, rival
Nurhayati, Bishop adalah Ketua Parlemen
Australia, dan Shahid adalah mantan Ketua
Parlemen Maladewa. Namun, posisi penting
itu semua bukan menjadi jaminan untuk
bisa mudah memenangkan pertarungan
dalam pemungutan suara. Kasus kekalahan
Ketua DPR Agung Laksono pada tahun 2008
adalah contohnya. Nurhayati juga punya
pengalaman di berbagai kegiatan forum
IPU dan forum-forum parlemen lainnya,
yang bersifat nasional, regional, maupun
multilateral. Tetapi, itu saja belum cukup,
perlu persiapan dan dukungan yang lebih
baik. Anggota delegasi parlemen asal DPR
RI tidak boleh berangkat ke ajang kontestasi
di fora internasional hanya dengan modal
kemampauan dan persiapan yang apa
adanya.
Masih ada faktor lain yang harus
dievaluasi, antara lain, momentum yang
tepat yang tersedia. Momentum turut
menentukan, karena kesempatan yang
baik sulit terulang lagi, seperti yang terjadi
dalam pemungutan suara di SU ke-125
tahun 2011 IPU, di Bern, Swiss. Suara
Eropa dan Asia yang sudah bulat berhasil
diraih kandidat dari Indonesia menjadi
kontraproduktif karena sikap yang belum
solid di dalam delegasi DPR RI, sehingga
terjadilah kekalahan tipis itu. Hal kecil pun
bisa jadi serius, seperti sikap indisipliner.
Ketidakhadiran atau keterlambatan pada
waktu voting bisa berujung pada kekalahan.
Karena itu, perlu tim sukses dan asistensi
yang terus harus bekerja keras melobi
delegasi parlemen negara lain sampai proses
penghitungan suara berakhir. Di arena
internasional, delegasi harus dapat bertindak
produktif dan efektif hasilnya.
Referensi
Asia Kembali Gagal Pimpin Uni Parlemen
Dunia, Republika, 16 Oktober 2014.
Barston, R.P. Modern Diplomacy. UK:
Longman, 1988.
Beeridge, G.R. Diplomacy: Theory and
Practice. New York: Prentice-Hall, 1995.
Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP)
DPR RI. Diplomasi DPR: Dari Senayan
ke Kancah Global. Jakarta: BKSAP,
2009.
Nainggolan, Poltak Partogi. Parlemen dan
Hubungan Internasional, Jakarta: P3DI,
2013.
__________. Kinerja DPRRI dalam Inter-
Parliamentary Union (IPU). Jakarta:
P3DI, 2000.
Newsom, David D. Dimensi Publik Politik
Luar Negeri (terjemahan dari Public
Dimension of Foreign Policy). Bandung:
Angkasa, 1996.
Sidang Parlemen Dunia: Indonesia Gagal
Lagi Memimpin, Kompas, 17 Oktober
2014.
- 9 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 20/II/P3DI/Oktober/2014
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KEBIJAKAN SOSIAL UNTUK
MENGATASI KRISIS AIR BERSIH
Sri Nurhayati Qodriyatun*)
Abstrak
Musim kemarau panjang mengakibatkan bencana kekeringan di berbagai wilayah di
Indonesia. Banyak masyarakat yang mulai mengalami krisis air bersih. Sebagai bagian
dari barang publik (public goods) yang ketersediaannya bagi seluruh rakyat Indonesia
dijamin oleh negara, pemerintah perlu melakukan intervensi dalam rangka menghindari
persaingan terbuka dan langsung terhadap jenis barang ini. Hal ini dilakukan dalam
rangka melindungi kalangan masyarakat rentan dan termarginalkan dalam mengakses
pelayanan penyediaan air bersih. Intervensi pemerintah yang dimaksud salah satunya
berupa serangkaian kebijakan sosial yang memandang air bukan sebagai komoditas
atau barang yang diperdagangkan tetapi sebagai barang publik yang merupakan hak
dasar masyarakat yang harus dipenuhi.
Pendahuluan
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) melansir selama musim
kemarau tahun ini sedikitnya 86 kabupaten/
kota di 20 provinsi di Indonesia masih
dilanda kekeringan. Dampak yang paling
terasa dari kekeringan adalah krisis air bersih,
seperti yang dialami 39.979 orang atau 4.325
keluarga di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Menurut Kepala Badan Penggulangan
Bencana Daerah (BPBD) NTT masyarakat
yang mengalami krisis air bersih diperkirakan
akan bertambah hingga akhir November 2014.
Hal serupa juga terjadi di Temanggung, di
mana sebanyak 56 dusun dalam 19 desa yang
tersebar di 9 kecamatan mengalami krisis air
bersih.
Krisis air bersih mengakibatkan
masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra
dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Kasus di Kecamatan Marang dan Mandalle,
Kabupaten Pangkajene, Provinsi Sulawesi
Selatan misalnya, masyarakat harus membeli
air Rp2.500 per jerigen untuk memenuhi
kebutuhan air bersih sehari-hari. Di Jawa
Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten
Malang menyatakan keadaan tanggap
darurat kekeringan hingga 31 Oktober karena
masyarakat di wilayahnya sudah mengalami
kesulitan untuk mendapatkan air bersih.
Krisis air bersih tidak hanya
menimbulkan biaya ekstra bagi masyarakat
*) Peneliti Madya Kebijakan Lingkungan pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI),
Setjen DPR RI, E-mail: qodri96@yahoo.com
- 10 -
tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat.
Menurut penelitian WHO, krisis air
menimbulkan penyakit antara lain kolera,
hepatitis, polymearitis, tipus, disentrin
trachoma, scabies, malaria, yellow fever, dan
penyakit cacingan. Di Indonesia penyakit yang
sering muncul saat terjadi krisis air bersih
diantaranya adalah diare, tipus, polio, dan
cacingan.
Dengan pentingnya peran air dalam
berbagai sisi kehidupan manusia, Konvensi
PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya pada tahun 2002, mengakui hak atas
air termasuk di dalamnya, kebebasan untuk
mengelola akses atas air. Dengan demikian,
kedua hak ini secara tegas dikategorikan
sebagai hak asasi manusia. Pemenuhan
elemen hak atas air ini dilakukan dalam
rangka menjaga martabat, kehidupan, dan
kesehatan manusia. Indonesia sendiri telah
meratikasi Konvensi tersebut dengan UU
No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya). Sesuai dengan komentar umum
PBB No. 15 Tahun 2002 maka Pemerintah
Indonesia berkewajiban untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak atas air
seluruh masyarakat. Lebih lanjut UU No.
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
khususnya Pasal 5 juga menyatakan bahwa
negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan
produktif.
Ketentuan ini mewajibkan negara
menyelenggarakan berbagai upaya untuk
menjamin ketersediaan air bagi setiap orang
yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
menjamin akses setiap orang ke sumber air
untuk mendapatkan air. Lalu, mengapa krisis
air bersih masih terjadi setiap tahun?
Akses Air Bersih
Terbatasnya ketersediaan air bersih
menjadi salah satu masalah yang dihadapi
dalam penyediaan air bersih di Indonesia.
Berdasarkan laporan MDGs 2010 yang
diterbitkan Bappenas, target jumlah rumah
tangga yang memiliki akses terhadap air
bersih secara layak adalah 68,87% pada
tahun 2015. Namun demikian, berdasarkan
beberapa laporan, perkembangannya masih
jauh di bawah target yang ditetapkan.
Laporan MDGs 2010 tersebut misalnya,
menyatakan akses air bersih di daerah
perkotaan mencapai 49,82% sementara di
perdesaan 45,72%. Laporan Unicef, WHO
pada tahun 2010 tentang Progress on
Drinking Water and Sanitation menyatakan
akses air bersih melalui air perpipaan baru
sekitar 23% sedangkan dari sumber air
terlindungi sekitar 57%. Ke depan, tantangan
ini akan semakin besar seiring dengan
terus meningkatnya tingkat pencemaran
sumber air baku dan kerusakan lingkungan,
kondisi yang berdampak negatif terhadap
ketersediaan air bersih.
Data di atas menegaskan bahwa
akses masyarakat Indonesia terhadap air
bersih masih rendah yang ditunjukkan dari
rendahnya akses masyarakat Indonesia
terhadap air perpipaan yang disediakan oleh
PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).
Air perpipaan dipandang sebagai air yang
memiliki kualitas yang dapat diandalkan dan
lebih sehat dibandingkan dengan sumber
lainnya. Akan tetapi, kebijakan penyediaan
air bersih di Indonesia selama ini dilakukan
lebih menggunakan pendekatan pasar
sehingga berdampak negatif bagi masyarakat
miskin yang tidak mampu menjangkau
pelayanan air bersih yang telah disediakan.
PDAM selaku perusahaan negara yang
bertanggung jawab memberikan pelayanan
air bersih hanya memberikan pelayanan
pada masyarakat perkotaan dan belum
menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Untuk masyarakat yang tidak dialiri air
PDAM, pemerintah menginisiasi program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan
Sanitasi berbasis Masyarakat) yang dilakukan
sejak tahun 2008. Namun demikian,
program tersebut tidak berjalan lancar
dan belum menyentuh seluruh desa yang
membutuhkan. Dengan demikian, kiranya
patut dipertanyakan sejauh mana Pemerintah
Indonesia memenuhi kewajibannya terhadap
pemenuhan hak atas air bersih bagi seluruh
rakyatnya sebagaimana diamanatkan UU No.
11/2005 dan UU No. 7/2004.
Perlunya Intervensi Negara dalam
Penyediaan Air Bersih
Banyak kalangan meyakini bahwa
air merupakan public goods, yaitu barang
yang non-rival yang dicirikan apabila
barang tersebut dikonsumsi oleh seseorang
maka tidak akan mengurangi kesempatan
- 11 -
orang lain untuk ikut mengkonsumsinya.
Sebagai public goods air juga memiliki sifat
non-excludable, yakni siapa pun berhak
mengkonsumsinya. Bagaimana pun dalam
prakteknya pemanfaatan air menimbulkan
potensi permasalahan biaya sosial yang besar
bagi masyarakat. Pertama, air sebagai public
goods tidak dapat mencegah penggunaannya
secara bersama-sama dan dikonsumsi secara
berlebihan. Kedua, adanya kecenderungan
masyarakat memanfaatkan badan air sebagai
tempat pembuangan limbah/sampah yang
murah sehingga menimbulkan pencemaran
air sehingga penyediaan air baku untuk diolah
menjadi air bersih berkualitas rendah. Di
sisi lain, kerusakan hutan pada hulu Daerah
Aliran Sungai (DAS) juga semakin meningkat.
Potensi permasalahan tersebut terjadi
secara bersamaan. Hal ini dapat merusak
alam dan siklus hidrologi yang berpengaruh
terhadap penyediaan air bersih. Akibatnya
terjadi penurunan kuantitas, kualitas, dan
kontinuitas sumber-sumber air yang layak
sebagai sumber air baku dalam penyediaan
air bersih dan sumber air yang dikonsumsi
langsung oleh masyarakat. Permasalahan
lain terkait dengan eksternalitas negatif yang
harus ditanggung masyarakat. Di sinilah
diperlukannya intervensi negara agar tidak
terjadi persaingan terbuka dan langsung yang
akan menghadapkan kekuatan-kekuatan yang
tidak seimbang.
Kebijakan Penyediaan Air Bersih
dalam Kebijakan Sosial
Krisis air bersih membutuhkan
kebijakan sosial untuk mengatasinya.
Kebijakan sosial sebagai salah satu bentuk
dari kebijakan publik, merupakan ketetapan
pemerintah yang dibuat untuk merespon
isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi
masalah sosial atau memenuhi kebutuhan
masyarakat banyak. Bessant, Watts, Dalton
dan Smith menyatakan bahwa Social policy
refers to what governments do when they
attempt to improve the quality of peoples
live by providing a range of income support,
community services and support program.
Sementara itu, Edi Suharto menegaskan bahwa
kebijakan sosial memiliki fungsi preventif
(pencegahan), kuratif (penyembuhan),
dan pengembangan (development). Oleh
karenanya kebijakan sosial didesain secara
kolektif oleh pemerintah untuk mencegah
terjadinya masalah sosial (fungsi preventif),
mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif)
dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi
pengembangan) sebagai wujud kewajiban
negara (state obligation) dalam memenuhi
hak-hak sosial warganya.
Jika negara mengakui hak atas air bagi
masyarakat maka negara harus menjadi
pihak yang mengintervensi penyediaan air
bersih. Menurut Oskar Mungkasa, indikator
terpenuhinya hak atas air oleh negara
jika mampu memenuhi: (1) ketersediaan,
maksudnya suplai air untuk setiap orang
harus mencukupi dan berkelanjutan untuk
kebutuhan individu dan rumah tangganya; (2)
kualitas, maksudnya air untuk setiap orang
atau rumah tangga harus aman, bebas dari
organism mikro, unsur kimia dan radiologi
yang berbahaya yang mengancam kesehatan
manusia; (3) mudah diakses, maksudnya
air dan fasilitas air dan pelayanannya harus
dapat diakses oleh setiap orang tanpa
diskriminasi. Kemudahan akses terhadap
air ditandai dengan: (a) mudah diakses
secara sik, maksudnya air dan fasilitas air
serta pelayanannya harus dapat dijangkau
secara sik bagi seluruh golongan yang
ada di dalam suatu polulasi; (b) terjangkau
secara ekonomi, maksudnya air dan fasilitas
air serta pelayanannya harus terjangkau
penghasilan kebanyakan masyarakat; (c)
non-diskriminasi, maksudnya air dan fasilitas
air serta pelayanannya harus dapat diakses
oleh semua, termasuk kelompok rentan
atau marjinal, dalam hukum maupun dalam
kenyataan lapangan tanpa diskriminasi; dan
(d) akses informasi, maksudnya akses atas air
juga termasuk hak untuk mencari, menerima
dan bagian dari informasi sehubungan
dengan air.
Mengacu pendapat Oscar tersebut
maka penghormatan akan hak atas air dapat
dilakukan dengan tidak lagi memandang
air sebagai komoditas tetapi sebaliknya
sebagai unsur penunjang kehidupan yang
fundamental sehingga penyediaan air adalah
mutlak harus dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan penyediaan air bersih harus
mempunyai visi panjang yang terintegrasi
dalam penyediaan dan pengelolaan air.
Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan memperbaiki kinerja PDAM selaku
perusahaan daerah yang bertanggung jawab
memberikan pelayanan air bersih di daerah
perkotaan dan meningkatkan program
PAMSIMAS dalam memberikan pelayanan
air bersih di pedesaan.
Perbaikan kinerja PDAM dilakukan
- 12 -
dengan restrukturisasi kelembagaan
PDAM dari perusahaan daerah menjadi
Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD). BLU/
BLUD merupakan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD
di lingkungan pemerintah daerah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan air
minum yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip esiensi
dan produktivitas. Ada beberapa PDAM yang
sudah menjadi BLU/BLUD dan berhasil
memberikan pelayanan air bersih kepada
masyarakat dengan baik, seperti BLUD SPAM
Tirta Mon Mata (Kabupaten Aceh Jaya), dan
UPTD Kabupaten Musirawas, dan BLU SPAM
Kabupaten Gorontalo.
Sedangkan peningkatan program
PAMSIMAS dilakukan dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat desa dalam program
PAMSIMAS. Peningkatan partisipasi
masyarakat desa dapat dilakukan melalui
program pemberdayaan masyarakat.
Program pemberdayaan masyarakat akan
memunculkan kesadaran masyarakat akan
arti pentingnya air bagi kesehatan. Munculnya
kesadaran tersebut akan mendorong
masyarakat desa untuk berpartisipasi aktif
dalam program PAMSIMAS.

Penutup
Air adalah kebutuhan utama
bagi manusia dalam kehidupannya.
Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia
berkewajiban secara mutlak untuk melakukan
intervensi terhadap kebijakan penyediaan air
bersih bagi masyarakat. Dengan demikian,
kebijakan penyediaan air bersih yang selama
ini dilakukan dengan berorientasi pada pasar
dan menempatkan air sebagai barang ekonomi
dapat terus dikurangi. Hal ini menjadi
semakin penting seiring dengan belum
terlayaninya seluruh lapisan masyarakat oleh
PDAM dan program PAMSIMAS .
Intervensi pemerintah dalam kebijakan
penyediaan air bersih dapat dilakukan
dengan mengubah pendekatan dalam
penyediaan air bersih dari pendekatan
ekonomi menjadi pendekatan sosial, karena
mendasarnya peran air bagi manusia. Upaya
mengubah PDAM menjadi BLU/BLUD
dan meningkatkan partisipasi masyarakat
desa dalam program PAMSIMAS melalui
pemberdayaan masyarakat menjadi salah
satu langkah penting dalam hal ini. Untuk
melakukan segala upaya tersebut dibutuhkan
komitmen yang kuat dari pemerintah dan visi
ke depan dalam pembangunan penyediaan air
bersih untuk masyarakat. Selain itu, tentunya
partisipasi masyarakat untuk mendukung
upaya pemerintah juga diperlukan.

Referensi
Bessant, Judith, Rob Watts, Tony Dalton, dan
Paul Smith (2006), Taking Policy: How
Social Policy in Made, Crows Nest: Allen
and Unwin, p. 4
Budiman Candra, 2007, Pengantar Kesehatan
Lingkungan, Editor: Palupi Widyastuti,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Oswar Mungkasa, Air Sebagai Hak Asasi
Manusia, PERCIK, Edisi III, tahun 2010.
Edi Suharto, 2005, Analisis Kebijakan Publik:
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.
Darwin Fatir, BNPB: 86 kabupaten/kota
dilanda kekeringan, Rabu, 15 Oktober
2014, 16:13 WIB, di http://www.
antaranews.com/berita/458794/bnpb-
86-kabupatenkota-dilanda-kekeringan,
diakses 24 Oktober 2014.
BPPSPAM (2014), Kinerja PDAM 2013
Wilayah II Pulau Jawa, Jakarta: Badan
Pendukung Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, Kementerian
Pekerjaan Umum.
Best Practise Indonesia - Pamsimas, di
http://new.pamsimas.org/data/buku/
Best%20Practices%20Indonesia.pdf,
diakses 29 Oktober 2014.
170 Desa di NTT Krisis Air Bersih, Minggu,
21 September 2014, di http://nasional.
r epubl i ka. c o. i d/ ber i t a/ nas i onal /
daerah/14/09/21/nc8lcf-170-desa-di-ntt-
krisis-air-bersih, diakses 27 Oktober 2014.
Menipis, Dana Pengedropan Air, Media
Indonesia, Jumat 24 Oktober 2014, hlm.
12.
- 13 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 20/II/P3DI/Oktober/2014
EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
OPTIMALISASI PEMBANGUNAN
KEMARITIMAN NASIONAL
T. Ade Surya*)
Abstrak
Pembangunan dan pengembangan sektor maritim menjadi salah satu visi dan misi
utama pemerintahan Jokowi. Dengan potensinya yang sangat besar, keberhasilan
mewujudkan sektor maritim yang bernilai ekonomi tinggi akan berpengaruh positif
terhadap pemerataan ekonomi. Dibutuhkan banyak upaya untuk dapat mewujudkan
sektor maritim yang handal yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap
perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya maksimal dan
melakukannya secara terencana, sistematis, dan terukur agar pembangunan dan
pengembangan ekonomi maritim ini dapat terlaksana dengan baik.
Pendahuluan
Setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 ,
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
akan mulai bekerja untuk mencapai visi dan
misi yang diutarakan pada masa pemilihan
presiden beberapa bulan lalu. Salah satu
visi dan misi yang menjadi prioritas untuk
diwujudkan oleh pemerintahan Jokowi adalah
membangun dan mengembangkan sektor
maritim dengan menjadikan ekonomi maritim
sebagai tulang punggung pembangunan
ekonomi Indonesia. Keseriusan membangun
dan mengembangkan sektor maritim tersebut
ditunjukkan pemerintahan Jokowi dengan
membentuk satu kementerian koordinator
baru di kabinetnya, yaitu Kementerian
Koordinator Kemaritiman.
Namun demikian, perlu juga
diperhatikan, apakah program pembangunan
dan pengembangan sektor maritim
pemerintahan Jokowi ini sejalan dengan
program pemerintahan sebelumnya, yang
tertuang dalam Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). Hal ini sangat penting karena
program-program dalam MP3EI sebagian
besarnya sudah berjalan. Diperlukan adanya
sinergitas dan kontinuitas program sehingga
membuat program-program percepatan
pembangunan dalam MP3EI, khususnya yang
terkait dengan sektor kemaritiman tidak sia-
sia.
*) Peneliti Muda Kebijakan Publik pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI, E-mail: teuku.surya@dpr.go.id
- 14 -
Pembangunan dan pengembangan
sektor maritim menjadi prioritas
pemerintahan Jokowi karena selama ini
pembangunan ekonomi Indonesia hanya
terfokus dan bertumpu pada pembangunan
ekonomi di daratan saja. Padahal jika dilihat
dari sisi potensinya, sektor maritim Indonesia
memiliki potensi yang sangat besar yang
sampai saat ini baru sekitar 20 persen saja
yang berhasil dimanfaatkan. Itupun baru
terfokus pada bidang perikanan. Apabila
potensi sektor maritim ini dapat dikelola dan
dimaksimalkan oleh pemerintah, tentunya
dapat memberikan nilai tambah yang cukup
signikan terhadap pembangunan nasional.
Pembangunan dan pengembangan sektor
maritim diyakini dapat memicu pemerataan
ekonomi di Indonesia, khususnya untuk
kawasan Indonesia Timur yang selama ini
jauh tertinggal.
Potensi Sektor Maritim Indonesia
Sebagai negara bahari dan kepulauan
terbesar di dunia, dengan luas dua per
tiganya terdiri atas lautan dan total panjang
garis pantai sepanjang 54.716 km, Indonesia
memiliki kekayaan laut yang sangat besar
dan beraneka-ragam. Kekayaan laut tersebut
berupa sumber daya alam yang dapat
diperbarui (perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-
produk bioteknologi), sumber daya alam
yang tak dapat diperbarui (minyak dan gas
bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral
lainnya), energi kelautan (pasang-surut,
gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean
Thermal Energy Conversion), dan jasa-jasa
lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari
dan transportasi laut.
Potensi produksi lestari ikan laut
Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui
usaha perikanan tangkap sebesar 6,5 juta
ton/tahun, sekitar 8 persen dari total potensi
produksi lestari ikan laut dunia (90 juta ton/
tahun). Kurang lebih 24 juta ha perairan
laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha
budidaya laut ikan kerapu, kakap, baronang,
kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan
biota laut lainnya yang bernilai ekonomis
tinggi dengan potensi produksi sekitar 42
juta ton/tahun. Namun demikian, hingga
tahun 2011 kita baru memanfaatkan potensi
budidaya laut ini sebesar 4,6 juta ton (10,95
persen). Lahan pesisir yang sesuai untuk
usaha budidaya tambak udang, bandeng,
kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput laut,
dan biota perairan lainnya diperkirakan lebih
dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi
sekitar 10 juta ton/tahun.
Lebih dari itu, Indonesia memiliki
keanekaragaman genetik, spesies, maupun
ekosistem laut tertinggi di dunia yang dikenal
sebagai mega-marine biodiversity. Secara
potensial, nilai ekonomi total dari produk
perikanan dan produk bioteknologi kelautan
Indonesia diperkirakan sekitar Rp984 triliun
per tahun. Meskipun belum ada perhitungan
tentang potensi ekonomi pariwisata bahari,
namun jika kita membandingkan dengan
negara bagian Queensland Australia dengan
panjang garis pantai hanya sekitar 9.800
km tetapi mampu menghasilkan devisa
pariwisata bahari sebesar Rp24 triliun per
tahun. Dengan demikian, potensi ekonomi
parwisata bahari Indonesia sangatlah besar.
Sementara itu, hampir 70 persen
produksi minyak dan gas bumi kita berasal
dari kawasan pesisir dan laut. Berdasarkan
data geologi diketahui Indonesia memiliki
60 cekungan potensi yang mengandung
minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan
tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas
pantai, 14 berada di daerah transisi daratan
dan lautan (pesisir) dan hanya 6 saja yang
berada di daratan. Dari seluruh cekungan
tersebut diperkirakan mempunyai potensi
sebesar 11,3 miliar barel yang terdiri atas
5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8
miliar barel berupa cadangan terbukti. Selain
itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah
101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari
cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan
potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik.
Potensi ekonomi bisnis jasa
perhubungan laut diperkirakan sekitar Rp168
triliun per tahun. Ini berdasarkan pada
perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir
kita mengeluarkan devisa sekitar Rp168
triliun untuk membayar armada pelayaran
asing yang selama ini mengangkut 97 persen
dari total barang yang diekspor dan diimpor
ke Indonesia, dan yang mengangkut 50
persen dari total barang yang dikapalkan
antar pulau di wilayah Indonesia. Sementara
itu di sektor jasa penyediaan tenaga kerja
pelaut untuk kapal niaga, kapal pesiar, dan
pelayaran rakyat, potensi ekonominya pun
luar biasa besarnya.
Potensi ekonomi ini akan menjadi
lebih bermakna dan bernilai strategis,
- 15 -
seiring dengan kenyataan bahwa pusat
kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad
ke-20 sebenarnya telah bergeser dari Poros
Atlantik ke Poros Asia-Pasik. Hampir 70
persen total perdagangan dunia berlangsung
di antara negara-negara di Asia-Pasik.
Lebih dari 75 persen dari barang-barang
yang diperdagangkan ditransportasikan
melalui laut, terutama melalui Selat Malaka,
Selat Lombok, Selat Makasar, dan laut-
laut Indonesia lainnya dengan nilai sekitar
Rp15.600 kuadriliun setiap tahunnya.
Dengan begitu besarnya potensi
sektor maritim Indonesia, maka akan sangat
disayangkan jika potensi ini tidak dapat
dimanfaatkan sepenuhnya. Keberhasilan
memanfaatkan potensi sektor maritim secara
maksimal dapat memacu pertumbuhan
ekonomi yang saat ini melambat karena
pengaruh situasi global. Namun untuk
mewujudkan sektor maritim yang maju tidak
akan mudah, karena ini merupakan pekerjaan
besar yang butuh perencanaan matang dan
usaha keras. Pemerintah sebaiknya membuat
suatu masterplan yang memuat perencanaan
sistematis dan target pembangunan dan
pengembangan sektor maritim untuk jangka
pendek, menengah, dan panjang. Dengan
demikian, pemerintah dapat dengan mudah
mengukur pencapaian program ini, sekaligus
mengevaluasi permasalahan-permasalahan
yang muncul pada saat pelaksanaannya.
Upaya Pembangunan dan
Pengembangan Sektor Maritim
Indonesia
Dalam upaya membangun dan
mengembangkan sektor maritim,
pemerintahan Jokowi membentuk
Kementerian Koordinator Kemaritiman
yang menaungi Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Kementerian Pariwisata, dan
Kementerian Perhubungan. Keberadaan
Kementerian Koordinator Kemaritiman ini
sangat penting untuk dapat mewujudkan
sektor maritim yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Koordinasi antar kementerian
diperlukan agar program-program
pembangunan dan pengembangan sektor
maritim dari masing-masing kementerian di
bawah naungan Kementerian Koordinator
Kemaritiman dapat bersinergi dengan baik
dan tidak saling tumpang tindih.
Untuk dapat membangun dan
mengembangkan sektor maritim, khususnya
ekonomi maritim, pemerintah harus lebih
dulu membangun industri pendukung sektor
maritim. Menurut Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Padjajaran, Ina
Primiana, untuk mengembangkan sektor
maritim pemerintah harus memulai dari
wilayah Indonesia Timur karena wilayah
ini memiliki banyak potensi sumber daya
alam yang berasal dari laut. Jika program
pengembangan sektor maritim berkembang
maka biaya logistik menjadi semakin
murah karena banyaknya permintaan
ke wilayah Indonesia Timur. Untuk itu
pemerintah harus membuat road map
untuk merealisasikan pengembangan sektor
maritim. Seperti penentuan industri-industri
apa saja yang akan tumbuh di Indonesia
Timur. Kemudian setelah penentuan
industri, perlu dibangun infrastruktur
penunjang agar para investor tertarik
menanamkan modalnya.
Infrastruktur merupakan faktor
yang sangat penting sebagai katalisator
pembangunan, termasuk pembangunan dan
pengembangan di sektor maritim. Bentuk
kesiapan infrastruktur untuk menunjang
pembangunan sektor maritim salah satunya
adalah dengan membangun dan membenahi
fungsi kepelabuhan di pusat-pusat
ekonomi. Pelabuhan dapat menciptakan
konektivitas maritim yang berfungsi
sebagai alur interaksi ekonomi maupun
interaksi pada bidang-bidang lainnya. Jika
hal ini diterapkan, tentunya akan sejalan
dengan program percepatan pembangunan
di MP3EI. Dalam MP3EI, penguatan
konektivitas nasional dan internasional
merupakan salah satu program utama yang
dikedepankan. Oleh karena itu, sinergitas
program pembangunan dan pengembangan
sektor maritim dengan program penguatan
konektivitas antar wilayah harus dilakukan,
dalam rangka memanfaatkan posisi
Indonesia yang terhubung dengan pusat-
pusat perekonomian regional dan global.
Selain membangun industri
pendukung, pembenahan terhadap sejumlah
permasalahan mendasar di sektor kelautan
perlu dilakukan agar dapat mempercepat
pengembangan sektor maritim. Pakar
kelautan dari Universitas Pattimura,
Alex Retraubun, menyatakan bahwa
permasalahan mendasar sektor kelautan
adalah kemandirian. Kemandirian harus
- 16 -
menjadi urat nadi pengelolaan kelautan
dengan memberdayakan sumber daya
kelautan dan perikanan, serta mengurangi
ketergantungan impor. Permasalahan lainnya
adalah kemampuan pengawasan. Industri
kelautan dan perikanan Indonesia masih
jauh tertinggal dari negara tetangga akibat
lemahnya teknologi, sarana pengawasan, dan
ketahanan nelayan.
Program pembangunan dan
pengembangan sektor maritim adalah
program yang sangat baik untuk
meningkatkan pembangunan dan
pertumbuhan di sektor ekonomi. Banyak
upaya lainnya yang harus dilakukan selain
upaya-upaya di atas agar program prioritas
pemerintah ini dapat berhasil, diantaranya
adalah penguatan kompetensi SDM dan
pengembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi di bidang kelautan. Namun
pemerintah juga harus memperhatikan
secara serius dari sisi ketersediaan
anggaran. Anggaran yang dibutuhkan untuk
mensukseskan program ini akan sangat besar,
sedangkan pemerintah juga tidak bisa lepas
tangan terhadap program-program di bidang
lainnya. Untuk itu pemerintah harus dapat
secara bijak menjalankan program ini dengan
terencana, sistematis, dan terukur.
Penutup
Sebagai salah satu program utama
dalam visi dan misi pemerintahan Jokowi,
pembangunan dan pengembangan sektor
maritim menjadi pondasi untuk dapat
mewujudkan kemandirian ekonomi nasional.
Hal ini sangat dimungkinkan karena potensi
yang dimiliki sektor maritim Indonesia sangat
kaya dan beraneka ragam. Perencanaan
pembangunan dan pengembangan sektor
maritim perlu dilakukan sebaik mungkin
karena banyak hal yang harus dipersiapkan
terlebih dahulu, termasuk infrastruktur
dan industri pendukungnya, di mana
membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Dukungan penuh dari masyarakat dan
stakeholder lainnya juga sangat dibutuhkan.
Sebagai negara kepulauan, sudah seharusnya
Indonesia mampu mengoptimalkan dan
mengandalkan ekonomi maritim sebagai
tulang punggung pembangunan ekonomi
nasional.
Untuk mengatasi permasalahan
ketersediaan anggaran, pemerintah
dapat bekerja sama dengan pihak swasta,
asalkan pemerintah dapat memberikan
kemudahan bagi pihak swasta tersebut
untuk berinvestasi. Selain itu, pemerintah
juga harus meminta dukungan dari DPR RI
terkait ketersediaan anggaran agar program
ini dapat berjalan.
DPR RI, sebagai lembaga negara yang
salah satu fungsinya melakukan pengawasan,
harus mengawasi kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah untuk membangun dan
mengembangkan sektor maritim. Selain itu,
diharapkan DPR RI juga dapat mendukung
dan menguatkan program utama pemerintah
ini agar kemandirian dan pemerataan
ekonomi dapat segera terwujud.
Referensi
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian. 2011. Masterplan
Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
Fokus pada Produksi dan Jasa: Pelaku
Industri Maritim Perlu Diperkuat,
Harian Kompas, 22 Oktober 2014.
Indonesia Harus Jadi Negara Maritim,
Harian Ekonomi Neraca, 21 Oktober
2014.
Bangun Sektor Maritim, Jokowi Harus
Siapkan Industri dan Infrastruktur
maritim, http://www.gresnews.com/
berita/hukum/1202410-bangun-sektor-
maritim-jokowi-harus-siapkan-industri-
dan-infrastruktur-maritim/, diakses
tanggal 25 Oktober 2014.
Penguatan Ekonomi Maritim Bisa Menjadi
Pemicu Pemerataan di Indonesia,
http://www.beritasatu.com/industri-
perdagangan/217594- penguat an-
ekonomi-maritim-bisa-menjadi-pemicu-
pemerataan-di-indonesia.html, diakses
tanggal 25 Oktober 2014.
Potensi Ekonomi Maritim Indonesia,
http://jurnalmaritim.com /2013/16/129/
potensi-ekonomi-maritim-indonesia,
diakses tanggal 25 Oktober 2014.
Rokhmin Dahuri: 80 Persen Potensi
Maritim Indonesia Belum Terjamah,
h t t p : / / www. t r i b u n n e ws . c o m/
nasional/2014/09/12/rokhmin-dahuri-
80-persen-potensi-maritim-indonesia-
belum-terjamah, diakses tanggal 27
Oktober 2014.
- 17 -
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351
Vol. VI, No. 20/II/P3DI/Oktober/2014
PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KABINET JOKOWI-JK
Aryojati Ardipandanto*)
Abstrak
Kabinet Presiden Jokowi telah terbentuk. Secara konstitusional, pembentukan kabinet
merupakan hak prerogatif presiden tetapi dalam prakteknya tidak terlalu mudah
bagi Presiden Jokowi untuk menggunakan hak tersebut. Begitu banyak faktor politis
dan tarik-ulur yang harus dipertimbangkan. Presiden Jokowi akhirnya tetap
mempertahankan jumlah Kementerian sebelumnya, yaitu 34 Kementerian, tetapi
melakukan perombakan dari sisi penamaan dan pengelompokan Kementerian. Dalam
Surat Laporan perubahan nomenklatur Kementerian kepada DPR RI belum dilengkapi
dengan alasan yang jelas dan tegas terkait perubahan nomenklatur Kementerian
tersebut. Hal ini berpotensi dapat mengurangi tingkat kepercayaan DPR RI atas niat
baik presiden untuk mengesienkan dan mengefektifkan struktur, komposisi, dan
kinerja kabinetnya .
Pendahuluan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah
mengumumkan susunan Kabinetnya pada 26
Oktober 2014, sebagaimana yang dapat dilihat
pada tabel di bawah. Sebelumnya, pengamat
politik, Ray Rangkuti, menilai Presiden
Jokowi berada dalam situasi sulit dalam
meramu kabinet yang ideal. Ia memaklumi
jika Jokowi belum sangat berhati-hati dalam
memutuskan menteri-menteri yang akan
membantu pekerjaannya.
Ray mengatakan, ada ekspektasi besar
dari publik terhadap Jokowi-Jusuf Kalla (JK)
akan terbentuknya kabinet dengan menteri-
menteri yang ideal. Ideal yang dimaksud
adalah bebas dari rekam jejak korupsi,
bebas dari latar belakang kepentingan usaha
tertentu atau maa, bukan pelanggar hak
asasi manusia, serta bukan berlatar belakang
Orde Baru.
Hubungan Eksekutif Legislatif ke
Depan
Momentum penting seorang Presiden
setelah dilantik adalah pembentukan
kabinet. Meskipun konstitusi menegaskan
bahwa penunjukan para menteri kabinet
merupakan prerogatif presiden, sebagaimana
dinyatakan di dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 17 Ayat 2, dalam
praktiknya kewenangan itu tidak mudah
diimplementasikan.
Pembentukan kabinet oleh presiden
selalu diwarnai tarik-ulur. Faktor paling
menonjol yang membuat pemilihan menteri
*) Peneliti Pertama Politik pada bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: aryojati.ardipandanto@gmail.com
- 18 -
Menteri Nama pejabat
Menteri Sekretaris Negara Pratikno
Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional
Andrinof Chaniago
B
i
d
a
n
g

P
e
r
e
k
o
n
o
m
i
a
n
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil
Menteri Keuangan Bambang S Brodjonegoro
Menteri Perindustrian Saleh Husin
Menteri Perdagangan Rahmat Gobel
Menteri Pertanian Amran Sulaiman
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno
Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono
Menteri Agraria, Tata Ruang, dan Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya
B
i
d
a
n
g

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

M
a
n
u
s
i
a

d
a
n

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan
Puan Maharani
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek
Menteri Sosial Khofah Indar Parawansa
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak
Yohana Yembise
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
Marwan Jafar
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi
Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah Anies Baswedan
Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir
B
i
d
a
n
g

P
o
l
i
t
i
k
,

H
u
k
u
m
,

d
a
n

K
e
a
m
a
n
a
n
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudyantara
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi
Yuddy Chrisnandi
B
i
d
a
n
g

k
e
m
a
r
i
t
i
m
a
nMenteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan
Menteri Pariwisata Arief Yahya
Menteri ESDM Sudirman Said
sumber: http://news.liputan6.com/read/2122996/
Tabel Susunan Kabinet Jokowi-JK
- 19 -
berjalan alot adalah adanya calon titipan dari
pihak-pihak yang merasa telah berkontribusi
atau berjasa bagi presiden saat pemilu lalu.
Hal inilah yang menyandera seorang presiden,
sehingga tidak bisa sepenuhnya menggunakan
hak prerogatif.
Sebelum kabinet diumumkan, wacana
yang mengemuka adalah bahwa perampingan
kabinet memang memiliki beberapa dampak
jika selama ini kabinet pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terdiri dari 34
kementerian, dan pemerintahan dapat berjalan
secara baik, maka Jokowi ketika itu berencana
akan melakukan beberapa opsi pembentukan
kabinetnya. Termasuk pengusulan 3 opsi
terkait susunan kabinetnya yang akan
membantunya dalam melaksanakan roda
pemerintahan sebagai Presiden.
Ketiga opsi itu adalah pertama, status
quo, dengan mempertahankan 34 jumlah
kementerian yang sama dengan era Presiden
SBY dengan perubahan nomenklatur nama
kementerian yang berubah. Kemudian, opsi
kedua, perampingan hingga 27 kementerian
dengan tiga menko, dan opsi ketiga ada dua
versi, yaitu 3 A dan 3 B. Opsi 3 A adalah opsi
20 kementerian dan opsi 3 B berjumlah 24
kementerian
Ternyata Presiden Jokowi memilih opsi
mempertahankan jumlah 34 Kementerian
pada kabinetnya. Perlu dilihat bahwa sekali
lagi memang dalam prakteknya, presiden tidak
bisa sepenuhnya mengimplementasikan hak
prerogatifnya dalam membentuk kabinet. Hal
itulah yang tampaknya juga dialami Presiden
Jokowi saat ini. Terlihat sebelum pengumuman
Kabinet, rencana pengumuman kabinet pada
Rabu 22 Oktober 2014 di Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta, sempat dibatalkan. Meskipun
muncul alasan bahwa Presiden Jokowi
masih menunggu pertimbangan DPR terkait
surat pemberitahuan mengenai perubahan
nomenklatur kementerian, tetap tak bisa
dihindari adanya spekulasi bahwa Presiden
tersandera oleh tekanan banyak pihak yang
menitipkan calonnya untuk diakomodasi
sebagai anggota Kabinet.
Kemenangan Jokowi yang berpasangan
dengan JK saat pilpres lalu, tak lepas dari
sokongan lima parpol, yakni PDI-P, PKB,
Partai Nasdem, Partai Hanura, serta PKPI.
Konstelasi koalisi inilah yang diyakini
melahirkan tarik-menarik kepentingan dalam
penyusunan Kabinet. Hal itu tercermin dari
pernyataan Jokowi saat sebelum dilantik, yang
memberi alokasi 16 kursi menteri bagi calon
dari parpol.
Kita memahami, tidak mudah
membagi 16 kursi tersebut kepada parpol-
parpol penyokong. Belum lagi ada parpol
yang belakangan bergabung ke dalam koalisi,
yang konon juga dijanjikan kursi menteri
sebagai kontraprestasi dukungan politik di
parlemen. Ini membuat distribusi menteri ke
parpol-parpol semakin pelik.
Langkah mengakomodasi calon
menteri dari parpol, dalam praktiknya tak
bisa dihindari. Sebab, dalam perjalanan
pemerintahan selama lima tahun ke depan,
Presiden membutuhkan dukungan politik
dari parlemen agar semua programnya bisa
terlaksana dengan lancar. Dukungan publik
semata dirasa tak cukup. Sebab, praktik
ketatanegaraan mensyaratkan adanya
keterlibatan parlemen, yang artinya juga
berarti keterlibatan parpol.
Di atas itu semua, hal terpenting
adalah bagaimana Kabinet Jokowi dapat
membuat program-program kerja yang bisa
mendapatkan dukungan dari Legislatif.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia,
efektivitas pemerintahan bisa terbentuk
jika program atau kebijakan pemerintah
mendapat dukungan penuh dari pihak
legislatif. Artinya, kebijakan pemerintah
yang tak mendapat persetujuan dari
parlemen membuktikan bahwa hubungan
yang terjalin di antara dua lembaga tersebut
tak efektif. Ini karena sistem pemerintahan
kita menghendaki adanya perkawinan
kekuasaan antara eksekutif dan parlemen
atau convergence of power.
Selanjutnya, dari sisi hukum tata
negara, tampaknya memang Presiden
Jokowi belum menyampaikan secara lengkap
substansi laporan perubahan nomenklatur
Kabinetnya kepada DPR. Hal ini harus
dipenuhi Presiden Jokowi karena dasar
hukumnya sudah jelas, yaitu Pasal 19 UU
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara.
Perlu dicermati pula bahwa sebenarnya
dalam Undang-undang No 39 Tahun 2008
ini Presiden masih diberikan keleluasaan
dalam menentukan pengubahan nomenklatur
kabinet, karena DPR hanya memberikan
pertimbangan, bukan persetujuan. Artinya
pertimbangan tersebut, bisa dituruti dan
bisa juga tidak dituruti. Jadi kalau Presiden
mengusulkan pengubahan nomenklatur
suatu kementerian, namun DPR memberikan
pertimbangan untuk tidak perlu dirubah.
Dalam hal ini presiden bisa saja tetap pada
rencananya untuk mengubah nomenklatur
- 20 -
tersebut (tanpa mengikuti pertimbangan
DPR). Namun apabila presiden tidak
meminta pertimbangan DPR, dikhawatirkan
masalah ini akan menjadi batu sandungan di
awal pemerintahan Jokowi-JK. Akan muncul
persoalan politik yang sebenarnya tidak
perlu terjadi, akibat terganggunya hubungan
eksekutif-legislatif.
Presiden Jokowi telah memilih, dan kita
harus menghormatinya. Kini kita menunggu
langkah-langkah cepat Jokowi dan para
menteri di Kabinet Kerja ke depan. Langkah
Jokowi untuk meminta KPK memberi brieng
kepada para Menteri juga merupakan langkah
baik. Langkah cepat yang diharapkan dari
Jokowi adalah realisasi Kartu Indonesia Pintar
dan Kartu Indonesia Sehat yang langsung
menyentuh kepentingan rakyat bawah. Yang
krusial juga adalah keputusan kenaikan BBM
serta bagaimana menciptakan sistem untuk
memberi kail kepada masyarakat miskin
terdampak, bukan dalam bentuk ikan atau
uang tunai.
Penutup
Kabinet Presiden Jokowi sudah
terbentuk. Ada beberapa rekomendasi yang
dapat diberikan. Pertama, Presiden Jokowi
kini harus membuktikan keesienan dan
keefektifan komposisi, struktur, dan kinerja
Kabinetnya, sebagaimana yang menjadi
tuntutan atau amanat UU Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara. Kedua,
Presiden Jokowi harus menjalin sinergi
dengan DPR RI sebagai mitra dalam bekerja
membangun bangsa dan Negara ini melalui
upaya yang kongkrit seperti menunjuk 1
(satu) orang menjali penghubung dengan
DPR RI dan/atau lembaga negara lainnya,
sehingga segala program pemerintah dapat
terlaksana dengan baik.
Selanjutnya, rekomendasi untuk
Anggota Kabinet Jokowi, para menteri juga
sebaiknya mengikuti langkah Jokowi dalam
memilih anak buah, yaitu melibatkan KPK
dan PPATK dalam memilih jajaran pemimpin
direktorat di Kementeriannya. Ini tentu
menjadi tambahan beban kerja bagi kedua
lembaga itu, namun lebih baik sibuk di depan
daripada sibuk di belakang menyeret para
dirjen yang kemudian terkena kasus.
Referensi
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara
"Inilah Daftar Lengkap Menteri Kabinet
Jokowi" http://news.liputan6.com/
read/2122996/, diakses 25 Oktober 2014.
"Sulit Bagi Jokowi Membentuk Kabinet
Ideal", http://indonesiasatu.kompas.com/
read/2014/10/23/14133161/, diakses 25
Oktober 2014.
"Berbagi Hak Prerogatif Ala Jokowi", http://
nasional.inilah.com/read/detail/2147649/
berbagi-hak-prerogatif-ala-jokowi#.
VE2UL_msX5E, diakses 25 Oktober 2014.
"Bamsoet: Jokowi Harus Jelaskan
Alasan Perubahan Nomenklatur
Kabinet", http://m.tribunnews.com/
nasional/2014/10/23/, diakses 25 Oktober
2014.

Anda mungkin juga menyukai