UVEITIS ANTERIOR
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Mata
RSUD Tidar Kota Magelang
Diajukan Kepada :
dr. H. M. Junaedi, Sp. M
Disusun Oleh :
Kurniati Hatmi (20090310168)
: Ny. DN
Usia
: 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
Agama
: Islam
Suku/bangsa
: Jawa/Indonesia
Alamat
Nomer Telepon
: 08129292346
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Mata kiri merah.
Keluhan Tambahan :
Mata kiri terasa sakit, nerocos, dan silau.
Riwayat Penyakit Sekarang :
10 hari yang lalu, pasien mengeluhkan mata kirinya merah dan gatal. 7 hari yang
lalu pasien berobat ke puskeesmas namun keluhan tidak kunjung membaik.
Kemudian mata kiri pasien terasa sakit, nerocos, dan silau. Gigi pasien banyak
III. KESAN
Kesadaran
Keadaan Umum
OD
OS
: Compos mentis
: Baik
: Tampak tenang
: Tampak mata kemerahan
OD
OS
20/80
Tidak dilakukan
20/20
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
20/100
Tidak dilakukan
20/20
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
V. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
PEMERIKSAAN
1. Sekitar Mata
- Alis
OD
OS
PENILAIAN
Kedudukan alis baik,
jaringan parut (-),
- Silia
simetris
Trikiasis (-),
distrikriasis (-)
madarosis (-)
2. Kelopak mata
- Pasangan
- Gerakan
N
N
N
N
- Lebar rima
- Kulit
- Tepi kelopak
10 mm
N
10 mm
N
blefarospasme (-)
Normal 9 14 mm
Hiperemi (-), edema
(-), massa (-)
Trichiasis (-),
ektropion (-),
- Margo
entropion (-)
Tanda radang (-)
intermarginalis
3. Apparatus Lakrimalis
- Sekitar glandula
lakrimalis
- Sekitar sakus
lakrimalis
- Uji flurosensi
- Uji regurgitasi
- Tes Anel
4. Bola Mata
- Pasangan
- Gerakan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
N
N
N
N
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Simetris (orthophoria)
Tidak ada gangguan
+
+
+
- Ukuran
normal)
Makroftalmos (-),
5. TIO
Mikroftalmos (-)
Palpasi kenyal (tidak
ada peningkatan dan
penurunan TIO)
6. Konjungtiva
- Palpebra superior
- Forniks
- Palpebra inferior
- Bulbi
7. Sclera
8. Kornea
- Ukuran
- Kecembungan
- Limbus
hiperemis (-)
Dalam
N
N
N
N
N
Injeksi Konjungtiva
horizontal 12 mm,
vertical 11 mm
Lebih cembung dari
N
N
- Permukaan
N
- Uji flurosensi
Tidak dilakukan
- Placido
N
9. Kamera Okuli Anterior
- Ukuran
N
- Isi
N
N
N
Tidak dilakukan
N
N
N
Ikterik (-)
sclera
Benjolan (-)
Benda Asing (-)
Licin, mengkilap
Tidak dilakukan
Reguler konsentris
COA dalam
Jernih, flare (-), hifema
(-), hipopion (-)
10. Iris
- Warna
- Pasangan
- Gambaran
11. Pupil
- Ukuran
Cokelat
N
N
Cokelat
N
N
Simetris
Kripte baik, Sinekia (-)
4 mm
2 mm
Normal: 3 6 mm
pada ruangan dengan
- Bentuk
- Tempat
- Tepi
- Refleks direct
Bulat
N
N
(+)
- Refleks indirect
(+)
12. Lensa
- Ada/tidak
- Kejernihan
- Letak
Ada
N
N
Bulat
N
N
(+)
Melambat
(+)
Melambat
Ada
N
N
cahaya cukup
Isokor
Di tengah
Reguler
Positif
Positif
Ada
Jernih
Di tengah, di belakang
iris
- Warna kekeruhan
13. Korpus
Tidak ada
N
Tidak ada
N
Vitreum
14. Refleks Fundus
(+)
(+)
Jernih
Warna jingga
kemerahan terang,
homogen
OS
Terdapat injeksi siliar, pupil miosis, dan
refleks pupil direk dan indirek melambat
IX. PROGNOSIS
OD:
Visum (Visam)
Kesembuhan (Sanam)
Jiwa (Vitam)
Kosmetika (Kosmeticam)
OS:
Visum (Visam)
Kesembuhan (Sanam)
Jiwa (Vitam)
Kosmetika (Kosmeticam)
: Bonam
: Dubia
: Bonam
: Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
PEMBAHASAN
1. Definisi
Uveitis anterior didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai traktus uvealis
bagian anterior yaitu iris (iritis) dan dapat pula mengenai bagian anterior badan siliaris
(iridosiklitis).
Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior
adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan
vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai
penyakit sistemik.
2. Patofisiologi
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau
ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis
anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit,
fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang nongranulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu
iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel
limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan
badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah
putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan
bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini,
dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli
anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah,
maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan
bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu
menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke
bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,
membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan
yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui
trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera.
Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera
okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder.
Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema
(bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak
mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang
menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris
pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada
lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak
dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan,
disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan
timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk
pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan
organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu.
Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat
mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari
jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans.
Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.
3. Manifestasi Klinis
Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotofobia, nyeri, penurunan
tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan pada keadaan kronis gejala uveitis
anterior yang ditemukan dapat minimal sekali, meskipun proses radang yang hebat
sedang terjadi.
a. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit, injeksi,
fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal atau injeksi siliar
yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus. Deposit putih halus
(keratic presipitate/ KP) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp
atau dengan kaca pembesar. KP adalah deposit seluler pada endotel kornea.
b. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa
Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan berangsur
kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah sirkumkornea. Sakitnya minimal
dan fotofobianya tidak seberat bentuk non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan
tidak teratur karena terbentuknya sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar dapat
terlihat dengan slit-lamp di permukaan posterior kornea. Tampak kemerahan, flare dan
sel-sel putih di tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton
fat. Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.
4. Klasifikasi
Berdasarkan
patologi
dapat
dibedakan
jenis
uveitis
anterior, yaitu
granulomatosa dan non granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa umumnya tidak
dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon baik terhadap terapi
kortokosteroid diduga peradangan ini semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini
timbul terutama dibagian anterior traktus yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi
radang dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup
banyak dan sedikit sel mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar
atau hipopion didalam kamera okuli anterior. Sedangkan pada uveitis granulomatosa
umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (misal
Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini
jarang ditemukan dan diagnosis etiologi pasti jarang ditegakkan. Uveitis granulomatosa
dapat mengenai sembarang traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior.
Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit
di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan posterior kornea terutama terdiri
atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis etiologi spesifik dapat ditegakkan secara
histologik pada mata yang dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan
asam tuberculosis, spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarcoidosis atau
oftalmia simpatika dan beberapa penyebab spesifik lainnya.
Non granulomatosa
Granulomatosa
Onset
Akut
Tersembunyi
Sakit
Nyata
Fotofobia
Nyata
Ringan
Penglihatan kabur
Sedang
Nyata
Merah
sirkumkorneal
Nyata
Ringan
Presipitat keratik
Putih halus
Kelabu besar
Sinekia posterior
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Nodul iris
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea anterior
Perjalanan
Akut
Menahun
Rekurensi
Sering
Kadang-kadang
Pupil
Tempat
Berdasarkan waktu uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari 6
minggu, jika inflamasi kambuh diikuti dengan serangan inisial disebut rekuren akut dan
dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya dan
bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topical atau oral adalah ditujuan untuk
mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior adalah memperbaiki
visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan inflamasi ocular atau
mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya sinekia, dan mengatur
tekanan intraocular.
Pengobatan uveitis anterior tidak spesifik, pada umumnya menggunakan
kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid atau nonsteroidal
anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-obatan steroid dan
imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius, seperti gagal ginjal,
peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan glaukoma, khususnya
pada steroid dalam bentuk pil.
a. Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan. Tujuan
penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior adalah mengurangi
peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan membran sel,
menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan sirkulasi
limposit. Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga
daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi
pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan.
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan makin
sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat
dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik,
sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai
pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. Kornea
terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel
yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel.
Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah
larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang
larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik
harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid
topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada
bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini
memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid
tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan
kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate
0,125% dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125%, 0,5%, dan 1%,
deksamentason
alcohol
0,1%,
deksamethasone
sodium
phospat
0,1%,
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartono, 2007, Buku Saku Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata, FK UGM,
Yogyakarta.
2. Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology
Yogyakarta
3. Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T.
dan Riodan, P.,
4. Ilyas Sidarta, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, ed II, FKUI, Jakarta: 2002
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta,
2000: Hal 17-20