Anda di halaman 1dari 24

H

Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

WACANA HAK INTERPELASI


KENAIKAN BBM
Trias Palupi Kurnianingrum*)

Abstrak
Kenaikan harga BBM bersubsidi telah memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Polemik ini semakin berkembang ketika DPR RI melalui Koalisi Merah Putih berniat
mengajukan hak interpelasi. Pada dasarnya pengajuan hak interpelasi merupakan hal
yang wajar dan sah untuk dilakukan. Namun demikian, mekanisme lain sebenarnya
dapat dilakukan oleh DPR RI untuk meminta penjelasan Presiden terkait keputusan
menaikkan harga BBM, yakni melalui hak bertanya. Hak bertanya dinilai sebagai
langkah yang netral dibandingkan hak interpelasi yang memiliki unsur politis

Pendahuluan

produktif, sehingga dapat lebih mendorong


pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan BBM yang dilakukan
oleh Presiden Jokowi didasarkan pada
pertimbangan agar dana subsidi BBM dapat
dialokasikan untuk anggaran pembangunan
infrastuktur, pendidikan, dan pelayanan
kesehatan. Hal ini dilakukan untuk
mewujudkan tujuan negara sebagaimana
diamanatkan
dalam
alenia
keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun
1945), yakni memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Namun
demikian,
keputusan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi telah menciptakan polemik di

Berita mengenai DPR RI yang akan


mengajukan hak interpelasi akibat keputusan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.
Seperti kita ketahui BBM merupakan mesin
pendorong pembangunan ekonomi nasional.
Namun demikian, jika pengelolaannya salah
arah, ia akan berpotensi menyengsarakan
rakyat. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila untuk sebagian BBM dianggap
sebagai akar persoalan sekaligus pangkal
penyelesaian perekonomian suatu negara.
Di Indonesia, subsidi BBM terbukti telah
membebani anggaran negara. Dengan
alasan tersebut, pemerintah memangkas
subsidi BBM dan mengalihkan pemangkasan
ini untuk membiayai belanja yang lebih

*) Peneliti Muda Hukum pada Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR
RI. E-mail: triaspalupikurnianingrum@ yahoo.com.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-1-

masyarakat. Pro dan kontra terus bergulir.


Pihak yang setuju mengatakan bahwa
keputusan Presiden Jokowi ini dianggap
sudah tepat karena dengan kebijakan ini
ruang
skal
akan
semakin
terbuka
lebar

untuk merelokasi beban subsidi BBM ke
sektor produktif, misalnya membangun
infrastruktur dasar seperti sistem irigasi,
pelabuhan, dan jalan. Dengan demikian,
dalam jangka panjang, manfaatnya akan
lebih jelas bagi semua kalangan Selain itu,
subsidi BBM selama ini dinilai tidak tepat
sasaran. Sekitar 70 persen pengguna subsidi
BBM adalah masyarakat golongan menengah.
Di sisi lain, masyarakat miskin tidak
memiliki akses yang cukup ke pelayanan
kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya,
pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif
seperti perbaikan infrastruktur, pendidikan,
dan pelayanan kesehatan akan lebih tepat.
Bagi pihak yang tidak setuju,
menyatakan
penolakannya
terhadap
kebijakan ini. Hal ini ditandai dengan
adanya perlawanan melalui demo massal
dari berbagai kalangan masyarakat. Di
lingkungan DPR RI, beberapa fraksi
bermaksud mengajukan hak interpelasi.
Pengajuan hak interpelasi dilakukan untuk
meminta keterangan kepada Presiden.
Dalam draf usulan interpelasi tersebut
dijelaskan bahwa pemerintahan Presiden
Jokowi dianggap ingkar janji karena
telah menaikkan harga BBM bersubsidi
sebesar Rp2.000,00 per liter. Presiden juga
dinilai tidak memiliki kepekaan terhadap
penderitaan rakyat karena telah menaikkan
harga BBM pada saat harga minyak dunia
mengalami penurunan. Selain itu, Presiden
juga dianggap belum memiliki program
kompensasi atas kenaikan tersebut.

2014 tentang Majelis Permusyawaratan


Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3). UU MD3
menyebutkan bahwa salah satu hak yang
dimiliki oleh DPR RI adalah hak interpelasi.
Pasal 79 ayat (2) UU MD3 menjelaskan
bahwa yang dimaksud hak interpelasi adalah
hak DPR RI untuk meminta keterangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas kepada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain diatur di dalam UUD Tahun 1945
dan UU MD3, ketentuan hak interpelasi juga
diatur di dalam Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib (Tatib DPR RI). Pasal
164 ayat (1) Tatib DPR RI mengatakan bahwa
DPR RI mempunyai hak interpelasi, angket,
dan menyatakan pendapat. Selanjutnya,
Pasal 165 ayat (1) Tatib DPR menyatakan
bahwa hak interpelasi diusulkan oleh paling
sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota
DPR RI lebih dari 1 (satu) fraksi. Pengusulan
hak interpelasi disertai dengan dokumen
yang memuat sekurang-kurangnya materi
kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan
pemerintah,
dan
alasan
permintaan
keterangan.
Berdasarkan Pasal 165 ayat (3) Tatib
DPR, pengajuan usulan hak interpelasi
tersebut dapat menjadi hak interpelasi
apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPR RI yang dihadiri lebih
dari (satu per dua) jumlah anggota dan
keputusan diambil dengan persetujuan lebih
dari (satu per dua) jumlah anggota yang
hadir. Selain diatur di dalam Tatib DPR,
mekanisme pengajuan hak ini juga sudah
diatur secara jelas di dalam Pasal 194 UU
MD3.

Hak Interpelasi
Materi pengaturan mengenai hak
interpelasi diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Hak
interpelasi
merupakan hak yang dimiliki oleh DPR
RI sebagai suatu lembaga, telah diatur di
dalam konstitusi negara. Pasal 20A ayat
(2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa
dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, DPR RI mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat. Hak interpelasi juga diatur
dalam Pasal 79 ayat (1) UU No. 17 Tahun

Urgensi Hak Interpelasi Kenaikan


BBM
Wacana pengajuan hak interpelasi
oleh beberapa fraksi di DPR RI telah
membuat banyak pihak mempertanyakan
hal tersebut. Jika dicermati, latar belakang
wacana pengajuan hak ini karena DPR
RI merasa tidak diberi kesempatan untuk
berkomunikasi lebih lanjut terkait rencana
kenaikan harga BBM bersubsidi. Terlebih
lagi, kenaikan harga BBM bersubsidi
dianggap tidak wajar karena dilakukan pada
-2-

saat harga minyak dunia turun. Pendek kata,


sebelum kebijakan ini dilansir, pemerintah
sepatutnya berkomunikasi terlebih dahulu
dengan DPR RI.
Jika dicermati lebih jauh, keputusan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi semestinya tidak perlu mendapat
persetujuan DPR RI. UU No. 12 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014
(UU APBN 2014) tidak memuat klausul
yang mengatur mengenai kedudukan
persetujuan DPR RI dalam masalah ini.
Dengan demikian, berdasarkan UU APBN
2014 pemerintah dapat langsung melakukan
penyesuaian subsidi BBM tanpa melalui DPR
RI.
Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (13) UU
APBN 2014 menyatakan bahwa anggaran
untuk subsidi energi yang merupakan bagian
dari program pengelolaan subsidi dapat
disesuaikan dengan kebutuhan realisasi
pada tahun anggaran berjalan berdasarkan
realisasi harga minyak mentah (ICP) dan
nilai tukar rupiah. Klausul ini diusulkan
untuk mengantisipasi gejolak perekonomian
global yang dapat membuat realisasi asumsi
ekonomi makro meleset dari target. Oleh
karena itu, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pemerintah dapat menaikkan besaran
subsidi harga BBM akibat perubahan ICP
dan nilai tukar rupiah dengan konsekuensi
besarnya porsi BBM yang diimpor.
Terlepas dari itu semua, kebijakan
kenaikkan harga BBM bersubsidi juga
termasuk ranah hak prerogratif presiden
selaku kepala pemerintahan. Namun
demikian, mekanisme komunikasi lebih
lanjut dengan DPR RI selaku lembaga
perwakilan rakyat masih sangat terbuka
sebagai bagian dari fungsi pengawasan.
Ada beberapa materi yang ingin
dipertanyakan oleh DPR RI melalui
pengajuan hak interpelasi, yakni pertama,
soal pengumuman pengalihan subsidi BBM
oleh pemerintah yang tidak secara khusus
menyebutkan adanya kenaikan harga BBM
bersubsidi. Kedua, asumsi dasar pemerintah
untuk mengalihkan subsidi dari sektor
komsumtif ke sektor produktif. Ketiga,
kemungkinan dampak kenaikan harga BBM
terhadap
inasi
di
beberapa
sektor.

Pengajuan hak interpelasi yang akan
dilakukan oleh DPR RI pada dasarnya

merupakan hal yang wajar dan sah untuk


dilakukan.
Namun
demikian,
untuk
mengurangi kesan kentalnya muatan politis,
mekanisme lain sebenarnya dapat dilakukan
dalam meminta keterangan pemerintah,
seperti hak bertanya. Pakar hukum tata
negara,
Rey
Harun,
misalnya
melihat
bahwa

interpelasi di dalam politik merupakan hal
yang wajar tetapi seharusnya dalam batasbatas koridor yang sesuai pakem. Dengan
demikian, hak interpelasi seharusnya
dilaksanakan setelah beberapa mekanisme
lain ditempuh, yakni hak bertanya,
menyatakan pendapat dan pelaksanaan hak
angket. Pendek kata, jika tujuannya hanya
ingin meminta keterangan dari presiden atas
kebijakan ini, sebenarnya tidak cukupkah
dengan penggunaan hak bertanya terlebih
dahulu.
Berbeda dengan hak interpelasi yang
melekat pada DPR RI secara kelembagaan,
hak bertanya merupakan salah satu
hak yang dimiliki oleh anggota DPR RI.
Mekanisme pengajuan hak bertanya diatur
dalam UU MD3. Pasal 218 ayat (1) UU
MD3 menjelaskan bahwa anggota DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
Pasal 218 ayat (2) UU MD3 menyatakan
bahwa hak bertanya yang diajukan kepada
Presiden disusun secara tertulis, singkat,
dan jelas serta disampaikan kepada
Pimpinan DPR. Pasal 218 ayat (4) UU MD3
menentukan bahwa Pimpinan DPR dapat
meneruskan pertanyaan tersebut kepada
Presiden, pimpinan lembaga negara atau
badan hukum dan meminta agar Presiden,
pimpinan lembaga negara, atau badan
hukum untuk memberikan jawaban.
Selain diatur di dalam UU MD3, hak
mengajukan pertanyaan juga dapat ditemui
di dalam Tatib DPR. Pasal 186 ayat (1)
Tatib DPR menyebutkan bahwa anggota
DPR memiliki hak mengajukan pertanyaan
kepada Presiden dan pejabat pemerintahan
terkait
kebijakan
pemerintah
dan
pelaksanaan undang-undang. Selanjutnya,
Pasal 186 ayat (2) Tatib DPR menyatakan
bahwa hak mengajukan pendapat dapat
disampaikan oleh anggota secara lisan atau
tertulis dalam rapat DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan DPR tentang Tata
Tertib. Berdasarkan Pasal 186 ayat (3) Tatib
DPR, hak mengajukan pertanyaan tersebut
dilakukan secara langsung dan dijawab
langsung kepada anggota yang bersangkutan
-3-

Jokowi Bisa Berlanjut, http://www.


tribunnews.com/nasional/2014/11/27/
politisi-pdip-ingatkan-hak-interpelasibagi-jokowi-bisa-berlanjut,
diakses
Kamis 27 November 2014.
Sofyan Djalil Sentil DPR Soal Interpelasi
BBM,
http://www.tempo.co/read/
news/2014/11/25/087624331/SofyanDjalil-Sentil-DPR-Soal-InterpelasiBBM-, diakses Kamis 27 November
2014.
Pemerintah Minta Bebas Menaikkan Harga
BBM,
http://www.jpnn.com/read/
2013/10/18/196313/Pemerintah-MintaBebas-Menaikkan-Harga-BBM-, diakses
1 Desember 2014.
Beda Pandangan Anggota Dewan Terhadap
Hak
Interpelasi,
http://www.
jurnalparlemen.com/view/8846/bedapandangan-anggota-dewan-terhadaphak-interpelasi.html, diakses 3 Desember
2014.
Kenaikan Harga BBM, DPR Inginkan
Penjelasan Pemerintah, Kompas, 24
November 2014.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2013
tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2014.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.

secara tertulis.
Dengan demikian, dalam rangka
mengurangi
kentalnya muatan politis,
penggunaan hak bertanya terlihat lebih pas
dibandingkan dengan penggunaan
hak
interpelasi secara langsung. Serangkaian
isu penting bisa dipertanyakan dalam
penggunaan hak bertanya ini berjajar dari
isu misalnya, kenaikan harga BBM di saat
harga minyak dunia turun, kesiapan jaminan
sosial sebagai kompensasi, sampai nilai
anggaran yang digunakan untuk jaminan
sosial tersebut.

Penutup
Keputusan Presiden untuk menaikkan
harga BBM bersubsidi telah menyebabkan
banyak pro dan kontra di masyarakat.
DPR RI melalui Beberapa fraksi berniat
untuk mengajukan hak interpelasi terkait
keputusan presiden dalam menaikkan harga
BBM bersubsidi. Pengajuan hak interpelasi
anggota DPR RI merupakan hal yang wajar
dan sah untuk dilakukan meskipun selain
hak tersebut masih terdapat mekanisme lain
yang juga dapat dilakukan, yakni melalui
hak bertanya anggota DPR RI. Hak bertanya
dapat dilakukan melalui rapat-rapat kerja
dengan pemerintah maupun pembentukan
kaukus DPR dalam rangka pelaksanaan hak
ini dalam hal terdapat masalah mendesak
yang perlu penanganan segera. Hak bertanya
dianggap lebih bersikap netral dibandingkan
apabila
langsung
menggunakan
hak
interpelasi yang bermuatan lebih politis.

Referensi
Jokowi Perlu Siapkan Argumen, Kompas,
27 November 2014.
Politisi PDIP Ingatkan Hak Interpelasi Bagi
-4-

Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

KASUS TENGGELAMNYA KAPAL ORYONG 501


DAN PERLINDUNGAN TKI ABK
Sita Hidriyah*)

Abstrak
Musibah tenggelamnya kapal penangkap ikan Korea Selatan Oryong 501 pada tanggal
1 Desember 2014 di barat Laut Bering lepas pantai Chukotka, Rusia Timur menjadi
perhatian pemerintah Indonesia, sebab dalam kapal tersebut terdapat 35 orang
anak buah kapal (ABK) Indonesia. Tim SAR Korea Selatan, serta gabungan Rusia
dan Amerika Serikat masih berupaya mencari ABK yang dilaporkan hilang di Selat
Bering. Perlindungan terhadap ABK terus diupayakan pemerintah Indonesia dengan
langkah ikut melakukan pencarian korban. Terjadinya musibah tersebut diharapkan
menjadi perbaikan langkah pemerintah Indonesia untuk terus berupaya memberikan
perlindungan bagi ABK luar negeri.

Pendahuluan

tersebut dioperasikan oleh Sajo Industries


untuk menangkap ikan Pollock. Saat ini
terdapat 5 kapal Korsel beroperasi di Selat
Bering untuk menangkap ikan pollock, yang
menjadi santapan populer di Korea Selatan
pada musim dingin. Hingga saat ini, upaya
pencarian terus dilakukan di tengah ombak
besar dan cuaca buruk di perairan timur jauh
Rusia.
perkembangan terakhir menunjukkan
9 WNI dipastikan tewas dan 26 WNI lainnya
masih hilang. Spekulasi penyebab kecelakaan
masih bermunculan dari cuaca buruk hingga
kelalaian yang dilakukan kapten kapal
ataupun perusahaan. Sajo Industries sebagai
perusahaan besar pencari ikan memang
memiliki rekam jejak buruk. Terdapat
laporan mengenai pelanggaran serius yang

Kapal nelayan Korea Selatan Oryong


501 mengalami musibah dan tenggelam
akibat cuaca buruk pada tanggal 1 Desember
2014 di barat Laut Bering lepas pantai
Chukotka, Rusia Timur. Setidak-tidaknya
satu anggota awak tewas dan nasib lebih
dari 60 awak kapal lainnya tidak diketahui.
Juru bicara Kementerian Kelautan dan
Perikanan Korsel mengungkapkan awak
kapal berjumlah 60 orang. Para penumpang
dari kapal berusia 36 tahun yang memiliki
berat 1.753 ton itu terdiri dari 35 awak asal
Indonesia, 13 dari Filipina, 11 warga Korsel,
dan 1 inspektur asal Rusia. Kapal Oryong
501 terdampar di perairan dekat Rusia
sekitar 02:20 (waktu Korea). Menurut
Departemen Kelautan dan Perikanan, kapal

*) Peneliti Muda Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, E-mail: sita.hidriyah@dpr.go.id
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-5-

Lulusan-lulusan tersebut tidak terbatas


pada bidang pelayaran, namun juga pada
kru kapal. Pada perkembangannya, telah
terjadi perubahan besar. Para pengusaha
kapal yang mengatakan jika dahulu hanya
membutuhkan ABK sekitar 5 orang yang
berasal dari Indonesia, tetapi kini berubah
menjadi membutuhkan sekitar 20 orang. Hal
ini sebagai gambaran bahwa SDM ABK asal
Indonesia juga berkualitas dan dibutuhkan
terutama di Eropa.
Permintaan tenaga kerja Indonesia
di sektor kelautan dan perikanan dari
luar negeri mencapai 10.000 orang per
tahun. Pemerintah Indonesia sendiri telah
menyelenggarakan pameran lowongan kerja
kelautan dan perikanan sejak tahun 2011
yang salah satu tujuannya adalah dapat
membuat lapangan kerja bidang kelautan
dapat tertata dengan baik. Peningkatan
permintaan tenaga kerja kelautan yang
berasal dari Indonesia dikarenakan warga di
Eropa dan negara lainnya tidak lagi berminat
bekerja di sektor tersebut. Hal tersebut
merupakan sebuah kesempatan kerja bagi
ABK Indonesia. Sebagai contoh sebuah
kapal ikan membutuhkan awak hingga
mencapai 60 orang. Masing-masing ABK
dituntut keahlian harus mengetahui jenis
ikan berdasarkan perairan, menjahit jaring,
sampai menyiapkan umpan.
Menurut data Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) Seoul, saat ini terdapat
32.622 buruh migran asal Indonesia di Korea
Selatan, dan sekitar 3.499 di antaranya
bekerja sebagai ABK. ABK Indonesia
diharapkan harus memahami betul standar
kelautan sesuai dengan Konvensi Organisasi
Maritim Internasional (IMO). Lembaga
pemerhati buruh migran Indonesia, Migrant
Care mengatakan banyak ABK asal Indonesia
bekerja dalam kondisi kapal yang tidak layak
sehingga menjadi korban kecelakaan. Hingga
saat ini, mereka belum melihat adanya
peraturan kategori kapal apa yang pantas
untuk ABK baik dari pemerintah maupun
agen penyalur.

dilakukan perusahaan seperti pelecehan dan


berbagai kekerasan terhadap ABK, ada pula
pelanggaran kontrak kerja seperti gaji para
kru yang tidak dibayar sesuai kesepakatan,
jam kerja berlebihan serta minimnya fasilitas
kerja. Bahkan The Korea Times menulis,
bahwa di tahun 2011, Sajo Industries digugat
oleh 32 kru kapal asal Indonesia yang turun
dari kapal Oyang 75 karena tidak dibayar,
mengalami
pelecehan
sik
dan
seksual,
serta

menjalani beban kerja tak sesuai ketentuan
dan membahayakan jiwa.

Keterlibatan WNI pada Kapal


Nelayan Asing
Insiden tenggelamnya kapal Oryong
ini mengingatkan bahwa ada resiko besar
yang harus ditanggung para ABK, terutama
bagi WNI, saat memutuskan bekerja di
kapal asing. Adapun alasan warga Indonesia
untuk bekerja sebagai ABK di kapal asing
adalah upahnya yang tinggi. Seorang ABK
asal Indonesia mendapatkan upah minimal
US$350 per bulan atau sekitar Rp4,2
juta. Standar gaji tersebut terhitung tinggi
dibandingkan standar gaji ABK dalam
negeri.
Data dari Kesatuan Pelaut Indonesia
(KPI) menyebutkan, hingga saat ini,
terdapat 400 ribu ABK WNI yang memilih
berlayar dengan kapal asing. Dari jumlah
tersebut, sekitar 100 ribu ABK WNI
bekerja di kapal niaga, 100 ribu lainnya
di kapal pesiar, 50 ribu di kapal industri
lepas pantai dan sisanya, bekerja di kapal
pencari ikan. Diperkirakan ada ribuan
TKI asal Tegal di kapal penangkap ikan
asing yang menggunakan paspor umum
alias pembuatan paspornya tidak melalui
Dinsosnakertrans. Hal ini terjadi karena
para ABK ingin mencari upaya yang lebih
mudah untuk bekerja di kapal asing. Selain
standar gaji yang lebih tinggi, hal lain yang
menjadi pertimbangan bekerja di kapal
asing adalah lapangan kerja bagi ABK di
dalam negeri semakin berkurang. Daya
tarik bekerja di luar negeri sangat besar
sehingga mencari pelaut yang andal di
Indonesia tidaklah mudah sebab mereka
cenderung lebih senang bekerja menjadi
pelaut kapal barang di luar negeri. Banyak
taruna lulusan Akademi Pelayaran Niaga
Indonesia (Akpelni) memilih bekerja di luar
negeri dengan gaji dolar Amerika Serikat.
-6-

Upaya Perlindungan bagi Pelaut


Indonesia di Kapal Asing

dan perlindungan ABK dilaksanakan oleh


Kementerian
Perhubungan.
Koordinasi
antara Kementerian Perhubungan, Kemenlu,
Kemenakertrans serta BNP2TKI inilah
yang perlu ditingkatkan sebagai upaya
perlindungan lebih intensif dan maksimal
bagi para ABK.

Negara mempunyai kewajiban untuk


melindungi warga negaranya yang berada
di luar negeri yang dalam pelaksanaannya,
kewajiban tersebut diemban oleh fungsi
perwakilan
diplomatik
dan
konsuler
suatu negara. Jika melihat pada kondisi
tersebut, upaya perlindungan bagi para
ABK seharusnya sama dengan TKI yang
bekerja di sektor lain di banyak negara.
Perlindungan terhadap TKI ABK tampaknya
belum maksimal dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Dengan adanya pemerintahan
baru Presiden Jokowi yang menjanjikan
kebijakan
pro-rakyat,
diharapkan
perlindungan kepada para TKI ABK dapat
dilaksanakan secara lebih baik. Agar dapat
bekerja secara go international, para TKI
harus memahami akan peraturan-peraturan
yang berlaku karena saat ini Indonesia telah
menjadi negara sumber tenaga kerja utama
di wilayah Asia bagi perusahaan asing.
Kasus tenggelamnya kapal Oryong
501 kali ini menambah tragedi terjadinya
eksploitasi terhadap ABK asal Indonesia
oleh pemberi kerja di luar negeri. ABK yang
bekerja di kapal asing adalah termasuk
TKI yang dilindungi sesuai Pasal 1 Ayat 1
Undang-Undang 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Pemerintah
Indonesia perlu memberikan perhatian
lebih terhadap upaya perlindungan TKI
ABK di luar negeri. Terutama masalah
asuransi keselamatan bagi para ABK
yang selama ini masih terkesan sebatas
wacana. KPI di tahun 2013 bahkan pernah
mendesak pemerintah untuk meningkatkan
perlindungan bagi ABK Indonesia karena
banyaknya kasus-kasus ABK Indonesia
yang mendapat perlakuan tidak manusiawi
di luar negeri. Komitmen Pemerintah
RI, khususnya kementerian luar negeri,
untuk
memberikan perlindungan yang
berkualitas, menyeluruh, dan berkelanjutan
bagi para TKI di luar negeri harus benarbenar dibuktikan. Perlu ada penegakan
hukum yang dapat menjamin hak kerja
ABK asal Indonesia di kapal-kapal asing
luar negeri. Tentunya, penegakan hukum
bisa dilaksanakan jika sinergi kelembagaan
secara lintas sektoral dapat terjalin.
Sebagai contoh, pada tataran implementasi
seluruh proses pelayanan penempatan

Kerja Sama Antar-Negara dalam


Penanganan Kecelakaan Kapal
Beberapa negara telah menyatakan
komitmennya untuk meneruskan upaya
pencarian yang masih berlangsung. Korea
Selatan mengerahkan 12 kapal, sementara
Rusia mengirimkan tiga kapal dan satu
pesawat. Tidak hanya kedua negara, tim
pencari dan penyelamat gabungan dari
otoritas Rusia dan Amerika Serikat masih
terus menggelar pencarian terhadap sisa
awak kapal yang hilang. Pihak Korea Selatan
sendiri telah mengerahkan tambahan enam
kapal untuk membantu pencarian serta
meminta pemerintah Rusia mempercepat
upaya SAR yang mereka lakukan. Sementara
itu, Amerika Serikat juga mengerahkan
sejumlah pesawat
terbang pencari.
Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih
terus mengikuti perkembangan proses
pencarian para ABK korban kapal tenggelam
itu melalui BNP2TKI. Menteri Luar
Negeri Indonesia Retno LP Marsudi, telah
berkomunikasi dengan pemerintah Rusia dan
Korea Selatan untuk berkoordinasi dengan
otoritas terkait kedua negara terutama yang
terkait nasib para ABK WNI. Penguatan
keterlibatan Kemenlu dalam persoalan ini
dan TKI di luar negeri secara umum menjadi
pekerjaan yang semakin besar ke depan.

-7-

Penutup

Referensi

Dengan adanya insiden tenggelamnya


kapal nelayan Oryong 501 ini, DPR dapat
mendorong pemerintah untuk membuka
lebih banyak kesempatan kerja di sektor
maritim agar para ABK Indonesia dapat di
tanah airnya sendiri dengan memanfaatkan
serta mengelola kekayaan kelautan dan
perikanan
Indonesia.
Pengorganisasian
dengan dibukanya bursa tenaga kerja
di sektor kelautan dan perikanan selalu
mendapatkan respon yang bagus dengan
terdaftarnya beragam orang yang melamar
kerja. Ini membuktikan sektor kelautan
masih diminati oleh banyak orang. Dengan
demikian, pemerintah perlu berupaya
agar dapat mendorong para ABK untuk
selalu menanamkan kebanggaannya dalam
mengelola laut Indonesia dibanding dengan
menjadi pelaut di negara lain.
Sektor
kelautan dan perikanan di Indonesia terbuka
luas bagi para pekerja Indonesia.
DPR meminta pemerintah untuk
segera menetapkan peraturan tentang
prosedur perekrutan bagi ABK perikanan
sesuai standar internasional. Keteraturan
dokumen yang dimiliki ABK Indonesia
di kapal asing harus didorong pula oleh
pemerintah. Misalnya dengan terdaftarnya
identitas secara resmi dan memiliki izin
imigrasi. Hal ini penting agar mereka tidak
menghadapi berbagai permasalahan ketika
sudah bekerja di luar negeri. Hingga saat ini,
belum terdapat Peraturan Kemenakertrans
yang secara khusus mengatur tentang
Perlindungan TKI ABK. Oleh karena itu,
hal ini harus menjadi perhatian penting
pemerintah.
Selain itu, kerja sama antarpemerintah dalam bidang kelautan dan
perikanan perlu dilakukan tidak hanya pada
kasus pencurian ikan tetapi juga pada insiden
kecelakaan di laut. Walaupun kejadian tidak
berlangsung di wilayah Indonesia, Indonesia
harus berupaya meningkatkan kerja sama
di kawasan pada sektor kelautan dan
perikanan.

Baru Tiga Orang dari 35 ABK WNI Yang


Selamat, Kompas, 3 Desember 2014.
Kapal
Tenggelam:
Ditemukan
Tujuh
Jenazah Kru Asal Indonesia, Kompas, 4
Desember 2014.
Tenggelamnya Oryong 501: Keserakahan
Berbuah Petaka?, Kompas, 5 Desember
2014.
3 out of 35 RI Seamen Rescued From
Sunken Ship in Bering Sea, The Jakarta
Post, 3 Desember 2014.
Three Indonesians Among Rescued After
Bering Sea Disaster, The Jakarta Post, 2
Desember 2014.
Kecelakaan Kapal Oryong: Tujuh Jasad
Awak Kapal Kembali Ditemukan,
Kompas, 6 Desember 2014.
Keluarga
Satinah
Bersyukur
Denda
Dikurangi,
http://www.tempo.co/
read/news/2014/03/31/058566651/
Keluarga-Satinah-Bersyukur-DendaDikurangi, diakses tanggal 3 April 2014.
Upah Tinggi, Alasan WNI Melaut di Kapal
Asing, http://www.cnnindonesia.com/
internasional/20141202134052-10615240/upah-tinggi-alasan-wni-melautdi-kapal-asing/, diakses tanggal 4
Desember 2014.
Indonesia Kirim Tim Ke Lokasi Kapal
Tenggelam
di
Rusia,
http://
www.bbc .co .u k/in do ne sia /be ri t a _
indonesia/2014/12/141202_abk_
indonesia.shtml, diakses tanggal 5
Desember 2014.
Menlu: 3 WNI Korban Kapal Tenggelam di
Rusia Selamat, Republika, 3 Desember
2014.
RI
Identikasi
Korban
Kapal
Tenggelam

di Rusia, http://nasional.republika.
co.id/berita/nasional/umum/14/12/03/
nfzt2t-menlu-3-wni-korban-kapaltenggelam-di-rusia-selamat,
diakses
tanggal 5 Desember 2014.

-8-

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

HUKUM
PERKAWINAN BEDA AGAMA
Achmad Muchaddam F*)

Abstrak
Uji Materi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menuntut
penghentian diskriminasi negara terhadap Perkawinan Beda Agama (PBA). Agama dan
perkawinan tergolong urusan ranah privat. Oleh karena itu tokoh agama masih belum
mengambil keputusan yang jelas mengenai penerimaan uji materi tersebut. Namun
demikian, PBA tetap rentan menyebabkan masalah sosial di kemudian hari. Dengan
demikian, Pasal 2 ayat (1) tersebut hendaknya dipertahankan.

Pendahuluan

pemerintah karena menyaratkan kedua


mempelai memiliki agama yang sama,
misalnya catatan sipil meminta surat baptis
kedua mempelai kristiani yang mencatatkan
perkawinannya. Hal ini menyebabkan
perkawinan yang sah secara hukum agama
tidak memiliki kekuatan hukum dalam
kehidupan bernegara.
Uji materi terhadap UU Perkawinan
itu menarik untuk ditelaah, terutama dari
sisi alasan-alasan pemohon uji materi UU
tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu,
hal terkait lain yang perlu ditelaah adalah
pandangan tokoh agama terhadap materi UU
yang diajukan itu.

Diajukannya uji materi terhadap pasal


2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
oleh mahasiswa dan para alumni Fakultas
Hukum Universitas Indonesia mengingatkan
kita
mengenai
dinamika
kehidupan
berbangsa yang semakin majemuk. Pasal
yang berbunyi, Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu,
tersebut dianggap melanggar hak asasi
manusia untuk melakukan perkawinan beda
agama (PBA).
Padahal, praktek PBA sendiri sudah
lama
terjadi.
Dengan
bertambahnya
penduduk dan penerimaan globalisasi
dalam setiap aspek kehidupan masyarakat,
perkawinan beda agama mulai menjadi
hal yang lumrah. Namun demikian, ikatan
ini tidak bisa dilegalkan dalam catatan

Payung Hukum PBA


Pemohon uji materi terhadap Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa
aturan dalam pasal tersebut menimbulkan

*) Peneliti Muda Agama pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI,
E-mail: muchaddam@yahoo.com
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-9-

ketidakpastian hukum bagi warga yang


akan melakukan perkawinan beda agama
di Indonesia. Berdasarkan pasal tersebut,
negara terkesan memaksa setiap warga
negara untuk mematuhi hukum agama
dan kepercayaannya masing-masing dalam
perkawinan. Jika Pasal 2 ayat (1) tersebut,
akan berimplikasi pada tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan oleh individu
yang berbeda agama.
Dalam praktik perkawinan beda agama
yang sudah terjadi selama ini, masyarakat
menghindari pasal tersebut dengan cara
penyelundupan hukum, yakni dengan cara
menggunakan perkawinan di luar negeri
atau perkawinan secara secara adat. Namun
demikian, pasangan PBA tetap menginginkan
perkawinannya diakui secara konstitusional.
Oleh karena itu, di mata pemohon
kini sudah waktunya negara berhenti untuk
memaksa warga negaranya untuk tidak
tunduk pada nilai-nilai luhur agama dan
kepercayaan warga negaranya. Negara
seharusnya membiarkan warganya untuk
memutuskan berdasarkan hati nurani dan
keyakinannya sendiri apakah akan mengikuti
atau tidak ajaran agama dan kepercayaan
yang dianutnya. Pasal 2 ayat (1) ini menurut
para pemohon juga bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1),
Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal
29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Uji materi terhadap UU Perkawinan ini
di hadapan Mahkamah Konstitusi sejatinya
bukan kali pertama terjadi. Tahun 2010,
Pasal 43 ayat (1) UU ini yang menyatakan,
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya,
pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji
materi tersebut sebagaimana tercatat dalam
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/
PUU-VIII/2010.

praktek ini juga mengindikasikan lunturnya


nilai-nilai sakral terhadap agama.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik
tahun 2010, dari 237641326 jiwa penduduk
Indonesia, terdapat 87,18% beragama
Islam, 6,96% beragama Kristen, 2,91%
Katolik, 1,69% Hindu, Budha sebanyak
0,72%, Konghuchu 0,05% dan sisanya 0.13%
lain-lain. Dalam penelitiannya tentang isu
PBA,
Nuryamin Aini menemukan PBA
paling sedikit terjadi di kalangan muslim
sebagaimana yang digambarkan dalam tabel
berikut.

Tabel Angka PBA Menurut Agama, Tahun


dan Jenis Kelamin
Agama
Islam
Protestan

1980

1990

2000

0.7

0.6

0.9

0.9

0.5

0.6

8.6

10.6

13.8

5.1

3.6

Katolik

13.3

15.4

11.4

8.7

6.9

13

Hindu

19

9.6

16.3

2.7

60

Budha

37.5

21.9

Lain-lain

35.5

sumber:islamlib.com

Secara sosiologis, warga Indonesia


saat ini adalah warga negara yang memiliki
mobilitas sosial yang tinggi. Warga negara
Indonesia bisa saja tinggal di negara lain.
BPS menyatakan ada peningkatan tren ini
dari tahun-ke tahun. Salah satu penyebabnya
adalah kesenjangan pembangunan, yang
selanjutnya
meningkatkan
keinginan
penduduk untuk pindah. Arus perpindahan
penduduk biasanya bergerak dari daerah
yang agak terbelakang pembangunannya ke
daerah yang lebih maju. Akibatnya, daerah
yang sudah padat menjadi semakin padat.
Di samping itu ada juga daerah-daerah
yang penduduknya mempunyai kebiasaan
merantau.
Arus globalisasi yang semakin gencar
turut mendorong konstruksi sosial baru.
Terbukanya informasi dari dunia maya telah
memberikan nilai-nilai baru bagi masyarakat,
yaitu merenggangnya
perbedaan sosial
dan menerima keberagaman sehingga
memunculkan tradisi baru. Adat yang selama
ini diajarkan turun-temurun berasimilasi
dengan kebudayaan luar yang semakin
mudah diakses berkat perkembangan
teknologi. Pembelajaran nilai dan makna
menjadi
bervariasi,
untuk
kemudian

Penyebab PBA
Semakin
meningkatnya
jumlah
PBA
di
Indonesia
menunjukkan
semakin
berkembangnya
penerimaan
pluralitas bangsa dan akibatnya semakin
menyempitkan
sekat-sekat
perbedaan
personal. Namun demikian, di sisi lain
- 10 -

memunculkan budaya baru yang lebih bebas


dan terbuka.
Dengan begitu, seorang warga negara
berpotensi akan menikah dengan siapa pun.
Karena itu, negara harus menjamin hakhak setiap warga negaranya agar memiliki
status hukum yang jelas. Negara harus
membiarkan masyarakat untuk memutuskan
berdasarkan hati nuraninya sendiri untuk
mengikuti atau tidak mengikuti ajaran
agama dan kepercayaan yang dianut.
Akibatnya, perkawinan warga negara tidak
lagi terpaku dengan nilai-nilai luhur agama
dan kepercayaannya.

tersebut berarti mengikis atau menggerogoti


Pancasila.
Majelis Tinggi Khoghucu (MATAKIN)
tidak
secara
langsung
menyatakan
kesetujuannya terhadap gugatan tersebut
meskipun ia tidak mempersoalkan PBA.
Perbedaan paham, golongan, bangsa, budaya,
etnis, politik maupun agama menurut
MATAKIN, tidak menjadi penghalang bagi
dilangsungkannya perkawinan. Meskipun
demikian, menurut Uung Sendana, Wakil
Ketua Umum MATAKIN, Li Yan (upacara
perberkatan) secara agama tidak dapat
dilakukan apabila salah satu pasangan calon
menikah bukan beragama Khonghucu.
Namun begitu, meskipun tidak dapat
melaksanakan Li Yuan, PBA tersebut
tetap diberi restu oleh MATAKIN, berupa
pengakuan dan pemberitahuan bahwa telah
dilaksanakan sebuah perkawinan. MATAKIN
tidak akan menjalankan upacara agama,
tetapi tidak menghalangi perkawinan dan
karenanya ia akan tetap mengeluarkan surat
keterangan menikah.
Parisada Hindu Darma (PHDI)
menolak terhadap permohonan revisi UU
tersebut. PHDI menegaskan, perkawinan
dalam agama Hindu hanya dapat disahkan
apabila kedua calon mempelai adalah
pemeluk agama Hindu. Ajaran Hindu di
Indonesia memiliki perbeaan dengan ajaran
Hindu India. Di India misalnya, pemeluk
agama
Hindu
boleh
melangsungkan
perkawinan dengan agama lain yang masih
serumpun dengan agama Hindu, sementara
di Indonesia, umat Hindu hanya boleh
menikah dengan orang yang seiman.
Hal yang menarik kemudian adalah
pandangan masing-masing majelis agama
terhadap uji materi Pasal 2 ayat (1) ini. Tabel
berikut memuat pandangan masing-masing
organisasi keagamaan terhadap uji materi
pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Pandangan Tokoh Agama


Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sangat
berkaitan erat dengan hukum agama. Oleh
karena itu, kiranya wajar jika kemudian
pengujimaterian pasal tersebut mendapat
tangapan sejumlah tokoh lintas-agama.
Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP)
yang terdiri dari MUI (majelis Islam), PGI
(majelis Kristen Protestan), KWI (majelis
Katolik), PHDI (majelis Hindu), WALUBI
(majelis Buddha), dan MATAKIN (majelis
Kong Hu Cu) misalnya sepakat memberikan
kewenangan
penuh
kepada
masingmasing agama untuk membuat ketentuan
perkawinan sesuai ajaran agamanya,
termasuk ketentuan PBA. Kesepakatan itu
menurut Slamet Efendi Yusuf, perwakilan
dari MUI, didasarkan kepada kesadaran
bahwa perkawinan adalah peristiwa yang
sakral, karenanya harus dilakukan sesuai
dengan ajaran agama masing-masing
individu yang bersangkutan.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
melalui Parstor Purbo Tamtomo perwakilan
dari KWI, siapa pun tidak bisa memaksa
orang pindah agama untuk menikah.
Permasalahan beda agama kerap membuat
pasangan calon yang akan menikah kesulitan
mengurus pencatatan sipil. Salah satu pihak
calon mempelai kerap dipaksa untuk pindah
agama demi mempermudah administrasi
pencatatan sipil. Tanggung jawab negara
dalam hal perkawinan menurut Tamtomo
harus mengarah pada kepentingan dan
kebaikan semua warga negara sesuai
dengan hak asasinya. UU Perkawinan saat
ini justru mempersempit dan membatasi
perwujudan kebutuhan setiap warga negara.
Dalam konteks negara yang berdasarkan
Pancasila, penyempitan dan pembatasan

Tabel perbandingan Pro Kontra Uji


Materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
Pro
MUI

Kontra
Konferensi
Waligereja
Indonesia (KWI)

Parisada Hindu Darma PGI


(PHDI)
WALUBI
Majelis Tinggi Khoghucu
(MATAKIN)

- 11 -

Referensi

Perbedaan sikap majelis agama-agama


itu, sedikitnya menunjukkan bahwa aturan
hukum yang diuji materi ke Mahkamah
Konstitusi itu, terkait langsung dengan
pandangan dan keyakinan teologis masingmasing agama. Jadi, hal ini bukan sekadar
persoalan hak asasi manusia dan persoalan
negara melampaui kewenangannya dalam
urusan pribadi warga negara.
Pada hakikatnya, tidak ada agama
yang membolehkan PBA. Dalam Islam,
perempuan Islam menikah dengan lakilaki non-Islam dilarang keras (haram)
sebagaimana misalnya ditegaskan dalam
salah satu surat Al Quran. Sementara itu,
laki-laki ahli kitab diperbolehkan menikahi
perempuan berbeda agama meskipun para
ulama melarang lelaki non-ahli kitab untuk
menikah wanita berbeda agama. Dengan
demikian, PAB tetap rentan menimbulkan
masalah sosial sebagai akibat tidak adanya
pengakuan resmi negara. Dalam konteks ini,
dalam
hal
terjadi
konik
berupa
perceraian

atau penelantaran anak, negara tidak dapat
memberikan perlindungan hukum. Hal yang
sama bagi anak-anaknya yang menginjak
masa dewasa ketika harus memilih
kepercayaan agamanya.

Kompas, Pasal Perkawinan Berdasarkan


Hukum Agama digugat ke MK,, 4
September 2014.
Kompas, Izin atau Larangan Nikah Beda
Agama Diserahkan ke Masing-masing
Agama, 13 September 2014.
KWI:
UU
Perkawinan
Menyulitkan
Perkawinan Beda Agama, dalam
Republika.co.id., diakses tanggal
24
November 2014.
Hindu Tolak Nikah Tak Seiman, dalam
Republika.co.id, diakses tanggal 25
November 2014.
Yayasan LBH APIK, Usulan Amandemen
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
dalam
www.lbh-apik.or.id,
diakses
tanggal 4 Desember 2014.
BPS. Penduduk Menurut Wilayah dan Agama
yang Dianut, http://sp2010.bps.go.id/
index.php/site/tabel?tid=321,
diakses
tanggal 11 Desember 2014.
BPS.
Migrasi:
Latar
Belakang
dan
Permasalahan,

http://demogra.bps.
go.id/parameter2/index.php/migrasi,
diakses tanggal 11 Desember 2014.
WALUBI dan PGI Dukung Perkawinan Beda
Agama, MUI dan PBNU Menolak, http://
www.republika.co.id/berita/nasional/
umum/14/11/05/nek7sc-walubi-danpgi-dukung-perkawinan-beda-agamamui-dan-pbnu-menolak, diakses tanggal
11 Desember 2014.
PGI: Larangan Nikah Beda Agama
Abaikan
Hak
Asasi
Manusia,
http://nasional.kompas.com/
read/2014/11/05/15434601/PGI.
Larangan.Nikah.Beda.Agama.Abaikan.
Hak.Asasi.Manusia, diakses tanggal 11
Desember 2014.

Penutup
Perkawinan berdasar hukum agama
sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 yang saat ini sedang diujimaterikan ke
Mahkamah Konstitusi seyogyanya disikapi
secara arif. Pemerintah secara tegas menolak
permohonan uji materi perkawinan berdasar
hukum agama dan meminta MK menolak
uji materi tersebut karena PBA rentan
menimbulkan masalah sosial di kemudian
hari. Untuk mendukung hal tersebut, DPR
RI juga perlu mengisyaratkan tidak adanya
revisi UU Perkawinan ini.

- 12 -

Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

PENYIMPANGAN ANGGARAN
DAN INDEKS PERSEPSI KORUPSI
Suhartono*)

Abstrak
Penyimpangan anggaran yang masih tinggi dan indeks persepsi korupsi yang masih
rendah menunjukkan tingkat kepatuhan penyelenggara negara dalam mengelola
keuangan negara dengan baik dan bersih masih rendah. Hal ini akan menurunkan
daya saing ekonomi Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga yang
memiliki indeks persepsi korupsi yang lebih baik. Untuk itu, diperlukan bukan hanya
penindakan tetapi juga sistem pencegahan dan pengawasan yang efektif sehingga
peluang terjadinya penyimpangan dapat ditekan serendah mungkin.

Pendahuluan

Hasil pemeriksaan semester I-2013 yang


nilainya sebesar Rp 7,83 triliun menjadi Rp10,93
triliun di semester I-2014. Ketidakpatuhan yang
menyebabkan kerugian negara juga meningkat
dari Rp1,37 triliun di semester I-2013 menjadi
Rp1,46 triliun di semester I-2014. Sedangkan
apabila digabung dengan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) dan badan lainnya
seperti BUMN dan BUMD, nilainya mencapai
Rp30,88 triliun. Sebaliknya, walaupun belum
memuaskan secara nilai, indeks persepsi
korupsi mengalami peningkatan 2 poin dari
32 pada tahun 2012 dan 2013 menjadi 34
pada tahun 2014. Hal ini menyebabkan secara
peringkat juga meningkat dari 118 tahun 2012,
114 tahun 2013, dan 107 pada tahun 2014.
Namun demikian, secara peringkat di lingkup
ASEAN, angka ini masih di bawah Singapura,
Malaysia, Thailand dan Filipina.
Angka-angka di atas memberikan indikasi
bahwa proses perbaikan pengelolaan keuangan

Di awal bulan Desember 2014 ini, dua


laporan penting menjadi perhatian publik.
Pertama, laporan hasil pemeriksaan semester
I Tahun 2014 yang disampaikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedua, rilis hasil
survei lembaga Transparency International
Indonesia terkait dengan Indeks Persepsi
Korupsi 2014. Laporan hasil pemeriksaan
dan hasil survei mengenai indeks persepsi
korupsi perlu dicermati dan ditelaah lebih
jauh karena menggambarkan kondisi terkini
dari pengelolaan keuangan negara dan
perkembangan persepsi masyarakat terhadap
korupsi.
Dari hasil pemeriksaan atas laporan
keuangan kementerian dan lembaga (K/L) di
tingkat pusat semester I-2014 menunjukkan
adanya peningkatan nilai atau jumlah
penyimpangan
anggaran
dalam
bentuk
ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan.

*) Peneliti Madya Kebijakan Publik pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, E-mail: suhartonot@yahoo.com.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 13 -

APBD oleh DPRD menyebabkan terjadinya


pelambatan pelaksanaan anggaran. Jika dalam
semester I tingkat ketidakpatuhan masih tinggi,
hal ini menunjukkan kurang perhatiannya
pelaksana anggaran pada prinsip pengelolaan
anggaran secara baik dan benar. Hal ini juga
menunjukkan bahwa pelaksanaan semester
II berpotensi besar terjadinya pelanggaranpelanggaran.
Di sisi lain, Hapsem dan kesimpulan
hasil pemeriksaan BPK juga menunjukkan
peningkatan kualitas akuntabilitas pelaporan
keuangan negara (lihat Tabel 1). Tingkat
kepatuhan dalam menyajikan laporan keuangan
dan keterbukaan terhadap pemeriksaan BPK
menunjukkan bahwa K/L di tingkat pusat
cukup tinggi jika dilihat dari opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) yang mencapai rata-rata
72 persen. Sementara, sisanya wajar dengan
pengecualian (WDP) mencapai sekitar 25
persen dan tidak memberikan pendapat (TMP)
sebesar 3 persen, serta tidak wajar (TW) 0
persen. Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi.
Namun demikian, hal ini juga perlu diberi
catatan terhadap 72 persen K/L yang masih
belum memenuhi standar pelaporan yang baik
serta masih tingginya temuan ketidakpatuhan
terhadap UU dan peraturan yang mengatur
pelaksanaan
keuangan
negara.
Artinya,
walaupun suatu instansi mendapat status WTP
tetapi belum tentu ia diikuti dengan tingkat
kepatuhan atau minim, bahkan nihilnya tingkat
pelaksanaan keuangan negara sampai pada
tingkat yang berpotensi merugikan keuangan
negara.

negara dan upaya pemberantasan korupsi masih


menjadi pekerjaan besar bagi pemerintahan
baru. Ini juga menjadi pekerjaan besar DPR
dan DPD hasil pemilu 2014 yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN) atau keuangan negara oleh pemerintah.
Hasil pemeriksaan BPK dan nilai indeks
korupsi sebagai cerminan persepsi masyarakat
terhadap tingkat korupsi di kalangan
penyelenggara negara seharusnya menjadi
indikator
penting
dari
sejauh
mana
efektitas,

transparansi, akuntabilitas serta kepatuhan
penyelenggara negara dalam pelaksanaan
keuangan negara. Pelaksanaan keuangan negara
bukan hanya domain pelaksanaan belanja
dan pengelolaan pendapatan negara tetapi
juga mengandung aspek kinerja pelaksanaan
pelayanan publik kepada masyarakat. Bahkan
lebih jauh lagi, ia dapat menggambarkan
sejauh mana penyelenggara negara mampu
mewujudkan cita-cita negara, yaitu menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia dari semua lapisan maupun
wilayah.

Hasil Pemeriksaan BPK

Hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan


ke DPR pada bulan Desember ini merupakan
hasil pemeriksaan BPK Semester (Hapsem)
I atas Laporan Keuangan K/L Tahun 2014.
Hapsem ini merupakan pelaksanaan dari tugas
konstitusional BPK sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 E UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan UU 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Dalam Pasal 18 UU
15 Tahun 2004 ditegaskan bahwa BPK wajib
menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
Semester (IHPS) kepada lembaga perwakilan
serta
presiden/gubernur/bupati/walikota
selambat-lambatnya
tiga
bulan
sesudah
berakhirnya semester yang bersangkutan.
Dari Hapsem I-2014 diperoleh gambaran
bahwa ada peningkatan nilai penyimpangan
keuangan negara dari sisi kepatuhan dan potensi
kerugian keuangan negara. Namun demikian,
karena Hapsem I-2014 ini laporan semester I,
sejumlah rekomendasi masih berpeluang untuk
ditindaklanjuti penyelenggara negara sehingga
secara nilai hasilnya bisa berubah. Terlepas
dari itu, bagaimana pun nilai penyimpangan
tersebut seharusnya menjadi indikasi lemahnya
kepatuhan dan proses pengawasan terhadap
pelaksanaan anggaran di semester I yang
biasanya sejumlah K/L menghadapi persoalan
lambatnya realisasi akibat keterlambatan proses
administrasi pencairan anggaran. Bahkan
di tingkat daerah lambatnya pengesahan

Tabel 1.Opini BPK atas LKKL Pusat


(2010-2014)
2010

2011

2012

2013

2014
(sem I)

WTP
%
WDP
%
TMP
%

52
63%
29
35%
2
2%

66
76%
18
21%
3
3%

68
74%
22
24%
2
2%

68
74%
22
24%
2
2%

64
74%
19
22%
3
3%

Sumber: Hasil Pemeriksaan BPK (diolah), tahun 2014

Pada kenyataannya, kualitas pelaporan


dan tingkat kepatuhan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) jauh lebih buruk
dari apa yang sudah dicapai oleh Laporan
Keuangan
Kementerian
Negara/Lembaga
(LKKL) Pusat. Rendahnya kualitas tersebut

- 14 -

tergambar dalam Tabel 2, di mana tingkat


kepatuhan sehingga berstatus WTP dari sisi
pelaporan dari tahun ke tahun dalam 4 tahun
terakhir terus meningkat dari 7 persen menjadi
34 persen. Sedangkan sisanya belum memenuhi
standar pelaporan. Bahkan masih ada yang
berstatus TW dan TMP. Hal ini mencerminkan
kualitas akuntabilitas pelaksanaan keuangan
negara di tingkat daerah masih rendah.
Rendahnya tingkat kepatuhan dalam pelaporan
juga
memperbesar
terjadinya
peluang
ketidakpatuhan dalam pelaksanaan keuangan
negara.

dalam pelaporan dan pelaksanaan pengelolaan


keuangan negara, komitmen para penyelenggara
negara masih rendah untuk menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik dan bersih.
Indikator persepsi korupsi yang masih
tertinggal dari sejumlah negara di ASEAN
berpengaruh pada tingkat daya saing Indonesia
di mata investor, karena indeks korupsi yang
masih rendah juga memberikan indikasi
tingginya kesulitan dalam memulai usaha,
kepastian hukum dalam berusaha dan tingginya
biaya ekonomi dalam menjalankan bisnis
atau usaha di Indonesia dibanding dengan
negara tetangga. Rendahnya daya saing dari
sisi ini tentunya akan berpengaruh juga pada
efektitas
pembangunan
dalam
mewujudkan

kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Selain itu, rendahnya indeks persepsi korupsi
juga menunjukkan pelayanan publik oleh
aparatur negara yang rendah, sehingga
membentuk persepsi masih tingginya tingkat
korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara
negara. Bagaimana pun, ada kemungkinan
bahwa persepsi tersebut bisa terbentuk oleh
pemberitaan yang intens oleh media massa
nasional terhadap kasus-kasus korupsi yang
ditangani oleh KPK dan penegak hukum
lainnya.
Terlepas dari faktor yang mempengaruhi
persepsi publik terhadap tingkat korupsi,
indikator korupsi yang masih rendah seharusnya
menjadi bahan evaluasi baik bagi pemerintah,
DPR, DPD dan lembaga yudikatif baik di pusat
maupun daerah untuk menjalankan peran
yang kuat dalam pencegahan korupsi karena
ia merupakan persoalan yang kompleks di
negara berkembang seperti Indonesia. Ada
sejumlah kendala terutama tingkat kepatuhan
penyelenggara
negara
dalam
mengelola
keuangan negara seperti yang tergambar dari
hasil pemeriksaan BPK.

Tabel 2. Opini BPK atas LKPD (20102013)

WTP
WDP
TMP
TW

2010
34
7%
341
65%
121
23%
26
5%

2011
67
13%
349
67%
100
19%
8
1%

2012
113
27%
267
64%
31
8%
4
1%

2013
153
34%
276
60%
18
4%
9
2%

Sumber: Hasil Pemeriksaan BPK (diolah), Tahun 2014

Indeks Persepsi Korupsi

Gambaran pemeriksaan BPK yang


menunjukkan
masih
rendahnya
tingkat
kepatuhan
dalam
pelaporan
maupun
pelaksanaan
keuangan
negara
memiliki
hubungan yang erat dengan capaian indeks
persepsi korupsi Indonesia. Walaupun secara
nilai indeksnya terus meningkat dari tahun
ke tahun, tetapi ia belum diikuti kenaikan
peringkat
secara
signikan
sehingga
bisa

memperbaiki peringkat persepsi korupsi baik
secara kawasan Asia Tenggara maupun dunia.
Rata-rata indeks persepsi korupsi dunia yang
terdiri dari 175 negara tercatat sebesar 43,
sedangkan di ASEAN rata-rata sebesar 39.
Tentunya indeks persepsi korupsi di Indonesia
yang baru mencapai sebesar 34, masih berada
di bawah rata-rata dunia dan ASEAN.
Kondisi
tersebut
mencerminkan
bahwa di tengah-tengah sentimen positif
atas komitmen kerja Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), namun belum berarti tren
korupsi menurun. Sejumlah penindakan
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh KPK dan penegak hukum lainnya belum
mengurangi
secara
signikan
praktek
korupsi.

Apabila dikaitkan dengan tingkat kepatuhan

Pencegahan dan Pengawasan

KPK yang terus bekerja melakukan


penindakan memerlukan dukungan dari sisi
pencegahan, karena tingkat korupsi yang masif
tidak hanya bisa diselesaikan hanya dengan
mengandalkan kewenangan penindakan oleh
KPK dan penegak hukum lainnya. Pencegahan
menjadi salah satu saringan pertama untuk
mengurangi masih tingginya penyimpangan
pengelolaan keuangan negara dan tindak pidana
korupsi lainnya. Pencegahan bisa dimulai dari
mulai tingkat perencanaan, implementasi
hingga penilaian kinerja dan kontrol. Siklus
kebijakan tersebut harus menjadi perhatian dan
fokus dari sistem pengawasan internal.
Persoalannya,
sistem
pengawasan
- 15 -

internal di sejumlah instansi masih lemah. Hal


ini disebabkan adanya disfungsi inspektorat
disejumlah K/L dan pemerintah daerah.
Disfungsi tersebut disebabkan karena bentuk
kelembagaan inspektorat yang hanya sebagai
sistem penunjang dengan rincian tugas untuk
memperbaiki
laporan
inesiensi,
praktek

maladministrasi dan bahkan korupsi di tubuh
birokrasi. Lingkup tugas pengawasannya juga
dibatasi hanya pada wilayah penilaian laporan
kemajuan kerja dan kesesuaian prosedur
formal perencanaan dan implementasi. Bahkan
lebih jauh kedudukannya sering dikooptasi
oleh pimpinan K/L atau kepala daerah melalui
sekretaris daerah. Hal ini membuat rekomendasi
atau temuan inspektorat sebagai umpan
balik sering diabaikan dan posisinya lemah
karena tidak adanya sanksi dari tindak lanjut
pelaksanaan rekomendasi inspektorat. Belum
lagi perlakuan terhadap lembaga inspektorat
sebagai lokasi penempatan birokrat yang
kurang potensial sehingga kondisi ini semakin
menambah lemahnya fungsi pengawasan
internal di tingkat K/L dan pemerintah daerah.
Untuk bisa diandalkan dalam meminimalkan
penyimpangan anggaran fungsi lembaga dan
sistem pengawasan internal harus diperkuat
dan diberikan kewenangan yang besar
dalam mencegah terjadinya penyimpangan
penggunaan anggaran.
Pencegahan juga bisa dilakukan oleh
DPR, DPD dan DPRD dalam menjalankan
fungsi pengawasan. Laporan hasil pemeriksaan
BPK dalam konteks pengawasan bisa dijadikan
bahan awal bagi DPR, DPD dan DPRD untuk
melakukan investigasi lebih jauh terhadap
sejumlah penyimpangan pelaksanaan anggaran.
Selain itu, fungsi pengawasan DPR juga sudah
berjalan saat proses perencanaan, karena dalam
menyusun rencana kegiatan dan anggaran K/L
harus dibicarakan dengan DPR. Dalam hal ini,
DPR sudah memiliki bahan awal yang memadai
untuk mencegah terjadinya penyimpangan
anggaran di tubuh K/L. Dalam konteks
pengawasan DPR juga dapat mengevaluasi
kinerja K/L, kemanfaatan program dan kegiatan
K/L. Untuk menjalankan fungsi pengawasan
tersebut DPR memiliki kewenangan berupa hak
bertanya, interpelasi, angket dan menyatakan
pendapat.
Jadi

efektitas

pencegahan

dan

pengawasan perlu diperluas dalam konteks
membangun kualitas akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara dan membangun indeks
persepsi korupsi yang lebih baik. Pengelolaan
keuangan
negara
harus
efektif
dan
esien

yang ditandai dengan tingkat pelaporan yang
akuntabel, minimnya penyimpangan dan
tentunya persepsi masyarakat yang makin baik

terhadap integritas penyelenggara negara,


sehingga lingkaran persoalan dari perilaku
korupsi bisa diputus satu persatu. Hal ini akan
membuat negara sejahtera bukan hanya mimpi
dan daya saing ekonomi Indonesia semakin
tinggi di mata dunia internasional.

Penutup

Penyimpangan keuangan negara yang


masih tinggi dan indeks persepsi korupsi
yang masih rendah menutup peluang bagi
kemajuan pembangunan bangsa. Untuk
itu perlu perluasan peran pencegahan dan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga baik
KPK dan yang lainnya, sehingga tidak hanya
mengandalkan pada peran penindakan yang
dilakukan KPK atau penegak hukum lainnya
tetapi
juga
dari
efektitas
dari
kerja
pencegahan

yang dilakukan sistem pengawasan internal
pemerintah, pelaksanaan fungsi pengawasan
DPR, DPD dan DPRD dan tentunya persepsi
dan opini masyarakat membantu penyelenggara
negara dalam mengevaluasi diri seberapa
besar komitmennya untuk menyelenggarakan
pemerintahan secara baik dan bersih.

Referensi

Asa Kepada KPK tetap Tinggi, Kompas, 4


Desember 2014.
BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
I-2014.
BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan 2013
Jaweng, Robert Endi, Disfungsi Pengawasan
Internal, Kompas, 3 Desember 2014.
Penyimpangan Anggaran Naik, Kompas, 3
Desember 2014.

- 16 -

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

DINAMIKA INTERNAL PARTAI GOLKAR


DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA DPR RI
Debora Sanur L*)

Abstrak
Partai Golkar merupakan partai pemenang kedua dan berhasil meraih 91 kursi di
Parlemen. Namun demikian, sukses ini tidak dibarengi dengan semakin kuatnya
konsolidasi internal partai. Kepengurusan Partai periode 2014-2019 terpecah menjadi
dua kubu sehingga kedua kubu pun melakukan Munas yang berbeda. Pada awalnya
Munas akan dilaksanakan pada Januari 2015, namun akhirnya Munas dimajukan
menjadi November dan Desember 2014. Munas di Bali yang memilih kembali Abu
Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai ditolak Tim Presidium Penyelamat Partai
Golkar yang membuat Munas di Ancol. Untuk mengurangi potensi dampaknya
terhadap kinerja DPR, konik internal tersebut diharapkan dapat segera terselesaikan
sehingga fungsi partai sebagai penyambung aspirasi konstituennya dapat terus
terjaga.

tahun 2014. Hal ini berdasarkan pada Anggaran


Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
partai bahwa Munas digelar setiap lima tahun.
Merujuk pada bulan dan tahun pelaksanaan
Munas, munas berikutnya seharusnya digelar
pada Oktober 2014.
Niat percepatan pelaksanaan Munas
tersebut akhirnya dibahas dalam Rapimnas
di Yogyakarta pada 17 November 2014 dan
mencapai kesepakatan agar Munas dipercepat
dari Januari 2015 menjadi 30 November 2014.
Percepatan Munas ini dilaksanakan dalam
konstelasi agenda besar nasional, seperti Pileg,
Pilpres, pembentukan pimpinan MPR, DPR RI
dan Kabinet, sudah selesai. Pendek kata, tidak
ada alasan untuk menunda Munas menjadi
Januari 2015 seperti yang dihasilkan oleh rapat

Pendahuluan

Partai Golkar adalah partai pemenang


kedua dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 yang
lalu adalah Partai Golkar dengan 18.432.312
suara atau 14,75 persen. Berdasarkan
penghitungan KPU, Golkar berhasil meraih
91 kursi (16,3 persen) di Parlemen. Namun
demikian, setelah pemilihan legislatif (pileg)
dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 terjadi
perpecahan dalam tubuh internal partai.
Awalnya sesuai dengan isi rekomendasi
Musyawarah Nasional (Munas) Golkar di
Pekanbaru, Riau, pada Oktober 2009, Munas
partai Golkar akan digelar pada tahun 2015.
Namun demikian Tim Presidium Penyelamat
partai Golkar mendorong agar Munas digelar

*) Peneliti Muda Bidang Politik pada Bidang Politi Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
E-mail: debora.sanur@dpr.go.id.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 17 -

Dinamika Internal dan


Kelembagaan Parpol

pleno DPP. Oleh sebab itu, Golkar mengelar


Musyawarah Nasional (Munas) IX di Nusa
Dua Bali yang berlangsung pada tanggal 30
November - 3 Desember 2014.
Akibatnya, perpecahan di tubuh Partai
Golkar berbuntut panjang. Hasil Munas IX
Golkar yang menetapkan Aburizal Bakrie
sebagai Ketum DPP 2014-2019 dan Akbar
Tandjung sebagai Ketua Dewan Pertimbangan
Partai Dianggap tidak sah oleh Tim Presidium.
Lebih dari itu, Munas tersebut bahkan ditolak
oleh Tim Presidium tersebut. Sejumlah tokoh
tim Presidium tersebut ialah Agung Laksono,
Priyo Budi Santoso, Hajriyanto Thohari,
Zainuddin Amali, Agus Gumiwang, Laurens
Siburian, Yorrys Raweyai, Agun Gunandjar,
Ibnu Munzir, dan Zainal Bintang. Mereka
menolak Munas tersebut karena bertentangan
dengan hasil rapat pleno DPP Partai Golkar.
Para tokoh tersebut didukung oleh tiga
organisasi pendiri Golongan Karya (Tri Karya),
yakni Kosgoro 1957, SOKSI, dan MKGR.
Selanjutnya
Munas
akhirnya
dilaksanakan oleh masing-masing kubu
tersebut dan menghasilkan kepengurusan di
antaranya sebagai berikut:

Munas Bali
Ketua
Pertimbangan:
Tandjung
Ketua
Bakrie

Umum:

Munas Jakarta
Dewan
Akbar

Aburizal Ketua Umum : HR Agung


Laksono

Wakil Ketua Umum


Wakil Ketua Umum
Nurdin Halid
Priyo Budi Santoso
Theo L Sambuaga
Agus
Gumiwang
Setya Novanto
Kartasasmita
Syarif Cicip Sutardjo
Yorrys Th. Raweyai
Fadel Muhammad
Siti Hediati Hariadi
(Titiek Soeharto)
Ahmadi Nur Supit
Ade Komarudin
Aziz Syamsuddin
Sekretaris Jenderal : Idrus Sekretaris
Jenderal
Marham
Zainuddin Amali

Bendahara Umum
Bambang Soesatyo

: Bendahara Umum : Sari


Yuliati

dari berbagai sumber

- 18 -

Menurut Ramlan Surbakti, secara


kelembagaan partai politik dibentuk oleh
kalangan legislatif dan eksekutif karena ada
kebutuhan para anggota parlemen untuk
mengadakan kontak dengan masyarakat
dan untuk membina serta mendapatkan
dukungan dari masyarakat. Dengan demikian,
partai politik merupakan perantara besar
yang menghubungkan kekuasaan-kekuasaan
dengan
lembaga-lembaga
pemerintahan
yang resmi serta mengikat dalam aksi politik
di dalam masyarakat politik. Hal ini yang
membedakan antara partai politik dengan
organisasi lainnya, yaitu adanya tujuan untuk
memperoleh kekuasaan di pemerintahan.
Dinamika dalam Partai Golkar telah
menyebabkan terjadinya konik karena
adanya ketidakharmonisan di antara elemenelemen yang ada, baik dalam skala individu
maupun kelompok. Menurut Ted Robert Gurr
konik akan terjadi karena ada beberapa
pihak yang biasanya cenderung menjalankan
perilaku koersif untuk menghadapi dan
menghancurkan sang musuh. Akibatnya,
interaksi pertentangan di antara pihak-pihak
itu berada dalam keadaan yang tegas. Bahkan,
peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi
dengan mudah oleh para pengamat yang tidak
terlibat dalam pertentangan.
Oleh sebab itu, dengan adanya dua
Munas, yang menghasilkan dua kepengurusan
DPP, Yunarto Wijaya (Charta Politika) menilai
bahwa konik yang terjadi dalam Partai
Golkar ini bersifat rentan untuk membawa
perpecahan. Lebih jauh, bahkan perpecahan
tersebut mungkin saja dapat menelurkan
partai-partai baru yang diinisiasikan oleh
kelompok- (kelompok) yang kecewa dengan
kebijakan partai. Hal ini kembali mengingatkan
kembali peristiwa pada 1998, 2004 dan
2010. Pada tahun 1998, dua partai politik
baru terbentuk pasca-Munas, yakni Partai
Karya Peduli Bangsa dan Partai Keadilan dan
Persatuan, yang kini menjadi Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia. Sementara pada
tahun 2004, dualisme dalam tubuh Golkar
menciptakan munculnya Partai Gerakan
Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Sementara itu, pada tahun 2010 perpecahan di
tubuh Golkar memunculkan Partai Nasional
Demokrat.
Perpecahan Partai Golkar semakin
meruncing karena Munas partai di Bali
melakukan pemecatan terhadap 17 kader
Partai Golkar yang dianggap tidak patuh pada
keputusan partai. Pemecatan tersebut bahkan

diikuti dengan pencabutan hak kepengurusan


periode 2014-2019 dan penarikan keanggotaan
mereka sebagai anggota DPR RI. Situasi ini
semakin mendorong Tim Presidium untuk
segera melakukan percepatan Munas dari yang
pada awalnya direncanakan akan dilaksanakan
pada bulan Januari 2015 menjadi tanggal 6-8
Desember 2014 di Ancol Jakarta. Walaupun
pelaksanaan yang dipercepat tidak sesuai
dengan komitmen awal untuk mengikuti
AD/ART partai, dalam upaya menghentikan
perselisihan berlanjut, Munas tersebut akhirnya
dimajukan.
Menurut
Yusril
Ihza
Mahendra
konik internal yang terjadi seperti ini harus
diselesaikan oleh mekanisme internal partai,
yakni mahkamah partai yang dibentuk oleh
partai itu sendiri. Hal ini sejalan dengan
penilaian Dahrendorf atas variabel pengaruh
lain yang menyebabkan terjadinya konik, yaitu
persoalan struktur wewenang. Menurutnya,
konik lebih disebabkan karena adanya
kepentingan yang saling bertentangan sebagai
reeksi dari adanya diferensiasi distribusi
kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang
menguasai dan dikuasai. Oleh sebab itu, bila
dibawa ke wilayah eksternal partai, dalam
hal ini Menkumham sebagai wasit penengah
kepengurusan hasil munas mana yang sah,
Menkumham harus netral dan menjauhkan
pertimbangan politik dalam pengesahan
kepengurusan partai tersebut. Apalagi, peran
Menkumham untuk menengahi konik internal
tersebut hanya dilakukan dalam batas-batas
koridor perundang-undangan, yaitu UU No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pasal 32 UU
ini berbunyi:
(1)
Perselisihan
Partai
Politik
diselesaikan oleh internal Partai Politik
sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik
atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai
Politik. (3) Susunan mahkamah Partai Politik
atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai
Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian
perselisihan
internal
Partai
Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh)
hari. (5) Putusan mahkamah Partai Politik
atau sebutan lain bersifat nal dan mengikat
secara internal dalam hal perselisihan yang
berkenaan dengan kepengurusan.
Terlepas dari itu semua, bagaimana pun
konik internal partai Golkar ini diharapkan
dapat segera selesai. Partai politik, salah
satunya, ditujukan sebagai penyambung aspirasi

konstituennya dalam lembaga perwakilan.


Dengan begitu, konik dalam tubuh partai
tentu akan berdampak terhadap kinerja kader
partai dalam kelembagaan DPR RI. Pada
Masa Sidang I Tahun Sidang 2014-2015 DPR
RI periode 2014-2019 pelaksanaan fungsi
legislasi pasca-pelantikan telah mengalami
kemunduran jika dibandingkan dengan masa
sidang yang sama DPR RI periode 2009-2014.
Pada periode lalu, DPR RI telah menghasilkan
Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas Prolegnas
tahun 2015. Sementara itu, dalam DPR RI
periode ini, kemungkinan besar Prolegnas baru
akan disusun dan dibahas bersama pemerintah
pada masa sidang yang akan datang. Menurut
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHKI), Ronal Roandri, kejadian
ini karena adanya kisruh politik dalam
internal DPR RI. Hal ini menguatkan sebuah
ironi karena masyarakat menantikan kinerja,
integritas dan akuntabilitas DPR RI.
Terkait dengan fungsi partai dan
perannya dalam lembaga perwakilan, hal
yang harus terus disadari oleh partai adalah
bahwa partai harus terus berjalan dengan
tetap mengambil keputusan yang berimplikasi
luas pada masalah kenegaraan khususnya
bagi kadernya yang duduk dalam lembaga
legislatif. Arti pentingnya dapat dikaitkan
dengan pelaksanaan tugas konstitusional DPR
RI dalam fungsi-fungsi legislasi, anggaran
dan pengawasan. Dengan demikian, peran
DPR RI sangat penting dan strategis. Hal
ini diperkuat dalam Penjelasan Umum UU
MD3 17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa
sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja
lembaga perwakilan dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip
checks and balances, serta untuk meningkatkan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat
terhadap
fungsi
representasi
lembaga
perwakilan yang memperjuangkan aspirasi
masyarakat, DPR RI dalam melaksanakan
tugasnya diperlukan dukungan yang signikan
dari setiap fraksi. Demikian pula dalam hal
pengambilan keputusan dalam rapat, DPR RI
pada dasarnya selalu harus mengusahakan
dengan cara musyawarah untuk mencapai
mufakat meskipun jika tidak terpenuhi,
keputusan
dapat
diambil
berdasarkan
suara terbanyak. Jadi, kinerja DPR RI ini
memerlukan kesolidan para kader dari semua
fraksi.
Partai politik memiliki arti penting
dalam sebuah sistem demokrasi perwakilan.
Partai politik diyakini sebagai instrumen
yang strategis bagi perkembangan demokrasi
Indonesia di masa depan. Oleh sebab itu,
menurut Lili Romli bila tingkat kepercayaan
- 19 -

konik internal dalam partai, perlu adanya


penataan bagi setiap partai politik baik dari
dalam maupun dari luar. Secara internal,
partai politik seharusnya membuat konstitusi
partai yang benar-benar mencerminkan fungsi
partai yang sebenarnya yang harus dijalankan
oleh para kadernya. Sementara itu, penataan
dari luar akan tercipta dengan sendirinya
melalui kontrol masyarakat dan dinamika
perkembangan
peraturan
perundangundangan.

masyarakat terhadap partai politik menurun


partai politik tidak mampu memainkan
fungsinya dengan optimal. Dengan kata lain,
partai dinilai tidak memiliki kemampuan
dalam mengerahkan dan mewakili kepentingan
warga negara maupun menghubungkan warga
negara dengan pemerintah. Kondisi tersebut
akan memburuk jika persoalan konsolidasi
kelembagaan parpol belum terwujud dengan
baik. Berbeda dengan era orde baru di mana
partai politik menjadi mesin politik penguasa,
pada era reformasi, partai politik dihadapkan
pada tuntutan masyarakat yang begitu besar.
Oleh sebab itu partai politik harus ditopang
dengan instumen kelembagaan yang baik.
Lebih jauh, partai politik pada dasarnya
merupakan wadah konik atau wadah untuk
mengelola konik di mana dalam melaksanakan
fungsi agregasi kepentingan, partai politik juga
berperan sebagai pihak yang menyelesaikan
konik. Oleh sebab itu, dinamika internal
adalah hal yang lumrah dan seharusnya
dapat diselesaikan secara internal. Dalam
hal ini, peran AD/ART partai perlu didisain
secara komprehensif dan terperinci sehingga
mampu memberi prosedur penuntun bagi
partai dalam melaksanakan fungsinya sebagai
lembaga konik, aktor konik, dan yang agen
penyelesaian konik. Demikian pula dengan
partai Golkar sebagai partai yang sudah
sangat dikenal masyarakat dan diharapkan
oleh konstituennya sebagai penyambung
lidah rakyat. Sejalan dengan pandangan ini,
partai politik dikatakan sudah melembaga bila
masyarakat umum sudah mendenisikan partai
politik tersebut sesuai identitas nilai parpol
tersebut. Penilaian masyarakat ini akan semakin
dalam bila umur partai politik semakin panjang
karena semakin jelas denisi atau pengetahuan
publik mengenai partai itu.

Referensi

Ted robert Gurr (ed), Hand Book of Political Conict :


Theory and Research, New York, The Free Press,
1980, hal 2.
Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik dan Partai Politik,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal. 1617.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta:
Grasindo, 1992, hal. 116
Soerjono Soekanto dan Ratih lestarini, Fungsionalisme
dan teori konik dalam perkembangan sosiologi,
sinar graka, jakarta, 1988, hal 78-79.
UU MD3 17 Tahun 2014
UU No. 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik
http://partaigolkar.or.id/Munas-golkar-digelar-2015/
h t t p : / / n e w s . o k e z o n e . c o m /
read/2014/11/30/337/1072546/ical-sebutMunas-golkar-di-bali-bukan-keputusan-pribadi
h t t p : / / w w w . t e m p o . c o / r e a d /
news/2014/12/01/078625520/Kecewa-MunasGolkar-Melahirkan-Lima-Partai-Baru
h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /
read/2014/12/03/17201511/17.Kader.Golkar.
Dipecat.Peserta.Munas.Gembira
h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /
read/2014/12/04/12000061/Menanti.
Pembuktian.Partai.Golkar
http://m.metrotvnews.com/read/2014/12/07/328774
http://m.liputan6.comnews/read/2143826/agusgumiwang-hasil-Munas-golkar-akan-bubarkankmp
h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /
read/2014/12/04/14105201/Ini.Susunan.
Pengurus.DPP.Golkar.2014-2019?utm_
campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_
source=news
http://www.beritasatu.com/nasional/230811kinerja-dpr-20142019-lebih-buruk-dari-periodesebelumnya.html
http://news.metrotvnews.com/
read/2014/12/08/329031/ini-susunan-pengurusdpp-hasil-munas-golkar-jakarta
http://www.republika.co.id/berita/nasional/
politik/14/12/08/ng910h-yusril-ada-baiknyamenkumham-tunda-pengesahan-dpp-golkar
http://ugm.ac.id/id/berita/4509-kelembagaan.partai.
politik.indonesia.masih.lemah
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/06/
opini/46752.htm

Penutup

Pada akhirnya konik internal partai


Golkar melalui dua kepengurusan berbeda hasil
dua Munas akan ditentukan oleh pengadilan.
Namun demikian dualisme dalam tubuh Golkar
bisa saja akan tetap mencuat. Oleh sebab itu,
hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi
dinamika dalam partai tersebut dan partaipartai lain tentunya, mereka harus tetap
mengutamakan konstituen dan terus berupaya
untuk memposisikan diri sebagai penyeimbang
bagi masyarakat dan pemerintah. Apapun
konik yang terjadi dalam partai merupakan
dinamika internal partai. Oleh karena itu,
partai akan dapat menyelesaikannya sendiri
sesuai dengan aturan dan mekanisme yang
ada tanpa perlu adanya intervensi dari pihak
luar. Ke depan, dalam upaya meminimalisasi
- 20 -

Anda mungkin juga menyukai